Pada Era itu nyaris seluruh kawasan di bab selatan Tondok Lepongan Bulan Tana Matarik Allo dalam kondisi berantakan balau (daerah Bamba Puang dan sekitarnya) yang menyebabkan pengaruh dari Puang-Puang makin usang kian menyusut , kondisi yang sedang mengancam peranan Puang-Puang itu terjadi di mana-mana , maka tampillah salah seorang Anak “Puang ri Buntu” berjulukan Tangdilino’ , dan berpindah dari Daerah Selatan ke Daerah Bagian Utara Tondok Lepongan Bulan Tana Matarik Allo , di tempat yang berjulukan “Marinding” selaku seorang penguasa baru.
Tangdilino’ meyakini bahwa cara/aturan Pemerintahan Puang-Puang di bab Selatan sudah tidak lagi memperoleh sambutan Masyarakat , maka disusunlah suatu cara/aturan Pemerintahan gres sekaligus menyatakan melepaskan atau memerdekakan dirinya dari ikatan cara/aturan Pemerintahan dan kehidupan Puang-Puang di bab Selatan.
Tangdilino’ juga memindahkan suatu “Tongkonan/Rumah Adat/Istana Puang” dari selatan (Bamba Puang) ke utara tepatnya di kawasan Marinding , untuk tempat membina/menyusun hukum Pemerintahan dan kekuasaannya. Menurut mitos , salah satu Tongkonan/Rumah-Adat/Istana Pemerintahan tersebut di pindahkan dengan tidak dibongkarnya lebih dulu tetapi cuma disorong saja di atas satu rel kayu yang berguling , tetapi senantiasa singgah-singgah dalam perjalanan , makanya Tongkonan dalam perjalanan itu bernama: “Ramba Titodo”.
- Ramba = menemani/memantau/mendorong/mengusir ,
- Titodo = terantuk-antuk/singgah-singgah
Setelah hingga di Marinding Tongkonan/Istana tersebut di beri nama “Banua Puan” , yang artinya: Kekuasaan dan peranan Puang dipindahkan tetapi tidak lagi menjalankan cara-cara Pemerintahan serta hukum Puang dari selatan , demikian pula Gelar Puang tidak dipergunakan lagi , maka Penguasa-penguasanya memanfaatkan nama “Ma’dika” selaku ganti gelar Puang.

Seorang pakar sosial budaya yang aktif pada berbagai kegiatan sosial kemasyarakatan. Telah menempuh pendidikan di salah satu universitas swasta terbaik di Indonesia yang mengambil jurusan sosial budaya.