Sejarah Dan Budaya: Religiusitas Dan Doktrin Penduduk Bugis Dan Makassar

Gambar Gravatar
PementasanteaterILaGaligoBerlabuhdiMakassar.SumberfotoIstimewa
RELIGIUSITAS DAN KEPERCAYAAN MASYARAKAT BUGIS-MAKASSAR
Pementasan%2Bteater%2BI%2BLa%2BGaligo%2BBerlabuh%2Bdi%2BMakassar.%2BSumber%2Bfoto%2BIstimewa
Gbr: ilustrasi Pementasan teater I La Galigo Berlabuh di Makassar
sumber: indonesia.go.id


K
epercayaan usang orang Bugis dan Makassar yang bentuk dan manifestasinya masih bisa ditelusuri keberadaannya , hingga kini dalam desain ketuhanan , umpamanya , ungkapan Dewata Seuwa (Bugis) dan Tau ri A’rana (Makassar) masih sering diengar dan diyakini eksistensinya.

     
Demikian pula dalam kehidupan sehari-hari , acara-acara menyerupai “mappangre galung” dan “maccera tasi” masih sering dijalankan dalam penduduk petani dan nelayan. Tulisan ini , juga , mengeksplorasi kepercayaan penduduk di Sulawesi Selatan ini , baik sebelum maupun sesudah masuknya Islam. Begitu pula imbas agama setempat dan agama gres (Islam) dalam kehidupan sehari-sehari. Dialog yang dinamis antara agama setempat dengan Islam manjadi instisari goresan pena ini.
Suku bangsa Bugis dan Makassar yang lebih banyak mendiami sona potongan tengah Sulawesi Selatan. dua suku bangsa ini , nyaris tidak sanggup dibedakan , lantaran keduanya penganut agama Islam yang patuh , di samping itu sudah terjadi pembauran lewat perkawinan.

Perbedaan utama yang terlihat cuma pada bahasa dan faktor budaya tertentu yang khas dimiliki oleh komunitas di tempat pedalaman. Orang Makassar lebih secara biasa dikuasai mendiami sisi selatan , sedangkan orang Bugis banyak bertempat tinggal di sisi barat wilayah propinsi Sulawesi Selatan. Pada biasanya orang Bugis-Makassar sudah mengenal suatu kepercayaan sebelum mengenal agama Islam. Kepercayaan mereka itu disebut dengan Attorioloang , dan beberapa tempat , mereka menyebut dengan ungkapan Attaurioloang

      
Kepercayaan ini merupakan religi orisinil masayarakat yang merupakan gelombang migrasi yang tertua suku bangsa protomelayu (Toala dan Tokea) di Sulawesi yang untuk beberapa kurun waktu bercampur dengan kepercayaan suku bangsa gelombang kedua Deutromelayu yang bergerak dalam lingkungan agama yang universal kemudian.
Upacara Maccera Tasi
Upacara Maccera Tasi , salah satu budaya penduduk Luwu.
Source : beautifulIndonesia

Akan tetapi unsur-unsur rohani dari kedua kepercayaan itu tetap lestari dalam kondisi yang menyamar , ia bergerak bareng dengan agama resmi tetapi ia tak diperkenankan menjalankan suatu organisasi atau melaksanakan secara terang-terangan. Contoh yang masih lestari dengan ungkapan mappanre galung artinya menampilkan makan sawah/tanah , maccera tasi’ , yakni memberi korban terhadap laut  , mattammu bulung merupakan salah satu dari rangkaian ritual pertanian penduduk yang lahir lantaran didasari mitos Sangiang Serri dalam I La Galigo , dilakukan untuk menyambut dan merayakan akan keluarnya biji padi pertama , dan lain-lain.

MAPPALILI
Mappalili merupakan upacara memulai animo tanam padi di sawah.
Ritual ini dijalankan oleh para pendeta Bugis Kuno
dikenal dengan istilah bissu , sumber jurgenirgo.wordpress

Sistem Kepercayaan
      
Sistem kepercayaan dimaksudkan merupakan bayangan insan terhadap aneka macam perwujudan yang berada di luar jangkauan logika dan pikiran manusia. Wujud-wujud tersebut tidak terjangkau oleh kesanggupan logika dan pikiran sehingga perwujudan tersebut mesti diandalkan dan diterima selaku dogma , yang berpangkal terhadap kepercayaan dan kepercayaan. 
      
Bayangan dan citra tersebut antara lain ihwal alam mistik yang meliputi sejumlah perwujudan menyerupai dewa-dewa , mahkluk halus , roh-roh dan sejumlah perwujudan yang lain yang mengandung kesaktian. Termasuk rangkaian dari tata cara kepercayaan tersebut merupakan bayangan insan ihwal kejadiannya serangkaian insiden terhadap orang-orang yang sudah meninggal dunia dan peristiwa-peristiwa yang lain yang terjadi pada alam ini.
Orang%2BBugis%252C%2Bsumber%2Bhistoria.id%2B1860.%2BLitografi%2BKITV
Orang Bugis , sumber historia.id 1860. Litografi KITV.

Demikian pula perilaku orang Bugis-Makassar terhadap “Yang Ilahi” , yang “Adikodrati” bertumbuh dari pengalaman hidup dengan masa-masa yang sarat dengan sukacita dan hari-hari sedih yang diawali dengan suatu perasaan mistik yang menaungi insani dan segala faktor kehidupan , sehingga rasa “keilahian” yang terpendam dalam batin sukar untuk diungkapkan , baik pernyataan yang berupa transenden (mempesona) maupun yang tremendum (menakutkan).
Sebab itu untuk kurun waktu yang cukup usang sejarah kepercayaan insan tidak menyebutkan nama TUHAN . Tuhan pencipta kemudian dianggap oleh mereka tersembunyi jauh di atas ciptaannya , Dia sudah menjadi serba mistik atau mereka jadi condong untuk mendekatkan diri terhadap yang mistik dan menghayalkannya selaku penjelmaan terhadap leluhur (animisme) mereka , penghuni pohon/benda-benda tertentu (dinamisme). Serta sanggup merealisasikan diri kedalam diri insan khususnya dalam diri seorang raja (dewa , dewaraja dsb.)
Foto%2Bpara%2BBissu%2BBugis%2Btradisional%2Bdari%2BSulawesi%2BSelatan%2Bsedang%2Bbersembahyang%2Bdan%2Bmelakukan%2Britual.%2BSumber%2Bphotobucket.com
Foto  Bissu Bugis tradisional dari Sulawesi Selatan  sedang bersembahyang dan melaksanakan ritual.
 Sumber photobucket.com

