Sejarah Dan Budaya: Rumah Adab Bali Aga

Gambar Gravatar
449 rumah adat suku bali aga
449 rumah adat suku bali aga
Rumah adab suku Bali Aga by cahayarumahku

Ruang sakral pada rumah adab di desa Bali Aga
Desa Bali Aga atau yang juga dimengerti dengan Bali Mula ialah perkampungan dari penduduk orisinil di pulau Bali , sebelum hijrahnya penduduk dari pulau Jawa ke Bali pada jaman Majapahit. Rumah adab penduduk ini memiliki keunikannya tersendiri yang membedakannya dengan rumah adab penduduk Bali Majapahit , demikian pula ruang dalamnya. Rasa sujud terhadap para leluhur dan dewa-dewi dalam keyakinan mereka diwujudkan dengan adanya ruang sakral yang terdapat di dalam rumah adat.

Ruang sakral pada rumah adab Bali Aga belum banyak diteliti sebelumnya. Metode studi problem yang melibatkan pengamatan pribadi dan wawancara pada empat buah desa Bali Aga di Bali yakni desa Pedawa , desa Tigawasa , desa Sukawana , dan desa Pinggan dijalankan untuk mengkaji pentingnya ruang sakral pada keempat rumah adab ini. Melalui evaluasi terhadap makna dan fungsi secara kualitatif maka ditemukan bahwa ruang sakral ini ialah ruang yang paling penting dalam eksistensi rumah adab desa Bali Aga , yang tidak cuma berfungsi selaku area memuja leluhur maupun dewa-dewi melainkan mempunyai fungsi pemanis yang lain yang dianggap sakral.

