Sejarah Dan Budaya: Mayit Berjalan

Gambar Gravatar
MISTERI MAYAT BERJALAN DI TORAJA , SUL-SEL
By Yohanis Tappi on Tuesday , June 4 , 2013 at 8:41pm
Sekitar tahun 1905 sudah didapatkan mayat insan yang utuh , tidak busuk hingga sekarang. Mayat itu tidak dibalsem seumpama jang ditangani orang-orang Mesir Purba bahkan tidak diberi ramuan apapun. Tapi sanggup tetap utuh.
Menurut pertimbangan Tampubolon , kemungkinan ada semacam zat digua itu jang khasiatnya sanggup mengawetkan mayat manusia. Kalau saja ada jago geologi dan kimia jang mau mencampakkan waktu menjelidiki tempat itu , agaknya teka teki gua Sillanang sanggup dipecahkan.
Di samping mayat yang anti busuk , ada pula mayat insan jang sanggup berlangsung diatas kedua kakinya , bagaikan orang hidup jang tidak kurang suatu apa. Kalau mau dicari juga perbedaannya , ada , namun tidak begitu tertara. Konon menurut Tampubolon , sang mayat berlangsung kaku dan agak tersentak-sentak.
Dan dalam perjalanan itu ia tidak sanggup sendirian , mesti ditemani oleh satu orang hidup yang mengawalnua , hingga ketujuan achir yakni rumahnya sendiri. Mengapa mesti demikian?
Ceritanya begini. Orang-orang Toraja biasa menjelajah wilayahnya yang bergunung-gunung dan banyak teruk itu cuma dengan berlangsung kaki. Dari zaman purba hingga kini tetap begitu. Mereka tidak memedulikan pedati , delman , gerobak atau jang semacamnya. Nah dalam perjalanan yang berat itu kemungkinan jatuh sakit dan mati senantiasa ada.
Supaya mayat tidak hingga ditinggal didaerah yang tidak dipahami (orang Toradja menghormati roh setiap orang yang meninggal) dan juga supaja ia tidak menyulitkan insan lainnja (akan sungguh sulit dipercayai menggotong terus-menerus mayat sepanjang perjalanan yang makan waktu berhari-hari) , maka dengan satu ilmu mistik , mungkin sejenis hipnotisme menurut perumpamaan saman kini , mayat diharuskan pulang berdjalan kaki dan gres berhenti kalau ia sudah menaruh badannja didalam rumahnya sendiri.
Kini , tiba saatnya keluarga Tumonglo menjalani ritual inti dari Ma`nene. Di bawah kuburan tebing kerikil Tunuan , keluarga ini berkumpul menanti peti mayat nenek Biu–leluhur keluarga Tumonglo yang meninggal dunia setahun lalu–diturunkan. Tak jauh dari tebing , kaum laki-laki saling bergandengan tangan membentuk bundar sambil melantunkan Ma`badong. Sebuah gerak dan lagu yang melambangkan ratapan kesedihan mengenang jasa mendiang yang sudah wafat sekaligus memberi semangat pada keluarga almarhum.
Bersamaan dengan itu , peti mayat pun mulai diturunkan dari lubang kerikil secara perlahan-lahan. Peti kusam berisi jasad nenek Biu. Keluarga Tumonglo mempercayai bahwa ada kehidupan kekal sehabis kematian. Sejatinya tamat hidup bukanlah tamat dari segala risalah kehidupan. Karena itu , menjadi keharusan bagi setiap keluarga untuk mengenang dan merawat jasad leluhurnya meski sudah meninggal dunia beberapa tahun lalu. Dalam ritual ini , jasad orang mati dikeluarkan kembali dari tempatnya. Kemudian , mayat tersebut dikemas ulang dengan lembaran kain gres oleh masing-masing anak cucunya.
Acara dilanjutkan dengan membuka dua peti yang berisi jasad leluhur. Mayat yang sudah meninggal setahun yang kemudian itu dikemas ulang dengan kain baru. Perlakuan itu diyakini atas rasa hormat mereka pada leluhur semasa hidup. Mereka percaya arwah leluhur masih ada untuk memberi kebaikan.
Selain di liputan6.com , saya mendapatkan goresan pena lain perihal proses penggantian busana mayat yang ditulis oleh Eko Rusdianto ekorusdianto.blogspot.com. Eko bahkan melampirkan dua foto yang memamerkan prosesi itu.