Mereka juga mempercayai adanya dewa-dewa disamping Dewata Seuwae dalam Bugis (Tuhan Yang Maha Esa) , To rie A’ra’na dalam Makassar (Yang Maha Berkehendak). Konsepsi Dewata Seuwae atau To rie A’ra’na mengisyaratkan bahwa jauh sebelum Islam masuk ke Sulawesi Selatan , desain pemikiran tantang ketuhanan sudah melembaga. 
Manusia Bugis-Makassar sudah menanam kepercayaan dalam diri mereka terhadap Dewata Seuwae selaku dewa tunggal. Tidak terwujud (de’ watangna) , tidak makan dan tidak minum , tidak dimengerti tempatnya , tidak berayah dan tidak beribu , namun memiliki banyak pembantu.
Hal serupa dikemukakan pula Mattulada , bahwa religi orang Bugis-Makassar pada masa pra-Islam menyerupai tergambar dalam kitab I La Galigo , bersamaan sudah mengandung suatu kepercayaan terhadap suatu tuhan yang tunggal , yang disebut dengan beberapa nama , seperti: 
  • PatotoE (Dia penentu Nasib) , 
  • Dewata SeuwaE (Tuhan yang Maha Esa) , dan 
  • Turie A’ra’na (Yang memiliki kehendak mutlak). 
Sisa-sisa kepercayaan tersebut masih terlihat terperinci hingga kini di beberapa tempat , menyerupai Tolotang di Sidenreng Rappang , dan Kajang di Bulukumba.
Konsepsi pemikiran ihwal Tuhan tunggal selaku bentuk agama tertua , juga dikemukakan oleh Andrew Lang. Menurut A. Lang beberapa hal pertanda bahwa kepercayaan pada satu Tuhan bukan lantaran adanya imbas agama Nasrani dan Islam , Lang beropini bahwa pada bangsa yang tingkat budayanya sudah maju ternyata kepercayaannya terhadap satu Tuhan terdesak oleh imbas kepercayaan terhadap mahkluk-mahkluk halus , dewa-dewa alam , hantu-hantu dan sebagainya. 
Jadi kata Lang , bersamaan kepercayaan terhadap tuhan tertinggi itu sudah sungguh bau tanah dan mungkin merupakan bentuk agama yang tertua. Pendapat ini diramu oleh Lang dari folklore aneka macam bangsa di dunia berupa dongeng yang melukiskan adanya tokoh Dewa Tunggal. Bahwa di aneka macam suku bangsa bersangkutan sudah ada kepercayaan terhadap adanya satu Dewa yang merupakan dan dianggap Dewa tertinggi yang yang mencipta alam semesta dan seluruh isinya , serta selaku penjaga
ketertiban alam dan kesusilaan.
Pendapat Andrew Lang itu disokong kemudian diperluas lagi oleh P. Wilhelm Schmitd SVD , yang mengemukakan bahwa agama itu berasal dari titah Tuhan yang diturunkan terhadap umat insan di saat timbul di bumi. Makara sejak penduduk insan masih rendah tingkat budayanya memang sudah ada ‘Uroffenbarung’ atau Titah Tuhan yang murni , sehingga kepercayaan ‘Urmonotheisnus’ yakni kepercayaan yang orisinil dan higienis dari khurafat , memang sudah ada sejak Zaman purba di mana tingkat budaya penduduk masih sungguh sederhana. 
Hanya lantaran tangan-tangan manusialah yang memicu kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa itu menjadi rusak , dipengaruhi oleh aneka macam bentuk pemujaan terhadap mahkluk-mahkluk halus , terhadap roh-roh dan dewa-dewa , yang diciptakan oleh logika pikiran insan sendiri.
Sedangkan menurut Schmidt , monotheism , kepercayaan terhadap satu tuhan , sesungguhnya bukan penemuan gres tetapi sudah tua. Bahwa agama itu berasal dari perintah Tuhan terhadap insan pertama di dunia. Maka adanya tanda-tanda kepercayaan terhadap dewadewa , roh-roh nenek moyang dan sebagainya merupakan merupakan suatu kepercayaan pada insan dalam tingkat teknologi sederhana.
Selanjutnya Schmidt menegemukakan ungkapan ‘urmonotheismus’ selaku tingkat kepercayaan insan yang masih hidup dalam tingkat tekhnologi sederhana. 
Dalam kaitannya dengan kepercayaan yang bau tanah pada penduduk orang Bugis-Makassar , menurut Aminah merupakan kepercayaan animisme dan dinamisme. 
Sedangkan Kepercayaan pra-Islam , menyerupai yang dikemukakan oleh Abu Hamid , intinya dapat
dilihat dalam tiga faktor , yaitu:
  • Kepercayaan terhadap arwah nenek moyang ,
  • Kepercayaan terhadap dewa-dewa Patuntung ,
  • Kepercayaan terhadap pesona-pesona jahat.
Kepercayaan seperti ini oleh E.B Tylor dinamakan animisme , yakni berasal dari kata anima , memiliki arti soul atau jiwa. Menurut Tylor , animisme merupakan suatu kepercayaan ihwal realitas jiwa. Menurut animisme menyerupai yang dikemukakan Tylor , sesudah insan meninggal dunia , jiwa tau roh akan meninggalkan jasmaninya dan selanjutnya bisa berpindah dan menempati makhlukmahkluk hidup ataupun benda-benda material. Karena itu , agar roh tadi tidak mengusik , maka perlu dijalankan pemujaan pada arwah leluhur atau benda-benda yang dianggap memiliki kekuatan magis.
Kepercayaan ini merupakan asumsi mereka terhadap adanya roh pada watu atau pohon , gunung dan sebagainya yang melahirkan aneka macam cara penyembahan yang dinamakan Attoriolong (Agama leluhur). Attoriolong dalam proses perkembangannya sudah mendapat imbas Konfusius dan Hindu. Oleh lantaran itu mereka percaya pada tiap-tiap tempat yang dianggap keramat , tempat bersemayam diatas atau di dalamnya roh-roh khususnya pohon yang rindang daunnya menyerupai pohon beringin yang disebut dalam bahasa Bugis  Ajuara.
Kepercayaan animisme mengalami pertumbuhan sejalan dengan pertumbuhan masyarakat. Menurut faham animisme , arwah leluhur juga memiliki struktur sosial sebagaimana halnya penduduk manusia. Para leluhur memiliki kedudukan yang berstruktur , mulai dari yang paling rendah hingga terhadap yang tertinggi.
Arwah yang menempati lapisan atas memiliki imbas yang paling menyeleksi pada kehidupan manusia. Dengan demikian , pemujaan terhadapnya juga dijalankan lebih serius dibanding dengan yang lainnya. Arwah yang menempati lapisan teratas tadi , mereka menamakannya selaku dewa.
Kepercayaan orang Bugis-Makassar terhadap arwah nenek moyang , dinyatakan dalam bentuk pemujaan terhadap kuburan dan tempat-temapt tertentu. Pemujaan diberikan terhadap kuburan orangorang tertentu yang mereka anggap berjasa pada penduduk , baik lantaran mereka pernah memeberi pinjaman dalam pemukiman atau lantaran semasa hidup mereka dianggap selaku tokoh rohaniawan dalam masyarakat. Kepercayaan seperti ini berlanjut pada masamasa pasca-Islam dan masih sanggup didapatkan dalam penduduk Gowa hingga sekarang. 
Mapalette%2BBola%252C%2BTradisi%2BUnik%2BPindah%2BRumah%2BKhas%2BSuku%2BBugis%2BSebagai%2BCerminan%2BGotong%2BRoyong%252C%2BFoto%2Bby%2Bindra%2Babriyanto
Mapalette Bola ,
Tradisi Unik Pindah Rumah Khas Suku Bugis Sebagai Cerminan Gotong Royong
Foto by indra abriyanto