Pendahuluan
Dokumentasi terhadap bangunan rumah Adat Bali Aga sungguh penting untuk dijalankan mengingat sudah banyak terdapat pergeseran pada bangunan rumah adab yang ada di Bali jawaban pergeseran pola hidup serta ledakan jumlah penduduk. Terdapat 62 desa Bali Aga di Bali yang sudah ada sebelum masuknya Hindu dan Budha pada jaman kerajaan Majapahit (Muler , 2011). Desa Bali Aga yang memiliki lokasi yang cukup jauh dari pusat-pusat permukiman penduduk pun sudah banyak mengalami perubahan. Sudah banyak dokumentasi maupun observasi yang dijalankan di bidang arsitektur terhadap eksistensi rumah adab Bali Aga yang ada di Bali diantaranya yaitu: desa Buahan , desa Pinggan dan desa Sukawana sudah dijalankan oleh Yudantini pada tahun 2013; desa Penglipuran oleh Widarji tahun 2014; desa Trunyan oleh Dwijendra pada tahun 2015 , desa Tenganan oleh Hadi Kusuma tahun 2014; Kumurur tahun 2009; Purwantiasning tahun 2007 , desa Bali Aga di wilayah Bali Utara oleh Siwalatri , dkk pada tahun 2015; desa Pedawa oleh Prajnawrdhi pada tahun 2016; desa Tigawasa oleh Prajnawrdhi pada tahun 2017; dan desa Sidatapa oleh Saraswati pada tahun 2017. Dokumentasi maupun observasi yang sudah dijalankan terhadap desa-desa Bali Aga termasuk teladan masa , tata letak serta fungsi , struktur dan rincian dari bangunan maupun permukiman.
Ruang-ruang pada arsitektur Bali diklasifikasikan memiliki atribut-atribut yaitu: sociology; symbolic; morphology; and function (Parimin , 1986). Disini sungguh terang bahwa ruang-ruang dalam arsitektur Bali bisa mewadahi segala macam aktifitas penghuninya baik yang bersifat fisik maupun psikologis. Sulistyawati (1985) menyatakan bahwa rumah tradisional Bali mempunyai fungsi memuat aktivitas keperluan hidup seperti: tidur , makan , istirahat dan juga untuk memuat aktivitas yang berencana untuk kepentingan psikologis , menyerupai menjalankan upacara keagamaan dan adat. Oleh lantaran itu maka eksistensi ruang yang mewadahi aktivitas keagamaan dan ritual memiliki posisi penting dalam Ruang sakral pada rumah adab desa Bali Aga rumah tinggal pada arsitektur Bali dan juga rumah adab Bali Aga. Namun belum ada dokumentasi secara mengkhusus yang membahas wacana eksistensi ruang sakral yang terdapat pada desa Bali Aga di desa Pedawa , desa Tigawasa , Desa Sukawana dan desa Pinggan.
Kegiatan
Keempat desa Bali Aga yang menjadi obyek dari studi problem pada goresan pena ini berada pada 2 kabupaten yang berbeda. Desa Pedawa dan Tigawasa berada Kabupaten Buleleng , sedangkan desa Sukawana dan desa Pinggan berada di Kabupaten Bangli. Keempat desa ini berada di dataran yang relative tinggi dan memiliki suhu yang dingin. Dokumentasi yang dijalankan pada keempat rumah adab ini berencana untuk mendapat citra yang terang terhadap fungsi ruang-ruang yang bersifat sakral pada rumah ini. Rumah adab pada keempat desa ini memiliki kesamaan dari aneka macam segi. Bahan bangunan yang menggunakan kayu setempat dan bambu baik pada tubuh bangunan maupun atap. Skala bangunan yang dibentuk menurut skala insan selaku penghuni dan tidak mendominasi alam ialah suatu perwujudan dari konsep harmonisasi antara penghuni , lingkungan sekitarnya dan wujud syukur terhadap Sang Pencipta (esensi dari konsep Tri Hita Kharana).
