Sejarah Dan Budaya: To Pada Tindo (Sejarah Terbentuknya Di Tondok Lepongan Bulan)

Gambar Gravatar
TO PADA TINDO ; “UNTULAK BUNTUNNA BONE , ULLANGDA’ TO SENDANA BONGA”
By EP on Tuesday , December 2 , 2014 at 7:47am
Sekitar kurun ke-15 , sejumlah pedagang-pedagang barang porselen , tenunan dan banyak sekali pelengkap emas masuk ke Tondok Lepongan Bulan. Mereka lewat wilayah selatan dan pedagang pertama yang beken merupakan pedagang besar Jawa yang berjulukan Puang Rade’ (versi lain Raden). Orang inilah yang mengajari penduduk Toraja cara menempa emas yang disimpan oleh aristokrat Toraja , dan mulai di saat itu juga emas tdl lagi dijual dalam bentuk bijih emas (Bulaan Bubuk) tetapi sudah dalam bentuk perhiasan.
Puang Rade’ banyak meninggalkan pengikutnya dan kawin mawin dengan aristokrat di Toraja yang usang kelamaan turut mengambil peranan dalam masyarakat. Namun kedatangan pedagang Jawa ini tidak berjalan usang sebab kompetisi dengan pedagang asal Bugis yang memasuki Toraja sehabis mendengar bahwa aristokrat Toraja banyak menyimpan bijih emas.
Setelah putus hubungan dengan pedagang asal Jawa sekitar permulaan kurun ke-16 maka mulailah pedagang Bugis memasuki wilayah Toraja utamanya pedagang dari Bone , Sidenreng dan Luwu’ sebab mengenali bahwa aristokrat Toraja banyak menyimpan bijih emas yang ditukar dengan porselen , tenunan halus dan bentuk pelengkap emas oleh pedagang asal Jawa.
Masuknya pedagang asal Bugis bersama-sama dengan berkembangnya Kerajaan Bone di bawah pimpinan Arung Palakka yang mulai menaklukkan Kerajaan – Kerajaan kecil di wilayah dataran Bugis , maka pada pertengahan kurun ke-17 (1675) pasukan Arung Palakka juga menginvasi Tondok Lepongan Bulan dan terus menduduki wilayah belahan selatan. Kedatangan invasi Bone ini dipahami dengan “Kasaeanna To Bone”.
Dengan masuknya prajurit Arung Palakka dan pedagang Bugis ini , dan menguasai sebagian besar Tondok Lepongan Bulan bertahun-tahun lamanya , maka ada beberapa sendi budaya Bugis yang dipraktekkan dalam penduduk Toraja antara lain permainan judi dengan menggunakan Dadu dan Kartu (Buyang) , sebab yang sudah dipahami penduduk Toraja merupakan Silondongan (Sabung Ayam) dan Sire’tekan (Loterei). Judi dadu dan kartu kemudian mulai diminati oleh aristokrat di Toraja.
Disamping menanamkan permainan judi tersebut , imbas dari Arung Palakka makin berefek dan ditakuti sejak adanya perjanjian koordinasi serta komplotan yang diadakan oleh seorang aristokrat Toraja yakni Pakila’ Allo atau Pong Bu’tu Bulaan dari Randan Batu , yang bersekutu membuka tempat-tempat perjudian dan dijaga oleh pasukan Arung Palakka.
Munculnya Topada Tindo :
Dengan meluasnya wilayah yang dikuasai oleh pasukan Arung Palakka dan Pakila’ Allo yang terus mengadakan arena perjudian , jadinya mulai terjadi kekacauan , pencurian dan pengutamaan kepada aristokrat yang tidak senang dengan judi. Hal ini berjalan bertahun-tahun sehingga membuat impian untuk melawan pasukan Arung Palakka dengan apalagi dulu mematahkan kekuatan Pakila’ Allo.
Ide perlawanan ini timbul dari seorang aristokrat dari Randan Batu yakni Pong Kalua’. Untuk maksud ini , Pong Kalua’ berpura – pura mengawini adik Pakila’ Allo , sebab sanggup dengan mudah mengikuti jejak Pakila’ Allo sementara itu ia pun membentuk komplotan dengan orang lain untuk membunuh Pakila’ Allo. Hingga suatu waktu mereka berupaya membunuh Pakila’ Allo , akan tetapi Pakila’ Allo cuma luka ringan. Kemudian Pong Kalua’ menyebarkan obat yang sudah diaduk dengan racun (Ipo) , dan diletakkan di atas luka Pakila’ Allo sehingga Pakila’ Allo tewas seketika. Setelah Pakila’ Allo meninggal , maka para aristokrat kemudian menyusun kekuatan untuk melawan pasukan Arung Palakka yang tersebar di Toraja.
Persekutuan ini dipahami dengan nama Topada tindo , tomisa’ pangimpi (persatuan yang seia sekata , dan satu cita – cita) dengan semboyan “Misa’ Kada dipotuo , pantan kada dipomate” (Bersatu kita teguh , bercerai kita runtuh) dan perlawanan ini disebut “Untulak Buntunna Bone , Ullangda’ To Sendana Bonga” (menentang imbas dan kekuasaan Bone). Persekutuan ini dipelopori oleh 3 orang masing-masing :
  1. Siambe’ Pong Kalua’ dari Randan Batu
  2. Siambe’ Pong Songgo dari Limbu , Sarira
  3. Tominaa Ne’ Sanda Kada dari Limbu selaku juru penerangan.
Berkat pemberian dan persatuan dari aristokrat Toraja maka mereka sukses menaklukkan dan mengusir pasukan Arung Palakka pada tahun 1680 , sehabis mengadakan perlawanan beberapa usang hingga ke wilayah Bambapuang.
Di wilayah Bambapuang , seluruh pemimpin dan anggota Topadatindo mengikrarkan suatu komitmen dan sumpah yang disebut Basse Kasalle :

