Sejarah Dan Budaya: The Last Bissu

Gambar Gravatar
Ancik2CbissumudayangdiharapkanTheLastBissu01 480x330 1
The Last Bissu

BY KATHLEEN AZALI

Bacaan Lainnya
Ancik%252C%2Bbissu%2Bmuda%2Byang%2BdiharapkanTheLastBissu01
Ancik , bissu muda yang diharapkan. sumber library.net
Sutradara: Rhoda Grauer | Tahun produksi: 2004 | Produser: Shanty Harmayn | Kamerawan: Dudit Widodo , Yudi Datau | Musik: Rahayu Supanggah
Film dokumenter The Last Bissu yang disutradarai oleh Rhoda Grauer ini , memberi kita citra singkat perihal bissu dan kaitannya dengan penduduk Bugis. 
Diputar di C2O Sabtu kemudian , 30 Oktober 2010 , pemutaran didatangi sekitar 20 penonton , bareng Soe Tjen Marching dan Pak Dédé Oetomo hadir selaku pembicara.
Bissu yakni pendeta Bugis di Sulawesi Selatan , yang dahulu utamanya berperan selaku penjaga para raja dan kerajaan di Sulawesi Selatan. Mereka menyelenggarakan ritual-ritual bagi para aristokrat dan mengurusi pusaka suci kerajaan , arajang. Dalam melaksanakan kesibukan tersebut , mereka mengenakan busana androgin yang menonjolkan variasi atribut pria dan perempuan. Bissu dihubungkan dengan tradisi pra-Islam , dan pertama kali masuk dalam catatan tertulis orang Barat dengan kunjungan Antonio de Paiva ke Sulawesi di tahun 1545.
Puang%2BMatoa%2BSaidi%2Bmemberkati%2BarajangTheLastBissu06
Puang Matoa Saidi memberkati arajang. Sumber: library.net
Hanya bissu yang diandalkan sanggup kerasukan arwah dewata untuk kemudian memberi berkat , lantaran dianggap merepresentasikan baik laki-laki/perempuan , mortal/dewata. Untuk menghidupkan arwah , mereka mesti menyelenggarakan ritual yang cukup rumit dengan musik , sesajen , dan tarian. Jika arwah sudah terbangun dan memasuki raga mereka , mereka kemudian menghujamkan keris-keris pusaka leher , atau telapak tangan dan dahi. Keberadaan arwah dalam raga menghasilkan mereka kebal–hanya bissu yang kebal berhak untuk menyediakan berkat , mulai dari upacara kelahiran , kematian , kesuburan desa , sampai berkat untuk pergi naik haji ke Mekkah.
Fenomena transvesti yang berafiliasi dengan seni pertunjukan atau ritual sudah sejak usang mengakar di banyak sekali kalangan etnis di Indonesia. Soe Tjen menyodorkan bahwa di Bugis , ada lima gender , sebagaimana ditulis oleh Sharyn Graham Davies dalam buku Gender Diversity in Indonesia: Sexuality , Islam and queer selves , yaitu: oroane (maskulin) , makkunrai (feminin) , calalai (perempuan maskulin) , calabai’ (laki-laki feminin) , dan bissu yang dianggap mewakili semuanya. Pertanyaannya yakni , akankah pengkategorian yang lebih banyak ini justru membuat peraturan-peraturan yang lebih ketat?
Kini , sebagaimana digambarkan dalam film ini , kebanyakan dianggap bahwa bissu yakni banci pria , walaupun bissu wanita juga timbul dalam mitos-mitos Bugis. Belum lagi , perbedaan antara “bissu” selaku profesi dan “waria” selaku gender terlihat kian terkikis di Sulawesi Selatan. Banyak orang-orang yang disebut “bissu” dalam realita melakukan pekerjaan untuk merias pengantin atau dukun , tidak lewat upacara dan dianggap “bukan banci suci”. Dalam film terbuat tahun 2004 ini , dibilang mungkin cuma ada delapan bissu orisinil yang tersisa di Bugis.
Pada upacara tahunan penyucian pusaka arajang , bissu berhak menyeleksi raja berikutnya. Di kerajaan Bone , diandalkan ada tiga pemimpin: Raja Bone , Puang Matoa selaku pemimpin tradisional , dan Imam selaku pemimpin agama Islam. Selama beberapa ratus tahun , ritual-ritual berdampingan dengan keyakinan Islam yang sekarang nyaris dianut oleh siapa saja Bugis. Namun di pertengahan tahun 1960an timbul pergerakan fundamentalis Kahar Muzakar di Sulawesi Selatan. Salah satu komponen dalam gerakan ini , “Operasi Tobat” , berusaha menghapuskan praktik-praktik yang dianggap tidak Islami , salah satunya yakni bissu. Belum lagi , dibilang bahwa bissu melakukan pekerjaan sama dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) , yang waktu itu juga dalam proses dihindari oleh pemerintahan Orde Baru Soeharto. Pusaka kebesaran dibakar atau dibuang ke maritim , dan ritual-ritual dilarang. Para bissu diharuskan meninggalkan profesi bissu , melakukan pekerjaan dan berpakaian seumpama pria “normal” , atau mati. Bahkan kepala bissu dari wilayah Bone , Sanro Makgangke , dipenggal dan kepalanya dipertontonkan ke publik; banyak juga bissu yang lain dibunuh.
