Sejarah Dan Budaya: Kerajaan We Hali

Gambar Gravatar
Sejarah Singkat Sejarah Kerajaan Wehali
Bahawa pada di saat Pulau Timor gres kering ,datanglah ASA AI SORUN dari suatu Gunung di arah matahari terbit (Timor Leste) dengan di temani dua pengawal yakni Leki dengan Mauk dan Gunung itu akirnya biasa di sapa oleh para Makoan Liurai dengan istilah Gunung Mauk Gunung Leki. 
Ketika tiba di Timor bab tengah daratan masi tergenang air kemudian mereka bertahan di suatu tempat namanya Bukit MARLILU ,tidak usang kemudian Asa Ai Sorun menggunakan kesaktianya untuk memindah tepian air yg masih tergenang tersebut kemudian keringlah tempat di sekeliling Bukit Marlilu dan turunlah Liurai Asa Ai Sorun ke kawasan yg sudah kering tersebut yang kita kenal dengan nama LARAN.
Pada suatu waktu turunlah TUJUH BIDADARI dari kayangan untuk mandi di suatu DANAU di sekeliling kemudian Enam Putri tersebut kembali ke Kayangan kemudian tinggalah Putri Bungsu di Laran dan Menikah dengan ASA Ai Sorun.Karena Putri itu turun dari Kayangan kemudian orang menyebutnya MAROMAK OAN (ANAK DEWA) dan Danau itu dipahami hingga kini dengan istilah WE MATAN MAROMAK (DANAU DEWA/KAYANGAN). Asa Ai Sorun dipahami selaku Liurai I yang konon turun dari Kayangan sehingga beliau menyatakan diri selaku Liurai (melebihi Bumi).
Dalam sejarah raja-raja di Pulau Timor khusunya Timor Barat dipahami adanya suatu kerajaan di Belu Selatan atau Kabupaten Malaka kini yakni kerajaan We Hali yang di dirikan oleh para migran dari negeri Malaka dan biasa dituturkan dengan perumpamaan “Sina Mutin Malaka”(Orang Cina Putih dari Malaka) yang tiba ke Pulau Timor. Kedatangan mereka secara sedikit demi sedikit , dengan tempat persinggahan atau pintu masuk dan pendaratan yang berlainan serta dengan motif yang bermacam-macam pula. Merujuk pada apa yang sering dituturkan oleh para Mak’oan atau sastrawan susila yang tersebar di seluruh wilayah Belu dengan istilah “Sina Mutin Malaka , Larantuka Baboe” Bila mereka menyebut nama ini , maka tiap orang terus tahu yang dimaksudkan merupakan : leluhur orang Belu berasal dari Malaka , mereka meninggalkan tanah airnya dan mencari tempat gres untuk dihuninya dengan pelayarannya ke Pulau Timor lewat Larantuka. 
Kedatangan leluhur dari Malaka yang mendarat di Pantai Selatan , Timor Barat dan kemudian mereka menaklukan dan menyesuaikan diri dengan orang orisinil Pulau Timor yang disebut selaku “Melus” dengan waktu yang cukup usang dan mengalami proses asimilasi dengan golongan lain yang tiba ke wilayah Belu Selatan selanjutnya mendirikan suatu kerajaan di Belu Selatan. Tentunya ada faktor pemicu mengapa mereka pindah dari tempat asalnya dan mencari tempat tinggal baru. Alasan yang paling urgensi yakni faktor jual beli , disamping itu terdapat pula faktor pertempuran ,wabah penyakit dan gempa bumi di kawasan asalnya sehingga mendorong untuk mencari kawasan lain ataupun faktor ketersesatan waktu dalam pelayaran ke suatu tempat lain dan alhasil terdampar di pantai Selatan –Timor Barat. 
Struktur Pemerintahan Kerajaan We Hali 
Awal waktu tahun berdirinya kerajaan We Hali masih belum dimengerti secara pasti. Hingga kini bukti-bukti yang sukses di peroleh seputar sejarah kerajaan We Hali cuma menurut tutur susila dan catatan-catatan antik ataupun laporan hasil observasi dari beberapa pihak misalnya catatan Antonio Pigafetta yang disadur oleh Le Roux , menyebutkan bahwa pada tahun 1522 di bab Selatan Pulau Timor sudah ada empat kerajaan yaitu: Oibich , Lichsana , Suai , Kabanaza (Usfinit , 2003). Selanjutnya menurut catatan arsip antik orang Portugis yang disadur oleh Lumenta (2011) menyatakan bahwa sejak tahun 1260 sudah berdiri Kerajaan We Hali selaku satu-satunya kerajaan pribumi yang lolos dari pengaruh kerajaan-kerajaan Hindu Budha yang sudah bertebaran di Sumatera , Jawa , dan Kalimantan. Kerajaan We Hali sudah mempersatukan banyak sekali kerajaan kecil di seluruh Pulau Timor dan pulau-pulau sekitarnya. 