“Tangla kendek penduan pentallun to Bone la ma’takinan la’bo’ ma’tetangan mataran , apa mintu’na mataranna sia pabenga’na lakendek pasiu’ sando pakengke lalipan kedenpi to laullutu tombang lili’na Tondok Lepongan Bulan dst……”

yang artinya merupakan :
“Orang-orang Bone tidak akan tiba lagi untuk kedua kalinya untuk memerangi Toraja dst…….”
Dengan selesainya Basse Kasalle Lepongan Bulan , maka kekacauan di Tondok Lepongan Bulan selsai dan disebut 

“Manda’mi salli’na Tondok Lepongan Bulan , Bintinmi Gonting Babanganna Tana Matarik Allo” 

Bacaan Lainnya
artinya: pintu Tondok Lepongan Bulan sudah tertutup rapat dari gangguan luar. Pembacaan ikrar ini dibarengi dengan Upacara kemenangan Topadatindo Tomisa’ pangimpi di Bambapuang. Menurut sejarah seorang Imam Tominaa Ne’ Tikuali dari Ba’tan mengucapkan doa dan sumpah sakti dengan didampingi oleh Banggai dari Salu.
Sejak berakhirnya pertempuran antara Topadatindo dengan pasukan Arung Palakka , maka dalam bertahun-tahun tidak ada hubungan antara Tondok Lepongan Bulan dengan Bugis (Bone dan Sidenreng). 
Dengan putusnya hubungan itu maka muncullah seorang aristokrat dari perbatasan Tondok Lepongan Bulan di wilayah selatan yang berjulukan Puang Kabere’. Ia mengadakan hubungan dengan kedua wilayah tersebut untuk mempertemukan nasehat , dan menghasilkan perdamaian hubungan antara Tondok Lepongan Bulan dengan Bugis. Adapun perjanjian ini berbunyi “

“Dilenten Tallo’ tama Bone tang rassak tang beluakan anna di sorong pindan tama Lepongan Bulan tang ramban tang unnapa”

Artinya :
“Hubungan kedua wilayah tersebut baik dalam segala hal yakni orang Bone bebas keluar masuk ke Toraja demikian pula sebaliknya orang Toraja tak akan diusik jika masuk ke Bone”
Pertemuan untuk mengadakan perjanjian tersebut diadakan di perbatasa Toraja dengan Bugis yakni wilayah yang berjulukan Malua’ sehingga perjajian ini disebut “Basse Malua’” dimana Bugis diwakili oleh delegasi raja Bone dan Arung-Arung dari Sidenreng , dan Tondok Lepongan Bulan diwakili oleh pemimpin Topadatindo. 
Sejak itu hubungan kedua wilayah pulih kembali dan pada permulaan kurun ke-18 pedagang Bugis kembali masuk ke Toraja dan aristokrat Tondok Lepongan Bulan banyak mencar ilmu pada raja di Bugis wacana aturan pemerintahan dan ilmu perang. Mereka saling bertukar benda pusaka selaku rasa persaudaraan antara mereka. 
Bangsawan dari Tondok Lepongan Bulan juga mengantarkan belum dewasa mereka untuk mencar ilmu memanfaatkan senjata-senjata api yang sudah ada di Bugis dan ini berlangung hingga pertengahan kurun de-19. Pada di saat senjata api banyak dimiliki oleh aristokrat Tondok Lepongan Bulan maka mulailah terjadi perang kerabat dan penjualoan budak untuk ditukar dengan senjata api.
Perang terjadi dimana-mana diantara para aristokrat , dan menghasilkan beberapa aristokrat Tondok Lepongan Bulan bersekutu dengan pemimpin Bugis sekaligus mengadakan penyewaan prajurit dan alat persenjataan untuk melawan sesama aristokrat di Tondok Lepongan Bulan. 
Datangnya para andal perang Bugis ke Tondok Lepongan Bulan atas usul aristokrat Toraja dipahami dengan munculnya Ande-Ande Guru di Toraja. Seorang panglima perang dari Bone yang sungguh beken nernama Petta Punggawae , disamping seorang dari Sidenreng yang berjulukan Wa’ Situru’ yang sungguh usang tinggal di Toraja dan oleh sekutunya diberi gelar “Ande Guru”.
Kedatangan pemimpin perang Bugis tersebut merupakan dalam rangka perang Kopi di Toraja sekitar tahun 1889 – 1890 , yakni perang terbuka antara pedagang Kopi dari Bugis Sidenreng dan Sawitto melawan pedagang dari Luwu’ dimana masing-masing bersekutu dengan aristokrat di Toraja. 
Setelah Perang Kopi selsai tanpa ada yang dinyatakan kalah , sebagian Ande Guru kembali tergolong Petta Punggawae dan ada yang tinggal mengikuti perang kerabat tergolong Wa’ Situru’ bahkan ada yang kemudian menikah dengan aristokrat Toraja. Perang kerabat yang tiada henti-hentinya ini berjalan hingga masuknya prajurit kolonial Belanda pada tahun 1906 dan bermarkas di Rantepao pada bulan Maret 1906.
Sumber : 
eddypapayungan
sejarah-dan-budaya-toraja
Untitled 3DAYAK

Seorang pakar sosial budaya yang aktif pada berbagai kegiatan sosial kemasyarakatan. Telah menempuh pendidikan di salah satu universitas swasta terbaik di Indonesia yang mengambil jurusan sosial budaya.

Pos terkait