Sejarah “KUTANG” di Nusantara

Telanjang dada bagi perempuan di Indonesia pada masa kemudian merupakan hal yang lumrah.
Tidak ada tudingan porno ataupun pamer keseksian. Ini alasannya tradisi dikala itu belum mengenal epilog dada menyerupai zaman sekarang. Bertelanjang dada , bukan hal tabu bagi pada biasanya perempuan-perempuan Indonesia di masa lalu. Perlahan-lahan , setelah distribusi kain , kutang atau BH kian gampang , dada perempuan-perempuan Indonesia makin tertutup.
Perempuan-perempuan tak berpenutup dada tak cuma di Papua saja di masa kemudian , tetapi di banyak tempat di Indonesia. Di Jawa , kaum perempuan biasanya cuma menutup dadanya dengan kemben yaitu suatu kain yang dililit di bab dada. Baru setelah periode 1900-an , perempuan di Jawa mulai mengenakan kebaya.

Di Sulawesi Selatan , para perempuan biasa memakai baju bodo yang menyerupai kebaya , namun tipis dan longgar. Saking tipisnya , baju bodo pada masa itu terlihat transparan sehingga menampilkan payudara pemakainya. Namun , terlihatnya payudara pada masa itu bukan dalam perspektif cabul , menyerupai kini ini.
Di zaman Hindia Belanda , perempuan yang berlangsung di tampang biasa tanpa mengenakan epilog dada merupakan hal yang biasa. Di masa tersebut , hal itu tak menumbuhkan birahi kaum pria Indonesia alasannya dianggap hal yang biasa. Masalah birahi justru timbul di kelompok pria Belanda yang melihatnya. Pernah ada dongeng program bongkar muat kapal Belanda yang tertunda satu jam , alasannya pelaut-pelaut Belanda tertarik pada panorama di atas perut perempuan itu.
Dalam film The Legong Dance of the Virgin , yang dibentuk rumah bikinan Amerika di tahun 1933 , perempuan Bali digambarkan tidak memakai kutang. Mereka sudah biasa bertelanjang dada. Film ini berkisah soal cinta segitiga yang rampung tragis bagi seorang gadis penari legong.
Dalam film dokumenter Moeder Dao (1995) , terdapat dokumentasi perempuan-perempuan tak berpenutup dada di suatu tempat di Indonesia sekitar tahun 1930. Tentu saja tempat itu jauh dari sentra industri , di mana kain sanggup jadi dianggap barang mewah. Perempuan-perempuan berbaju lebih sering didapatkan di pabrik , perkebunan atau kota.
KUTANG PENUTUP DADA
Remy Sylado punya imajinasi sendiri soal bagaimana orang Indonesia mengenal kutang. Dalam novelnya Pangeran Diponegoro: Menggagas Ratu Adil (2007) , Remy menceritakan aristokrat berdarah Spanyol-Perancis , berjulukan Don Lopez Comte de Paris , menyaksikan perempuan Jawa , yang ikut membangun jalan raya pos Anyer Panarukan. Atas perintah Deandels yang berkuasa dari 1808 sampai 1811 , para perempuan itu cuma memakai busana yang menutup bab bawah badan mereka saja. Dada mereka terlihat. Don Lopez kemudian memberi suatu kain pada perempuan pribumi yang tercantik diantara mereka dan menyuruhnya mudah-mudahan menutup bab bermanfaat di atas perut itu.
“Coutant! Coutant!” perintah Don Lopez. Kebetulan dalam bahasa Perancis , bermanfaat diartikan selaku coutant.
Belakangan orang Indonesia mengucapkannya selaku kutang. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia , kutang dimaknai selaku busana dalam perempuan untuk menutupi payudara atau baju tanpa lengan.
Baju tanpa lengan menyerupai kaos oblong , yang berfungsi selaku busana dalam pria juga , sering sebut selaku kaos kutang juga. Kata koetang , dalam ejaan lawasnya , sering dipakai setidaknya di zaman kolonial. Seringkali didapatkan dalam bacaan-bacaan dalam bahasa Melayu.
Nampaknya , di masa kemudian , kata kutang punya makna yang luas. Tak cuma epilog dada perempuan. Dalam kamus bahasa Makassar-Belanda berjudul Makassaarsch-Hollandsch Woordenboek met Hollandsch-Makassaarsch (1859) , yang disusun Benjamin Matthes , koetang di artikan selaku borstrok , yang artinya busana di dalam yang berupa menyerupai rompi.
Sementara dalam kamus Belanda Melayu Sunda , Nederduitsch-Maleisch en Soendasch woordenboek (1841) , yang disusun Taco Roorda dan Andries de Wilde , kutang dalam bahasa Sunda sanggup memiliki arti selaku busana dalam dan juga kemeja
Bra MASUK Ke HINDIA BELANDA
Setelah kehadiran bra , atau buste houder (BH) dalam bahasa Belanda , perempuan-perempuan Eropa pun mulai memakainya. Menurut Cultural Encyclopedia of the Breast (2014) , Mary Phelps Jacob alias Caresse Crosby menciptakannya pada 1910 , dikala akan mengenakan gaun untuk pergi ke suatu pesta. Dia merasa mempunyai problem dengan korset yang sudah berabad-abad di gunakan perempuan Eropa di banyak sekali penggalan dunia. Ciptaan pengubah sejarah kaum perempuan itu dipatenkan pada 1914. Dia memperoleh duit alasannya ciptaannya itu , namun tak berperan penting dalam industri bra.
Bra sederhana , yang semula cuma berupa sapu tangan sutra bertali pita , itu kemudian dikembangkan lagi dengan yang berenda. Belakangan , bentuk bra bermacam-macam. Di tahun 1922 , Ida Rosenthal dan suaminya mulai berbisnis. Ida dan suaminya menyebarkan bra dalam perusahaan Maidenform yang aktif sampai berpuluh tahun kemudian.
Perempuan-perempuan pemakai bra tentu makin meningkat populasinya di tahun 1920an di Hindia Belanda. Setelah para perempuan Belanda menggunakannya , perempuan pribumi mengikutinya. Lidah orang-orang Indonesia menyebutnya BH (baca: beha) , yang merupakan kependekan dari Buste Houder (wadah penyangga payudara). Bra atau BH ini pun alhasil disebut juga selaku kutang.
Kutang atau BH bermerk Bengawan Solo sudah diiklankan di tahun 1958. jargonnya: kwaliteit tetap terdjamin istimewa. Saat ini setidaknya ada PT Busana Remaja Agracipta , yang masuk sepuluh besar pabrik busana dalam dunia , yang memproduksi BH. Perusahaan ini punya pabrik di Bantul dan di Tangerang. Pabrik lain merupakan Wacoal dan Mekarjaya.
BH atau kutang , tentunya jadi busana penting perempuan Indonesia masa kini. Perempuan dari semua profesi membutuhkannya , baik yang di rumah , kantor , pasar , ladang , juga tempat prostitusi. BH atau kutang tidak lagi selaku epilog dada untuk kesopanan , namun juga kesehatan.
Sumber referensi:
https://www.facebook.com/groups/abiyasanusantara/permalink/2311487265562978/
https://tirto.id/sejarah-kutang-nusantara-byuk

Seorang pakar sosial budaya yang aktif pada berbagai kegiatan sosial kemasyarakatan. Telah menempuh pendidikan di salah satu universitas swasta terbaik di Indonesia yang mengambil jurusan sosial budaya.