Sejarah Dan Budaya: Tana` (Kasta Dalam Budaya Toraja)

Gambar Gravatar
TANA’ (Kasta dalam Budaya Toraja)
Masyarakat Toraja sejak dari dulu mengenal beberapa tingkatan penduduk yang dinamakan Tana` (kasta) , menyerupai halnya pada suku-suku bangsa lain di Indonesia yang sungguh menghipnotis perkembangan penduduk dan kebudayaan Toraja sebab sehubungan dengan lahirnya sendi-sendi kehidupan dan aturan dalam Aluk Todolo , dan Tana’ tersebut dipahami dalam 4 (empat) susunan atau tingkatan masing-masing :
  1. Tana’ Bulaan , yakni lapisan penduduk atas atau ningrat tinggi selaku pewaris sekurang aluk , yakni dipercayakan untuk menghasilkan aturan hidup dan memimpin agama , dengan jabatan puang , maqdika , dan Sokkong bayu (siambeq).
  2. Tana’ bassi , yakni lapisan ningrat menengah selaku pewaris yang sanggup menemukan maluangan batang(pembantu pemerintahan adat) yang diperintahkan mengendalikan dilema kepemimpinan dan pendidikan.
  3. Tana’ Karurung , yakni lapisan penduduk pada biasanya yang merdeka , tidak pernah diperintah langsung. Golongan ini selaku pewaris yang menemukan Pande , yakni ketrampilan pertukangan , dan menjadi Pembina aluk todolo untuk urusan aluk petuoan , aluk tumbuhan yang dinamakan Toindoq padang (pemimpin upacara pemujaan kesuburan).
  4. Tana’ Kua-kua yakni kelompok yang berasal dari lapisan hamba sahaya , selaku pewaris tanggung jawab pengabdi terhadap Tana’ Bulaan dan Tana’ Bassi. Golongan ini disebut juga Tana’ Matuqtu inaa (pekerja) , juga bertindak selaku petugas pemakan yang disebut tomebalun atau tomekayu (pembuat balun orang mati). Lapisan tana’ kua-kua ini dihapuskan oleh pemerintah Indonesia setelah proklamasi kemerdekaan sebab tidak cocok dengan harkat dan martabat manusia. Namun kenyataannya dalam pelaksaaan upacara-upacara budbahasa kelompok ini masih terlihat.
Keempat kelompok lapisan sosial tersebut merupakan dasar atau pedoman yang dijadikan sendi bagi kebudayaan kehidupan sosial penduduk Toraja , utamanya dalam interaksi dan aktifitas penduduk , menyerupai pada di saat diselenggarakan upacara perkawinan , pemakaman , pengangkatan ketua atau pemimpin budbahasa dan sebagainya. Misalnya dalam upacara pengangkatan seorang pemimpin , yang menjadi analisa utama yakni dari kelompok apa orang yang bersangkutanberasal. Kedudukan dalam metode kepemimpinan tradisional berhubungan dengan metode pelapisan sosial yang berlaku dalam serta kepemilikan tongkonan (rumah adat).
Menurut falsafah Aluk Todolo selaku tempat berpijaknya Kebudayaan Toraja menyatakan bahwa adanya tana’ ini yakni berhubungan dengan kiprah dan keharusan insan dalam mengamalkan aluk todolo , makanya mengikuti kelahiran insan sesuai dengan anutan sukaran aluk yang menurut mithos kelahiran insan itu ada 4 (empat) proses yang ditempuh oleh Puang Matua dalam terciptanya nenek insan yang dibilang selaku berikut:
  1. Kelahiran yang pertama merupakan kelahiran atau diciptakannya oleh Puang Matua , Datu Laukku’ lewat Saun Sibarrung.
  2. Kelahiran yang kedua merupakan kelahiran Puang Adang dari perkawinan Bangai Rante dan Tallo’ Mangka Kalena atas suruhan Puang Matua.
  3. Kelahiran yang ketiga merupakan diciptakannya oleh Puang Matua , Pande Kambuno Langi` lewat pula Saun Sibarrung.
  4. Kelahiran yang keempat merupakan diciptakannya Patto Kalembang oleh Puang Matua selaku nenek insan yang terakhir diatas langit.