Kerajaan gres yang di dirikan oleh para migran dari Malaka dinamakan “We Hali”. Nama ini diberikan untuk mengenang kembali leluhur pertama mereka yang sudah menanam pohon beringin (Bahasa Tetun : Hali = beringin dan We = air) pada di saat pertama mereka mendarat di wilayah Belu Selatan. Hal ini dimaksudkan selaku bukti pemersatu dan persaudaraan. Pusat kerajaan berada di Laran-Betun yakni suatu dataran yang subur di pinggir sungai Benain. Demikian juga seumpama anjuran Fox dan Therik (2002) bahwa lembah Benain yang subur sudah membuat Kerajaan We Hali di Belu Selatan selaku suatu kerajaan yang independen dengan bentuk kekuasaan yang paradoksal (the power of the powerlessness) , terlebih disokong dengan pelabuhan alam Mota Dikin yang terletak pada muara sungai Benain selaku tempat paling penting untuk jual beli kayu cendana pada di saat itu. 
Kerajaan We Hali di saat itu diperintah oleh seorang raja agung yang bergelar selaku “Maromak Oan” (Bahasa Tetun = Anak Allah atau Titisan Allah). Raja agung ini tidak eksklusif memerintah tetapi selaku lambang/simbol spiritual dan dihentikan bekerja. Ia cuma makan dan minum kemudian tidur (dalam tutur susila disebut dengan “Ma Ha Toba , Ma Hemu Toba”). Hal ini menurut Parera (1994); Tifa dan Itta (2007) serta Bouk (2012) bahwa persepsi orang Belu pada di saat itu mengakui rajanya selaku sumber kebenaran dan kebijaksanaan yang memiliki kewibawaan tanpa salah dan memiliki kekuasaan sarat selaku titisan Allah untuk membimbing dan mengayomi para rakyatnya (Bahasa Tetun = Renu) tergolong dalam hal sakral sekalipun alasannya memiliki rahmat dan keampuhan yang bersifat supra natural. Maksudnya bahwa raja agung memiliki kekuasaan tunggal dan kesanggupan istimewa untuk mengayomi , melindungi dan membimbing para rakyatnya dengan sunguh-sungguh untuk meraih kedamaian dan keselamatan dalam wilayah kekuasaannya. 
Sistim pemerintahan di Kerajaan We Hali didasarkan pada sistim kemurnian hubungan darah dan keturunan (genealogis) yang diperkuat dengan pengakuan teritorial yang dimilikinya. Pada masa itu masalah pemerintahan dipimpin oleh Liurai dan dalam pelaksanaannya dilaksanakan oleh Liurai We Hali atau lebih kondang dengan Liurai Fatuaruin yang dibantu oleh beberapa Loro. Tingkat dibawah Loro yakni Na’I atau raja kecil yang merupakan wilayah taklukan. Urutan keturunan ini didasarkan pada hubungan perkawinan antara para raja , sehingga hingga kini membentuk suatu kerangka struktur sosial susila yang membentuk wilayah kesatuan susila di kawasan Belu. 
Sebagai pelaksana pemerintahan di bawah kekuasaan Maromak Oan terdapat 3 (tiga) “Liurai” yakni: : 
1) Liurai We Hali dan dipahami selaku Liurai Fatuaruin; 
Di atas bahu Liurai We Hali/Fatuaruin terdapat 2 (dua) jabatan penting yakni: Pertama : selaku Liurai We Hali yang berkuasa atas seluruh wilayah Belu , Biboki , dan Insana (sekarang TTU); dan Kedua : selaku Liurai Fatuaruin menguasai wilayah Fatuaruin , Manulea dan Bani-Bani yang merupakan penyuplai utama logistik bagi kerajaan. Liurai Fatuaruin juga bertindak selaku wakil lazim dari sang raja agung “Maromak Oan” yang bertugas untuk mengakhiri seluruh masalah pemerintahan , pertahanan-keamanan dan jual beli dengan kerajaan lain di luar Pulau Timor atau wilayah sekitarnya. 
