Frans Karangan Selaku Simbol Luka Hati Penduduk Toraja Terhadap Kahar Muzakkar Dan Andi Sose

Pemberontakan Letkol Kahar Muzakkar
Akmuzakkar

Pemberontakan yang terbesar yaitu diproklamirkannya Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) oleh Letnan Kolonel Kahar Muzakkar sbg pembangkangan terhadap Pemerintah atas tidak di akomodirnya seluruh tentara Kesatuan Gerilya Sulawesi Selatan (KGSS) yang dipimpinnya menjadi Brigade Hasanuddin, yang kemudian menjadi cikal bakal Kodam XIV Hasanuddin.

Hanya sekitar 30 % pasukan KGSS pimpinan Kahar Musakkar yg menyanggupi syarat kemiliteran tertampung di Brigade Hasanuddin, antara lain Kapten Andi Selle dan Kapten Andi Sose. Kapten Andi Sose lalu menjadi Komandan Batalion Infanteri 720 Wolter Monginsidi bermarkas di Makale, Tana Toraja. Batalion Infanteri 720 membawahi 4 Kompi, salah satunya ialah Kompi Raider yg dipimpin Letnan Satu Frans Karangan.

Bacaan Lainnya
Kapten Andi Sose
6770 101731319837014 1574649 nKedekatan Kahar Musakkar dengan Andi Sose memacu Batalion Andi Sose untuk melaksanakan pembakaran dan penganiayaan yang sampai sekarang melukai hati masyarakat Toraja. Gerombolan Kahar Musakkar mengkremasi banyak rumah dan tongkonan serta menganiaya masyarakat Toraja, yg lalu diketahui dengan “Peristiwa 58”.
Tongkonan  Layuk Pangi dibakar oleh pasukan Andi Sose yg kecewa karena kalah perang dan diusir dari Tanah Toraja. Yang tersisa dari dari pembakaran tersebut cuma 1 (satu) lumbung yg sempat dipadamkan oleh masyarakat ,setelahpasukan Andi Sose meninggalkan kawasan itu.
Meskipun Andi Sose menyesal dan meminta maaf atas peristiwa tersebut, alasannya adalah beliau merasa  bahwa  salah satu neneknya masih keturunan puang dari Tallu Lembangna tetapi Peristiwa itu tetap memicu amarah Kapten Frans Karangan yang tidak terima Toraja diinjak-injak oleh Andi Sose.
Letnan Satu Frans Karangan
frans%252C1Beliau ialah pejuang Toraja pada zaman pergolakan gerombolan. Zaman gerombolan yakni zaman pemberontakan setelah kemerdekaan yang terjadi di Sulawesi Selatan.
Karena prestasi satuan kompi raiders pimpinan Frans Karangan, maka kemudian ditingkatkan menjadi Batalion Raider 758 pada tahun 1958 (yang legendaris di kelompok kemiliteran masyarakat toraja dengan sebutan “batalion Frans”) dengan Komandan Batalion Kapten Frans Karangan.
Atas Penganiayaan dan pembakaran Tongkonan yang terjadi di Toraja, maka Kapten Frans Karangan secepatnya mengerahkan battalion 758, dibantu tokoh2 pejuang lokal memerangi dan menumpas gerombolan Kahar Musakkar dan pasukan Andi Sose. Sampai risikonya Kahar Musakkar dan Andi Sose beserta gerombolannya sukses diusir dari Tondok Lepongan Bulan,Tana Matari’ Allo
Usai menumpas gerombolan Kahar Musakkar, Batalion 758 pimpinan Frans Karangan dijadikan Battalion Raider Indonesia Timur dengan sebutan Batalion 700/RIT pada tahun 1963. Pada tahun 28 Maret 1967 Batalion 700/RIT menurut SK Panglima ABRI ditetapkan menjadi Batalion Infanteri Lintas Udara 700 BS hinga sekarang , itulah yang menjadi Cikal-Bakal Batalion Infanteri Lintas Udara (Yonif) 700/Bs.
