Sulapa’ Eppa’ : Falsafah Alam Raya Dan Awal mula bentuk huruf Lontara
Orang Bugis-Makassar (juga orang Luwu’ , Mandar dan Toraja) , mengenal kosmologi ruang yang merefleksikan suatu persepsi terhadap dunia. Pandangan tersebut dipahami dengan Konsep Sulappa Eppa’ Wala Suji (segi empat belah ketupat). Menurut Budayawan Mattulada , Sulapa’ Eppa’ diambil dari walasuji sejenis pagar bambu dalam program ritual yang berupa belah ketupat. Sulapa Eppa dalam wacana klasik keyakinan Bugis-Makassar mempunyai banyak makna.
Orang Bugis-Makassar (juga orang Luwu’ , Mandar dan Toraja) , mengenal kosmologi ruang yang merefleksikan suatu persepsi terhadap dunia. Pandangan tersebut dipahami dengan Konsep Sulappa Eppa’ Wala Suji (segi empat belah ketupat). Menurut Budayawan Mattulada , Sulapa’ Eppa’ diambil dari walasuji sejenis pagar bambu dalam program ritual yang berupa belah ketupat. Sulapa Eppa dalam wacana klasik keyakinan Bugis-Makassar mempunyai banyak makna.
Bentuk huruf lontara menurut Mattulada , berasal dari “sulapa eppa wala suji”. Wala suji berasal dari kata walayang artinya pemisah/pagar/penjaga dan suji yang memiliki arti putri. Wala Suji yakni sejenis pagar bambu dalam program ritual yang berupa belah ketupat. Sulapa eppa (empat sisi) yakni bentuk mistis keyakinan Bugis-Makassar klasik yang menyimbolkan susunan semesta , api-air-angin-tanah. Huruf lontara ini kebanyakan dipakai untuk menulis tata hukum pemerintahan dan kemasyarakatan. Naskah ditulis pada daun lontar menggunakan lidi atau kalam yang yang dibikin dari ijuk bernafsu (kira-kira sebesar lidi).
Pandangan kosmologis suku Bugis-Makassar mengenal adanya tiga macam pengklasifikasian , yakni pembagian terorganisir mengenai tingkatan dunia (dunia atas , dunia tengah , dan dunia bawah) , pembagian terorganisir mengenai struktur tubuh insan (kepala , tubuh dan kaki) , dan pembagian terorganisir mengenai empat penjuru mata angin (utara , selatan , barat dan timur). Segi empat belah ketupat ditafsirkan selaku versi dari kosmos. Model kosmos dihubungkan dengan adanya empat sarwa alam , yaitu: udara , air , api , dan tanah , yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia. Keempat unsur ini yakni empat jenis sifat yang dimiliki oleh “manusia yang berbicara”.
Sifat air yakni sifat yang sanggup menyesuaikan dengan lingkungannya. Ketika air dituang ke dalam ember segiempat , maka ia akan berupa segiempat , kalau ke dalam ember bulat , maka ia pun berupa bundar. Sifat ini dipandang tidak konsisten lantaran keputusannya tergantung dimana ia berada , sehingga tidak menyanggupi syarat selaku pembuat keputusan. Sifat air yang tidak tetap dan mengalir ke wilayah yang terendah , tidak cocok kalau dimiliki seorang pemimpin , yang semestinya memberi bentuk terhadap bawahannya.
Sifat api yakni sifat seseorang yang simpel dikuasai oleh amarah , kalau sekali saja disinggung perasaannya , ia akan membalas dendam kapan pun kalau ia punya kesempatan. Ia tidak berfikir apa yang terbaik bagi siapa pun tapi cuma bagi dirinya sendiri. Sifat ini akan membuat perkelahian antara dirinya dan orang yang dipimpinnya. Ia tidak memperdulikan rekomendasi dan kemauan orang banyak , lebih banyak mementingkan diri sendiri , dan kalau ada yang melebihinya makan akan ditentangnya.
