Sejarah Dan Budaya: Toraja – “Kota Orang Mati Yang Hidup”

Gambar Gravatar
“TORAJA KOTA ORANG MATI YANG HIDUP”
Oleh , Stanislaus Sandarupa
Dalam suatu wawancara yang dijalankan Televisi Fox , The History Channel dari Amerika Serikat , dengan penulis baru-baru ini , salah satu pertanyaan memukau yang diajukan terhadap saya merupakan apa yang menghasilkan Toraja menjadi suatu budaya unik di dunia?
Jawaban saya singkat saja , mirip yang tertuang dalam judul di atas , dengan ciri , Toraja “as the town of the living dead persons” di tengah masa globalisasi dan masa postmodernisme. The History Channel dari TV Fox mencari 12 episode rites of passage dari banyak sekali penjuru dunia yang hendak ditayangkan pada Mei mendatang. Toraja dan Minangkabau mewakili Indonesia.
Kebanyakan orang beropini keunikan budaya Toraja merupakan upacara kematian. Pendapat ini kurang sempurna alasannya merupakan upacara maut dengan tingkat klarifikasi terperinci yang tinggi ada di mana-mana , mirip upacara pemakaman Pak Harto atau upacara pemakaman di Bali dan Sumbawa. Keunikan budaya Toraja bahwasanya terletak pada keyakinan dan praktik-praktik budaya yang memperlakukan orang mati itu hidup atau tidak mati. Dan ini cuma ada dan terjadi di Toraja.
Orang Toraja memiliki satu metode keyakinan yang disebut Alukta. Agama ini sering disebut Aluk Todolo untuk menggambarkan bahwa agama ini orisinil ciptaan leluhur orang Toraja. Disadari atau tidak , satu persepsi yang masih dianut dan dipraktikkan oleh nyaris seluruh penduduk Toraja merupakan persepsi wacana kehidupan yang berputar (cycle).
Manusia berasal dari langit , turun ke Bumi “kehidupan di Bumi” dan kembali lagi ke langit sehabis lewat transformasi. Pandangan ini terlihat dalam semua faktor budaya Toraja. Misalnya , dalam lagu-lagu sedih (badong) narasi bergerak dalam tema ini: insan lahir di langit , turun ke Bumi dan kembali lagi ke langit (ossoran). Rumah tongkonan dan lumbung alang diresmikan mengikuti gerakan dari selatan ke utara hingga titik zenit tertinggi atau sebaliknya , dari utara ke selatan (puya) , kembali ke langit tertinggi.

Orang Sakit
Kalau Anda berjalan-jalan di Toraja di sekarang ini , Anda akan menyaksikan bendera putih di depan jalan dekat rumah seseorang dan hal ini sanggup didapatkan dari kampung ke kampung. Bendera putih mengambarkan ada orang sakit dalam rumah yang disebut ‘to masaki ulunna’ ,orang yang kepalanya sakit atau ‘to makula’ orang yang panas..
Namun , yang dimaksud dengan orang sakit di sini merupakan orang mati yang hidup. Keadaan ini gampang didapatkan alasannya merupakan kini ini orang sakit yang sedang menanti upacara ada puluhan , bahkan mungkin ratusan jumlahnya.
Ungkapan-ungkapan ini dan bendera-bendera putih menunjuk pada orang yang secara biologis telah mati namun dari sudut budaya Toraja selaku orang yang sakit. Ungkapan-ungkapan metaforis tersebut bersifat ambigu. Ia mengandung makna panik akan kekuatan alam mistik , tetapi pada di saat yang serupa juga berisi kehendak untuk menguasainya.
Sebagai orang sakit ia dimasukkan ke dalam peti sementara dan ditidurkan di kamar tidur ruang selatan rumah tongkonan yang disebut ‘sumbung’. Dia ditidurkan dengan kepala mengarah ke matahari terbenam dan kaki ke matahari terbit , layaknya mirip cara orang hidup sedang tidur.
Karena dianggap masih berada di alam kehidupan , tiga kali sehari ia mendapat makanan dan minuman (pagi , siang , dan malam). Yang menenteng makanan senantiasa berkata ,”bangunlah nenek , makanan dan minumanmu telah ada.” Pada siang hari dan utamanya pada malam hari , anggota keluarga dan para tetangga berkumpul di dalam rumah bercerita sambil bermain domino dan minum kopi mudah-mudahan tahan begadang. Kalau telah letih , mereka tidur di sekeliling si sakit.
Sambil menanti pelaksanaan upacara , si sakit dibaringkan di atas rumah selama berminggu-minggu , berbulan-bulan , bahkan beberapa tahun , bergantung pada kesediaan keluarga untuk melakukan upacara. Ada yang telah disimpan selama berbulan-bulan , ada yang beberapa tahun , umpamanya enam tahun , bahkan ada yang pernah lebih dari dua puluh tahun.
Dalam suasana demikian , orang luar sering sukar membedakan mana rumah dan mana kuburan. Untuk orang Toraja , kuburan orisinil disebut ‘banua tang merambu’ (rumah tanpa asap) alasannya merupakan di dalamnya tidak ada dapur. Dapur merupakan simbol kehidupan.
Alasan menyimpan si sakit berlama-lama , mirip beberapa komentar dari keluarga , merupakan mudah-mudahan anggota-anggota keluarga sanggup melakukan upacara dengan sempurna dan baik sesuai dengan strata sosialnya. Para anggota keluarga mesti punya waktu mencari duit untuk beli babi dan kerbau yang hendak dikorbankan nanti apabila upacara telah dimulai. Alasan kedua , mudah-mudahan semua anggota keluarga sanggup hadir alasannya merupakan “seperti yang diketahui” banyak anggota keluarga yang merantau.