(Catatan Orva Frans Karangan)
Atas jasa- jasanya itu, Frans Karangan mampu disejajarkan dengan pendahulunya yaitu To Pada Tindo, yang juga berhasil menghalau serdadu Bone dari bumi Lakipadada.
Sekilas Tentang Tongkonan Layuk Pangi (Tongkonan yang dibakar oleh Andi Sose)
IMG 20131020 0020335
Tongkonan  Layuk  Pangi didirikan oleh Puang Rambulangi Tua (dolo) diatas puncak Buntu Pangi yg dikenal dengan daerah Pollo Padang di Mandetek, Makale.  Tongkonan  Layuk Pangi pernah menjadi sentra pemerintahan, pertahanan dan keselamatan Kerajaan Datu Matampu’ pada dikala Puang Rambulangi mengalahkan Datu Matampu’ dan memindahkan pusat pemerintahan  Kerajaan Datu Matampu’ ke Tongkonan ini.
Pada saat Puang Tarongko menikah dengan Tumba’ Datu Bubun dari tongkonan To’pao di Mandetek, maka Puang Tarongko membangun kembali tongkonan  Layuk Pangi  yang sudah rubuh dan berpesan kepada istrinya Tumba’ Datu Bubun dan anaknya Puang Baratu supaya memelihara dan membangun kembali Tongkonan ini apabila sebuah dikala rusak atau rubuh.
Setelah Puang Baratu menikah dengan Puang J Kalua(cucu puang bungin) dari tongkonan lepungan bungin, maka mereka membangun kembali tongkonan ini yg telah rusak dan rubuh. Namun lokasi pembangunannya dipindahkan ke lereng buntu pangi dengan argumentasi lokasi tongkonan usang susah dijangkau sebab berada diatas puncak bukit .
Karena mengenang pesan dari Puang Tarongko maka cucunya adalah Puang Prof. Dr. John Rambulangi ialah anak dari Puang Baratu dan Puang J.Kalua membangun kembali Tongkonan  ini  dan dibantu oleh  saudara saudaranya adalah: Puang Pdt. Daniel Payung Allo, Puang Margaretha Marimbun/Puang  Kun Massora , Puang Naomi Tuppa Kalua, Puang Dorce Daun Allo, Puang Adrial Rumengan Kalua, Puang Elim Kalua, Puang Marten Kalua dan Puang Martinus Kalua .
Tongkonan  Layuk Pangi didirikan (mangrara banua) pada tanggal 3 Januari 2004 dan dihadiri oleh semua rumpun keluarga besar puang Rambulangi yang ada di Jakarta, Makasar, Toraja dan tempat daerah yang lain.   Lokasi Tongkonan Layuk  Pangi, mandetek, terletak kira-kira 6 km dari sentra  kota Makale.  Jika kita berjalan dari arah Makale menuju Rantepao maka tongkonan ini terletak di sisi kiri jalan (kira kira 100 meter dari pinggir jalan) ,  sebelum masuk penurunan daerah Kia’tang, Lepungan Bungin. (Diposkan oleh Puang Rambulangi )
Rangkuman Perlawanan Masyarakat Toraja Terhadap Orang Asing
Sebuah Pesan Untuk Orang Toraja Di Awal Abad Ke-21
—————————————————————-
Suku yang sukses memelihara etika istiadat ialah suku yang kuat dimasa lampau, Di Masa Lampau Orang Toraja Mampu Mempertahankan Dan Menyelamatkan Keberadaan Etnis Dan Budaya ‘Sang Torayan’; Bagaimana Ke Dengan kini Dan Ke Depan?