Sifat angin , yakni orang yang tergantung pada arah angin. Jika angin bertiup dari Barat , maka ia ikut ke Timur , kalau bertiup dari Selatan , ia ke Utara. Ia tak punya sikap tegas , keputusannya tergantung pada orang banyak , bukan pada apa yang terbaik menurut pertimbangan terbaiknya.
Sifat tanah , ialah sifat yang terbaik , alasannya ia tidak pernah goyah , ia sanggup bertahan kalau dibanjiri air , dihempas angin dan terbakar api. Bila dialiri air , ia menjadi lunak , dibakar dengan api ia mengeras bagai batu-bata dan kalau diterpa angin ia tak bergeming. Inilah sifat terbaik yang semestinya dimiliki seorang pemimpin.
Orang Bugis-Makassar menatap alam raya selaku sulapa’ eppa wala suji (segi empat belah ketupat). Menurut budayawan Mattulada , rancangan tersebut diposisikan secara horizontal dengan dunia tengah. Dengan persepsi ini , penduduk Bugis-Makassar menatap dunia selaku suatu kesempurnaan. Kesempurnaan yang dimaksud termasuk empat persegi penjuru mata angin , yakni utara , selatan , barat dan timur. Secara makro , alam semesta yakni satu kesatuan yang tertuang dalam suatu simbol huruf Bugis-Makassar , yakni /sa/ yang memiliki arti seuwwa , artinya tunggal atau esa. Begitu pula secara mikro , insan yakni suatu kesatuan yang diwujudkan dalam sulapa’ eppa’. Berawal dari ekspresi insan segala sesuatu berawal dari suara yang menjadi kata , dari kata menjadi perbuatan , dan perbuatan merealisasikan jati diri manusia.
Huruf /sa/ di atas juga melambangkan “empat unsur alam” yang menjadi sifat insan , yakni air , api , tanah dan angin. Keempat unsur alam ini bertalian dengan warna , yakni kuning , putih , merah dan hitam. Lebih jauh , simbol /sa/ di atas melambangkan “empat sisi tubuh manusia”. Paling atas yakni kepala , sisi kiri dan kanan yakni kedua tangan , dan paling bawah yakni kaki. Orang bugis-makassar mengidealisasikan insan sulapa appa’ , insan yang mempertahankan prinisp keseimbangan atas-bawah (keadilan) dan kiri-kanan (kesetaraan). Dengan alam , insan sulapa appa’ mengemban tanggung jawab untuk merawat kearifan setempat dan keserasian dalam tata kelolanya. Dengan demikian , rancangan Sulapa’ Eppa’ (juga dilafalkan Sulapa’ Appa’) dalam dunia ini , dipakai selaku pola untuk mengukur tingkat kesempurnaan yang dimiliki seseorang. Kesempurnaan yang dimaksud itu yakni kabara-niang (keberanian) , akkarungeng (kebangsawanan) , asugireng (kekayaan) , dan akkessi-ngeng (ketampanan/kecantikan).
Lebih lanjut sulapa’ eppa’ diproyeksikan terhadap asas kehidupan insan yang terdiri atas empat azas , yakni:
- Azas kehidupan wacana keberadaan kelahiran manusia
- Azas kehidupan wacana keberadaan kehadiran manusia
- Azas kehidupan wacana keberadaan dedikasi insan dalam makrokosmos dan ,
- Azas kehidupan wacana maut manusia.
Manusia menjadi khalifah bagi alam raya mesti menyanggupi syarat nilai-nilai Sulapa’ Eppa’ yang terkandung dalam kearifan dan pedoman tradisi setempat manusia. Manifestasi kasatmata harmonisasi humanosphere tersebut sanggup dilihat pada sikap , peringatan , upacara maupun bentuk arsitektur. Pada sikap insan Bugis-Makassar ada kebiasaan; “taro ada taro gau , sipatuo-sipatokkong” (adat menyediakan perbuatan , saling menghidupi-saling menolong).
