Sejarah Dan Budaya: Sri Digwijaya Saataprabu Raja Yang Terlupakan

Gambar Gravatar

Suatu saat bunyi “alarm” penjaga benteng terdengar secara tiba-tiba , sehingga mengejutkan seluruh penduduk dan para tetua desa. Dalam sekejap pertempuran pun pecah , musuh yang tiba dari arah barat maritim tiba-tiba tiba dan menyerang dengan membabi buta , suatu desa yang sebelumnya kondusif tentram menjadi gaduh akan bunyi triakan dan dentuman logam senjata. Mekipun diserang dengan secara tiba-tiba dan tiba-tiba dan alasannya yakni kegigihan penduduk desa dan serdadu yang berjaga , perlawanan yang tak sedikit menyantap korban itupun sukses menghantam mundur musuh yang datang.

Setelah insiden itu , pada tahun 1108 S Sri Jayamrta menampilkan perintah terhadap pangeran Nwara Nusa Sarwwenayapala untuk mempertahankan tempat yang pernah diserang tersebut. Supaya penyerangan yang sudah menewaskan seorang pejabat tinggi kerajaan berpangkat Sri Kanuruhan dan banyak prajuritnya gugur tidak terulang kembali. Dengan proteksi Juru Manutan penduduk desa yang berada di tempat di pertempuran tadi dipindahkan ke tempat yang lebih kondusif , di lereng kaki Gunung , dan tentukan desa tersebut selaku desa Sima. Selain itu warga desa juga menemukan kado berupa kain dari sang Raja.
Peristiwa ini dicatat dalam prasasti Batu pada tahun 1108 S pada bulan Phalguna tanggal 10 paruh terang Sabtu Legi pada wuku kerikil Gunung atau Sabtu Legi 23 Maret 1186 M. Di Desa Mruwak Kecamatan Dagangan Madiun di tulis oleh seorang citralekha atas perintah Sri Maharajasa Drwya Yajna Sri Jaya Prabhu. Prasasti yang menunjukan insiden berdarah dan perpindahan seluruh penduduk desa Mruwak ini masih tegak bangun dengan utuh , walaupun beberapa huruf sudah hilang di makan usia.
Di tahun yang serupa 1186 M di timur Gunung Wilis ada seorang raja juga yang bertahta , yang sanggup dikatakan lebih terkenal dari Sri Jayaprabhu , yakni Paduka Sri Maharaja Sri Kameswara Iriwikramawatara Aniwaryyawirrya Parakrama Digjayotunggadewanama atau lebih di kenal dengan nama Kameswara yang berkuasa di Panjalu. Namun kelihatannya bukan tentara “negara api” yang menyerang. Siapakah yang menyerang desa itu , belumlah terang di ketahui. Berdasarkan alih huruf Prasasti Musuh tersebut tiba dari Barat Laut lewat sungai. Sedangkan Panjalalu berada di timur.
Dilihat dari gelarnya kelihatannya Sri Jayaprabhu ialah raja yang memiliki tempat otonom sendiri terlepas dari bayang-bayang Dhaha , walaupun “mungkin” kerajaannya pada masa diterbitkan prasasti ini tidak sebesar Dhaha. Namun 18 tahun kemudian Sri Jayaprabhu melebarkan sayapnya sampai ke daerah
Ponorogo dengan mempublikasikan suatu prasasti lagi , dan “mengangkat” derajatnya dengan mengklaim dirinya selaku keturunan Dharmawangsa Tguh Anantawikramotunggadewa.
Om swastha dirghahayurastu
Sang hyang Wisnu siracarira sira ring bhuwana
subhaga wasta ring praja swastha cri Jayawarsa
digjaya castra prabhu suphala sinembahing sa
rat saksat bhaskara candratirtha sira tamrta
ri hajeng nikang sarat kabeh astwa
ninggya sahacracandra pangadeg sira sini
wi haneng jagat krta
(manggala prasasti sirah keteng)
Seperti yang sudah di ceritakan bahwa Sri Jayaprabhu mengeluarkan prasasti di desa Mruwak , yang dalam inti isinya menyebutkan bahwa raja memindahkan penduduk desa itu ke tempat lebih tinggi , di atas bukit guna menghindarkan para Penduduk desa dari musuh yang pernah menyerang.