Disamping beberapa kesamaan terhadap wujud dan materi bangunan yang digunakan , teladan ruang yang terdapat pada keempat rumah adab ini juga memiliki kesamaan yakni sama-sama memiliki dua buah tempat tidur yang memiliki ukuran yang berlainan dan didedikasikan untuk orang renta dan anak. Tempat tidur yang berjulukan Bale/ Pedeman ini ialah bab dari struktur bangunan yang menyatu dengan keseluruhan struktur bangunan. Keempat rumah ini memiliki dapur yang disebut dengan Paon. Paon yang pada desa Pedawa ialah Paon yang mempunyai fungsi tungku terbanyak dan dilengkapi oleh ruang lain yang mendukung fungsi dapur. Sedangkan pada tiga rumah adab yang lain memiliki tungku dapur yang lebih sederhana. Disamping ruang untuk beristirahat/tidur dan mengolah makanan , keempat rumah adab ini dilengkapi dengan ruang penyimpanan menyerupai gudang pada bangunan rumah serta ruang ruang yang bersifat sakral. Berikut yang sanggup diterangkan wacana ruang dalam pada keempat desa Bali Aga.

Pages%2Bfrom%2Bea84fc8e247ef45dd7829cdb89e8cc34 2
Gambar 1. Denah dua tipe rumah Adat Pedawa
dan foto dari Pelangkiran
yang ialah area sakral dan terletak di atas Bale/Pedeman Gede
Pada rumah adab desa Pedawa (Gambar 1) terdapat ruang sakral yang ialah tempat pemujaan yakni area Bale/Pedeman Gede. Pedeman Gede (A) yang berfungsi selaku sempurna tidur untuk orang renta ialah tempat untuk menaruh sesajen apabila ada upacara adat. Dan sempurna diatas Pedeman Gede terdapat Pelangkiran yang yang dibikin dari kayu yang ditaruh pada struktur balok dari Pedeman Gede selaku tempat sesajen untuk para leluhur. Pedeman gede juga mempunyai fungsi sakral yang lain yakni selaku tempat memandikan dan merencanakan mayit sebelum dikremasi; menjadi tempat menaruh sesajen pada di saat upacara keagamaan dan upacara adab bagi pemilik rumah (upacara manusa yadnya dan tuhan yadnya).
Pages%2Bfrom%2Bea84fc8e247ef45dd7829cdb89e8cc34 3
Gambar 2. Denah tiga tipe rumah Adat Tigawasa ,
diantara kedua buah Bale terdapat area suci untuk menempatkan sesajen setiap hari
Sedangkan pada rumah adab Tigawasa (Gambar 2) , ruang sakral yakni suatu meja (d) yang terletak diantara dua buah Bale/ tempat tidur (a) yang yang dibikin dari batu. Meja ini ialah tempat menaruh sesajen setiap hari. Dan diatas Bale yang berada pada posisi di sebelah kanan (tepat tidur orang tua) terdapat pula Pelangkiran yang berbahan kayu selaku tempat pemujaan tuhan dan dewi , sama menyerupai yang terdapat pada rumah adab Pedawa. Tidak jauh berlainan dengan rumah adab Pedawa , Bale yang berada di sisi kanan yang ialah tempat tidur untuk orang renta , juga ialah tempat sesajen pada di saat upacara adab dan keagamaan.
Pages%2Bfrom%2Bea84fc8e247ef45dd7829cdb89e8cc34 41
Gambar 3. Ruang sakral pada rumah Adat Pinggan
Pages%2Bfrom%2Bea84fc8e247ef45dd7829cdb89e8cc34 42
Gambar 4.Ruang sakral pada rumah Adat Sukawana
Pages%2Bfrom%2Bea84fc8e247ef45dd7829cdb89e8cc34 43
Gambar 5. Posisi Sanggah Kemulan Nganten pada rumah adab Pedawa dan Tigawasa.
Posisi Sanggah Kemulan Nganten pada rumah adab Pinggan dan Sukawana
juga sama dengan kedua rumah adab diatas