Keempat nenek insan yang pertama tersebut masing-masing diberi kiprah dan keharusan akan menempati bumi ini. Kewajiban dan kiprah memuliakan Puang Matua yakni :
  1. Datu La Ukku’ menemukan Sukaran Aluk (Agama dan Aturan Hidup)
  2. Puang Adang menemukan Maluangan Ba’tang (kepemimpinan dan kecerdasan)
  3. Pande Pongkambuno Langi’ menemukan Pande (keahlian menyerupai tukang-tukang , luar biasa perang dan ketangkasan dll)
  4. Potto Kalembang menemukan Matutu` Inaa (pengabdi)
Semua kiprah dan keharusan itu merupakan pangkal budbahasa yang dipahami dengan Ada’ A’pa’ Sulapa’ (adat empat dasar) atau Ada’ Apa’ Oto’na yakni budbahasa yang terbagi dalam 4 (empat) kelompok dan susunannya masih terang dalam penduduk Toraja kini ini antara lain:
  • Orang Toraja dalam setiap konferensi keluarga permulaan katanya dalam bermusyawarah itu senantiasa dimulai dengan mencahari tepo a’pa’na
  • Desa di Tana Toraja berdasar pembahagian 4 (empat) yang dinamakan Tepo Padang.
  • Dewan Pemerintahan Adat yakni Dewan Toparengnge’ terdiri atas 4 (empat) orang anggota.
  • Warna pada goresan Toraja cuma berisikan empat macam yakni , merah , putih , kuning dan hitam.
  • Pembagian penjuru bumi dan langit menurut Aluk Todolo sesuai dengan peranannya yakni 4 (empat) penjuru yaitu:
  • Ulunna’ langi’ dengan nama daa atau daya 
  • Pollo’na langi dengan nama Loo’ atau lau’ 
  • Matallona Langi dengan nama Lan mataallo. 
  • Matampu’na Langi’ dengan nama Diong Matampu’ hal ini terang sebab sesuai dengan perjalanan matahari.
Tana’ selaku salah satu dalam pembentukan dan perkembangan kebudayaan Toraja dan banyak menyeleksi tata kehidupan penduduk Toraja , kasta – kasta tersebut menjadi penyelesai utama dalam menyeleksi masalah-masalah penting , antara lain :
  • Dalam menghadapi perkawinan.
  • Dalam menghadapi pemakaman/upacara budbahasa pemakaman.
  • Dalam mengajadapi pengangkatan jabatan budbahasa atau menjadi pemerintah adat.
Dalam perkawinan , seorang peminang sudah apalagi dulu diperkenalkan kastanya oleh tongkonannya , atau memperoleh legalisasi dari pemerintah budbahasa lelaki itu berasal bila tak dipahami keturunannya.
Hal tersebut demikian sebab menurut budbahasa perkawinan dalam budbahasa Toraja tidak boleh seorang lelaki dari Tana Karurung atau Tana’ Kua-Kua kawin dengan wanita dari kasta Tana’ Bulaan atau Tana’ Bassi , kalau ini terjadi maka dikenakan aturan budbahasa yang dijuluki Unteka Palanduan atau Unteka’ Bua Layuk , namun sebaliknya seorang lelaki dari Kasta Tana’ Bulaan atau Tana’ Bassi boleh kawin dengan Kasta dibawahnya , cuma saja tidak sanggup dikawinkan menurut budbahasa , dan anaknya pun yang lahir dari perkawinan kasta yang tidak sama itu atau yang dihentikan itu tak punya kedudukan yang serupa dengan saudara-saudaranya yang lahir dari kasta yang sanggup diterima menurut budbahasa yang hal ini turut pula menghipnotis kedudukan selaku pewaris yang tidak sama dengan saudaranya yang kastanya diterima oleh adat.
Suatu referensi jikalau seseorang Tana’ Bulaan kawin dengan sesamanya Tana’ Bulaan dan terjadi perceraian yang sengaja oleh salah satu pihak maka yang bersalah itu dieksekusi dengan mengeluarkan duit sebuah denda yang dinamakan kapa’ sebanyak kerbau menurut tana’nya yakni tana’ bulaan dengan Kapa’ 24 ekor kerbau yang ukuran tanduknya dibilang dengan ukuran sang pala’ (satu tapak tangan diatas pergelangan) atau kerbau yang berumur rata – rata 2 s/d 3 tahun. Penilaian masing-masing tana’ , sbb:
  • Untuk tana’ bulaan (kasta ningrat tinggi) nilai hukmnya dengan 24 ekor kerbau (tedong sangpala’)
  • Untuk tana’ bassi (kasta ningrat menengah) nilai hukumnya dengan 6 ekor kerbau tedong sangpala’.
  • Untuk Tana’ karurung (kasta rakyat merdeka) nilai hukumnya dengan 2 ekor kerbau tedong sangpala’.
  • Untuk tana’ kua-kua (kasta hamba sahaya) nilai hukumnya dengan 1 ekor babi betina yang sudah pernah beranak namanya bai doko.
