Sejarah Dan Budaya: Mitos 350 Tahun Penjajahan Belanda

Gambar Gravatar
ilustrasi 120412002658 835
ilustrasi 120412002658 835
gambar gambaran , peta VOC sumber : republika.co.id
Siapa bilang Belanda menjajah Indonesia selama 350 tahun? Bohong. Itu cuma mitos yang dibesar-besarkan politisi kolonial dan kemudian dilanggengkan pemerintah melalui buku pelajaran sekolah. Belanda , negeri kecil di Benua Eropa itu paling banter cuma menjajah kawasan Indonesia tak lebih dari 40 tahun. Itu pun dengan catatan luas kawasan Indonesia yang berlainan dari sekarang.
Judul Buku: Bukan 350 Tahun Dijajah
Penulis : G.J. Resink
Penerbit: Komunitas Bambu
Terbit: Maret 2012
Tebal : xxxiv + 366 halaman
Dalam buku ini , G.J Resink andal aturan keturunan Jawa-Belanda mengkaji kembali fakta historis kedudukan Hindia Belanda di Indonesia pada kurun masa ke-19 sampai ke-20. Lewat aneka macam bukti , Resink dengan jelas menelanjangi kesalahpahaman yang kerap dikemukakan orang mengenai masa kekuasaan kolonialisme Belanda di Indonesia.
Menurut Resink , berlarut-larutnya mitos penjajahan selama 350 tahun sebab ‘kemalasan’ para peneliti mencari sumber-sumber sejarah baru. Kebanyakan peneliti sejarah cuma mengofirmasi goresan pena pada buku sejarah yang terbit di zaman kolonial. Padahal , goresan pena sejarah kala itu dibentuk untuk kepentingan pemerintah kolonial. Resink mengusulkan pembaca lebih kritis membaca mitos penjajahan selama 350 tahun. Sebab kerajaan-kerajaan yang ada di kepulauan Nusantara sungguh banyak jumlahnya. Dimana masing-masing kerajaan , mempunyai hubungan politik dan aturan yang berlainan dengan penguasa kolonial Hindia Belanda.
Dalam goresan pena berjudul ‘Pernyataan-pernyataan yang Diabaikan’ umpamanya , Resink mengemukakan pemerintah tertinggi di Belanda (Mahkota Kerajaan Bersama Parlemen) dalam regeeringsreglement (Peraturan Tata Pemerintahan) Pasal 44 tahun 1854 , memberi wewenang terhadap Gubernur Jenderal Hindia Belanda untuk menginformasikan perang , mengadakan perdamaian , serta menghasilkan perjanjian dengan raja-raja dan bangsa-bangsa di Kepulauan Nusantara. Bagi Resink peraturan itu merupakan bukti adanya legalisasi pemerintah kolonial terhadap negeri-negeri di Nusantara yang masih merdeka. “Mengenai pasal tersebut DPR Belanda menyimpulkan adanya raja-raja yang merdeka di Hindia Belanda ,” tulis Resink di halaman 64.
Bukti masih adanya negeri merdeka juga diperlihatkan Resink saat Pengadilan Hindia Belanda di Surabaya tidak bisa mengadili permasalahan aturan seorang warga Kutai pada 1904. Hal ini , kata Resink terjadi karena Kutai merupakan kerajaan dengan daulat aturan sendiri. Contoh lain merupakan Atlas resmi yang dikeluarkan Kementerian Urusan Tanah Jajahan pada 1887–1907. Atlas tersebut mencantumkan masih adanya negeri merdeka di Sumatera menyerupai Kerinci , Dalu-dalu , Rokan , dan Tanah Batak.
Resink menyatakan , Belanda mengakui sejumlah negeri di nusantara setara dengan Hindia Belanda melalui perjanjian contractueele bondgenooten , negeri-negeri itu misalnya: Soppeng , Gowa , Torete , Bone , Wajo-Luwu , dan Baikonka. Selain itu , ada juga negeri yang tidak mengikat diri dalam perjanjian dengan Pemerintah Hindia Belanda menyerupai Aceh dan kesultanan-kesultanan di Indonesia Timur. Seorang politikus dan anggota Parlemen Belanda , van Kol pada 1904 pernah menyampaikan , “Kontrak (yang ditandatangani raja-raja dengan Belanda) lebih bersifat perjanjian perdamaian , persahabatan dan komplotan yang awet ketimbang suatu tanda penundukan.”
Selain aspek pengabaian bukti-bukti aturan selaku sumber sejarah , Resink juga menyatakan mitos penjajahan selama 350 tahun terus berakar sebab kekeliruan peneliti membayangkan gambaran nusantara pada masa kemudian dengan sekarang. Pada goresan pena berjudul ‘Dari Debu Sebuah Penghancuran Citra Yang Diagungkan’ umpamanya , Resink menyatakan peta sejarah kekuasaan Belanda atas Nusantara semestinya tidak lagi digambarkan satu warna seragam. Melainkan dilukiskan dengan banyak nuansa , menurut mempunyai efek atau lemahnya ikatan ketergantungan negeri dan tanah masing-masing terhadap pemerintah Batavia.
Buku ini menampung 14 goresan pena Resink yang berisi catatan kritis mengenai sejarah penjajahan Belanda di Indonesia. Dalam setiap argumentasinya , Resink merencanakan segudang sumber , utamanya arsip-arsip aturan kolonial. Sumber-sumber ini menghasilkan simpulan yang diciptakan Resink bukan saja konsentrasi dan kuat , tapi juga sarat vitalitas dalam menampilkan wilayah-wilayah Indonesia yang berdaulat selama kekuatan kolonial bercokol.
Pada balasannya meniadakan suatu mitos sejarah bukanlah kerja gampang. Mitos berhubungan akrab dengan proses berpikir penduduk terhadap sesuatu maupun seseorang yang sudah berjalan lama. Dalam konteks tersebut , perjuangan Resink yang tercemin melalui buku ini layak dihargai. Resink sukses menampilkan cara gres membaca sejarah kolonialisme di nusantara yang selama ini menjadi mitos yang hampir tak tergoyahkan. Selamat membaca!.
oleh: 
Rep: Muhammad Akbar Wijaya/ Red: Karta Raharja Ucu
sumber :
REPUBLIKA.CO.ID
Untitled 3DAYAK

Seorang pakar sosial budaya yang aktif pada berbagai kegiatan sosial kemasyarakatan. Telah menempuh pendidikan di salah satu universitas swasta terbaik di Indonesia yang mengambil jurusan sosial budaya.

Pos terkait