Model sulapa’ eppa’ wala suji selaku versi makrokosmos mesti dibarengi selaku versi dari mikrokosmos. Empat asas kehidupan insan Bugis terpancar pula pada versi rumah tradisionalnya yang biasa disebut bola ugi. Bola ugi selaku rumah keturunan/ keluarga , rumah etika , wilayah pemeliharaan dan seminar metode religi/kepercayaan dan penyelenggaraan aturan-aturan agama. Bola ugi juga berfungsi selaku sentra pemerintahan (Saoraja).
Arsitektur rumah etika Makassar juga mengadopsi falsafah Sulapa’ Eppa’ dimana hal itu ialah penerjemahan terhadap lapisan rancangan kosmologi. Dari rancangan ini , mengilhami bentuk struktur bola ugi yang selalu mengikuti versi makrokosmos , yang secara konseptual mesti mengikuti versi persegi empat. Kemudian versi bola ugi ini mengikuti pula struktur makrokosmos yang terdiri atas tiga tingkatan atau lapisan dunia yakni: bab atas (rakkeang) , bab tengah (alle bola) , dan bab bawah (awa bola). Arsitektur rumah etika Bugis-Makassar terbagi atas bab paling tinggi yang disebut coppo’ bola , diasosiakan selaku dengan alam arasy (Alam Lauh Mahfuds). Lapisan bawahnya yakni lapisan sakral. Lapisan yang ialah penggambaran alam bagi makluk Tuhan yang suci. Lapisan tersebut pada rumah Bugis disebut Rakkeang. Rakkeang , dulunya , di rumah antik orang Bugis ialah wilayah penyimpanan padi. Padi , dalam mitologi insan Bugis , dipandang selaku penjelmaan dari Dewi Sangiang Seri. Selanjutnya yakni lapisan alam insan , dan yang paling bawah yakni lapisan alam lingkungan dan makhluk lainnya.
Dalam mitologi suku Bugis , metode upacara yang dilaksanakan oleh kelompok-kelompok atau anggota penduduk (individu) dilarang berlainan dengan prinsip-prinsip menurut metode kepercayaan. Dalam metode keyakinan attauriolong , dipahami adanya tiga unsur yang disembah dan diberi upacara. Pertama , mereka yakin terhadap dewa-dewa yang dipimpin oleh dewata seuwaE. Kedua , mereka yakin terhadap roh nenek moyang. Ketiga , mereka yakin terhadap kekuatan gaib. Hal ini terlihat umpamanya , pada peringatan dan upacara dikala ingin melaut , menghasilkan bahtera , atau pada dikala ingin menanam padi- pasca panen.
Jika Anda pernah mendatangi program etika atau perkawinan Kerabat Bangsa Bugis , pasti Anda akan menyaksikan suatu Baruga (gerbang) yang dipahami dengan nama Wala Suji di depan pintu rumah mempelai atau yang menjalankan hajatan. Wala Suji ini yang dibikin dari anyaman bambu. Mengapa Wala Suji mesti menggunakan pohon bambu , lantaran pohon bambu diandalkan mempunyai makna filosofi . Pohon bambu yakni sejenis flora yang sungguh berkhasiat bagi kehidupan manusia. Ada satu sisi dari pohon bambu sanggup dijadikan materi pembelajaran bermakna , yakni pada dikala proses pertumbuhannya. Pohon bambu di saat permulaan pertumbuhannya atau sebelum menimbulkan tunas dan daunnya apalagi dahulu menyempurnakan struktur akarnya. Akar yang menunjang ke dasar bumi menghasilkan bambu menjadi sebatang pohon yang sungguh mempunyai dampak , elastis , dan tidak patah sekalipun ditiup angin kencang.
Metafora tersebut mengajarkan terhadap insan mudah-mudahan berkembang , meningkat dan meraih kesempurnaan bergerak dari dalam ke luar , bukan sebaliknya. Lebih jauh mengerti filosofi pohon bambu tersebut , bahwa menjadi apa sebetulnya kita ini sungguh tergantung pada pengertian , penghayatan , dan pengamalan kita wacana “Keimanan terhadap Allah SWT” yang terdapat dalam hati (qalbu) kita masing-masing.