2) Liurai Likusaen dan lebih dipahami selaku Liurai Suai Kamanasa; 
menguasai seluruh wilayah Suai dan wilayah Timor Timur yang lain (sekarang Negara RDTL). 
3) Liurai Sonbai dan lebih dipahami selaku Sonbai Besar: 
menguasai di wilayah Miomaffo (sekarang Kabupaten TTU) , wilayah Amanuban , Molo (sekarang Kabupaten TTS) hingga wilayah Amfoang dan Amarasi (sekarang Kabupaten Kupang). Hal ini sesuai dengan yang dibilang oleh Hidayat (1976) bahwa hingga kini penduduk Atoni Meto di wilayah Kabupaten TTU , TTS dan Kupang ; kalau hendak melaksanakan ritual susila seumpama aktivitas pertanian senantiasa memohon kesuksesan dengan menyebut Liurai Sonbai. Hal yang serupa kalau melaksanakan upacara “Takanaf” atau “Natoin” senantiasa menyebutkan akan leluhur mereka yakni berasal dari “Oe Nunu” atau We Hali. Hal ini menampilkan bahwa secara faktual penduduk mengakui adanya kekuasaan Kerajaan We Hali lewat Liurai Sonbai di daerahnya dan sesuai dengan faktor genealogisnya. 
Liurai (Bahasa Tetun: Liu = lebih atau melebihi; dan Rai = Tanah atau bumi) , oleh alasannya itu Liurai sanggup diartikan selaku pemangku bumi dan merupakan ningrat kelas atas yang memerintah dan berkuasa atas beberapa wilayah dalam hal ini mengurusi sistim pemerintahan dan mengkoordinasikan para raja dibawahnya yang berstatus ningrat kelas menengah atau para “Loro”. Sedangkan menurut Doko (1981) mengartikan Liurai yakni memrintahkan tanah , sehingga di dalam tutur susila Liurai sering disebutkan selaku “ Leo Lema rai , beta lema rai “ artinya Liurai wajib menaungi seluruh wilayah dan menjelajahi seluruh wilayah yang menjadi kekuasaannya. Dikisahkan , pada zaman itu , Liurai pertama We Hali yakni seorang perempuan yang manis menawan , dipuji , diberi gelar Hoa Diak Malaka. Ia yakni Liurai feto (Bahasa Tetun = Wanita) dan kawin dengan Seran Taen Boboto Rui Makerek yang diberi gelar : ” Sui Likusaien , Sui We Hali” (Bahasa Tetun: Sui = menanduk). 
 
Di bawah Liurai terdapat para “Loro”. Sebutan gelar Loro (Bahasa Tetun = matahari) dan diartikan selaku ningrat menengah. Struktur pemerintahan di bawah Liurai We Hali/Fatuaruin di Belu Selatan terdapat 4 (empat) kerajaan yang bergelar Loro yakni: (1) Loro We Hali-We Wiku; (2) Loro Hatimuk; (3) Loro Lakekun; dan (4) Loro Dirma. Ke-empat Loro ini biasa dituturkan selaku “Mane hat , laen hat , rin besi hat , rin kmurak hat” artinya : empat laki-laki , empat wilayah , empat kekuatan pertahanan – keamanan/pangan , empat kekuatan keping uang/ekonomi. Di Belu Utara terdapat 3 (tiga) kerajaan yang berstatus Loro yakni: (1) Loro Fehalaran; (2) Loro Bauho; dan (3) Loro Lasiolat. Fakta menyebutkan bahwa Kerajaan Fehalaran sejak permulaan cuma merupakan kerajaan susila dengan kekuasaan tertinggi berada pada Loro Bauho dan Loro Lasiolat (Buru , 2009). Di bawah Liurai Likusaen terdapat Loro Likusaen yang pusatnya berada di kerajaan Suai Kamanasa , serta dibawah Liurai Sonbai terdapat Loro Sonbai yang pusatnya berada di wilayah Mutis-kerajaan Amanatun. Tugas utama para Loro ini yakni mengkoordinir para raja kecil (Na’I) yang berada di sekitarnya untuk mengendalikan upeti (Bahasa Tetun = Fohon) bagi raja agung serta selaku kekuatan persediaan pangan atau pertahanan keselamatan wilayah. Menurut laporan observasi oleh Ninu dkk.(1999) di wilayah bekas kerajaan Nenometa-Amanatun Utara bahwa Kerajaan Nenometa memiliki keharusan yang mutlak untuk menyodorkan upeti yakni dukungan persembahan/hadiah selaku tanda hormat terhadap kerajaan induk Liurai We Hali di Belu Selatan setiap tahunnya lewat Liurai Sonbai. 