Orang Tidur
Tibalah waktu upacara. Upacara untuk orang dengan strata sosial tinggi dijalankan sebanyak dua kali. Upacara pertama (aluk pia) berjalan selama lima malam , sedang yang kedua (aluk dio rante) selama dua malam , meskipun yang kedua ini biasa juga berjalan berhari-hari. Antara upacara pertama dan kedua kerap kali ada deadline tenggang yang lamanya sanggup berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun.
Sebagai rite of passage , ritus utama tetap bertumpu pada rancangan “ka’tu” (putus) yang dimainkan pada banyak sekali simbol , yakni mematikan dan menggugah , yang rampung dengan memutuskan. Sejumlah upacara dilakukan. Mulai dari upacara mematikan , ditandai dengan pemindahan mayit ke ruang tengah tongkonan dengan kepala menghadap selatan dan kaki ke utara (allo leko’na) , hingga upacara “ma’parempe’” yang pada dasarnya menguburkan mayit di cuilan selatan ruang tengah (sali).
Si sakit kemudian disimpan di atas rumah menanti upacara kedua (aluk dio rante). Bisa dalam hitungan bulan atau tahun , bergantung kesiapan keluarga. Pada titik ini selain gelaran orang sakit , ia juga digambarkan selaku “to mamma’ lan kulambu manikna” (orang tidur dalam kelambu kalung emasnya). Ia tetap diperlakukan selaku orang hidup dengan memberinya makan tiga kali sehari.
Ketika upacara kedua dilaksanakan , ritus pertama yang dijalankan merupakan “Ma’tundan” , yakni membangunkan beliau dari tidurnya. Lalu posisinya diubah ke posisi mati (to tungara). Sejumlah ritus dijalankan diikuti dengan korban binatang babi dan kerbau.
Berbagai upacara yang mengikutinya , hingga upacara “ma’pasonglo’” , yakni melakukan prosesi ke kawasan upacara terakhir (rante) , merupakan tahap-tahap rite of passage yang memutus kekerabatan (ka’tu) dengan rumah tongkonan dan lumbung. Dia secara simbolis dipastikan dari rumpun keluarga (sang rapu , sang tongkonan).
Tetapi , ia dipastikan dari kampung halamannya bukan untuk pergi selamanya. Ia diperlukan menjadi nenek moyang yang aktif membangun kekerabatan kembali dengan orang hidup dan utamanya diperlukan akan kembali melipatgandakan apa yang telah dikorbankan untuknya (sule ma’bolloan barra’).

Orang Mati Yang Hidup
Dari uraian di atas tampaklah bahwa keunikan budaya Toraja terletak pada persepsi yang berhubungan dengan human agency , keagenan insan (Giddens , 1990 , Central Problems in Social Theory) dalam mengatasi kekuatan-kekuatan alam gaib. Tetapi , uniknya , mereka tidak tunduk pada alam mistik khususnya yang berhubungan dengan kekuatan-kekuatan supernatural.
Ada kekaguman , ketercengangan , bahkan panik dihadapannya , tetapi ada upaya mengontrolnya dan bersahabat dengannya. Manusia sanggup menertibkan alam mistik (arwah). Dan , inilah yang membedakannya dengan ‘agama besar’ yang lain , dengan insan senantiasa tunduk di depan Sang Ilahi.
Ini pulalah yang menerangkan mengapa orang mati diperlakukan selaku yang hidup. Orang mati tidak pernah mati , tetapi senantiasa hidup. Bukan cuma selaku suatu persepsi hidup , melainkan sesuatu yang masih dipraktikkan sekarang. Mereka sungguh dekat dengan si sakit , bahkan tidur bersamanya. Di Toraja utara , apabila pasangan hidup mati sang istri atau sang suami tidur bareng si mati di ranjang yang serupa dalam satu kelambu. Mirip kisah Romeo dan Juliet.
Jangan kaget! Toraja memang menyerupai suatu kota yang dihuni oleh orang mati yang hidup.
Oleh: 
Stanislaus Sandarupa , Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin , Anggota Asosiasi Tradisi Lisan.
***Tulisan ini pernah diterbitkan oleh Kompas.

Sumber :
groups etnohistori
Untitled 3DAYAK

Seorang pakar sosial budaya yang aktif pada berbagai kegiatan sosial kemasyarakatan. Telah menempuh pendidikan di salah satu universitas swasta terbaik di Indonesia yang mengambil jurusan sosial budaya.

Pos terkait