Teori Keadilan Menurut Kaum Asy‘ari
Daftar Isi
Kaum Asy‘ari adalah kelompok Sunni yang mengikuti pandangan Imam Abul Hasan Al-Asy‘ari. Mereka punya pandangan tersendiri terkait teori keadilan.
Mahzab ini hadir tentunya tak bisa dilepas dari peristiwa-peristiwa sejarah dan mereka memiliki pendapat tersendiri seputar keadilan Tuhan. Termasuk di antara sifat-sifat Tuhan.
Begitu pula setiap mazhab dan aliran pemikiran di dalam Islam juga memiliki pendapat yang beragam tentang teori keadilan Tuhan ini.
Baca Juga:
Mereka, kaum Asy‘ari, mengingkari keharusan melaksanakan keadilan dalam kaitan dengan perbuatan Allah.
Mereka mengatakan, Bukanlah urusan kita untuk menetapkan kriteria bagi perbuatan-perbuatan Allah. Sebab, kebaikan dan keburukan bersumber dari perbuatan Allah.
Jadi, sekiranya Allah memberikan pahala kepada orang yang berbuat baik dan menyiksa orang yang berbuat salah (berdosa), maka ini juga termasuk keadilan dari-Nya.
Kaum Asy‘ari mengemukakan pendapatnya tersebut dalam rangka menyucikan Allah;
Sebagai bantahan terhadap pendapat kaum Asy‘ari itu, kita kemukakan;
Sesungguhnya pendapat ini termasuk norak pemikiran yang dangkal dan fanatik, dan bertentangan golongan akal sehat dan dalil naqli (al-Quran dan Sunnah).
Padahal terdapat penekanan al-Quran sekitar penggunaan akal, demikian juga yang diriwayatkan dari Sunnah yang mulia.
Sebaliknya, meminggirkan peranan akal, bahkan menghilangkannya sama sekali dalam penetapan neraea kebaikan dan keburukan telah mendorong kaum Muslim untuk menolak pendapat kaum Asy‘ari seputar masalah ini. Sebab, penghilangan peran akal tidak akan menyisakan kesucian agama.
Keadilan Menurut Pendapat Syiah dan Muktazilah
Teori keadilan Asy‘ari dengan pendapat Syi‘ah dan Muktazilah sangat jauh berbeda. Syi’ah dan Muktazilah menganggap keadilan merupakan sifat Allah. Mereka, Syi‘ah dan Muktazilah, berkeyakinan bahwa:
- Kebaikan dan keburukan adalah dua sifat yang berbeda.
- Sesungguhnya akal manusia dapat membedakan antara keburukan dan kebaikan.
- Allah YME telah memerintahkan (hamba-hamba-Nya) berbuat baik dan melarang berbuat buruk, maka bagaimana mungkin Dia akan bertentangan dengan hal tersebut?
Definisi Keadilan
Teori keadilan mempunyai beberapa pengertian, di antaranya:
- Meletakkan sesuatu pada tempatnya.
- Tidak melakukan kezaliman.
- Memperhatikan hak orang lain.
- Tidak melakukan suatu perbuatan yang bertentangan dengan hikmah dan kemaslahatan.
Semua defenisi tentang teori keadilan tersebut juga berlaku bagi Allah. Khusus dengan poin terakhir, hanya Allah-lah yang lebih mengetahui tentang kemaslahatan manusia;
Dalil-Dalil Keadilah Tuhan
Pertama semua perbuatan Allah berdasarkan hikmah, sedangkan perbuatan apa saja yang bertentangan dengan keadilan, maka ia bertentangan dengan hikmah.
Kedua, sesungguhnya menghilangkan peran akal sebagai neraca, berarti menghilangkan semua timbangan.
Dengan kata lain, menolak penilaian buruk dan baik secara akal, berarti menghilangkan eksistensi baik dan buruk selamanya, baik secara akal maupun syariat.
Ketiga, sesungguhnya sebab-sebab yang menyerukan pada kezaliman tidak pernah ada di sisi Allah Swt.
Sebab-Sebab Kezaliman
Kezaliman disebabkan oleh sebab-sebab berikut:
Pertama: kebodohan, kefakiran, dan kelemahan.
Kedua: masalah hak dan permusuhan.
Ketiga: ketidakpedulian dan kejahatan.