Rupa-rupanya pada 24 tahun kemudian Sri Jayaprabhu kembali mengeluarkan Prasasti di tempat Ponorogo , tidak terlalu jauh dari Prasasti Mrwak. Agak berlainan dari Prasasti Mrwak , sang Citralekha dalam prasasti Sirah Keting lebih berani dalam menyebut gelar rajanya , yakni dengan nama “Sri Jayawarsa Digjaya Sasastraprabhu” , Sri jayawarsa juga menyebutkan dirinya selaku cucu anak dari Sang Apanji Wijayamertawarddhana yang kemudian bergelar bhiseka selaku Sri Isana Dharmawangsa Tguh Anantawikramottunggadewa.
Prasasti Sirah Keting menampung tanggal di keluarkan pada 8 November 1204M ini menampung keterangan Raja Jayawarsa menganugrahkan hak-hak istimewa terhadap atitih yang berjulukan Marjaya , dikarenakan sudah menampilkan kebaktiannya terhadap Raja. Salah satu hal yang marik dari hak yang diberikan Raja terhadap Merjaya yakni hak untuk menggunakan dampar pembagian kerajaan (dampa blah karajyan). Apa yang di maksud dari hak dampa blah karajyan tidaklah jelas.
Pada tahun 1205M Kertajaya yang berkuasa di Panjalu mengularkan prasasti Lawadan. Dari sini mengesankan bahwa Sri Jayawarsa ialah raja yang bebas dan bukan mrupakan tempat vasal dari Panjalau. Dilihat dari keterangan Prasasti Sirah Keting yan menyebut Sri Jayawarsa yakni anak keturunan dari Dharmawangsa Tguh sungguh mungkin Sri Jayawarsa yakni keluarga Dharmawangsa Tguh yang lolos dari insiden pralaya yang mendirikan tempat sendiri dan melepaskan diri dari dinasti Airlangga.
Bukan cuma itu , nama Sri Jayawarsa juga di tulis dalam Kakawin Krsnayana dan Kakawin Sumanasantaaka. Mpu Triguna dalam penutup Krsnayana menerangkan keterkaitannya dengan Sri Warsajaya di umpamakan selaku mpu Kanwa dan Airlangga. Sedangkan mpu Monaguna mempersembahkan Kakawin Sumanasantaka selaku air suci berwujud puisi di bawah kaki raja (kakawin tinirthaken i jong nrpati rasa lango).
Dari info naskah tersebut sepertinya menyampaikan bahwa tempat kepingan barat Gunung Wilis ialah tempat yang lepas dari eks kerajaan Kahuripan. Dan Sri Jayawarsa Sastaprabhu yakni kerajaan yang layak untuk di telusuri keberadaannya. Mengingat prasasti Lawadan yakni prasasti terakhir Krtajaya , setelah itu Panjalu/Kadhiri runtuh dan kemudian timbul Singhaari dengan ken Arok selaku kerajaan berikutnya.
Prasasti Sirah Keting yakni prasasti terakhir yang sudah didapatkan di wilayah Ponorogo dan sekitarnya. Dahulu tempat Madiun , Ngawi , Pacitan , Magetan dan Ponorogo yakni tempat yang dimengerti dengan nama Wengker. Jaman Majapahit Wengker di duduki oleh Seorang Bhre Wengker. Kudamerta suami dari Mahadewi Rajasa yakni tergolong di jajaran Bhatara Sapta Prabhu dimasa Hayam Wuruk. Putinya Paduka Sori dinikahi oleh Hayam Wuruk.
Asal muasal Kedamerta/Wijayarajasa sendiri belumlah terang , menyaksikan seni administrasi politik kerajaan pada masa klasik , seorang yang menduduki kekuasaan jikalau ingin mengamankan kekuasaannya lazimnya menggunakan politik perkawinan. Tidak menutup kemungkinan Wijayarajasa yakni salah satu keturunan Sri Jayawarsa Sastaprabhu , atau bahkan lebih dari itu. Keturunan dari “Haji Wengker” yang dinastinya sudah usang di hancurkan oleh Airlangga , Wijayawarma , yang dipinang oleh R. Wijaya untuk dinikahkan dengan salah satu putrinya.
Oleh : Sang Agni
Sumber:
OJO LXVI
Kakawin Sumanusaantaka
Pararatwan
Negarakrtagama
Untitled 3DAYAK

Seorang pakar sosial budaya yang aktif pada berbagai kegiatan sosial kemasyarakatan. Telah menempuh pendidikan di salah satu universitas swasta terbaik di Indonesia yang mengambil jurusan sosial budaya.

Pos terkait