Pengantar
Identitas setiap komunitas sosial, terutama komunitas bangsa atau suku-bangsa tidak terbentuk sekali jadi. Masing-masing mempunyai sejarahnya. Oleh karena itu kesadaran setiap anggota komunitas atas sejarah komunitasnya mutlak perlu, apabila komunitas bersangkutan ingin tetap menjaga dan memperkembangkan keberadaan jatidiri dasarnya ke depan. Pengenalan atas sejarahnya akan membantu setiap komunitas sosial yang bersangkutan untuk mempertahankan warisan yang bagus dan benar. Sedangkan kesalahan di periode lampau akan menjadi pelajaran berguna, biar tidak terulang di masa sekarang dan di masa depan. Tentu saja tidak terkecualikan dalam hal ini golongan etnis Toraja. Tulisan singkat ini dimaksudkan untuk membantu orang Toraja menyadari sejarahnya, dan dengan demikian dibutuhkan mampu mengambil langkah sempurna dan tidak menciptakan kesalahan fatal ke depan. Tulisan ini berupaya berada dalam lingkup ilmiah. Setiap pernyataan dan berita historis dilengkapi dengan referensi pada sumber terpercaya.
I. ABAD XVII-XVIII:
1. Setelah Sultan Hasanuddin dari Kerajaan Gowa (Makassar) dikalahkan Belanda (V.O.C.) yang dibantu oleh Arung Palakka dari Bone, dan dipaksa menandatangani Perjanjian Bungaya pada tahun 1667, maka Kerajaan Bone dengan segera menjadi paling kuat dan berkuasa di Sulawesi Selatan (lih. Pol, 1940:127 dsl.). Arung Palakka mengakibatkan kerajaan-kerajaan sekitar selaku vassal. Ia mengalahkan Sidenreng, sebagian dari Mandar, dan Masenrempulu’. Lalu beliau mulai mengarahkan perhatian ke Tondok Lepongan Bulan (lih. Veen, 1940:39). Menurut salah satu catatan hariannya, tahun 1683 pasukannya telah menduduki beberapa desa di wilayah Ma’kale-Rantepao (dikutip dlm. Veen, 1940:39).
2. Dalam invasi ke Tondok Lepongan Bulan ini Arung Palakka disertai Karaeng ri Gowa, dan didukung oleh pasukan Sidenreng dan Mandar (Lijf, 1947-48:528). Dalam beberapa manuskrip didapatkan kisah, bagaimana puang baine dari Sangalla’, Indo’ Garanta’, bersama para tomakaka¬-nya, mengunjungi Arung Palakka dan Karaeng ri Gowa sebagai tanda menyerah. Kepadanya diberi dua pilihan: masuk Islam dan dengan demikian akan jadi vassal dari Bone, atau tetap berpegang pada etika dan agama nenek moyangnya dan begitu dijadikan hamba dari Bone dan Gowa. Dan ia menentukan yang terakhir: tetap setia pada budpekerti dan agama leluhur! (dikutip dlm. Lijf, 1947-48:528).
3. Perang To Pada Tindo: Pendudukan pasukan Bone lama-kelamaan mengakibatkan perlawanan. Terlebih sesudah pasukan pendudukan menculik tiga putri darah biru Tallu Lembangna, dan memastikan bahwa ketiganya gres akan dibebaskan sehabis masyarakatbersedia membayar pajak 15 kali lipat. Walau diberitakan ketiganya kesannya sukses dibebaskan seorang to barani dari Madandan, berjulukan Karasiak, peristiwa penculikan itu menciptakan shock di seluruh negeri (lih. Tangdilintin, 1978:136 dsl.). Lahirlah gerakan To Pada Tindo To Misa’ Pangimpi untuk membebaskan Tondok Lepongan Bulan, yang bersemboyankan “Misa kada dipotuo, pantan kada dipomate”. Perlawanan To Pada Tindo balasannya berhasil menghalau serdadu pendudukan. Untuk merayakan kemenangan itu, dilangsungkan bua’ di Bamba Puang, yang disebut “Bua’ Kasalle Tondok Lepongan Bulan” (Lih. Tangdilintin, 1978:144 dsl.; Veen, 1940:39 dsl.). Peristiwa ini menjadi dasar historis solidaritas tradisional orang Toraja dikala mereka mendapatkan diri dalam kesulitan (lih. Lijf, 1947-48:528-529).
4. Setiap komunitas etika di Tondok Lepongan Bulan mengambil bab dalam gerakan To Pada Tindo, kecuali komunitas adab Karunanga. Itu sebabnya komunitas akhlak ini berikutnya dijuluki “To ribang la’bo’, to simpo mataran” (lih. Tangdilintin, 1978:144 dsl.).