Bacaan Lainnya
Gambar 3 menampilkan posisi ruang sakral yang terdapat pada desa Pinggan dan gambar 4 menampilkan posisi ruang sakral pada rumah adab Sukawana. Ruang sakral pada dua rumah adab ini memiliki posisi di ujung dan memiliki pintu yang mencegah dengan ruang lainnya. Disamping selaku tempat pemujaan , ruang sakral di desa Pinggan juga mempunyai fungsi selaku tempat penyimpanan benda bermanfaat dan perlengkapan suci keagamaan. Berbeda dengan desa Pedawa dan Tigawasa , ruang sakral pada desa Pinggan dan Sukawana bersifat lebih tertutup dan tidak terlihat pada tata ruang dalam rumah ini lantaran memiliki pintu dan lebih sering dalam kondisi tertutup. Sedangkan ruang sakral di desa Pedawa dan Tigawasa bersifat terbuka dan terlihat terang pada ruang dalam rumah ini.
Pada keempat rumah adab desa ini juga memiliki tempat suci di luar rumah yang memiliki posisi sempurna di hulu rumah adat. Tempat suci ini selaku tempat pemujaan dewa-dewi cuma pada di saat hari raya besar keagamaan , tempat suci ini disebut dengan sanggah kemulan nganten yang yang dibikin dari bambu (Gambar 5) dengan konstruksi yang sungguh sederhana. Bentuk tempat suci ini cuma terlihat menyerupai tugu bambu persegi panjang yang sederhana dan tidak terlihat dari halaman rumah dari keempat rumah adab dan berada tersembunyi di belakang rumah (hulu rumah).
Pelajaran
Ruang sakral ialah suatu ruang yang mempunyai fungsi suci yang terkait dengan aktivitas yang bersifat keagamaan , selaku tempat menjalankan aktivitas pemujaan/ ritual. Kegiatan yang dijalankan ini secara pribadi menjadi suatu ciri yang membedakannya dengan ruang-ruang lainnya. Ruang ini kebanyakan memiliki bentuk , batas-batas serta aktivitas yang spesifik. Dalam suatu tatanan penduduk tertentu , fungsi ritual ialah suatu atribut budaya , ialah aspek yang sungguh penting di dalam menciptakan suatu setting baik yang bersifat publik maupun privat dan menciptakan suatu struktur ruang tertentu (Knowles , 1996). Sebuah sentra orientasi dan kenali bagi insan yang ialah suatu struktur ruang sanggup berupa suatu ruangan yang bersifat suci yang lazimnya dipergunakan untuk aktivitas ritual (Schulz , 1979). Rumah tinggal sepantasnya bisa mewadahi segala tingkat keperluan insan dari yang terendah sampai paling tinggi Maslow (1943) , tergolong aktivitas ritual yakni ialah suatu aktualisasi diri (merupakan salah satu keperluan tertinggi) dari suatu kelompok penduduk tertentu. Dari uraian diatas sanggup dilihat bahwa ruang sakral yang terdapat pada keempat desa Bali Aga ini memiliki posisi yang sungguh penting dan ialah sentra orientasi. Kegunaan suatu ruang sakral pada desa Bali Aga mempunyai fungsi yang lebih beraneka ragam daripada ruang sakral pada pakem arsitektur Bali periode Majapahit (yang lebih diposisikan pada suatu ruang dan bangunan khusus dan berlainan fungsi).
Pages%2Bfrom%2Bea84fc8e247ef45dd7829cdb89e8cc34 5
Gambar 6. Layout dan Denah rumah Adat Bali Majapahit/Dataran
(sumber: Adhika , 1994)
Gambar 6 menampilkan posisi area sakral pada layout rumah adab Bali Majapahit yang lebih dimengerti dengan nama Arsitektur Tradisional Bali. Area paling sakral yakni pada arah kaja-kangin atau Timur Laut yang ialah area pamerajan yakni tempat suci (1). Pamerajan ialah area untuk memuja leluhur dan dewa-dewi , dan menjalankan aktivitas ritual sehari-hari serta pada tiap upacara keagamaan. Area sakral ini lebih bersifat terbuka dan terpisah dari ruang/ bangunan yang lain dan memiliki pembatas yang jelas.
Tempat suci rumah adab desa Bali Aga yang sungguh sederhana dan terkesan tersembunyi dari pandangan penduduk lazim sungguh berlainan dengan performa tempat suci/pamerajan pada rumah adab Bali Majapahit. Pamerajan yang ialah area/ruang paling sakral pada rumah adab Bali Majapahit kebanyakan dibentuk dengan mutu dan performa yang terbaik dan sungguh menonjol serta ornamental daripada bangunan lain yang ada dan bisa menampilkan ciri khas dari setiap rumah adat. Hal ini sesuai dengan konsep arsitektur tradisional Bali yakni kian penting suatu bangunan maka bangunan tersebut kian indah dan ornamental.
Bangunan yang terletak pada sisi paling utara yakni ialah Bale Daja atau Bale Meten ialah tempat tinggal untuk orang renta dan berada pada area utama/sakral. Sedangkan ruang sakral yang lain pada rumah adab Bali Majapahit yakni ialah bangunan khusus yang berlainan untuk fungsi upacara agama diantaranya: penyimpanan perlengkapan keagamaan (pada bangunan gedong yang letaknya di merajan); barang bermanfaat (pada bale daja/bale meten); tempat tidur orang renta (pada bale daja/meten); dan menaruh mayit (bale dangin/bale gede) , memandikan mayit (dilakukan di halaman tidak pada bangunan) dan upacara keagamaan dan adab manusa yadnya dan tuhan yadnya (pada bale dangin/bale gede).
Ruang sakral pada rumah Bali Aga sungguh sederhana dan menyatu dengan segala aktivitas yang lain dan berada di/ dekat/ atas tempat tidur. Hal ini selaku suatu perwujudan kedekatan antara penghuni dengan leluhur dan dewa-dewi serta adanya keseimbangan antara ruang sakral dan profan di dalam teladan ruang dalam rumah adab Bali Aga. Ruang sakral pada rumah adab di keempat desa Bali Aga ini ialah ruang utama yang masih dipertahankan meskipun terjadi transformasi ruang dan bentuk rumah adab di saat ini yang tidak dapat dihindari.
Kesimpulan
Ruang sakral pada konsep rumah adab Bali Aga memiliki persamaan dan juga perbedaan dengan konsep ruang dengan konsep ruang arsitektur Bali Majapahit. Salah satu persamaan yang sanggup dilihat yakni aktivitas sakral yang diwadahi pada Bale /Pedeman Gede memiliki kesamaan dengan aktivitas yang diwadahi pada Bale Daja/Bale Meten serta Bale Dangin/Bale Gede pada rumah adab Bali Majapahit. Sedangkan perbedaannya yakni ruang yang mewadahi kegaiatan sakral pada rumah adab desa Bali Aga lebih sederhana dan menyatu dengan fungsi ruang lain. Keseimbangan antara sakral dan profan pada konsep rumah adab desa Bali Aga menampilkan suatu keunikan pada teladan ruang rumah ini. Broadbent , (1980) menyatakan bahwa ruang pada rumah tradisional/adat yakni bentuk ekspresi identitas budaya setempat , dalam hal ini ruang sakral ini ialah suatu aspek yang besar lengan berkuasa yang memicu identitas dari rumah adab Bali Aga , sehingga ruang sakral tetap dipertahankan walau segala pergeseran terhadap teladan ruang maupun bangunan terjadi. Secara tidak pribadi , ruang sakral menjadi penentu keberlangsungan rumah adab desa Bali Aga.
Sumber:
Tri Anggraini Prajnawrdhi ,[email protected]