Di simpulan tahun 90-an , tabu perihal bissu mulai memudar dan ada upaya revitalisasi praktik-praktik bissu. Ini sedikit banyak juga disebabkan oleh lengsernya Soeharto di tahun 1998 , dan menghidupkan kembali pemujaan susila di seluruh nusantara. Dewan tradisional dibikin , dan bertugas untuk memperbaiki Rumah Adat Arajang di Segeri , dan melantik Puang Matoa. Menurut Pak Dédé , banyak sekali lokakarya digelar , buku-buku perihal bissu ditulis , dan minimal ada dua dokumenter film perihal bissu terbuat oleh orang barat , tergolong The Last Bissu ini salah satunya. Bissu kembali melaksanakan ritual-ritual mereka , walaupun ada banyak sekali kendala. Sawah-sawah luas yang dahulu diberikan ke komunitas bissu untuk penghasilan sudah diambil dari mereka , dan sulit bagi mereka untuk berkumpul—mereka mesti berkeliaran untuk mencari nafkah. Banyak upacara juga mesti diperpendek untuk kepentingan wisatawan.
Saidi terpilih dan dilantik menjadi Puang Matoa. Untuk pelantikannya , Saidi mesti memanggil sendiri bissu-bissu lainnya. Selain itu , ia memiliki tanggung jawab untuk mendapatkan generasi bissu yang mau datang. Harapan para bissu yakni Ancik. Kita menyaksikan bagaimana Saidi tiba meminta restu pada orang tuanya di kampungnya.
TheLastBissu05
Bissu menusuk lehernya dengan keris ,
bajak suci yang sudah ditutupi dengan daun pisang dan sesajen.
Dalam film ini kita juga ditunjukkan proses upacara Mappalili , upacara penanaman padi. Air dari sungai di belakang istana diberkati dan dibawa ke Arajang. Roh dipanggil untuk memasuki bajak suci yang kemudian dibawa keluar dari tempat penyimpanannya , untuk disiram dengan air. Air dari bajak suci ini diandalkan menyembuhkan , menyuburkan , dan menenteng keberuntungan. Bajak suci kemudian dikemas dengan daun pisang dan banyak sekali sesajen. Para bissu kemudian melaksanakan ritual mereka memanggil arwah ke dalam raga , dan menghujamkan keris ke badan mereka.
Keesokan harinya , bajak suci ini diarak ke sawah dan disentuhkan ke tanah biar sawah menjadi subur. Penduduk desa mengguyur para bissu dengan air. Bissu , paduan pria dan wanita dalam satu badan , menjadi perlambang benih hidup baru. Dari film ini , kita sanggup menyaksikan salah satu referensi kecil , betapa beraneka ragam dan cairnya seksualitas dan gender di nusantara kita , dan bagaimana ia dan segala dampaknya juga begitu terkait dengan penduduk sekitarnya.
Sumber : https://c2o-library.net/2010/11/the-last-bissu/

Sebagai materi bacaan , rekomendasi:

Boellstorff , Tom. The Gay Archipelago. Jakarta: Q-munity , 2009. [No. Panggil: 307.76609598 BOE Gay]

Davies , Sharyn Graham. Gender Diversity in Indonesia: Sexuality , Islam and Queer Selves. London dan New York: Routledge , 2010. [No. Panggil: 306.7609598 DAV Gen]
Idrus , Nurul Ilmi. ‘To Take Each Other’: Bugis Practices of Gender , Sexuality and Marriage. PhD thesis , Australian National University , 2004.
Pelras , Christian. Manusia Bugis. Jakarta: Nalar , 2006. [No. Panggil: 959.84 PEL Man]

Untitled 3DAYAK

Seorang pakar sosial budaya yang aktif pada berbagai kegiatan sosial kemasyarakatan. Telah menempuh pendidikan di salah satu universitas swasta terbaik di Indonesia yang mengambil jurusan sosial budaya.

Pos terkait