Tulisan ini kami ambil dari catatan yang di publikasikan oleh Mbak Titik di blog kartitiani.wordpress.com , kayaknya memukau , sengaja kami suguhkan terhadap pembaca , agar ada hikmah dan berharga 🙂
Lanskap sawah di Batutumonga sumber: kartitiani.wordpress.com |
ceritanya bermula dari ….March 21 , 2014
Kemarin sore aku buka email dari Mbak Dinny Jusuf , founder Toraja Melo. Katanya singkat:
Hello Titik , Danny sedang mengukir tanah lagi! Tengokin ya setahun lagi.
Salam dari kampung di atas awan!
Hah , kampung di atas awan! Itu rumah Mbak Dinny di Batutomonga , Toraja. Terbayang kembali , hangat kopi toraja yang kami (saya , Risang Yuwono , Anda , Fahmi , dan David Valentino) nikmati senja itu. Sebuah teras yang terletak di lereng bukit , dan memang awan menyerupai berlangsung di kaki kita. Kopi toraja yang dipetik dari tanah di kaki kami , di antara hamparan padi bertingkat , padi organik yang dibudidayakan petani di Toraja.
Sampai aku bilang , jikalau sudah menyaksikan bagaimana hamparan padi di Toraja , maka keindahan padi di tanah lain melalui deh. Seperti juga di saat sudah menyaksikan bahari di Wayag , Raja Ampat , maka lau-laut lain jadi menyusut keindahannya. Tentu subyektif.
Oh ya , Danny yang dimaksud merupakan Pak Danny Parura , suami Mbak Dinny. Pengacara yang suka merancang taman. Saya pernah memotret karyanya. Bukan cuma alasannya keindahan taman , tetapi proses bagaimana konsep taman itu dibangun , menyebabkan aku beberapa kali mesti terpikat dan berupaya untuk tidak berlebihan di saat menuliskan untuk Home Garden. Konsep taman yang tak biasa , terinspirasi dari terasering padi Toraja.
Kembali ke Toraja dan teras itu. Perjalanan yang tidak aku duga , aku dapat hingga ke sana. Toraja dalam pikiran aku senantiasa identik dengan tongkonan , atap berlekuk , yang aku pun tak pernah memimpikan untuk melihatnya secara langsung.
tongkonan kartitiani.wordpress.com |
Sampai malam itu , bis menenteng saja perjalanan 8 jam dari Bandara Hasanuddin , Makasar ke Toraja. Perjalanan itu aku tempuh sendirian , alasannya tim lain sudah duluan. Setelah berjam-jam , nyaris tak percaya dengan bis yang ngetem di Terminal Daya (Makassar) , dan juga tujuan yang menurut aku tak lengkap alamatnya itu , aku pun menyaksikan tongkonan itu dari beling jendela bis.
Tongkonan pertama yang aku lihat berupa siluet , di antara bulan perak bundar malam itu. Dengan iringan lagu berbahasa Toraja yang aku tidak paham , disetel hebat keras di bis itu , mata aku tiba-tiba mengalir. Malam abu-abu itu menyusup sunyi dalam diri saya.
Itu permulaan dari rasa aku memasuki gerbang Toraja. Perjalanan kemudian , 4 hari , memang tak cukup untuk mengerti tanah yang misterius itu. Perjalanan aku untuk mencatat tentang tenun , kopi , padi , dan wanita , memberi aku banyak makna. Betapa keindahan itu disusun dengan banyak warna piksel. Tentu saja , tak semua piksel itu merupakan warna yang manis. Tergantung kita mau mengingat segi mana.
Di teras itu , Mbak Dinny bercerita panjang lebar tentang tenun toraja. Bahwa selembar benang bukan sekadar anyaman , tetapi ada perjuangan , strata , hingga peliknya perjalanan sehelai benang.
sumber:
TORAJA , SETIAP INCI TANAHNYA BERNAPAS
kartitiani.wordpress.com
Seorang pakar sosial budaya yang aktif pada berbagai kegiatan sosial kemasyarakatan. Telah menempuh pendidikan di salah satu universitas swasta terbaik di Indonesia yang mengambil jurusan sosial budaya.