Kita sama sekali tidak dapat menisbatkan semua hal tersebut kepada Allah Taala. Selain itu, dengan merenungkan sistem wujud ini, kita akan melihat keadilan dan keseimbangan di dalam setiap dimensinya.
Maka, segala sesuatu di alam wujud ini melaksanakan peranannya secara sempurna. Bumi, misalnya, berputar mengelilingi matahari dengan kecepatan yang stabil.
Rasulullah saw bersabda, Dengan keadilan langit dan bumi berdiri.
Sumber Bencana dan Keburukan
Telah kita katakan bahwa hikmah dan keadilan keduanya adalah hakim bagi alam, dan kita mengemukakan dalil-dalil berkenaan dengan hal itu.
Barangkali ada Yang mempertanyakan, jika ( teori) keadilan dan hikmah keduanya adalah hakim, lalu apa sumber bencana dan keburukan, kelaparan kebinasaan, kebodohan, dan malapetaka yang kita saksikan di aIam ini?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut. Sebaiknya kita membuat tabulasi pertanyaan itu sebagai berikut:
- Kelaparan
- Bencana
- Keburukan
Dan sekarang kita menjawab pertanyaan tersebut dengan sebelumnya mengajukan beberapa pertanyaan seputar hal itu, yaitu:
- Apakah kita mengetahui hakikat-hakikat alam secara sempuma?
- Apakah kriteria hikmah yang tersembunyi dalam pengejawantahan manfaat bagi manusia?
- Apakah sistem penciptaan itu? Apakah ia bersifat spontan atau ia memiliki tujuan?
- Apakah bencana tidak memiliki peran dalam kemajuan manusia dan pendidikannya?
Dari sini, kita dapat mulai mengemukakan jawaban-jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan di atas agar hakikat bahwa alam berdiri berdasarkan hikmah dan keadilan dapat tersingkap.
Pandangan yang Dangkal tentang Hakikat Alam
Patut dikemukakan bahwa pandangan yang dangkal terhadap fenomena-fenomena alam tidak cukup hanya sekedar pemahaman saja.
Fenomena yang kita saksikan di alam ini berupa paceklik, kelaparan, dan krisis faktor penyebabnya berpulang pada ketidak adaan pemahaman yang mendalam.
Kita tidak mengetahui sebagian besar hikmah yang terkandung di balik fenomena-fenomena itu, bahkan kita lalai darinya.
Maka, jika kita memahaminya dari persfektif yang lebih tinggi – horizon Ilahi-, niscaya kita akan dapat membuktikan bahwa fenomena-fenomena itu bebas dari cacat.
Apakah Ukuran Kebaikan dan Keburukan Itu Tersembunyi bagi manusia?
Manusia menganggap dirinya sebagai tolok ukur. Maka, dia memandang sekelilingnya dengan pandangan yang dangkal.
Apa yang dilihatnya bermanfaaat, dia menganggapnya baik. Sebaliknya, jika melihat sesuatu yang mengandung mudarat, dia menganggapnya buruk.
Misalnya, manusia menganggap racun sebagai bencana dan keburukan. Akan tetapi, sebenarnya racun adalah inti hikmah jika dinisbatkan pada ular.
Sebab, racun adalah sarana pertahanan satu-satunya bagi ular. Sebaliknya, ular menganggap manusia sebagai makhluk yang paling berbahaya dan paling jahat.
Jadi, hendaknya kita memandang ular dari ufuk yang tertinggi karena saat itulah akan memungkinkan bagi kita untuk melihat ular pada posisinya yang sesuai, yaitu inti hikmah.
Kesimpulannya, bahwasanya manusia tidak memahami (secara baik dan sebenarnya) hubungan-hubungan yang kompleks yang ada di antara fenomena-fenomena yang beragam, dan dia dalam kelalaian total tentang masa depan alam dan penciptaan.
Dia hanya memandang kepentingan-kepentingannya yang sekarang. Layaknya keadaan orang yang tinggal di pedalaman. Ketika dia memasuki kota dan melihat alat-alat besar yang sedang digunakan merobohkan bangunan-bangunan tua, maka dia menganggap bahwa pekerjaan itu adalah pekerjaan yang tolol.
Dia tidak mengetahui bahwa di balik perobohan bangunan-bangunan tua itu mengandung tujuan dan hikmah.
Manfaat-Manfaat Bencana
Sesungguhnya di balik musibah dan bencana terdapat beberapa manfaat dan dampak dalam perjalanan manusia menuju kesempurnaan.