“Tau” atau “To” dalam terminologi Bugis-Makassar yakni insan , dalam perspektif kebudayaan Sulawesi Selatan disarankan mempunyai sipa’ tau (sifat manusia). Artinya bahwa karakteristik sifat insan mesti merujuk pada metode nilai dan norma-norma penduduk Sulawesi Selatan. Konsep ‘tau’ dalam kebudayaan ini ialah spirit dalam menerima wujud kesempurnaan insan yang biasa di simbolkan selaku sulapa appa walasuji (segi empat belah ketupat) yang menurut Mattulada sanggup juga disimbolkan dengan huruf huruf lontara yakni /sa/ yang sanggup di artikan selaku Dewata Seuwae (Tuhan Yang Maha Esa). Dalam tradisi Makassar , disebutkan: ”Nikanaya sulapak appakna taua iami antu niak sirikna , niak paccekna , niak pangngalikna , na todong pangngadakkangna”. (yang disebut insan berhati ‘sulapa appa’ yakni insan yang mempunyai harga diri , mempunyai rasa kesetiakawanan , menghargai orang lain dan mempunyai sifat sopan santun).
Dari simplikasi tersebut akan didapatkan bahwa rancangan ‘tau’ di Sulawesi Selatan intinya berimplikasi dari rancangan sulapa appa’ , yang sanggup diperoleh dari ‘magguru’ (belajar) dan massompe (merantau). Implementasi rancangan tesebut menghantarkan sikap sipakatau (saling memanusiakan) , sipakalebbi (saling memuliakan) , sipakatuo (saling menghidupi) , dan sipakatokkong (saling membantu). Sehingga terang bahwa falsafah tersebut selain selaku wasiat kebudayaan , juga menjadi suatu metode nilai dalam pedoman hidup penduduk Sulawesi Selatan. Oleh alasannya itu , penduduk Sulawesi Selatan dipahami mempunyai keistimewaan diaspora (menyebar dan hidup mandiri). Tidak sedikit penduduk Sulawesi Selatan meraih kesuksesan dan kesuksesan di luar tanah kelahirannya. Mereka berpijak pada prinsip-prinsip yang dianutnya selaku suatu falsafah hidup. Namun demikian bukan memiliki arti seluruhnya berhasil , ada juga diantara beberapa diantaranya yang melebur dalam kehidupan yang justru memalukan (mappakasiri). Karena itu , dituntut untuk mempunyai rancangan hidup selaku suatu falsafah kebudayaan; yaitu: warani (berani) , lempu (jujur) , sugi (kaya) dan acca (pintar). Bila dirangkai dalam Bahasa Bugis menjadi : “macca na malempu , warani na magetteng” (pandai dan jujur , berani dan teguh bertindak).
“Warani” atau “barani” , berani , selaku sifat pemimpin ideal yang pada prinsipnya tidak takut menghadapi segala jenis risiko. Keberanian ini cuma sanggup dimiliki dengan modal “kalambusang” (kejujuran) , dan tanpa pamrih. Sifat pemberani pada hakekatnya mengandung empat unsur yakni tammallakkai nipariolo (tidak takut jadi pelopor) , tammallakkai nipariboko (tak takut bangun di belakang) dalam artian memberi potensi terhadap orang lain yang lebih mempunyai potensi ataupun dalam rangka pengembangan potensi orang lain , tammallakkai allangngere kabara (tak gentar mendengar kabar yang bagus maupun buruk , menemukan kritik dan rekomendasi dari orang lain , berjiwa besar dan mempunyai sifat ingin tahu) , serta tammallakkai accini bali (tak gentar dalam menghadapi musuh -baik dalam berunding maupun berperang-tegas dan konsisten).