Selain itu , mereka juga melaksanakan pemujaan terhadap tempat dan benda-benda tertentu yang dianggap sacral , seperti: watu naparak (batu datar) , pohon kayu besar , gunung , sungai dan posi butta (tiang tengah suatu rumah).
Ritual-ritual yang berhubungan dengan kepercayaan pada kuburan , tempat , dan benda-benda tertentu , dipimpin oleh seorang pinati. Fungsi pinati merupakan untuk menjaga tempat-tempat sakral serta melayani upacara sesajen. 
Upacara sosial yang dijalankan oleh penduduk sesudah panen disebut upacara saukang. Tempat upacara biasa dilaksanakan di posi butta di kayuara (jenis pohon kayu besar).
Dalam rumah tangga aristokrat atau kepala-kepala watak , disimpan suatu benda sakral , menyerupai keris , kalewang dan Panji. Benda-benda itu disebut pantasak dan merupakan simbol status keluarga dalam masyarakat. Mereka juga mempercayai terhadap fenomena-fenomena alam yang dianggap bisa mensugesti kehidupan manusia. Seperti contoh , sanggup dilihat dalam kepercayaan mereka terhadap gerhana bulan atau gerhana matahari. 
Dalam Lontara Pangisengeng disebutkan:
Rekko muharrang ngi na siamek uleng nge/ ma ega jak na paturung Allah Taala ri tana e/ Ma ega to sara ininnawa na arung nge/ Enreng nge tau tebbek na/ Ma deceng ngik massidekka ro to namase-mase.
Jika terjadi gerhana bulan pada bulan muharram , banyak kejahatan yang diturunkan Allah Ta’ala (didalam negeri banyak. Banyak kesulitan hati yang menimpa pada raja dan rakyatnya. Sebaiknya , (untuk menyingkir dari itu) kita banyak berzakat terhadap orang miskin.
Lontara pangissengeng di atas menyinggung nama bulan dalam kalender Islam , yakni bulan Muharram. Hal ini menampilkan bahwa lontara tersebut ditulis sesudah Islam diterima di Sulawesi Selatan.
Ilustrasi%2Bindonesiaberprestasi.web.id
gambar Ilustrasi: sumber: indonesiaberprestasi.web.id

Selain itu , sanggup diartikan bahwa kepercayaan usang masih tetap berjalan sesudah Islam diterima baik oleh masyarakat. yakni kepercayaan terhadap dewa-dewa disamping Dewata Seuwwae , lantaran memiliki tingkatan-tingkatan dalam pemujaan dan persajian , sehingga membaginya menjadi tiga tingkatan sesuai dengan tempat dimana dewa-dewa itu bersemayam dan bertugas , yaitu:
Dewata Langie , 
yaitu suatu tuhan yang menghuni langit. Dewa ini diharapakan menghadirkan hujan yang sekaligus kemkmuran. Disamping itu dewata langie sanggup memebawa kerusakan pada ummat insan dengan jalan menurunkan petir yang dalam bahasa Bugis nakenna uling , atau dengan menghadirkan kemarau yang panjang. 
Dalam persajian , maka rakyat/penduduk menyajika makanan berupa empat macam warna ketan yang dalam bahasa Bugis disebut massorong sokko patanrupa di dalam suatu balasuji di atas loteng rumah. Dewa ini rupanya pernah hidup di antara insan , akan tetapi kini sudah mistik yang dalam bahasa Bugis disebut mallajang.
Dewata Mallinoe , 
yaitu suatu tuhan yang banyak menempati tempat-tempat tetentu , tikungan-tikungan jalan , posi tana (pusat bumi) , pohon yang rindang daunnya , batu-batu besar atau belukar. 
Mereka melaksanakan persajian dengan menaruh telur dua kali Sembilan biji dan beberapa sisir pisang , manuk mallebu (ayam masak yang tak ada bulunya) , menaruh sokko patanrupa dalam suatu anca yang yang dibikin pucuk ijuk yang disebut daung bompong , dan ditaruh atau digantung pada pohon dalam hutan atau tempat-tempat persajian lainnya. 
Persajian eperti ini disebut dalam bahasa Bugis mattoana tautenrita , maksudnya mempersembahkan korban terhadap dewata yang tak tampak.
Dewata Uwae , 
yaitu yang tinggal di air biasanya dijalankan dengan iringan gendang dimana suatu balasuji berisi bendabenda tertentu , menyerupai sejumlah telur yang belum masak , sokko patanrupa , daun sirih yang dianyam bersilang dan bermacam-macam daun tertentu serta daun paru yang diatasnya ditaruh beras yang sudah diberi kunyit dan sebagainya. 
Pada beberapa tempat upacara pelaksanaan serupa ini dijalankan sebelum subuh , yang dalam bahasa Bugis disebut denniari. Menurut kepercayaan orang Bugis-Makassar dahulu , bahwa dewata/dewa dahulu kala itu memiliki tempat bersemayam tertentu , akan tetapi tidak senantiasa disuatu tempat. Para dewata itu gres berada di tempat bersemayam kalau sedang ada upacara atau persajian , menyerupai upacara minta hujan , minta berkah dewata , tulak bala , massorong sokko patanrupa , mappanre galung , mattoana , manre sipulung , dan sebagainya.
Menurut persepsi antropologi , kaum animisme mempersonifikasikan tenaga-tenaga alam mistik yang di luar kendali insan , menjadi dewa-dewa. Segala sesuatu yang di luar kekuasaan insan , diserahkan terhadap dewa. Mereka menjadi sasaran kultus , ritus , sesajen , da permohonan. 
sampul%2Bbuku%2BBugis%2BMakassar
sampul buku Bugis Makassar
sumber bukukita

Untuk kebutuhan tertentu dipuja tuhan tertentu pula , yang dinyatakan memlebihi dewa-dewa lain. demikian halnya dalam masyarakt Bugis-Makassar pra-Islam juga mempercayai banyak tuhan , salah satu diantaranya adalah:

  • Tokammaya Kanana yang dianggap selaku tuhan tertinggi. Dialah yang bikin sekalian alam dan segala isinya. 
  • Sedang tuhan pengawas dan pemelihara ciptaan , mereka sebut Ampatana
  • Dewa khusus yang menjaga insan disebut Patanna Lino

Mereka memiliki persepsi kosmologi yang sanggup dilihat dalam kepercayaan mereka bahwa alam ini terdiri atas tiga lapisan banua , yaitu 

  • botting langik (dunia atas) , 
  • kale lino (dunia tengah) , dan 
  • paratiki atau pertiwi (dunia bawah). 