Di bawah Loro terdapat para “ Na’I” atau raja kecil yang memiliki kekuasaan untuk memerintah di beberapa wilayah sekitarnya. Banyaknya wilayah pemerintahan dari kerajaan We Hali di Pulau Timor pada di saat meraih masa kejayaannya memiliki 37 Na’I yang tersebar di Pulau Timor (Parera , 1994). Di lingkungan Kerajaan/Loro Fehalaran terdapat beberapa kerajaan kecil diantaranya: Kerajaan Lidak , Jenilu , Naitimu dan Mandeu berstatus “ Oa natar hat , Oa laluan hat , Basa isin hat , Kaer kadun hat , Taka ulun hat , Sabeo hat” yang merupakan wilayah mata rantai jual beli menuju pelabuhan Atapupu dan Batugede. Ke-empat kerajaan ini memiliki pemerintahan sendiri tetapi tunduk pada kekuasaan Loro Fehalaran. 
Di lingkungan Kerajaan/ Loro Bauho terdapat beberapa kerajaan yakni : Dafala , Takirin , Manleten , dan Umaklaran. Selanjutnya di wilayah Kerajaan/Loro Lasiolat terdapat kerajaan : Asumanu , Tohe/Maumutin dan Aiton (Buru , 2009). Kerajaan-kerajaan yang berada di bawah Loro ini diberi gelar “Na’I” dengan kiprah utama yakni mengerjakan sistim kepemerintahan secara otonom serta menyediakan upeti terhadap Loro selanjutnya diteruskan terhadap para Liurai. 
Di wilayah kedaulatan Loro Likusaen terdapat kerajaan Suai Kamanasa , Bobonaro , Maubara dan Lautem. Kemudian untuk wilayah kekuasaan Loro Sonbai terdapat kerajaan: Maubes-Insana , Biboki , Oenam , Amanuban (Banam) , Amanatun (Onam) , Molo. Nenometa.Tafnai , Taebenu , Fatuleu dan Amabi. Hal ini ini disebutkan oleh Usfinit (2003) bahwa sesuai dengan catatan dan tutur susila penduduk Insana dibilang kerajaan Maubes-Insana leluhurnya yakni dari kerajaan We Wiku , We Hali. Demikian juga yang disebutkan oleh Jacob dkk (2003) bahwa semua kerajaan yang berada di bekas kekuasaan Liurai Sonbai leluhurnya merupakan proses asimilasi penduduk orisinil dengan pendatang dari kerajaan We Hali yang tiba secara sedikit demi sedikit alasannya di utus oleh raja di We Hali untuk memerintah dan membangun kerajaan gres bareng golongan pendatang lainnya. 
Di lingkungan Loro We Hali-We Wiku; terdapat beberapa raja kecil yaitu: Rabasa , Umalor-Lawain , Wederok , Besikama-Lasaen; Loosina. Loro Fatuaruin menguasai : Babotin , Sasita Mean. Sedangkan kekuasaan Loro Hatimuk; yakni kerajaan Hatimuk; Kekuasaan Loro Lakekun; terdapat kerajaan Litamali , Alas; serta di wilayah kekuasaan Loro Dirma ; terdapat raja kecil yaitu: Kusa , Te’un , Nekin Klau , Oelaran , Uarau (Umaraun) , Malianain , Maubebain , Bauboti , Nauboni (Bouk , 2012). 
Struktur selanjutnya yakni “ Dato” yang merupakan perpanjangan tangan dari para Na’I di wilayah kekuasaan masing-masing raja-raja kecil. Istilah “Dato” ini menurut para penutur susila cuma berlaku di wilayah kekuasaan kerajaan We Hali yang ada di Belu. Tugas utama para “Dato” yaitu: mengerjakan perintah Na’I terhadap rakyat dan sebaliknya bertindak selaku mediator atau mediasi dilema rakyat yang disampaikan terhadap Na’I tergolong selaku pengumpul upeti dari rakyat. 

Fukun selaku kepala marga , merupakan lapisan yang berada di bawah Dato dan memiliki kiprah untuk melindungi dan mengendalikan hubungan sosial penduduk yang berada dalam marganya (Uma Fukun).
Renu (rakyat) selaku lapisan paling bawah dalam strata sosial penduduk dalam suatu marga yakni selaku pembayar atau pemberi upeti terhadap raja dan mengerjakan seluruh titah raja , fukun ataupun dato. 