Eko menceritakan perihal mayat yang sedang dibersihkan:
Namanya Bapak Lambaa , meninggal usia 70 tahun. Tingginya sekitar 165 cm. Keluarganya menggulung celana dengan perlahan hingga lutut. Yang lain ikut mendandani Ambe Lambaa. Pakaian lama yang dikenakannya beberapa tahun kini ikut diganti. Kaos kaki , jas , celana luar dan dalam. Hingga rambut mesti disisir.
Kini bapak Lambaa kembali menggunakan busana bersih. Perlahan-lahan ditidurkan kembali pada rumah petinya. 
MA’ NENE , TRADISI MENGENANG LELUHUR
KEMUDIAN APAKAH MAYAT YANG DAPAT BERJALAN FAKTA ATAU FIKSI? 
“20/08/2005 18:00  Liputan6.com , 
Tana Toraja: Kabut tipis menyelimuti pegunungan Balla , Kecamatan Baruppu , Tana Toraja , Sulawesi Selatan , pertengahan Agustus silam. Namun , kabut tersebut perlahan mulai tersibak dinginnya angin pagi. Hari ini , aktivitas hebat terjadi pada setiap penghuni warga Baruppu. Mereka tengah menggelar suatu ritual di tempat permulaan mula sejarah dan misteri anak insan yang mendiami Kecamatan Baruppu. Ritual yang senantiasa digelar seluruh warga Baruppu untuk menjalankan amanah leluhur. Ma`nene , suatu tradisi mengenang para leluhur , kerabat , dan handai taulan yang lain yang sudah meninggal dunia.
Kisah Ma`nene bermula dari seorang pemburu hewan berjulukan Pong Rumasek , ratusan tahun lampau. Ketika itu , dirinya berburu hingga masuk kawasan hutan pegunungan Balla. Di tengah perburuannya , Pong Rumasek mendapatkan jasad seseorang yang meninggal dunia , tergeletak di tengah jalan di dalam hutan lebat. Mayat itu , kondisinya mengenaskan. Tubuhnya tinggal tulang belulang hingga membangkitkan hati Pong Rumasek untuk merawatnya. Jasad itu pun dikemas dengan baju yang dipakainya , sekaligus mencarikan tempat yang layak. Setelah dirasa kondusif , Pong Rumasek pun melanjutkan perburuannya.
Sejak tragedi itu , setiap kali dirinya mengincar hewan buruan senantiasa dengan mudah menerimanya , tergolong buah-buahan di hutan. Kejadian asing kembali terulang di saat Pong Rumasek pulang ke rumah. Tanaman pertanian yang ditinggalkannya , rupanya panen lebih singkat dari waktunya. Bahkan , alhasil lebih melimpah. Kini , setiap kali dirinya berburu ke hutan , Pong Rumasek senantiasa berjumpa dengan arwah orang mati yang pernah dirawatnya. Bahkan , arwah tersebut ikut menolong menggiring hewan yang diburunya.
Pong Rumasek pun berkesimpulan bahwa jasad orang yang meninggal dunia mesti tetap dimuliakan , meski itu cuma tinggal tulang belulangnya. 
Maka dari itu , setiap tahun sekali sehabis panen besar di bulan Agustus , setiap penduduk Baruppu senantiasa mengadakan Ma`nene , seumpama yang diamanatkan leluhurnya , mendiang Pong Rumasek.
Bagi penduduk Baruppu , ritual Ma`nene juga dimaknai selaku perekat korelasi di antara mereka. Bahkan Ma`nene menjadi hukum etika yang tak tertulis yang senantiasa dipatuhi setiap warga. Ketika salah satu pasangan suami istri meninggal dunia , maka pasangan yang ditinggal mati tak boleh kimpoi lagi sebelum mengadakan Ma`nene. Mereka menilai sebelum menjalankan ritual Ma`nene status mereka masih dianggap pasangan suami istri yang sah. Tapi , kalau sudah menjalankan Ma`nene , maka pasangan yang masih hidup dianggap sudah bujangan dan berhak untuk kimpoi lagi.
Meski warga Baruppu tergolong suku Toraja. Tapi , ritual Ma`nene yang ditangani setiap tahun sekali ini yakni satu-satunya warisan leluhur yang masih dipertahankan secara berkala hingga kini. Kesetiaan mereka kepada amanah leluhur menempel pada setiap warga desa. Penduduk Baruppu percaya kalau ketentuan etika yang diwariskan dilanggar maka akan tiba petaka yang melanda seisi desa. Misalnya , gagal panen atau salah satu keluarga akan menderita sakit berkepanjangan.