Untuk menyingkir dari musibah tertentu , menyerupai penyakit menular , hama flora , kekeringan , dan sebagainya , mereka melaksanakan upacara pemujaan terhadap dewa. Pemujaan dipimpin oleh seorang tokoh yang mereka namakan anrongguru (Makassar) , anreguru (Bugis). 
Mereka juga mempercayai dewa-dewa bawahan yang disebut puang lohate. Ia bertugas untuk menggerakkan insiden alam , dewa-dewa bawahan ini berada disemua tempat. Oleh lantaran itu , penduduk Bugis-Makassar sanggup melaksanakan penyembahan di kampung sendiri. Walaupun mereka mempercayai bahwa sentra tuhan terdapat di Gunung Bawakaraeng.
Mengacu pada uraian diatas , maka perilaku insan terhadap Tuhan dalam kepercayaan Bugis Makassar merupakan massoma (menyembah) atau makkasiwiyang (mengabdi) kepada-Nya. Manusia menginginkan dari tuhan , cahaya budi untuk mengerti kondisinya sendiri dan bagaimana ia mesti bertindak. Cahaya budi itu dalam kepercayaan Bugis disebut pabbiritta atau pammase
Manusia yang mendapat pammase bisa mengendalikan hidupnya secara wajar , mereka disebut Tau Tongeng-tongeng (manusia seutuhnya) atau sederajat lebih tinggi lagi disebut Tau Bettu (manusia transenden).
Berbagai ritual dijalankan untuk memohon dan menyembah para dewata tersebut. Ritual penyembahan massompa antara lain : 
  • tulakbala , 
  • massorong , 
  • mappaenre , 
  • mattoana , 
  • millau bosi , 
  • mattedduk arajang , 
  • mappedaung arajang , 
  • manre sipulung , 
  • maddoja bine , 
  • mapaplili dan 
  • mappalettuk. 

Ritual seperti ini didatangi oleh sebagian komunitas dan biasa jg didatangi oleh semua penduduk setempat. Jika disederhanakan , maka massompa terhadap Dewata dalam kepercayaan Bugis-Makassar akan digolongkan menjadi empat klasifikasi beradasarkan penggolongan Dewata. 

  • Massompa terhadap Dewata LangiE (Dewa Langit) yang bertempat tinggal di Bottinglangik , dicandera dengan nama mappaenrek (persembahan naik ke atas).
  • Massompa terhadap Dewata Mallinoe (Dewa yang Membumi) yang bertempat tinggal di Alekawa , dicandera dengan nama mappangolo (menghadapkan). 
  • Massompa terhadap Dewata TanaE (Dewa Tanah) yang bertempat tinggal di Peretiwi atau Posiktana , dicandera dengan nama massorong (menyodorkan atau mendorong persembahan turun).
  • Massompa terhadap Dewata UwaE (Dewa Air) yang bertempat tinggal di Burikliuk , di candera dengan nama Mappanok (persembahan ke bawah). 
  • Massompa terhadap Dewata PatotoE , Dewata tertinggi , dicandera dengan nama makkasuwiyang atau mengabdikan diri.
Jumlah Dewa-dewa orang Bugis-Makassar pra Islam amat banyak. Kebanyakan diantara Dewa menempati tempat-tempat yang dianggap keramat. Dewa-dewa tersebut tiba pada tempat tersebut apabila diadakan upacara/ritual. 