5. Tercatat setelah itu pasukan Bone masih mencoba menginvasi Tondok Lepongan Bulan pada tahun 1702 dan 1705 (Lijf, 1947-48:528). Tetapi hasilnya pada tahun 1710 dicapai sebuah persetujuanperdamaian. Perjanjian ini dibentuk di desa Malua’, sehingga disebut Basse Malua’ (Tangdilintin, 1978: 161 dan 170 dsl.). Hampir dua era kemudian persetujuanini tetap dihormati, dikala pada tahun 1897, atas seruan Datu Luwu’, pasukan Bone (songko’ borrong) di bawah pimpinan Petta Punggawa memasuki Tondok Lepongan Bulan untuk memerangi pasukan Sidenreng yang dipimpin Ande Guru dalam pertentangan memperebutkan monopoli perdagangan kopi antara Luwu (Palopo) dan Sidenreng (Pare-Pare), yang diketahui dengan nama “rarinna kopi watu”. Di setiap tondok yang dilalui pasukannya, Petta Punggawa menekankan peran melindungi masyarakatdalam misi mereka, dan bahwa kehadiran mereka atas permintaan Luwu; mereka tidak mau menghancurkan relasi hening antara Bone dan Tondok Lepongan Bulan yang sudah dicapai dua era berselang. (Lih. Bigalke, 1981:54-58; Lijf, 1947-48:529-530).
II. ABAD XX:
1. Pemaksaan Agama oleh DI/TII:
Sesungguhnya gerakan yang dipimpin Kahar Muzakkar yang berlangsung sekitar 15 tahun (1950-1965) di Sulawesi Selatan, semula tidak membawa warna ideologi agama. Gerakan itu semula berjulukan KGSS (Kesatuan Gerilya Sulawesi Selatan), yang bermaksud memperjuangkan tempat yang pantas dalam abad Indonesia merdeka bagi para pejuang gerilya Sulsel selama perang kemerdekaan. Tetapi kemudian beralih menjadi gerakan DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia). Dan dengan itu dilanjutkanlah gerakan islamisasi dengan paksa. Dengan mengutip tulisan berjudul “20.000 Pengungsi Tercatat hingga Akhir Oktober 1953 di Luwu” dalam edisi Rakyat Berjoang, 5 November 1953: p.2, Bigalke menulis: “Akibat-balasan Islamisasi…dinikmati di dataran tinggi kawasan Luwu dan di pinggiran timur dan selatan Tana Toraja semenjak awal 1952. Baik orang-orang Kristen maupun pemeluk agama orisinil menjadi target serangan para gerilyawan. Terjadi banyak penculikan, pembunuhan, pencurian, dan insiden di mana desa-desa dibakar. Pemaksaan masuk Islam terjadi di setiap tempat tersebut, di wilayah baratdaya Toraja sendiri mencapai beberapa ribu orang. Para pengungsi dari bagian utara dan barat Luwu mulai mengalir ke Toraja di tahun 1952, dan mencapai puncaknya menjelang final 1953, meraih sekitar 20.000 orang di kota Makale dan Rantepao” (Bigalke, 1981:423).