Dalam bahasa Bugis , Toraja diartikan selaku orang yang berdiam di negeri atas atau pegunungan. Namun , penduduk Toraja sendiri lebih menggemari dirinya disebut selaku orang Maraya atau orang keturunan ningrat yang berjulukan Sawerigading. Berbeda dengan orang Toraja kebanyakan , penduduk Baruppu lebih mengenal asal usulnya dari Ta`dung Langit atau yang tiba dari awan.
Lama kelamaan Ta`dung Langit yang menyamar selaku pemburu ini menetap di kawasan hutan Baruppu dan kimpoi dengan Dewi Kesuburan Bumi. Karena itu , sering terlihat di saat orang Toraja meninggal dunia , mayatnya senantiasa dikuburkan di liang batu. Tradisi tersebut bersahabat kaitannya dengan rancangan hidup penduduk Toraja bahwa leluhurnya yang suci berasal dari langit dan bumi. Maka , tak seharusnya orang yang meninggal dunia , jasadnya dikuburkan dalam tanah. Bagi mereka hal itu akan menghancurkan kesucian bumi yang berakibat pada kesuburan bumi.
Kali ini , keluarga besar Tumonglo menjalankan ritual Ma`nene , seumpama tahun-tahun sebelumnya. Sejak pagi , keluarga ini sudah direpotkan serangkaian acara ritual yang diawali dengan memotong kerbau dan babi. Bagi keluarga Tumonglo maupun sebagian besar penduduk Toraja yang lain pesta yakni serpihan yang tak terpisahkan setiap kali menghormati orang yang hendak menuju nirwana. Meski mereka sudah banyak yang menganut agama-agama samawi , etika dan tradisi yang diwariskan para leluhurnya ini tak mudah ditinggalkan.
Kini , tiba saatnya keluarga Tumonglo menjalani ritual inti dari Ma`nene. Di bawah kuburan tebing kerikil Tunuan keluarga ini berkumpul menanti peti mayat nenek Biu–leluhur keluarga Tumonglo yang meninggal dunia setahun lalu–diturunkan. Tak jauh dari tebing , kaum laki-laki saling bergandengan tangan membentuk bundar sambil melantunkan Ma`badong. Sebuah gerak dan lagu yang melambangkan ratapan kesedihan mengenang jasa mendiang yang sudah wafat sekaligus memberi semangat pada keluarga almarhum.
Bersamaan dengan itu , peti mayat pun mulai diturunkan dari lubang kerikil secara perlahan-lahan. Peti kusam berisi jasad nenek Biu. Keluarga Tumonglo mempercayai bahwa ada kehidupan kekal sehabis kematian. Sejatinya tamat hidup bukanlah tamat dari segala risalah kehidupan. Karena itu , menjadi keharusan bagi setiap keluarga untuk mengenang dan merawat jasad leluhurnya meski sudah meninggal dunia beberapa tahun lalu. Dalam ritual ini , jasad orang mati dikeluarkan kembali dari tempatnya. Kemudian , mayat tersebut dikemas ulang dengan lembaran kain gres oleh masing-masing anak cucunya.
Di desa Bu`buk , suasananya tak jauh beda dengan desa yang lain di Kecamatan Baruppu. Di tempat ini keluarga besar Johanes Kiding juga akan menjalankan Ma`nene kepada leluhurnya Ne`kiding. Sebelum ke kuburan , penduduk dan handai taulan berkumpul di pelataran desa di bawah deretan rumah tradisional khas Toraja , Tongkonan.
Pagi itu , mereka disuguhi makanan khas daging babi oleh keluarga besar Johanes untuk dimakan beramai-ramai. Setelah selesai , penduduk , dan handai taulan keluarga Johanes mulai berangkat menuju kuburan nenek moyang. Namun , kuburan yang dituju bukan liang kerikil seumpama biasanya , melainkan Pa`tane yakni rumah kecil yang dipakai untuk menyimpan jasad para leluhur mereka.
Acara dilanjutkan dengan membuka dua peti yang berisi jasad leluhur. Mayat yang sudah meninggal setahun yang kemudian itu dikemas ulang dengan kain baru. Perlakuan itu diyakini atas rasa hormat mereka pada leluhur semasa hidup. Mereka percaya arwah leluhur masih ada untuk memberi kebaikan. Dalam setiap Ma`nene , jasad orang yang meninggal pantang ditaruh di dasar tanah. Karena itu , para sanak keluarga senantiasa menjaganya dengan memangku jasad leluhurnya. Tak ayal , tangis kepiluan kembali merebak. Mereka menyesali leluhurnya sambil menyebut-nyebut namanya. Jasad yang sudah dikemas kain gres pun dimasukkan kembali ke dalam rumah Pa`tane. Kini , keluarga Johanes pun sudah selesai menjalankan amanah leluhur.