Dewi padi atau sangiasseri yang hidup diantara para kaum tani akan tiba pada upacara mappalili atau maddoja bine.
Pranata-pranata keagamaan yang menghubungkan dengan sistem-sistem kepercayaan orang Bugis-Makassar sebelum agama Islam sanggup kita lihat dari sisi kepercayaan yang meliputi :
  • Pammasareng ,
  • Dewata-dewata ,
  • Tau Tenrita , 
  • Barilaya ,
  • Makerre’ (mempunyai kekuatan sakti) ,
  • Lasa Namateng ,
  • Atuwong Lino na esso rimonri , 
  • dan sebagainya. (Nyompa , 1992 :40).12
Demikianlah tata cara kepercayaan orang Bugis-Makassar menurut kepercayaan animisme , dinamisme , dan kepercayaan terhadap dewa-dewa. Seperti kita pahami bahwa masa tersebut di atas tidak dimengerti tentu kapan dimulai , oleh lantaran keprcayaan ini berjalan hingga kini dalam bentuk religi/agama kerakyatan yang lokal. 
Di kelompok orang Bugis-Makassar yang sudah melaksanakan syariat secara konsekwen menurut anutan Islam , khususnya di desa-desa , pegunungan dan pedalaman masih sanggup ditemui tanggapantanggapan mereka terhadap dunia mistik yang berasal dari konsepkonsep kepercayaan lama. 
Tanggapan demikian dinyatakan dalam aneka macam upacara yang dijalankan sehubungan dengan aktivitas hidup sehari-hari , menyerupai upacara atau ritual naik ke Gunung dan turun ke sawah yang disebut mappalili , maccera , manre sipulung , massmpo , mattoana dan sebagainya.
Islamisasi Bugis-Makassar
Islamisasi orang Bugis-Makassar berjalan secara tenang dan dimulai dari lapisan elit ke lapisan massa bawah (top down). Terdapat beberapa model proses masuknya Islam di Sulawesi Selatan , misalnya  proses islamisasi dalam sejarah kerajaan Gowa dan Tallo. Raja Tallo VI berjulukan I Mallikang Daeng Nyonri Karaeng Katangka mulai memeluk agama Islam pada tanggal 22 september 1605. Raja Tallo yang juga Mangkubumi Kerajaan Gowa ini diberi gelar Arab: Sultan Abdullah Awwalul Islam. 
Buku%2BSejarah%2BIslamisasi%2BMakassar
Cover Buku Sejarah Islamisasi Makassar Penulis Noorduyn
Tahun Terbit 2018
Peristiwa ini disusul dengan pengislaman raja Gowa XIV berjulukan I Mangarangi Daeng Manrabia , yang mendapat nama Arab Sultan Awaluddin. Dua tahun kemudian seluruh rakyat Gowa dan Tallo sudah memeluk agama Islam.Abdurazak Dg. Patunru , Sejarah Gowa , (Makassar: Yayasan Kebudayaan
Sulawesi Selatan Tenggara , 1967) , h. 22
Bila raja sudah memeluk agama Islam , maka rakyat dipandang juga sudah memeluk agama tersebut. Agama raja serta merta menjadi agama Negara. Pola pengislaman “dari atas kebawah ini mempergunakan tradisi setempat Bugis-Makassar yang menilai raja selaku pemilik kekuatan mistik yang diperoleh lewat penitisan dewa-dewa , yang memiliki kekutan fisik dan metafisik. Pemimpin dari penitisan tuhan itulah yang dipercayai selaku representasi kekuasaan bumi dan langit yang berkesinambungan dari dunia hingga pada hidup sesudah mati.
Kekuasaan dalam kelompok penduduk diserhakn terhadap orangorang yang memiliki kekuatan adikodrati (gaib) dianggap selaku hal yang menyeleksi dalam kehidupan , sekaligus menjadi sumber segala kekuasaan dan kepemimpinan.
Islam sendiri hingga ke Makassar diperkirakan sekitar tahun 1546-1565 , lantaran pada dikala itu raja Gowa ke XVI. Raja tonijallo sudah mendirikan mesjid untuk kelompok orang melayu di Mangalekana , sekalipun demikian , menurut Mattulada , dua kerajaan beasar yang kembar ini secara resmi memeluk agama Islam pada masa ke-16 , tepatnya pada tanggal 9 November 1607. 
Kita kemudian mengenal kerajaan Gowa dan Tallo ini lah selaku sumber dari penyebaran Islam. Memang terdapat beberapa pertimbangan ihwal kapan sudah pasti Islam masuk ke Makassar secara resmi. Spelman memperkirakan waktu itu terjadi sekitar tahun 1603 (Notitie van Speelman/ catatan Speelman; 1669). Ini disepakati oleh F.W. Stapel (Het Bongais verdrag , 1922) , Matthes ( Machassarche Cherosmatic , 1883) dan Crawfurd (Historian of the Indian Archipelago , 1820) yang menunjuk angka tahun 1605. 
Seorang peneliti lain Rouffaer dengan bersandar pada Makassarche Historien menunjuk tahun 1607 , itu selaku tahun masuknya Islam. Perbedaan ini dilukiskan dengan cukup detil oleh Noorduyn dalam bukunya Islamisasi di Makassar. Noorduyn. J. 1956. Islamisasi Makassar dari judul orisinil De Islamisereing van Makassar , (t.tp : B.K.I. , 1956) , h. 247-266
Sebagaimana sudah diuraikan di atas bisa ditarik kesimpulan , bahwa dalam model sejarah resmi , proses Islamisasi orang Bugis-Makassar di Sulawesi Selatan mulanya memang mulanya dari kekuasaan (top down) , yakni lewat kekuasaan para raja kemudian dibarengi oleh rakyatnya. Kenyatan menyerupai ini pun dipakai oleh kolonial Belanda , yang memicu agama orisinil menjadi korban penjajahan dan diskriminasi. Orang-orangnya dimasukkan ke klasifikasi ‘kafir’ heidenen selaku barang yang tersisa a residual factor. Karena pemerintah colonial tidak berkontak dengan rakyat jelata yang mayoritasnya beragama orisinil , tetapi cuma dengan pengusahapengusaha feodal yang kurang lebih kehinduan atau keislaman. Oleh alasannya merupakan itu peraturan-peraturan kolonial berpedoman pada agama minoritas lapisan atas.
Sebagai contoh , peraturan tahun 1895 , No. 198 , umpamanya , mengharuskan agar semua perkawinan dari orang yang bukan Nasrani dan bukan Hindu dijalankan menurut Islam. Demi penyederhanaan tata kelola perkawinan , maka massa rakyat masuk statistik di bawah rubrik Islam dan menyebut diri selleng (bugis) sallang (Makassar).
Untuk menjaga rust en orde buku-buku polemis dilarang; subsidi diberikan terhadap pusat-pusat agama Islam , naik haji ke Mekkah diselenggarakan secara besar-besaran , dan keseluruhan aturan watak orisinil yang amat berlainan dengan syariat , diadopsi dalam hokum resmi menurut teori receptio in complex.
Dari pihak Islam kurang ada kerja keras untuk merubah ‘orang Islam surat-kawin’ , yang dengan secara tiba-tiba dalam jumlah berjuta-juta digabungan dengan umat itu , agar menjadi orang mukmin yang taat terhadap syariat. Sampai tahun 1895 , agama orisinil walaupun tidak mulus lagi , tetap menjadi dominant religious pattern. Tanpa perbedaan kualitas , dogma orisinil dan asing hidup berdampingan. 
Konfrontasi kaum santri dengan agama orisinil gres mulai sejak teejadinya kontak dengan sentra Islam di Mekkah , sesudah kanal Suez dibuka pada 1869. Timbullah kerja keras untuk membersihkan badan Islam dari takhayul , watak kejawen , attoriolong dan watak kehinduan dan pra-Islam. 
Proses pemurnian ini berlanjut hingga masa kemerdekaan , bahkan hingga masa reformasi kini ini. Gerakan Gerombolan Kahar Muzakkar , Gerakan Operasi Tobak dikala pemebrantasan ateisme di Sulawesi Selatan , dan gerakan dimassa pada masa-masa reformasi akhir-akhir ini; merupakan beberapa contoh problem di Sulawesi Selatan.
Di satu sisi ada juga sebagian kelompok yang mengira bahwa Islam masuk ke wilayah Sulawesi Selatan jauh sebelum tahun-tahun dalam model sejarah resmi yang diuraikan sebelumnya. K.H. S. Jamaluddin Aseegaf Puang Ramma , umpamanya , dalam bukunya Kafaa dalam Perkawinan dan Dimensi penduduk Sul-sel (tanpa tahun penerbit , menyebutkan bahwa masuknya Islam ke Sulawesi-Selatan diperkirakan berjalan sekitar tahun 1320. 
Yang pertama tiba merupakan seorang sayyid yang berjulukan Sayyid Jamaluddin Akbar al-Husaini. Ia merupakan kakek dari Maulana Malik Ibrahim , Sunan Giri dan Gunung Jati. Sayyid jamaluddin tiba dari aceh lewat pajajaran Majapahit , yang dikala itu diperintah oleh Raden Wijaya. Dari sini Sayyed Jamaluddin kemudian melanjtkan perjalanannya ke Sulawesi Selatan. Ia mendarat di pantai Bojo Nepo kabupaten Barru , dan masuk ke Bugis Tosara (Wajo). Sayyid Jamaluddin meninggal sekitar tahun 1320 M. model ini kemudian menerangkan bahwa raja yang pertama memeluk agama Islam merupakan La- Maddusila. Ini juga didapatkan dalam kitab Hadiqatul Azhar yang ditulis oleh Ahmadi bin Muhammad Zain al-Fattany , Mufti kerajaan Fattani di Malaysia.
Cerita lain yang tidak ditulis dalam sejarah resmi merupakan Islamisasi di Sulawesi Selatan itu dijalankan oleh sayyid Jalaluddin di Mangara Bombang , yang kini dipahami dengan Cikoang. Sayyid Jalaluddin tidak diterima baik dalam lingkungan kerajaan Gowa. Karena penyebaran ajarannya tidak lewat kekuasaan dan legitimasi para raja , ia pun kurang diingat dalam sejarah Islamisasi , malah keturunan dan pengikutnya dikala ini mendapat cap pelaku bid’ah dalam Islam. Padahal proses Islamisasi yang dilakukannya tidak dengan nuansa syariat yang kaku , melainkan lewat proses pembicaraan dengan budaya setempat. Salah satu umpamanya , ia merubah rebbana yang terkesan Arab dengan ganrang selaku alat musik dikala memperingati kelahiran nabi (maulid) , bahkan merubah nama Maulid Nabi dengan kaddo minyak.
ISLAMISASI%2BBUGIS%252C%2BKAJIAN%2BSASTRA%2BATAS%2BLA%2BGALIGO%2BVERSI%2BBOTTINNA%2BI%2BLA%2BDEWATA%2BSIBAWA%2BI%2BWE%2BATTAWEQ
Cover buku ISLAMISASI BUGIS:
KAJIAN SASTRA ATAS LA GALIGO
VERSI BOTTINNA I LA DEWATA SIBAWA I WE ATTAWEQ 