Pada September 1953 Kahar mengeluarkan Piagam Makalua’, yang berisi dasar ideologis gerakan DI/TII. Salah satu poin penting dan kedengarannya baik dalam Piagam tersebut, yaitu pernyataan bahwa kebebasan beragama dijamin tetapi hanya untuk agama Islam dan Kristiani. Tetapi apa yang baik di atas kertas, ternyata tidak dilaksanakan dalam praktek. “Dalam masa waktu enam bulan siapa saja, yang sebelumnya telah diberitahu untuk menentukan antara Islam atau Kekristenan, dipaksa menyatakan diri masuk Islam” (Bigalke, 1981:424). “Untuk meraih tujuannya, ialah mengislamkan orang-orang Nasrani, maka mereka (para gerilyawan DI/TII) memisahkan tokoh-tokoh Kristen dengan anggota-anggota biasa. Tokoh-tokoh Nasrani ini disiksa amat sangat agar mau masuk Islam. Sudah tentu sebagian dari mereka itu akan terpaksa mengaku masuk Islam dan mereka inilah diinstruksikan kembali mengajak orang-orang Kristen lainnya masuk Islam saja. Tetapi sebagian dari mereka itu tetap bersaksi bahwa walau dengan pedang sekali pun mereka tidak akan dipisahkan dari Tuhannya. Maka menyusullah syahid-syahid lainnya dalam Gereja Toraja, antara lain Pdt. J. Tawaluyan dan Lumeno, dan J.B. Tangdililing yang dibunuh di Palopo… Pdt. S.Tappil, Guru Injil Baso’ dan 8 orang Katolik Rongkong dibunuh di Masamba…Ds. P.S. Palisungan, L. Sodu dan H. Djima’ (keduanya pengirim Jemaat) dibunuh sehabis mengalami siksaan yang hebat di Tjappa’ Solo’, berpuluh-puluh lainnya disiksa lalu dibunuh di Rongkong, antara lain pengirim -pengirim Jemaat: J. Ledo, J. Subi’, Ngila, M. Maddulu, M. Liling dan lain-lain” (Sarira, 1975:45).
2. Peristiwa Tahun 1953
Di tengah gelombang bahaya pemaksaan agama oleh DI/TII, terjadilah insiden pada bulan April 1953. Tampaknya kecewa sebab merasa impian perjuangan asli dalam KGSS sudah digadaikan oleh Kahar dengan bergabung pada pemberontakan DI/TII pimpinan Kartosuwiryo di Jawa Barat, pada Maret 1952 Andi Sose bersama pasukannya berbalik haluan. Pasukannya dijadikan satu batalion Tentara Nasional Indonesia dengan nama “Batalion 720”, dan Andi Sose sebagai komandannya diangkat menjadi Kapten. Batalion ini diposisikan di Tana Toraja. Tetapi tingkah laku anggota Batalion 720 lama-kelamaan membuat masyarakat merasa tidak aman dan mulai galau. Kenangan akan pendudukan pasukan Arung Palakka di kurun ke-17 kembali muncul dibenak masyarakat. Dengan demikian kerisauan penduduk tidak lagi hanya terbatas pada soal keamanan. Masyarakat mulai menyadari bahwa eksistensi etnis dan budaya Toraja kembali terancam. Situasi ini juga menciptakan komponen Toraja dalam Batalion 720, Kompi 2 di bawah Frans Karangan, kian menjauh dari Andi Sose. Diam-diam terbentuklah kalangan perlawanan yang menatap diri selaku penjelmaan To Pada Tindo dari kala ke-17. Situasi genting semakin memuncak ketika tersiar info bahwa Andi Sose berniat mendirikan mesjid raya di tengah bak di kota Makale, dan memaksa orang-orang Kristen yang pergi ke gereja pada hari Minggu menjinjing kerikil kali ke lokasi itu. Akhirnya pecah konflik yang mencapai puncaknya pada pertempuran 4 April di Makale, di mana kelompok perlawanan berhasil memaksa Andi Sose dan pasukannya meninggalkan Tana Toraja (lih. Bigalke, 1981:408-418). Bigalke menulis, “Sukses perlawanan 4 April itu memaksimalkan prestise pemimpin-pemimpin Kristen (Gereja Toraja) di Toraja, yang pada gilirannya menerangkan insiden tersebut sebagai luapan kesadaran etnis. Kekalahan utama sebetulnya dialami oleh kalangan elit tradisional di selatan (Tallu Lembangna) dan kelompok Muslim sekutu mereka di Makale, yang berpihak pada Andi Sose. Sejumlah dari mereka ini sementara waktu melarikan diri dari Toraja mengikuti pasukan yang mengundurkan diri” (Bigalke, 1981:416).
Kemudian Batalion 422 Diponegoro ditarik dari Toraja, dan digantikan oleh pasukan Brawijaya dari Jatim. Kompi 2 di bawah Frans Karangan ditempatkan di Palu, yang berikutnya ditingkatkan menjadi Batalion 758.
