Soegija

Gambar Gravatar
film soegija
film+soegija

Bacaan Lainnya
Soegija
———–
Siapa yang tak kenal dengan nama Garin Nugroho. Tentu semua penonton atau pecinta film akan mengenalnya selaku sutradara papan atas yang sering menerima penghargaan pada bazar-bazar film dalam dan mancanegara. Bahkan mungkin populer selaku penghasil film bernilai seni cantik yang kadangkala secara komersial kurang laku dipasaran.
Film ini dibuat berdasarkan buku karya Budi Subanar yang berisi catatan harian seorang pejuang kemanusiaan yang bernama lengkap Mgr. Albertus Soegijapranata SJ yang umum diketahui dengan nama Soegija atau dalam bahasa sehari-harinya selaku Sugiyo. Beliau yakni seorang pahlawan nasional yang kebetulan berprofesi sebagai uskup agung bahkan seorang uskup pribumi pertama di Indonesia.
Kisahnya sendiri merupakan kisah 8 arah mata angin yang bertemu pada titik tengahnya ialah ihwal Mariyem (Annisa Hertami) yang sebatang kara alasannya adalah ditinggal mati kakaknya, Ling ling (Andrea Reva) yang kesepian alasannya ibunya ditangkap oleh serdadu Jepang, Banteng seorang remaja tanggung yang mencoba menjadi tentara sekaligus mencar ilmu membaca, Nobuzuki (Suzuki) seorang tentara Jepang yang kejam terhadap orang sampaumur tapi tidak tega pada anak kecil, Robert (Wouter Zweers) seorang tentara Belanda yang kejam tetapi terhentak oleh seorang bayi, Hendrick (Wouter Braff) seorang fotografer yang menyayangi gadis Indonesia, personal tambahan adalah figur pemanis misalnya Besut seorang penyiar radio dan Soegija (Nirwan Dewanto) adalah orang kedelapan yang sekaligus berada di titik central yang mempertemukan 8 karakter tsb.
Mariyem bermain cukup elok dengan paras khas gadis desanya yang bisa mengekspresikannya dengan gemilang ketika duka maupun dikala murka misalnya saat makan buah srikaya dan dikala memandikan jasad sang abang. Ling ling bermain lumayan hanya saja banyak shoot-shoot yang diambil dari jauh sehingga kurang menampilkan sosoknya dengan maksimal. Remaja tanggung juga okelah sebagai abjad yang agak ”setengah waras”. Nobuzuki juga pintar memainkan emosinya khas orang Jepang. Robert berperan cukup lumayan. Sedangkan Hendrick menurut aku agak canggung.
Nirwan bermainnya agak kaku dan terlihat kurang plong. Hal ini berlawanan dengan Butet Kartarajasa yang berperan sbg pembantu yang tampaksangat santai dan tanpa beban. Metode yang diambil oleh Garin dalam merekrutnya yaitu aspek kemiripan paras . Kaprikornus wajar saja bila ada kekurangan dalam tokoh ini. Wajah yang tegang dan lisan yang seperti cemberut tentu kurang sedap dipandang mata. Apalagi sosok tokoh ini tampakberbeda ketika ditampilkan diakhir film dengan cuplikan foto asli yang tersenyum dan tertawa. Namun kalau diamati memang sang pemain film Nirwan giginya agak tongos sehingga bila mulutnya tertutup mirip lagi cemberut.
Sayang sekali rentetan foto orisinil dari Soegija di selesai film tidak merepresentasikan jalinan ceritanya. Seharusnya dalam film itu juga menceritakan adegan atau kejadian dalam foto tsb. Misalnya pertemuan dengan Presiden Soekarno. Pertemuan dengan para Jenderal Belanda. Serta akhir hayat Soegija dll. Sehingga penonton bisa diajak terkagum-kagum yang memperlihatkan bahwa ceritanya adalah benar dengan bukti-bukti foto tsb.
Saya tidak menyaksikan film ini sebagai film perang alasannya perang disini hanya digambarkan secara simbolis dan tidak ada ledakan yang heboh juga dahsyat. Tembak-menembak hanya diperlihatkan secara sederhana dan tidak sedahsyat film-film lainnya. Saya tidak melihat film ini sebagai Katolikisasi sebab memang tidak ada unsur rasialisme agama atau permintaan untuk masuk Katolik. Saya juga tidak menyaksikan film ini menuturkan Soegija sebagai seorang pendekar didalamnya sebab memang alur ceritanya hanya memberikan porsi yang sedikit baginya dan tidak memperlihatkan perjuangannya atau bisnisnya untuk menjadi seorang hero. Konon kabarnya film ini berdurasi 4 jam namun dipersingkat menjadi 2 jam. Apakah alasannya adalah aspek ini sehingga film ini terasa kurang maksimal.
Tata sinematografinya pantas diacungin jempol dan juga tata suara serta lagu-lagunya patut diapresiasi. Film ini telah memecahkan rekor MURI dengan jumlah pemain ialah 2755 orang. Juga film dengan pemakaian bahasa terbanyak yakni 6 bahasa, Indonesia, Jawa, Inggris, Belanda, Jepang dan Latin.
Dengan menyaksikan film ini setidaknya aku gres tahu dan mungkin penonton yang lain juga bahwa Sultan Yogyakarta membiayai Presiden Soekarno dan kabinetnya selama ibukota negara pindah ke Yogyakarta.

Pos terkait