Hal yang menawan dalam sistim pemerintahan tradisonal dari kerajaan We Hali yakni diperbolehkan kerajan-kerajaan bawahan dengan status Liurai , Loro dan Na’I diikat dengan perkawinan oleh putri-putri kerajaan untuk mempererat hubungan tali persaudaraan. Kerajaan We Hali yang dapat menggabungkan politik jualan dan politik perkawinan sukses memegang kekuasaan di seluruh wilayah Timor dan sekitarnya dengan disokong oleh para Meo (panglima perang/prajurit pemberani) dalam berperang senantiasa menggunakan dekorasi kepala yang disebut noni funan yang merupakan replika dari bahtera kora-kora (Middelkoop , 1963). 
Runtuhnya Pemerintahan Kerajaan We Hali Dominasi politik kerajaan We Hali rampung pada tahun 1642. Pada tahun tersebut sentra kekuasaan We Hali dihancurkan oleh pasukan Portugis yang diantarkan oleh seorang pedagang cendana kaya raya dari Makasar berjulukan Fransisco Vieira de Vigueirredo , sehingga dipahami dengan “penyerangan Makasar”. Pasukan Portugis ini dipimpin oleh Capitan Fransisco Fernandes pada tahun 1641 dengan kekuatan 90 pasukan diikuti 3 (tiga) orang paderi yang dibantu juga oleh orang Portugis hitam (Topase). Serangan ini dipicu alasannya sesuai berita- isu dari lisan ke lisan (folklor)bahwa kerajaan We Hali pada di saat itu menjalin persahabatan dengan kerajaan kembar Gowa-Tallo dan disangka sudah menjadi Islam serta terkait dengan kompetisi jual beli cendana (Nordholt ,1971). Akibat serangan tersebut kerajaan We Hali meskipun tidak runtuh tetapi tidak dapat bangun kembali selaku penguasa di Timor Barat. Hal ini oleh Usfinit (2003) menggambarkan bahwa runtuhnya suatu kerajaan pada zaman dulu lazimnya di picu oleh dilema kudeta , dilema batas wilayah maupun dilema jual beli hasil bumi yang tidak adil , sehingga membuat peperangan. 
Surutnya kekuasaan kerajaan We Hali selain akhir serangan pasukan Portugis , diperparah dengan lepasnya para penguasa setempat (usif) atau Na’I di kawasan perbukitan anak sungai Benain yang semula selaku penyuplai cendana dan ramai-ramai melepaskan diri atau tidak tunduk lagi terhadap kekuasaan kerajaan We Hali yakni dengan tidak lagi menyediakan upeti berupa kayu cendana. Surutnya kekuasaan dinasti “Maromak Oan” maka dalam syair susila digambarkan selaku suatu pohon besar yang kehilangan daun dan pohon besar yang bersedih (ai dadoko , ma ai kaekoli) alasannya kehilangan kekuasaan dan kewibawaan (Ataupah ,1992). 
Benda Peninggalan Kerajaan We Hali Benda-benda sakral peninggalan leluhur We Hali seperti: 
  • Oe Mutin atau tongkat komando Pulau Timor yang yang dibikin dari emas yang bertuliskan Don Aloese Fernando de We Hali yang mulai dipakai oleh Liurai We Hali ke-VI yakni Dasin Don Alesu Fernandes , 
  • beberapa Surik (pedang) milik para loro/raja , Kabir Morten (alat-alat unik untuk mengisi sirih -pinang) , 
  • Kakaluk atau tas berumbai yang yang dibikin dari duit logam bergambar Ratu Belanda bertuliskan Wilhelmina Koningin der Nederlander , 
  • Bolas Kmurak atau ikat pinggang raja , serta 
  • Pelana Kuda milik Liurai Sonbai yang dibawa pulang setelah bertempur melawan Belanda 
Barang-barang peninggalan ini masih disimpan di Tafatik Bot Builaran (Pusat kerajaan/istana raja) – di We Hali , Belu Selatan atau Belu Malaka sekarang.
Sumber :

oborulumeak.blogspot.com
vnewsmedia.com/wesei-wehali-kerajaan-tertua-di-pulau-timor
wesey-wehali.blogspot.co.id

Bacaan Lainnya
Untitled 3DAYAK

Seorang pakar sosial budaya yang aktif pada berbagai kegiatan sosial kemasyarakatan. Telah menempuh pendidikan di salah satu universitas swasta terbaik di Indonesia yang mengambil jurusan sosial budaya.

Pos terkait