(Foto: Istimewa-Majalah Detik) |
Kiprah para warga Tionghoa mengangkat senjata di saat perang kemerdekaan Indonesia merupakan nyata. Sayangnya , dongeng mereka tak pernah tertulis dalam buku-buku sejarah di sekolah.
Absennya kiprah para pejuang Tionghoa dalam buku sejarah di sekolah ini menimbulkan asumsi bahwa penduduk dari etnis Tionghoa hanya berleha-leha dan menjadi penonton pada masa revolusi fisik.
Sekretaris Jenderal Legiun Veteran Republik Indonesia Marsekal Muda (Purnawirawan) FX Soejitno mengungkapkan , kiprah penduduk etnis Tionghoa dalam ketentaraan di Indonesia sejatinya sudah ada sebelum perang kemerdekaan dan selama usaha merebut kemerdekaan. Sebelum Indonesia merdeka , utamanya pada masa pemerintahan kolonial Belanda , banyak warga keturunan Tionghoa yang gotong royong bareng pejuang Indonesia melawan penjajah.
Kiprah serupa terjejak menjelang dan pada permulaan kemerdekaan. Pada masa revolusi fisik menjaga kemerdekaan yang gres diproklamasikan , banyak anggota penduduk keturunan Tionghoa yang bergabung dalam laskar cowok pejuang.
“Karena , sesaat setelah proklamasi , kita kan belum memiliki tentara. Kaprikornus badan-badan usaha yang menjaga kemerdekaan itu ya laskar-laskar cowok ,” tutur Soejitno terhadap Majalah Detik , yang menemui di kantornya , gedung Balai Sarbini , Jakarta.
Ketika pemerintah resmi membentuk serdadu , menyerupai halnya anggota laskar yang yang lain , tak sedikit dari anggota laskar keturunan Tionghoa yang menegaskan kembali menjadi penduduk sipil atau profesi sebelumnya. Sebaliknya , tak sedikit pula yang bergabung dalam institusi tentara.
Peluang warga keturunan Tionghoa menjadi serdadu , Soejitno melanjutkan , juga tidak pernah tertutup atau ditutup. Seperti suku-suku lain di Indonesia , mereka memiliki hak yang sama.
“Sebab , di dunia militer , baik serdadu maupun polisi , tidak ada satu pun hukum atau undang-undang yang menyebut larangan bagi suku atau ras tertentu menjadi anggotanya ,” kata Panglima Komando Pertahanan Udara Nasional pada 1993-1995 itu.
Dia mencontohkan pengalamannya di saat masuk Akademi Angkatan Udara pada 1965. Saat itu , dari sekian puluh ribu pendaftar , yang diterima sekitar 100 orang. Dari jumlah tersebut , empat orang di antaranya merupakan cowok keturunan Tionghoa. Ia mengira minimnya minat penduduk keturunan Tionghoa masuk menjadi serdadu lebih alasannya merupakan kemakmuran yang kurang prospektif daripada menjadi pengusaha.
“Jangankan masuk ke tamtama atau bintara , honor perwira serdadu itu lebih kecil dibanding buka usaha ,” ujar mantan ajudan KSAU itu.
Namun Ivan Wibowo , pengacara yang aktif di forum Jaringan Tionghoa Muda , punya persepsi berbeda. Minimnya minat warga Tionghoa masuk TNI-Polri alasannya merupakan memang ada semacam kebijakan tak tertulis bahwa profesi tersebut , tergolong pegawai negeri sipil , memang tertutup untuk mereka. Hal ini terkait dengan mengenai yang sempat mengemuka dalam Seminar Angkatan Darat II pada 1966 , yang merekomendasikan penggantian perumpamaan Tionghoa dengan Cina.
“Padahal resminya tak pernah ada peraturan yang melarang ,” ujarnya.
Kalaupun di masa Soekarno terdapat rekrutmen besar-besaran dalam ketentaraan yang disertai banyak orang Tionghoa , itu alasannya merupakan ada Operasi Dwikora (konflik dengan Malaysia) dan Trikora (pembebasan Irian Barat) serta banyak sekali pemberontakan di seluruh Nusantara , mulai Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia , Perjuangan Rakyat Semesta , hingga Republik Maluku Selatan. Karena negara butuh banyak serdadu , setiap kandidat sarjana , terlebih dokter , dokter gigi , apoteker , dan insinyur , secara otomatis mesti ikut seleksi jadi tentara.
“Periode ini mungkin merupakan periode di mana orang Tionghoa paling banyak menjadi serdadu alasannya merupakan dimobilisasi lewat gelar akademis ,” ujar Ivan.
Tapi pasca-Gerakan 30 September 1965 dan di saat rezim Orde Baru berkuasa , yang terjadi kemudian merupakan pembatasan-pembatasan , menyerupai tidak diperbolehkannya penggunaan huruf Cina , pelarangan sekolah Cina , dan pengetatan seleksi pelajar Tionghoa yang mau masuk universitas.
Meski begitu , di masa sekarang , Ivan berharap warga keturunan Tionghoa yang memang betul-betul berhasrat menjadi serdadu semestinya mendaftar dan mengikuti cobaan secara fair. Sebaiknya , ungkapnya , tidak eksklusif berprasangka bahwa mereka akan dipersulit atau tidak boleh masuk tentara-polisi.
“Kalau memang tidak ada yang diterima , gres layak protes. Kalau sudah diterima , pasti mesti berprestasi. Minimal mesti paling berani di medan perang. Bintang itu diperebutkan , bukan diberikan ,” ujarnya.
*) Isi dari postingan ini sudah diangkut dalam Majalah Detik Edisi 114 yang terbit 3 Februari 2014
sumber
news.detik.com
Seorang pakar sosial budaya yang aktif pada berbagai kegiatan sosial kemasyarakatan. Telah menempuh pendidikan di salah satu universitas swasta terbaik di Indonesia yang mengambil jurusan sosial budaya.