White Vengeance

Gambar Gravatar
film white vengeance
film+white+vengeance

White Vengeance
Kalau anda mengira film ini yaitu film silat dan action yang memperlihatkan jurus-jurus kungfu yang keren maka anda salah besar. Film ini yakni sebuah drama, kalau boleh dikatakan melo drama yang dibungkus dengan peperangan. Tidak hanya sekedar perang melainkan taktik, seni manajemen, cinta dan pengorbanan bercampur menjadi satu. Menontonnya selama dua jam tidak menciptakan orang jenuh dan ngantuk meskipun tidak banyak actionnya.
Sebuah film kolosal dengan banyak pemain dalam pertempuran dan pemandangan yang tidak natural selaku hasil dari spesial efek yang cukup mumpuni. Sayangnya pertandingan jarak dekat tidak digarap maksimal dengan spesial imbas kesannya cuma sekedar kolam bik buk saja. Makanya penulis diawal tulisan telah mengatakan bahwa film ini bukan film silat dan bahkan anda akan dibentuk terenyuh, mungkin juga menangis di akhir film ini.
Xiang Yu yang dimainkan oleh Feng Shaofeng cukup baik dalam memainkan karakternya mulai dari kepintarannya bertarung hingga menangis. Liu Bang diperankan oleh Leon Lai dengan cemerlang apalagi parasnya mendukung sebagai innocence face alias lugu. Peran-peran lain juga diperankan sangat bagus.
Adu strategi ditampilkan cukup menarik melalui permainan weiji semacam catur china. Namun sayangnya tidak ada hubungannya muntah darahnya Zhang Liang dengan weiji ini sebab bukan tenaga dalam atau bagian magic dalam weiji. Demikian juga karakter Fan Zheng yang buta ditampilkan dengan mata yang menutup dan sering kali terbuka dengan bola mata normal. Seharusnya mata ditampilkan dengan menutup terus atau bola mata warna putih seperti orang buta kebanyakan.
Bayangkan bahwa anda sudah merasa menang dengan mengalahkan musuh hingga musuh itu bertekuk lutut dihadapan anda bahkan ditertawakan oleh semua yang hadir. Pasti anda akan merasa puas. Namun hal itu ternyata ialah sebuah seni manajemen. Strategi pengorbanan, kalah di permulaan dan menang diakhir.
Kelebihan film-film mandarin selalu menyertakan nilai-nilai filsafat yang tinggi yang jarang ada di film-film manapun baik Hollywood maupun Indonesia. Bila anda mendengar bahwa ada seseorang yang dalam waktu satu hari mampu membunuh 200.000 serdadu maka anda pasti akan menghunus jempol tangan. Selanjutnya jika ada seseorang yang dalam waktu satu hari mampu mengalahkan 200.000 prajurit tanpa membunuhnya, apa kesan anda? Mungkin jempol tangan anda tidak cukup untuk diacungkan, perlu jempol kaki untuk menambahnya.
Peribahasa mengatakan diatas langit masih ada langit. Ketika kita merasa berilmu atau hebat, jangan lupa masih ada orang lain yang lebih pintar atau ahli dari kita. Xiang Yu merasa lebih mahir dari Liu Bang dan Liu Bang merasa lebih cendekia dari Zhang Liang serta Zhang Liang merasa lebih bakir dari Fan Zheng. Walaupun Fan Zheng kalah dari Zhang Liang namun beliau punya kartu truf terakhir.
Nilai-nilai lain yang ada dalam film ini yakni win-win solution. Namun apa balasannya jikalau tidak ada kata setuju ? Jangan harap yang satu yaitu pemenang dan satunya lagi yakni yang kalah. Yang didapat ialah lose-lose solution.
Kisah cinta Xiang Yu dan Yu ji serta ketertarikan liu Bang kepada Yu Ji tidak digambarkan dengan intens dan kurang digarap sehingga di awal cerita tidak menawarkan bahwa film ini yaitu dongeng cinta romantis. Namun diakhir film hal tsb memberikan kisah seperti Romeo dan Juliet, dengan kata lain lebih baik mati dari pada kawin dengan orang yang tidak dicintai.
Dalam pertempuran tidak ada yang namanya kebaikan dan kejahatan, tidak ada peran protagonis dan antagonis. Semuanya absurd. Jadi jangan heran jika di awal cerita kita memiliki idola protagonis dan tidak suka tugas antagonis. Diakhir kisah seluruhnya itu bisa terbalik.
Patut diacungin jempol bahwa versi penggarapan film ini seperti model Hollywood. Sebuah cerita yang ditampilkan dengan cara flashback dan beberapa teka-teki yang jawabannya ada di menit-menit terakhir film.

Pos terkait