(ORS/Tim Potret)”
Fenomena Mayat berlangsung tidak cuma menjadi suatu dongeng legenda belaka dari Toraja untuk generasi muda kini ini tetapi kisah konkret itu pun dari ratusan tahun yg kemudian sudah timbul kembali di Toraja , Berikut ini dongeng seorang blogger , pengalamannya melihat mayat berjalan.
Sebagai orang Toraja orisinil , saya sungguh sering ditanya oleh teman2 wacana uniknya kebudayaan Tana toraja utamanya wacana fenomena mayat berjalan. saya sendiri lahir dan berkembang besar di Tana Toraja sehingga saya mengenali wacana etika & kebudayaan di Tana Toraja meskipun tidak menguasai secara keseluruhan wacana asal ajakan dan segala jenis tetek bengek etika Toraja.
Cerita mayat berlangsung sudah ada sejak dulu kala. ratusan tahun yang kemudian konon terjadi perang kerabat di Tana toraja yakni orang Toraja Barat berperang melawan orang Toraja Timur. dalam pertempuran tersebut orang Toraja Barat kalah telak alasannya yakni sebagian besar dari mereka tewas , tetapi pada dikala akan pulang ke kampung mereka seluruh mayat orang Toraja Barat berlangsung , sedangkan orang Toraja Timur meskipun cuma sedikit yang tewas tetapi mereka menggotong mayat kerabat mereka yang mati , alasannya yakni tragedi tersebut maka pertempuran tersebut dianggap seri. pada keturunan berikutnya orang-orang Toraja sering menguburkan mayatnya dengan cara mayat tersebut berlangsung sendiri ke liang kuburnya.
Fenomena “Mayat berjalan” itu saya sendiri pernah menyaksikannya secara langsung. tragedi tersebut terjadi sekitar tahun 1992 (saya gres kelas 3 SD). pada dikala itu di desa saya ada seorang berjulukan Pongbarrak yang ibunya meninggal. seumpama etika orang Toraja sang mayat tidak pribadi dikuburkan tetapi masih mesti lewat prosesi etika penguburan (rambu solo’). dikala itu sehabis dimandikan mayat sang ibu ditaruh di tempat tidur dalam suatu kamar khusus sebelum dimasukkan kedalam peti jenasah. pada malam ketiga seluruh keluarga berkumpul untuk membicarakan bagaimana prosesi pemakaman yang hendak dilaksanakan nanti. dikala itu saya duduk di teras rumah maklum bawah umur jadi suka mondar mandir. tetapi sehabis rapat selesai (sekitar jam 10 malam) , tiba-tiba ada kebisingan dalam rumah dimana beberapa ibu-ibu berteriak -teriak. alasannya yakni ingin tau saya berupaya melongok ke dalam rumah dan astaga sang mayat berlangsung keluar dari dalam kamar , kontan saja saya dan teman2 saya berteriak histeris dan berlari menuruni tangga. saya berlari dan mendapat ayah saya sambil histeris ketakutan. sehabis itu saya pribadi dibawa pulang kerumah oleh ayah dan saya tidak tahu apa yang terjadi selanjutnya. Keesokan harinya tragedi tersebut rupanya cukup gempar diperbincangkan oleh warga dan pemberitahuan yang saya dengar bahwa Pongbarrak yang menjalankan hal tersebut. konon ia iseng aja untuk menghasilkan dagelan pada malam itu.
Pada zaman kini sudah sungguh jarang orang Toraja yang mempraktekkan hal tersebut meskipun masih banyak generasi yang memiliki ilmu seumpama itu. akan tetapi mereka masih sering mempraktekkannya pada hewan seumpama ayam atau kerbau yang diadu dalam kondisi leher terputus. Binatang seumpama kerbau yang sudah diiris kepalanya dan dikuliti habispun , masih sanggup dibentuk bangkit dan berlari kencang , mengamuk kesana sini!
Sumber :
pemuda-toraja-di-morowali-ptm
Untitled 3DAYAK

Seorang pakar sosial budaya yang aktif pada berbagai kegiatan sosial kemasyarakatan. Telah menempuh pendidikan di salah satu universitas swasta terbaik di Indonesia yang mengambil jurusan sosial budaya.

Pos terkait