Demikian pula halnya dengan para penganjur Islam setempat menyerupai Latola Pallipa Putewe. Ia tidak mendapat tempat dalam sejarah Islamisasi di Sulawesi Selatan. Padahal bagi keturunan Latola , puang Barakka dan Peno , Latola merupakan seorang wali yang sungguh berjasa berbagi Islam di Langnga , dan Katteong bahkan Pinrang pada umumnya. “Latola merupakan penganjur Islam di daerha ini , dialah yang mengajarkan terhadap penduduk pada masa itu bagaimana sebaiknya seorang Muslim mengamalkan anutan agamanya”. , ujar Puang Barakka dengan tegas. Seorang peneliti dari UIN Makassar , justru mengambil kesimpulan bahwa Latola ini merupakan seorang wali penganjur Islam di Mattirosompe kabupaten Pinrang. Hal ini juag disokong oleh peneliti lain yang juga dari UIN Alauddin Makassar ihwal cara-cara Latola dalam meningkatkan anutan Islam yang masih ada unsur-unsur keprcayaan setempat ia beropini bahwa “Islam tiba ke satu tempat tidak boleh hitam putih , namun mesti bisa saling mengisi dengan budaya ditempat mana ia akan menapak. Samiang Katu , Pasang ri Kajang , (Makassar: Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat PPIM IAIN Alauddin Makassar , 2000) , h. 28
Penulisan sejarah ihwal proses Islamisasi yang condong bersifat elitis semacam itu , sudah memunculkan cerita-cerita keberislaman yang lain , yang setempat , yang bernuansa sufistik , yang berdialog dengan budaya setempat , justru menjadi sesuatu yang asing bagi penduduk banyak di Sulawesi Selatan. 
Praktek keberislaman yang timbul menyerupai di Cikoang , Bissu , Karampuang , Cerekang , Tanah Toa , Tolotang dan Bawakaraeng tidaklah mendapat apresiasi. Sebalikya , mereka malah dianggap selaku penganut Islam yang belum tepat bahkan sesat , sehingga perlu diluruskan bahkan ditumpas.
Demikian halnya pada masa pergerakan kemerdekaan Nasional Indonesia , gerakan islamisasi belum ada efek signifikan di wilayah Sulawesi Selatan. Periode islamisasi selanjutnya gres terjadi efek yang cukup signifikan terhadap agama dan komunitas setempat , yakni pada masa pemberontakan Kahar Muzakkar sekitar Tahun 1950- 1957. 
Dibandingkan dengan periode sebelumnya , periode ini memiliki riwayat yang berlainan , khususnya lantaran Islamisasi oleh kelompok Kahar Muzakkar condong dijalankan dengan cara-cara kekerasan Islamisasi menjadi potongan dari gerakan Kahar , ia menonjolkan pemurnian Islam yang tidak kompromis terhadap tradisi bahkan tergolong mazhab. Lebih lanjut lihat Barbara Harvey , Tradition , Islam , and Rebellion: South Sulawesi.. 
Saat itu nyaris semua Komunitas dan agama setempat yang berada di Sulawesi Selatan mencicipi respon dari gerakan Islamisasi ini. Komunitas Bissu , umpamanya , pada masa itu dikejar-kejar , ditangkap , sebagian besar dibunuh , dan perlengkapan ritualnya dihancurkan Saat ini yang masih tersisa merupakan sisa-sisa dari mereka yang masih bertahan hidup respon gerakan DI/TII Kahar Muzakkar. Lihat Halilintar Latief , Bissu. Pergulatan dan Peranannya dalam Masyarakt Bugis (Depok: Desantara , 2003). Juga Halilintar Latief , ”Bissu Para Imam yang Menghibur”. Makalah pada Seminar Internasional Lagaligo di Pancana gres , 2001.  Yang tertangkap dipaksa melakukan pekerjaan dan dipaksa menjadi pria tulen. Tak kalah memprihatinkannya merupakan apa yang dialami oleh komunitas Bawakaraeng. Komunitas ini juga dikejar-kejar , dicegat keberangkatannya ke puncak gunung Bawakaraeng , kemudian komunitas setempat Ammatoa di Kajang juga mendapat penetrasi dari islamisasi ini , banyak pengikut dan penunjang Ammatoa dibunuh oleh gerombolan DI/TII yang dipimpin oleh Kahar Muzakkar dengan argumentasi pemurnian anutan Islam , dan banyak diantara mereka yang terbunuh lantaran tetap bertahan pada keyakinannya. 
Cerita serupa juga dialami oleh komunitas Cikoang di Takalar , Karampuang di Sinjai dan beberapa komunitas lain yang ada di Sulawesi Selatan. Konstruk sejarah Islamisasi menyerupai inilah yang menjadi salah satu faktor penjelas korelasi antara agama dan kebudayaan setempat terlihat problematis hingga dikala ini. Di sisi lain , konstruk sejarah yang serupa juga seolah memberi legitimasi bahwa kekuasaan Negara atau pemimpin berhak mengendalikan kehidupan beragama masyarakatnya.
Tidaklah mengherankan bila dikala ini sejarah resmi Islamisasi juga menjadi pola yang dipakai oleh para penganjur formalisasi Syariat Islam di wilayah ini untuk mengabsahkan ide mereka.
Islam dan Budaya Lokal

Kedatangan Islam pastinya amat mensugesti kepercayaan dan tradisi penduduk setempat. Kedatangan Islam di Sulawesi Selatan sebagaimana sudah diuraikan pada pembahasan sebelumnya , agak telat kalau daripada daerah-daerah yang lain di Indonesia , menyerupai Sumatra , Jawa , Kalimantan , dan Maluku. Hal ini disebabkan kerajaan Gowa barulah dipahami selaku kerajaan yang besar lengan berkuasa dan menjadi kerajaan jualan pada final masa XVI atau permulaan XVII. Dalam kurun waktu tersebut para pedagang muslim dari aneka macam tempat Nusantara dan para pedagang asing dari Eropa mulai ramai mengunjungi tempat ini.
Islam%2Bdan%2BBudaya%2BLokal%2BKajian%2BAntropologi%2BAgama
Gambar cover buku: Islam dan Budaya Lokal
Kajian Antropologi Agama
sumber daonlontarbooks

Menurut teori yang sudah dikembangkan ole Noorduyn , proses islamisasi di Sulawesi Selatan tidak jauh berlainan dengan daerah-daerah yang lain di Indonesia , yakni lewat tiga tahap: 
  • kedangan Islam ,
  • penerimaan Islam , dan
  • penyebaran