3. Peristiwa Tahun 1958:
Pada bulan-bulan pertama 1958 masyarakat Toraja kembali dikejutkan oleh laporan bahwa pasukan Brawijaya akan ditarik dari Toraja untuk tugas memadamkan pemberontakan Permesta di Minahasa, dan akan digantikan oleh unit-unit R.I. 23, batalion yang dikomandani Andi Sose. Parkindo, partai politik utama di Tana Toraja waktu itu, mewakilkan delegasi ke Jakarta untuk memprotes penarikan pasukan Brawijaya. Sebuah resolusi bersama dari partai-partai politik di Toraja juga diantarkan lewat Kepala Daerah terhadap Gubernur Sulsel dan Mendagri di Jakarta. Tetapi semua itu gagal menghalangi penempatan R.I. 23 di Tana Toraja. Masyarakat Toraja menatap hal ini selaku penghinaan besar, dan bersiap menghadapinya. Frans Karangan, yang juga merasa khawatir, mengantarperlop satu kompi di bawah Pappang dari Palu ke Toraja. Begitu juga orang Toraja dari unit-unit lainnya dicutikan ke Toraja. Dengan argumentasi keselamatan dijadwalkan pengungsian penduduk dari kota Makale dan Rantepao ke desa-desa yang kondusif. Tanggal yang diseleksi untuk boikot itu adalah 20 Mei, Hari Kebangkitan Nasional. Ini antara lain untuk menyatakan kepada Pemerintah Pusat bahwa nasionalisme penduduk Toraja jangan disangsikan. Pada insiden 1953 simbolisme yang dipakai yaitu perjuangan To Pada Tindo. Pappang membentuk apa yang disebut Barisan Komando Rakyat (BKR), yang terdiri dari anggota kompinya, OPD (Organisasi Pertahanan Desa), para pelajar dan penduduk, sebagai persiapan menghadapi serangan R.I. 23 yang dipastikan akan tiba. Setelah terjadi kontak senjata kecil-kecilan, BKR menggunakan strategi mundur penuh ke Pangala’. Pasukan R.I. 23 maju mengejar seakan-akan tanpa mampu ditahan, sambil membakar lumbung-lumbung desa, rumah-rumah dan sekolah-sekolah. Tersiar desas-desus bahwa para komandan R.I. 23 itu kebal peluru. Yang terperinci organisasi mereka lebih unggul dalam hal disiplin dan persenjataan, dibandingkan dengan pasukan BKR yang serba kurang pengalaman bertempur dan persenjataan. Di Pangala’ BKR menghentikan strategi mundur. Pappang mereorganisir pasukannya, dengan mereduksi unit-unit tergabung yang sudah bertempur tidak efektif ke dalam unit-unit terpisah: polisi, OPD, penduduk, pelajar, dan kompinya sendiri. Pasukan R.I. 23 yang memburu dan datang di Pangala’ dalam kondisi letih tidak meyangka akan menghadapi perlawanan sengit. Pasukan BKR yang mengenal medan membuat seni manajemen mundur, dan pasukan R.I. 23 mengejar-ngejar . Tanpa mereka sangka unit BKR yang lain memotong mereka dari belakang. Pertempuran sengit itu ialah kemenangan besar pertama bagi BKR. Pasukan R.I. 23 yang masih tersisa mundur tak terencana, meninggalkan banyak senjata dan lebih dari seratus korban di pihaknya.
Setelah itu pasukan R.I. 23 tinggal terpusat di kota Rantepao dan Makale. Dan pasukan BKR menyelenggarakan tekanan terus-menerus atas mereka. Jalur komunikasi antara kedua kota itu berhasil diputus, sehingga tak ada bala dukungan yang mampu lolos dari Makale ke Rantepao. Akhirnya pasukan yang di Rantepao mengundurkan diri di tengah suatu malam gelap ke Makale melalui La’bo’ – Randan Batu – Sangalla’. Pasukan BKR, yang terlambat mengenali pelarian itu, mencoba mengejar. Mereka masih berhasil mendapatkan dan menawan barisan belakang. Tiga hari lalu semua unit R.I. 23 ditarik dari Makale dan meninggalkan Tana Toraja (lih. Bigalke, 1981:436-446).