Lab Perancangan Kota , Program Studi Arsitektur , Fakultas Teknik , Universitas Udayana

Daftar Pustaka
Adhika , I Made. 1994. Peran Banjar dalam Penataan Komunitas , Studi KasusKota Denpasar. Bandung: Tesis Program S2 Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota ITB.
Aspinal , P (1993). ‘Aspect off Spatial Experience and Structure’ , in Farmer , B & Louw , H , Companion to Contemporary Architectural Thought. London: Routlege.
Broadbent G , Bunt R & C. Jencks (1980) ‘Signs , Symbols and Architecture’. John Wiley & Sons. Chichester.
Carole Muller , 2011 , Bali Aga Villages; field work in the 1980s , Walsh Bay Press.
Eliade , M. 1986. The Sacred and The Profane , New York: The Crossroad , Publishing Company.
Groat , L. & Wang , D. (2002). Architectural Research Methods. New York: John Wiley & Sons. Inc.
Knowles , R (1996) , ‘Rhythm and Ritual , Maintaining the Identity of a Place ,’ Journal Traditional Dwelling and Settlements , Vol. 94 , p: 94-96 , Berkeley , IASTE (1996) , University of California.
M.McCutcheon , D & Meredith , JR 1993 , ‘Conducting case study research in operation management’ , Journal of Operations Management , vol. 11 , pp. 239-256.
Mukarovsky , J (1981) ‘Structure , Sign and Function’ , Yale University Press , New Haven.
Norberg-Schulz , C (1977) , ‘Intentions in Architecture’ , The M.LT Press , Cambridge Massachusetts.
Parimin , A , P (1986) , ‘Fundamental Study on Spatial Formation of Island Village: Environmental Hierarchy of Sacred Profane Concept in Bali’ , Disertasi , Universitas Osaka , Japan.
Prajnawrdhi , T.A (2016) , ‘Sanggah Kemulan Nganten Dan Pelangkiran: obyek penentu keberlangsungan rumah tradisional Bali Aga di Desa Pedawa- Kecamatan Banjar Kabupaten Buleleng , Bali’ , Jurnal RUAS , Vol.14 , No.2 , hal 58-68 , Universitas Brawijaya
Prijotomo , J (1988) , ‘Pasang Surut Arsitektur di Indonesia’ , CV. Ardjun. Jakarta ,
Rapoport , A (1969) , ‘House Form and Culture’ , Prentice Hall , Inc , Englewood Cliffs , New Jersey.
Reuter , Thomas A. , 2002 , Custodians of The Sacred Mountains; Culture and Society in the Highlands of Bali , University of Hawaii Press , Honolulu.
Runa , I Wayan , 2004 , Sistem Spasial Desa Pegunungan Di Bali Dalam Perspektif Sosial Budaya (PhD disertasi) , Universitas Gadjah Mada , Yogyakarta.
Sulistyawati (1985) ,’ Preservasi Lingkungan Perumahan Pedesaan dan Rumah Tradisional Bali di Desa Bantas , Kabupaten Tabanan’ , P3M , Universitas Udayana , Denpasar.
Untitled 3DAYAK

Seorang pakar sosial budaya yang aktif pada berbagai kegiatan sosial kemasyarakatan. Telah menempuh pendidikan di salah satu universitas swasta terbaik di Indonesia yang mengambil jurusan sosial budaya.

Pos terkait