lebih lanjut dari teori islamisasi tersebut , menurut Noorduyn , Islamisasi dalam pemahaman penerimaan Islam , sanggup memiliki arti konversi dan juga bisa memiliki arti pergeseran sosial-budaya. Konversi merupakan perpindahan agama atau kepercayaan yang dianut sebelumnya terhadap Islam.
Sedang Islamisasi dalam penegertian pergeseran sosial-budaya , yakni pergeseran yang terjadi secara pembiasaan atau penyesuaian secara sedikit demi sedikit dari budaya pra-Islam atau budaya setempat terhadap budaya Islam. 
Dalam pemahaman yang terakhir ini , para mubalig Islam tidak melaksanakan perombakan pada pranata sosial-budaya yang sudah ada , akan tetapi mereka memberi nilai-nilai Islam pada pranata usang atau menambahkannya dengan pranata gres yang berasal dari budaya Islam.
Ini signifikan dengan teori yang dikembangkan oleh antropologi agama Clifford Geertz , menurutnya , bahwa agama merupakan tata cara budaya , yang dipengaruhi oleh aneka macam pergeseran sosial dan dengan sendirinya aneka macam proses pergeseran sosial itu dapat mensugesti tata cara budaya. 
Ditambahkan lagi oleh Geertz bahwa religi merupakan suatu pengalaman unik yang bermakna , menampung iedentitas diri , dan kekuatan tertentu. Dengan kata lain , agama akan bermitra dengan rasa , langkah-langkah , dan pengalaman konkret yang berbeda-beda satu sama lain. Setiap orang memiliki perasaan dan pengalaman yang berlainan dalam menjalankan agama masing-masing. Bahkan dalam pertumbuhan selanjutnya agama sering dipengaruhi oleh hal ihwal diluar dirinya. Seperti acara politik , birokrasi , budaya , modernisasi dan pergeseran dunia amat besar lengan berkuasa terhadap fenomena agama.
Disini kita sanggup menyaksikan dimana fenomena agama (Islam) di Sulawesi Selatan sanggup mensugesti fenomena budaya. Dimana kemunculan Islam di Sulawesi Selatan sungguh mensugesti kepercayaan penduduk lokal. Karena keterkaitan keduanya sehingga terjadi dialektik dan sinkretisme kemudian melahirkan identitas yang di adopsi dari anutan Islam.
Agama dilihatnya selaku produk kehidupan kolektif; kepercayaan dan ritus agama memperkuat ikatan-ikatan social dimana kehidupan kolektif itu bersandar. Dengan kata lain , korelasi antara agama dan penduduk menampilkan saling ketergantungan yang erat. Inilah salah satu pinjaman Durkheim terhadap perspektif consensus dengan penjelasannya terhadap agama secara fungsional. Ia menyaksikan bahwa acara keagamaan didapatkan didalam masyrakat lantaran agama mempunyai kegunaan positif; yakni menolong menjaga kesatuan moral masyarakat.
Kedatangan Islam di Sulawesi Selatan tidak lepas dari imbas budaya lokal. Sebab permulaan kemunculan Islam , para penganjur dan mubalig mendialogkan antara budaya Bugis-Makassar dengan budaya Islam. 
Menurut Abu Hamid , tradisi keagamaan yang pada umumnyaberkembang dalam penduduk Bugis-Makassar sanggup dibagi ke dalam dua azas , yaitu

  • kepercayaan usang yang bersumber dari tradisi keagamaan nenek moyang , dan
  • kepercayaan yang bersumber dari ajara Islam. 

Kedua azas kepercayaan ini berbaur dalam praktekpraktek ritual dan upacara.Penuilisan sejarah ihwal proses Islamisasi yang condong ”istana sentris” , sudah memunculkan cerita-cerita keberislaman yang lain , yang setempat , yang bernuansa sufistik , yang berdilaog dengan kultur setempat , justru menjadi sesuatu yang asing bagi penduduk banyak. 
Praktek keberislaman yang timbul menyerupai di Cikoang , Bissu , Karampuang , cerekang , Kajang di Tanah Toa dan Bawakaraeng , tidaklah mendapat apresiasi. Sebaliknya , mereka malah dianggap selaku penganut Islam yang belum tepat bahkan sesat , sehingga perlu diluruskan atau bahkan ditumpas.
Konstruk sejarah Islamisasi menyerupai inilah yang menjadi salah satu faktor penjelas korelasi antara agama dan kebudayaan setempat tentu problematis hingga dikala ini. Di sisi lain , konstruk sejarah yang serupa juga seolah memberi legitimasi bahwa kekuasaan negara atau pemimpin berhak mengendalikan kehidupan beragama masyarakatnya.
Tidaklah mengherankan bila dikala ini sejarah resmi Islamisasi juga menjadi pola yang dipakai oleh para penganjur formalisasi Syariat Islam di wilayah ini untuk mengabsahkan ide mereka.
Keberagamaan Orang Bugis-Makassar
Agama merupakan unsur penting yang menyeleksi identitas suatu masyarakat. Oleh lantaran itu , diterimanya Islam selaku agama orang Bugis-Makassar merupakan insiden yang sungguh penting.
Terdapat dua duduk problem yang perlu dimengerti berhubungan dengan pengenalan pertama antara orang Bugis-Makassar dan orang-orang Muslim sebelum mereka menganut Islam secara resmi pada permulaan masa XVII. 
  • Pertama , kontak yang dijalankan oleh para pedagang Bugis-Makassar dengan penduduk muslim di saat merantau. 
  • Kedua , kontak yang berjalan di dalam wilayah Sulawesi Selatan lewat para pedagang muslim yang sudah bertempat tinggal di Makassar sejak pertengahan masa XVI. 