Demikianlah orang Toraja di masa lampau membuktikan mampu menjaga independensinya, tak rela dijajah oleh orang lain, tergolong oleh saudara-saudara sebangsanya sendiri. Dan dengan demikian mereka sukses mempertahankan eksistensi etnis dan budayanya dalam kerangka NKRI yang bersemboyankan “Bhinneka Tunggal Ika”.
4. Pa’olle-olle Anak Gembala
Sebagaimana lazimnya terjadi di mana pun, dalam sejarah pergulatan orang Toraja mempertahankan eksistensi etnis dan budayanya, ada saja yang berkhianat dan berhubungan dengan musuh. Di tahun 1950-an anak-anak gembala di Toraja dengan hati perih menyindir mereka itu lewat kata-kata berlanggam khas ini:
Olle…olle…de’,
Lai’ Rinding salle gau’,
Sampe Pandin buletuk,
Umbalukan tondokna tallu suku!
III. ABAD XXI?
Masih adakah kesadaran orang Toraja remaja ini atas sejarah mereka? Sukarno memastikan: “JAS MERAH!” (JAngan Sekali-kali MElupakan sejaRAH!). Dan orang Perancis berkata: “L’histoire se repete”, (Sejarah terulang); walau kadangkala dalam wujud berlainan namun isi tetap sama. Sadarkah kita akan salah satu masalah pokok bangsa ini yang sampai kini belum juga terselesaikan? Itulah problem KEBEBASAN BERAGAMA yang usianya setua Republik ini! Pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945 menjamin Kebebasan Beragama bagi setiap warga negara. Tetapi apa kenyataannya? Apa yang dialami oleh golongan minoritas Ahmadiyah? Dalam dua dekade terakhir berapa ratus kawasan ibadah (baca: gereja) dirusak dan dibakar di negeri ini? Lalu tindakan apa yang telah diambil pihak berwenang kepada aksi-aksi melanggar hukum dan main hakim sendiri seperti itu? Di Negara Hukum kita ini nampaknya bahkan pihak berwenang pun takut kepada bayangan tirani secara umum dikuasai. Kalau penguasa saja takut, apalagi rakyat minoritas! Jangan kita terlalu cepat melalaikan dua peristiwa tragis resen: kerusuhan Ambon dan Poso! Mampukah kita membaca secara sempurna dua insiden mengenaskan itu? Keduanya dimotori kalangan radikal agama yang didatangkan dari luar!
Akhirnya, relakah orang Toraja era XXI melenyapkan JATIDIRI ETNIS dan BUDAYA SANG TORAYAN, yang oleh nenek moyang dan generasi pendahulu sudah sukses dipertahankan dengan keringat dan darah? Tetapi jika begitu belum dewasa gembala Toraja tahun 1950-an akan kembali dengan perih hati MA’OLLE-OLLE!
SUMBER
BIGALKE, Terance W.
1981 A Social History of “Tana Toraja” 1870-1965, (PhD Dissertation, Michigan London).
LIJF, J.M.van
1947/48 “Kentrekken en problemen van de geschiedenis der Sa’dan-Toradja-landen”, Indonesië, I : 518-535.
POL, H.
1940 “Geschiedenis van Loewoe”, dlm. Om te gedenken; Vijfentwintig jaar Zendingsarbeid van den G.Z.B. onder de Sa’dan Toradja’s, Zuid-Midden-Celebes, (Delft): 119-140.
SARIRA, J.A.
1975 Suatu Survey tentang Gereja Toraja Rantepao; BENIH YANG TUMBUH VI, (Rantepao-Jakarta): terutama Bab I.
TANGDILINTIN, L.T.
1978 Sejarah dan Pola-Pola Hidup Toraja, (Yalbu Tana Toraja, Ujung Pandang).
Veen, H. van der
1940 “Voorheen en thans”, dlm. Om te gedenken: 35-53.
By: Felianus Tangalayuk
Sumber: Buku dan Beberapa Blogger terkait

Pos terkait