Inilah susunan Tana’ permulaan Tana Toraja namun setelah tersebarnya Aluk Sanda Saratu’ dari Puang Tomanurun Tamboro Langi’ (Monarkhi Agama) , Tana’ ini mengalami sedikit pergantian sehingga pelaksanannya seperti cuma terdapat tiga tana’ saja diadaptasi dengan struktur pemerintahan budbahasa puang dan kedudukan puang atau yang berketurunan bangsawan. Karena kedudukannya dan pemerintahannya yang bersifat monarkhistis itu , 
menurut Aluk Sanda Saratu’ , Tana’ dalam dedikasi terhadap aluk sanda saratu’ susunannya sbb:
  1. Tana’ Bulaan cuma khusus bagi turunan Puang Tomanurun.
  2. Tana’ Bassi untuk ningrat yang bukan turunan puang to manurun atau darahnya lebih banyak turunan bukan turunan Tomanurun.
  3. Tana’ Karurung untuk semua rakyat merdeka atau yang tidak berketurunan ningrat yang kesemuanya digolongkan dalam kelompok kasta pengabdi terhadap Tana Bassi dan Tana’ bulaan.
Jadi menurut susunan kasta dalam kode aluk sanda saratu tidak ada rakyat merdeka yang bahu-membahu sebab semua rakyat yang tidak berdarah ningrat dinyatakan selaku pengabdi terhadap tana’ bassi dan tana’ bulaan semata-mata.
Tetapi menurut sejarah kawasan budbahasa kapuangan , sebelum tersebarnya aluk sanda saratu’ dahulunya juga memakai 4 (empat) susunan tana’ tersebut secara murni sama dengan kawasan budbahasa Toraja yang lain , yang masih mempunyai peninggalan-peninggalannya hingga kini ini menyerupai di kawasan Lion Rorre , dari Makale , kawasan budbahasa Kapuangan Basse Kakanna masih memanfaatkan susunan 4 (empat) kasta atau Tana’ tersebut di atas , begitu juga di kawasan Batu Alu di Sangalla’/daerah budbahasa kapuangan Basse Tangngana masih memanfaatkan pula keempat susunan Tana’ tersebut di atas.
Di samping menjadi pedoman dalam hal perkawinan dan penyeleksian Pemerintah adat/pemangku budbahasa Tana’ , Tana’ tersebut di atas juga menjadi dasar analisa seseorang di penduduk pada waktu orang itu meninggal dunia. , sebab Tana’ ini turut menyeleksi tingkatan upacara pemakamannya. Dalam pelasanaan upacara pemakaman (rambu solo’) banyaknya binatang yang hendak diiris selaku korban bergantung diadaptasi dengan kelompok sosial yang mengadakan upacara. Misalnya kelompok tana’ bulaan , selaku lapisan sosial tertinggi , mesti mengorbankan lebih banyak binatang dibandingkan golonagan sosial lainnya. Hewan yang hendak diiris mesti dalam kondisi sehat , tubuhnya besar/gemuk , dan tanduknya panjang. misalnya seseorang dari Kasta atau Tana’ Bassi tidak sanggup dimakamkan dengan upacara pemakaman Tana’ Bulaan sekalipun keluarganya bisa mengadakan kurban yang memadai upacara Tana’ Bulaan yang dinamakan Rapasan , namun sebaliknya pula bahwa seseorang dari Kasta Tana’ bulaan sanggup saja dimakamkan dengan upacara apapun hingga serendah-rendahnya sebab tidak berkemampuan dalam antisipasi kurban dan biaya-biaya pemakaman yang tinggi.
Adat Tana’ turut menyeleksi kelompok kasta yang hendak menjabat setiap jabatan budbahasa yang garis besarnya selaku berikut:
  • Kasta atau tana’ Bulaan yakni kasta yang menjabat ketua atau pemimpin dan anggota pemerintahan budbahasa misalnya jabatan Puang , Ma’dika , dan Sokkong Bayu (Siambe’).
  • Kasta atau tana’ Bassi yakni kasta yang menjabat jabatan pembantu atau anggota pemerintahan budbahasa menyerupai jabatan-jabatan Anak Patalo atau To Barani dan To Parengge’ .
  • Kasta atau Tana’ Karurung yakni kasta yng menjabat pembantu pemerintahan budbahasa serta menjadi petugas atau pembina Aluk Todolo untuk urusan Aluk Patuoan , Aluk Tananan yang dinamakan To Indo’ atau Indo Padang.
  • Kasta atau Tana’ Kua – Kua yakni kasta yang menjabat jabatan petugas atau pengatur pemakaman atau maut yang dinamakan To Mebalun atau To Ma’kayo (orang yang membungkus orang mati) dan juga selaku pengabdi terhadap kasta Tana’ Bulaan dan Tana’ Bassi.
sumber:
buku Ilmu Budaya Dasar Suku Toraja , Universitas Gunadarma
Untitled 3DAYAK

Seorang pakar sosial budaya yang aktif pada berbagai kegiatan sosial kemasyarakatan. Telah menempuh pendidikan di salah satu universitas swasta terbaik di Indonesia yang mengambil jurusan sosial budaya.

Pos terkait