Tanah Surga…Katanya

Gambar Gravatar
film tanah surga katanya
film+tanah+surga+katanya
Tanah Surga…Katanya
———————————
Sudah menjadi panorama lazim jikalau banyak warga negara Indonesia merantau dan bekerja di Malaysia, sebuah negara yang diklaim selaku serumpun dan sebahasa. Sesuai dengan pepatah menyampaikan rumput halaman tetangga lebih hijau dari rumput halaman sendiri maka banyak orang-orang Indonesia yang bekerja atau bahkan pindah dan menjadi warga negara di sana. Sebuah fenomena yang sering terdengar tetapi tiada pernah tertuntaskan. Untuk itulah film ini sedikit menguak segi kehidupan lain sebuah keluarga di sebuah desa kecil pada perbatasan antara Indonesia dan Malaysia.
Film yang bergenre drama satire ini diproduseri oleh Deddy Mizwar dan Brajamusti yang bersahabat dipanggil Aa Gatot. Istilah satire memiliki arti sindiran terhadap sebuah kondisi atau seseorang. Mereka berdua juga tampil selaku cameo adalah menjadi seorang pejabat dan asistennya yang sedang berkunjung didesa. Herwin Novianto menyutradarai ini sebagai aksi keduanya setelah Jagad x code.
Cerita dimulai dengan kehadiran Haris (Ence Bagus) dari Serawak Malaysia, seorang duda yang memiliki dua orang anak ialah Salman (Osa Aji santoso) dan Salina (Tissa Biani Azzahra). Selama ini Haris bekerja di Serawak dan sesekali baru pulang ke kampung halamannya. Kedua anaknya dititipkan kepada ayahnya yang bernama Hasyim (Fuad Idris) yang sudah sakit-sakitan. Dia yaitu mantan pejuang operasi dwikora adalah perang melawan Malaysia.
Haris mengajak ayahnya untuk pindah ke Malaysia alasannya kondisinya lebih baik dengan adanya fasilitas kesehatan, mudah cari kerja dan lain-lain. Namun Haris menolaknya dengan alasan Indonesia yakni tanah surga dan lebih makmur serta alasan sejarah juga patriotisme bangsa. Haris hanya sukses mengajak Salina saja sedangkan Salman tetap tinggal dengan sang kakek.
Tidak mampu disangkal bahwa keadaan disama lebih buruk dari Malaysia. Di sana tidak ada listrik dan penerangan masih memakai obor tetapi di Serawak telah ada listrik dan lampu. Di sana jalanan masih bebatuan tetapi di Serawak jalanan sudah beraspal. Disana tidak ada toko yang berjualan tetapi di Serawak banyak toko yang menyediakan segala keperluan. Bahkan mata uang disana memakai ringgit mengikuti mata uang Malaysia.
Fasilitas pendidikan juga sangat rendah dengan hanya ada satu guru saja yang bernama Astuti (Astri Nurdin) yang mengajar rangkap kelas tiga dan kelas empat. Bahkan sempat vakum selama satu tahun sebab tidak ada gurunya. Fasilitas kesehatan juga sempat kosong dan untunglah tiba dokter Anwar (Ringgo Agus Rahman) yang diundang dengan istilah dokter Intel. Dokter Anwar sempat naksir pada Astuti sampai-sampai memberikan kado shampo, maklumlah shampo saja susah di mampu di desa tersebut. Keduanya memperlihatkan pengorbanan dan cintanya akan penduduk desa.
Astri Nurdin dapat berperan dengan baik sesuai porsinya sebagai seorang guru yang menunjukkan wibawanya dan bijaknya. Raut muka dan bicaranya cocok selaku orang Melayu. Agus Ringgo bermain biasa-lazimsaja mirip tugas-peran yang dilakoni sebelumnya. Mungkin orang telah sering menyaksikan karakter yang agak lucu dan abjad tersebut melekat juga dalam film ini. Fuad Idris juga cantik dalam memerankan sosok renta yang menyayangi negeri yang bernama Indonesia. Gurat-gurat tampang yang menahan emosi serta kontradiksi batinnya dapat terlihat dengan baik. Osa Aji Santoso terlihat potensinya tetapi masih harus banyak jam terbangnya untuk menjadi aktor cilik berbakat.
Kekurangan dalam film ini adalah tidak tampak murid-murid kelas satu, kelas dua, kelas lima dan kelas enam apa dan bagaimana mereka. Sayangnya sang sutradara kurang mengeksplorasi keindahan alam dan nuansa desa yang seharusnya mampu lebih maksimal. Menurut penulis sudut pengambilan gambar kurang inovatif sehingga beberapa adegan khususnya di malam hari tampakgelap. Juga alur dongeng yang tidak berujung sehingga tidak ada greget selesai yang ingin dicapai.
Kelebihan dalam film ini yakni tema yang diangkat layak diacungi jempol dari pada tema horsex alias horor sexy yang ada selama ini. Jarang sekali film yang mengangkat rasa nasionalisme bangsa dengan cara unik tanpa perang dan darah mirip ini. Termasuk posisi Indonesia digambarkan ”kalah” dalam film ini selaku bentuk sindirin kepada pemerintah pusat, pejabat kawasan dan kita semua. Suatu bentuk kejujuran atas realita yang ada.

Pos terkait