Pertama, musibah pada hakikatnya adalah lonceng ,peringatan bagi manusia yang membangunkannya dari kelalaian dan keterperdayaannya juga menyadarkannya dari penyimpangan yang terjadi dalam kehidupannya.
Sehingga, dia tidak lagi condong pada kehidupan hampa. Tempat menghabiskan Waktunya hanya untuk bersenda gurau dan bersenang-senang, padahal hal itu dapat menjauhkan dari perangai yang sempurna dan tujuan hidupnya yang tertinggi.
Penyakit juga terkadang dapat membangitkan emosi seseorang dan membangunkannya dari tidurnya, lalu dia bangkit menuju nilai spiritual setelah sebelumnya tenggelam dalam hawa nafsunya.
Kedua, sesungguhnya berbagai kesusahan dan penderitaan adalah tempat peleburan bagi manusia, yang menjadikan keteguhan dan ketabahannya lebih meningkat.
Ketika seseorang tidak pernah merasakan penderitaan, maka kepribadiannya tidak akan mengkristal dalam bentuk yang dikehendaki (sempurna).
Berbagai corak hidup dan penderitaan pada hakikatnya mengantarkan seseorang pada kesempurnaan.
Sebaliknya, bangsa yang hidup dalam kesenangan dan kemewahan semata-mata tidak akan selamanya dalam keadaan seperti itu, bahkan hal itu dapat mengantarkannya pada kehancuran dan kebinasaan.
Ketiga, orang yang tidak pernah merasakan kepahitan hidup, dia tidak akan merasakan manisnya (hidup). Tidak ada orang yang dapat merasakan nikmatnya tidur dan lezatnya makanan kecuali orang yang telah merasakan kerasnya hidup dan kepahitannya serta merasakan penderitaan hidup.
Sebaliknya, orang yang senantiasa hidup di dalam kemewahan dan kesenangan, kehidupannya berubah bak lautan yang beku, yang tidak berombak dan tidak ada pula aktivitas di dalamnya.
Keempat, sesungguhnya pembentukan jiwa menuju kesempurnaan tidak akan terwujud tanpa adanya penderitaan.
Seorang hamba tidak akan dapat mendekatkan dirinya kepada Tuhannya kecuali dengan kemampuan menanggung kesusahan. Diriwayatkan, “Allah mengkhususkan wali-waliNya dengan musibah.”
Kelima, sesungguhnya kebebasan manusia dan kemampuannya tidak teraktualisasi kecuali dengan berani menghadapi berbagai tantangan hidup.
Manusia, melalui pilihan bebasnya (ikhtiyar), memilih kesukaran yang langit dan bumi enggan menerimanya-menyingkapkan akan kemampuan dan kebebasannya.
Sesungguhnya kebebasan manusia dalam memilih jalan yang sukar adalah pilihan yang utama dan menunjukkan kemampuannya menempuh jalan itu yang di dalamnya terdapat ridha Allah Taala.
Keenam, kembali kepada Allah dan bertobat kepada-Nya. Sesungguhnya kesukaran-kesukaran dan tantangan-tantangan itulah yang menimbulkan kesadaran di dalam jiwa seseorang dan ketundukan hati kepada Allah.
Dalam keadaan ini dia dapat menjejakkkan kedua kakinya pada jalan kebenaran.
Maka, adakah yang lebih utama daripada kembalinya seseorang kepada Tuhannya dan Penciptanya?
Catatan Kaki:
Mengacu pada firman Allah Swt., Sesungguhnya Kami telah mengemumkan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia (QS.al-Ahzab [33]: 72.)
- Tulisan di atas disadur dari Buku Berjudul Teori Islam Syi’ah, Kajian Tekstual – Rasional Prinsip-prinsip Islam yang ditulis oleh Sayyid Mujtaba Musawi Lari.
- Buku ini berjudul lengkap Disarat Fi Ushusil Islam yang diterbitkan oleh Markazuts Tsaqqofah al-Islamiyah Fil ‘Alam
- Buku ini kemudian diterbitkan di Indonesia pada April 2004 silam oleh Penerbit Al-Huda yang diterjemahkan oleh Tholib Anis dan disunting oleh Salman Parisi, S.Pdi
Originally posted 2021-01-10 18:59:05.
Salah seorang pakar bisnis atau konsultan bisnis dan konten kreator dan juga Entrepreneur. Suka dengan dunia jual beli serta sangat senang merajut atau knitting.