Ini dikehendaki mengecek adanya orang Bugis- Makassar yang menganut Islam sebelum Islam diterima secara resmi oleh Raja pada tahun 1605.
Orang Bugis-Makassar terhitung 97% lebih menganut agama Islam. Mereka menganut Islam secara taat dalam artian kepercayaan.
Walaupun orang Bugis-Makassar dalam praktiknya belum sepenuhnya menjalankan syariat Islam , tetapi mereka tidak mau dibilang bukan Islam. Mereka yang menyerupai itu lebih banyak membuat Islam dalam hatinya dan pikirannya. 
Mungkin lantaran itu pula , masih ada sebagian diantara mereka yang masih menjalankan praktik kepercayaan dahulu attoriolong. Mereka senantiasa mempertimbangkan Islam , tetapi praktik-praktik dalam rukun Islam masih sukar dilakukannya secara sempurna. 
Berbagai tanda-tanda ihwal respon mereka terhadap sekitar alam lingkungannya dan tata cara kepercayaannya menampilkan adanya campur-baur dalam praktek keagamaan. Keadaan penduduk menyerupai ini , dalam ungkapan Chabot menyebutnya komunitas keagamaan (worship community) , yakni komunitas dibikin menurut obyek penyembahan tertentu oleh orang yang tinggal dalam satu wilayah.
Sedangkan Para penganut agama Islam biasanya dipersatukan oleh satu ikatan persaudaraan sesama muslim (ukhuwah Islamiyah) yang membuat muslim yang satu bersaudara dengan muslim lainnya. Kemungkinan besar hal inilah yang mendasari kecenderungan orang Bugis-Makassar untuk memebntuk semacam entitas supra-etnis Bugis-Makassar yang kian kokoh selaku sesama Islam di Sulawesi Selatan. 
Berbagai etnis berlainan tersebut akan dengan bahagia hati memperkenalkan diri mereka terhadap orang luar selaku “orang Bugis-Makassar”. Meskipun penetrasi anutan Islam sudah berjalan usang di Sulawesi Selatan sesuai dengan pencarian di atas , tetapi kepercayaan tradisional masih bertahan pada sebagian besar penduduk tradisional Bugis-Makassar. 
Kepercayaan tradisional yang mereka percayai. Dengan demikian , realitas keagamaan orang Bugis-Makassar bersamaan jauh lebih kompleks dari citra diatas.
Disatu sisi , agama Islam memang sudah menjadi potongan dan hadir dalam terlalu banyak dalam faktor kehidupan orang Bugis-Makassar. Ini sanggup dilihat dalam praktek peribadatannya , nama-nama muslim yang mereka sandang , terdapatnya banyak mesjid dan forum pendidikan Islam menyerupai madrasah , pesantren , universitas-universitas Islam , dan sebagainya , serta aneka macam bentuk institusi lainnya. 
Akan tetapi , disisi lain , dalam praktek peribadatan mereka masih banyak terdapat unsur kepercayaan pra-Islam yang masih tersisa. Misalnya , ritual-ritual penduduk , kepercayaan mereka terhadap mitos pra-Islam , persembahan terhadap benda-benda pusaka dan tempat-tempat keramat , serta kemunculan sejumlah pendeta bissu yang masih tetap berperan aktif. Padahal , semua unsure tersebut sungguh berlawanan dengan anutan Islam yang mereka anut.
Jadi keberagamaan dan kepercayaan orang Bugis-Makassar yang identik dengan Islam masih sarat dengan praktik sinkretisme antara anutan Islam dan pra-Islam. Menurut Pelras , digolongkan menjadi dua jenis:
  • sinkretisme esoteric dan 
  • sinkretisme praktis. 
Yang sanggup dimasukkan ke dalam klasifikasi sinkretisme esoteric merupakan anutan aliran kepercayaan yang berasal dari periode permulaan Islamisasi , yang disebarkan lewat teks-teks yang sebagian besar mulut (meskipun ada beberapa yang tertulis) oleh para pengikut anutan tersebut yang antara lain terdapat di kelompok aristokrat Luwu’ atau dalam tradisi Tolotang di Sidenreng dan tradisi Ammatoa di Kajang. Aliran kepercayaan ini adakala dikaitkan dengan tempat-tempat keramat sepertiGunung Bawakaraeng di Gowa atau bulu’ lowa di Amparita (Sidrap).
Sejumlah naskah esoterik , yang sungguh dikeramatkan oleh para penganutnya , berisi anutan yang megawinkan sufisme Islam dengan desain ketuhanan (teologi) dan desain mengenai alam semesta (kosmologi) pra-Islam Bugis-Makassar.
Sedangkan dalam singkretisme praktis , orang Bugis-Makassar menjalankannya secara terbuka , walaupun banyak ditentang oleh penganut anutan Islam fundamentalis. Singkretisme gampang tak punya rumusan desain tertentu. Orang cuma sanggup menawan kesimpulan mengenai desain yang mendasarinya dengan mengamati aneka macam praktik orang Bugis-Makassar , umpamanya ritus siklus hidup , ritus yang bermitra dengan pertanian , pembangunan rumah , pengerjaan bahtera , penangkapan ikan , serta ritus pengobatan. 
Praktikpraktik berlawanan dengan anutan Islam , lantaran condong memperlakukan entitas spiritual (to alusu’) maupun entitas mistik (to tenrita) selaku mediator korelasi insan dengan Tuhan.
Implikasi kemusyrikan dari prakti-praktik tersebut tidak senantiasa disadari oleh mereka yang melaksanakannya. Sebagian penganut sinkretisme gampang menilai to’ alusu dan to tenrita selaku dewata atau roh-roh paa leluhur , sebagian lagi menilai mereka selaku jin dan malaikat. Walaupun anutan Islam mempercayai adanya jin dan malaikat , tetapi maksudnya bukab untuk disembah. 
Sisa-sisa kebiasaan menyembah nenek moyang atau melanjutkan penyembahan nenek moyang , masih sanggup kita lihat praktiknya hingga dikala ini. Seperti , persembahan nasi pada ritus pembangunan rumah gres dan persembahan bubur pada peringatan Asyura , tetapi dalam upacarakematian tidak nampak lagi sisa-sisa praktik pra-Islam. Hanya saja , ziarah ke kubur tokoh-tokoh tertentu yang dipercayai selaku mediator insan dengan tuhan masih banyak dilakukan.
Mungkin dengan dasar itu pula , sehingga Pelras mendefinisikan singkretisme keberagamaan orang Bugis-Makassar dengan “singkretisme gampang agama campuran” (practical religion). Suatu perilaku keberagamaan sebagian orang Bugis-Makassar di samping memegang kokoh anutan agamanya (Islam) atau ushuluddin , tetapi mereka juga mencampur dengan kepercayaan pra-Islam yang Tidak sepenuhnya sesuai dengan anutan para ulama. 
Namun , kedua unsur tersebut terdapat pula kepercayaan mereka dengan kadar yang berbeda-beda , ditambah warisan kebudayaan Austronesia yang jauh lebih tua. Sebagai wujud praktik singkretisme tersebut , lanjut Pelras , dalam ritual tradisi keberagamaan orang Bugis-Makassar merupakan adonan dari unsur-unsur Islam dan pra-Islam. Proporsi unsur tersebut dalam ritual yang satu berlainan dengan ritual yang lain lantaran tidak ada patokan baku yang mengaturnya. 
Setiap sanro (dukun) , pinati , setiap orang yang melaksanakan ritus tertentu , mendasarkan praktik mereka menurut tat cara yang diciptakan sendiri. Keistimewaan yang dimiliki seseorang mungkin merupakan warisan dari seorang guru , mungkin pula hasil temuan sendiri lewat inspirasi , atau diterima lewat mimpi , sehingga seperti bukan hasil temuan , tetapi hal tersebut cuma merupakan merupakan kombinasi dari polapola umum. 
Berdasarkan penelitian selama ini yang tersebar luas dalam kelompok orang Bugis-Makassar , terdapat perbedaan utama antara ritus tradisional Bugis-Makassar dengan ritus Islam. Ritus Bugis-Makassar melaksanakan penyembahan lewat sesajen , sedangkan ritus Islam lewat shalat. Meskipun tehnik pelaksanaan dan tempatnya yang berlainan , tetapi kedua praktik tersebut menurut mereka sanggup menciptakan sesuatu yang sama.
Sumber: Mustaqim Pabbajah
Universitas Teknologi Yogyakarta
DAFTAR PUSTAKA
Chabot , H. Th. 1956 , Verwanscap Stand en Sexe in Zuid Celebes. Groningen: Groningen University Press.
Dg. Patunru , Abdurazak. 1967 , Sejarah Gowa. Makassar: Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan Tenggara
Fadillah , Moh. Ali dan Iwan Sumantri (ed) , 2000. Kedatuan Luwu: Perspektif Arkeologi , Sejarah dan Antropologi
Geertz , Clifford. 2000 , Negara Teater. Yogyakarta: Bentang Budaya
Hamid , Abu , 2005 , Syeikh Yusuf Makassar: Seorang Ulama , Sufi dan Pejuang. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
Katu , Samiang , 2000. Pasang ri Kajang. Makassar: Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat PPIM IAIN Alauddin Makassar
Noorduyn. J. , 1956. Islamisasi Makassar dari judul orisinil De Islamisereing van Makassar dalam B.K.I. , jilid 112
Noorduyn. J. , 1964. Sedjarah Agama Islam di Sulawesi Selatan. Dalam W.B. Sidjabat
Nyompa , Johan , 1992. Mula Tau (Satu Studi Tentang Mitologi Orang Bugis). Makassar: Universitas Hasanuddin
Untitled 3DAYAK

Seorang pakar sosial budaya yang aktif pada berbagai kegiatan sosial kemasyarakatan. Telah menempuh pendidikan di salah satu universitas swasta terbaik di Indonesia yang mengambil jurusan sosial budaya.

Pos terkait