Sejarah Dan Budaya: Semangkuk Nasi Dari Toraja

Gambar Gravatar
11
11
Petani padi di Batutumonga
sumber: kartitiani.wordpress.com

Tulisan ini mudah-mudahan berharga kami kutip dari sumber : kartitiani.wordpress.com. selamat membaca 🙂
Batutumonga , 1100m dpl , demikian tinggi kawasan ini. Motor dari rental yang saya pinjam dari Rantepao , sentra kota , menenteng saya ke Desa Batutumonga , Kecamatan Sesean , Kabupaten Toraja. Sebuah warung kopi sederhana yang menghadap kemewahan hamparan sawah bertingkat. Teknik bertanam mulanya bukan dipersembahkan untuk mata yang menatap , namun siasat petani untuk menjawab lahan miring mudah-mudahan tetap bisa ditanami padi. Tapi pemahatan bala watu (terasering) yang dilakukan petani menampilkan panorama yang keindahannya cuma bisa disaksikan langsung. Bahkan piksel kamera tak cukup bisa menyimpan dengan sempurna benar.

Tana Toraja tenar dengan metode bertanam padi tradisional. Mulai dari pembuatan tanah tanpa mesin (yang sekarang sudah bergeser) , pupuk tanpa pupuk kimia sintetis dan masih menyimpan padi di lumbung padi. Bangunan lumbung padi yang bersanding dengan tongkonan (rumah khas Toraja) inilah yang menjadi ikon lokasi ini.
2
padi kutu` , dipetik dengan ani-ani
sumber: kartitiani.wordpress.com

Benih dari lumbung sendiri

“Kami menanam padi cuma dua kali masa tanam per tahun ,” kata Yosep , salah satu petani padi yang saya jumpai di Batutumonga. Selain sebab argumentasi animo , padi yang digunakan petani ialah varietas setempat yang benihnya diambil dari panen sebelumnya. Petani Toraja tidak perlu berbelanja benih kemasan. Soal penurunan mutu benih sebagaimana yang dikhawatirkan oleh pebisnis benih , di Toraja tidak berlaku. Karena benih yang dihasilkan memang galur murni , tidak mengalami penyerbukan silang (cross breeding) sebab tidak ada varietas lain di tanah yang sama.
Rata-rata umur padi setempat 5 bulan gres bisa panen. Bandingkan dengan benih padi bibit unggul yang berumur 3 bulan , sehingga satu tahun bisa tanam 4 kali. Hanya saja , benih padi setempat ini tidak memerlukan pupuk kimia sintetis sebagaimana diinginkan padi hibrida. Padi setempat cukup makan dari pupuk sangkar yang dihasilkan oleh tedong (kerbau) dan babi , ternak yang banyak di Toraja. Tedong ialah syarat utama upacara , selain babi.
“Dulu pernah ada tahun 1970an yang memberi sokongan pupuk , namun malah bikin padi kami puso. Makanya kami pakai pupuk sangkar saja ,” tambah Yosep.
Cara menanam padi sama dengan penanaman padi di lahan lembap lainnya. Benih disemai menjadi bibit di pantaanakan (area penyemaian) lantas ditanam di sawah yang sudah diolah. Pengolahan tanah pun dilakukan oleh insan atau kerbau tanpa. Traktor sekarang mulai digunakan untuk lahan yang datar. Setelah ditanam , perawatan cukup dengan menyiangi gulma (rumput pengganggu) , mereka menyebutnya mantora’. Pestisida sintetis tidak digunakan di sini sebab hama dan penyakit tidak banyak. Mungkin sebab predator alami masih sebanding di sana.
Pun dikala pemotongan padi , ini menawan untuk dicicipi para turis , lazimnya di pertengah tahun (Juni/Juli) dan Desember. Mereka memotong batang padi satu demi satu dengan rangkapan atau jikalau bahasa jawa dinamai ani-ani (alat pemotong padi) yang dijepit di antara jari telunjuk dan jari tengah. Terampil sekali , mulai dari anak – anak sampai orang bau tanah yang masih memiliki dampak ke sawah melaksanakan panen. Padi yang sudah terkumpul , diikat lantas ditata di bakul. Padi di sini memungkinkan diikat sebab varietas yang ditanam bermalai (tangkai) panjang. Misalnya pare dolo (padi hitam) , pare bardi (padi putih) , pare bumbungan , pare bau.
Dengan bakul , wanita membawanya pulang untuk dijemur lantas ditata di lumbung. Hanya wanita yang boleh masuk ke lumbung , baik menata padi maupun nanti dikala mengambilnya untuk ditumbuk. Mereka masih menggunakan alat penumbuk padi dari kayu dan watu untuk mengupas gabah menjadi padi.
Menurut Yosep , bertambah banyak dan kian bau tanah umur lumbung , maka menampilkan kian kaya orang itu. Orang kaya usang (to sugi’) lazimnya punya lumbung yang banyak dan sudah tua. Sedangkan orang kaya gres (to kapua’) lazimnya lumbungnya masih baru.
3
padi di tumbbuk di “issong” u/melepas sekam
sumber: kartitiani.wordpress.com

Tak lagi mencukupi

Lahirnya to kapua’ ini juga memengaruhi keberlanjutan metode tanam padi tradisional dan juga kenaikan keperluan padi. “Dulu dengan metode pertanian padi tradisional , kami sudah bisa memadai keperluan kami sendiri sampai animo panen selanjutnya ,” ujar Yosep. Ia melaksanakan tanah budpekerti (pengertian tanah budpekerti di sini yaitu tanah warisan yangdikerjakan bersama-sama) seluas 2 hektar dari total tanah budpekerti yang dimiliki keluarganya seluas 200 hektar.
Hanya saja , bertambah banyak to kapua’ , maka kian sering upacara dilakukan. Baik itu upacara janjkematian (rambu solo’) dan upacara yang lain. Bagi penduduk tradisional Toraja , bisa menyelenggarakan upacara yaitu memaksimalkan prestis. Upacara yang menelan ongkos milyaran itu mulanya cuma bisa dilakukan oleh to sugi’. Tapi dikala banyak generasi muda Toraja merantau dan menjadi berhasil , mereka pulang selaku to kapua’ yang dapat melaksanakan upacara. Di sinilah keperluan tedong , babi dan beras pun meningkat.
“Sekarang kami berbelanja beras juga untuk makan , namun jikalau untuk upacara masih pakai padi setempat ,” jelas Yosep yang lalu mengirim saya menampilkan lumbung – lumbungnya. Dengan motor , saya melanjutkan perjalanan naik lebih tinggi ke kaki Gunung Sesehan , kawasan kopi Toraja ditumbuhkan alam. Meninggalkan keindahan bala watu yang menyimpan pergumulan senyap to sugi’ dan to kapua’.

sumber:
PERTANIAN TRADISIONAL: SEMANGKUK NASI DARI TORAJA
kartitiani.wordpress.com

Untitled 3DAYAK

Seorang pakar sosial budaya yang aktif pada berbagai kegiatan sosial kemasyarakatan. Telah menempuh pendidikan di salah satu universitas swasta terbaik di Indonesia yang mengambil jurusan sosial budaya.

Pos terkait