“Lambusu” atau “lempu” , jujur , mengandung sifat menyampaikan yang benar dan membenci berbohong , akkontu tojengi (dia melakukan pekerjaan dengan sarat keseriusan dan bertanggung jawab) , baji bicarai (dia bicara yang benar/baik) , tutui ri kanakananna (dia cermat dalam bertutur) , tunai ripanggaukangna (dia sederhana dalam perbuatannya) , appanggaukang bajiki (dia menjalankan perbuatan yang bermanfaat). Seorang pemimpin yang jujur merefleksikan eksklusif pemaaf , dan tidak pendendam , artinya kalau orang berbuat salah padanya ia lantas memberi maaf , sepanjang orang yang berbuat salah itu mengakui secara jujur wacana kesalahan yang diperbuatnya. Jika diserahi amanat ia tidak khianat , dan kalau bukan haknya ia tidak menserakahinya. Dia melakukan pekerjaan untuk kepentingan orang banyak , bukan untuk dirinya sendiri.
“Sugi” atau “kalamannyang” , kaya , tidak memiliki arti banyak harta saja , akan tapi menyiratkan pada sifat yang tamakurangi ri nawa-nawa (dia tidak kekurangan imajinasi , selalu memiliki gagasan dan sarat kreativitas dan inovatif) , tamakurangi ri bali bicara (dia tidak kelemahan respon , kaya akan pengetahuan) , masagenai ri singkamma gau (dia jago dan cekatan dalam setiap pekerjaan) , tamakkurangi ri sikamma pattujuang (dia tidak kelemahan kerja keras lantaran mempunyai modal).
Manusia yang mempunyai dan mengamalkan keempat sifat ini secara menyeluruh akan menjadi Tu Panrita , menjadi insan seutuhnya (insan kamil). Sudah barang pasti insan yang utuh yakni insan yang selalu memelihara dan menyebarkan fitrahnya selaku manusia. Hanya insan mirip ini yang hendak terbebas dari alienasi maupun budi kedaluwarsa dunia yang kadang kala menyesatkan.
Dalam persepsi lain , Sulapa’ Eppa dikaitkan dengan arah mata angin dan filosofi kepememimpinan Khalafaur Rasyidin (empat khilafah pasca meninggalnya Nabi Muhammad). Manorang atau Utara diartikan mempunyai sifat mirip Usman Bin Affan (adil) , Maniyang atau Selatan diartikan mempunyai karakter mirip Umar Bin Khattab (tegas dan berani) , Rilau atau Timur diumpamakan mempunyai sifat mirip Ali Bin Abi Thalib (cerdas) , dan Riaja atau Barat dikiaskan mempunyai karakter sifat mirip Abu Bakar (bijaksana).
Ajaran ini oleh orang Bugis-Makassar dituturkan secara lisan terhadap generasi selanjutnya : “… langkahkan kakimu kemana pun juga , tapi ingat , janganlah engkau berpisah dengan Sulapa Eppa’na Nabitta , yakni katakan… “Abu Bakar bangun dihadapanku , Umar bangun disisi kananku , Ali disisi kiriku , Usman bangun dibelakangku”… Insya Allah engkau akan selamat dunia akhirat…
Abu Bakar ialah simbol sifat gemar memberi , sabar , sederhana , amanah dan membenarkan yang haq dengan segera sehingga digelar As-Siddiq. Sifat ini menjadi ukuran pertama dalam memutuskan pemimpin. Umar ialah simbol kekuatan yang diwujudkan dengan segera bertindak , berani , tegas tapi bijaksana. Sifat ini ialah klasifikasi kedua dalam memutuskan pemimpin. Ali ialah simbol kecerdasan , pengorbanan , keberanian , ketegasan mirip halnya Umar (kanan) , maka kiri yakni perhiasan tangan kanan. Umar ialah simbol kekayaan , keteguhan , mirip Abu Bakar , sehingga didepan dan belakang terdapat sifat sabar , disamping itu Usman dipahami dgn sifat tawaddu dan dalam diamnya ada zikir.
oleh : Aksara di Nusantara
Referensi :
Pena.aminuddinsalle.com
id.zulkarnainazis.com/
sejarahbone.blogspot.com
Seorang pakar sosial budaya yang aktif pada berbagai kegiatan sosial kemasyarakatan. Telah menempuh pendidikan di salah satu universitas swasta terbaik di Indonesia yang mengambil jurusan sosial budaya.