Riwayat berdirinya Kerajaan Negara Daha sungguh bersentuhan dengan sejarah dua kerajaan lain yang menjadi cikal bakal kemunculan kerajaan bercorak Hindu di Kalimantan Selatan. Dua kerajaan yang menjadi pendahulu Kerajaan Negara Daha tersebut yakni Kerajaan Nan Sarunai dan Kerajaan Negara Dipa.
Kerajaan Nan Sarunai yakni suatu pemerintahan purba yang diperkirakan sudah eksis sejak zaman Sebelum Masehi. Bukti arkeologis yang didapatkan menyebutkan bahwa kerajaan ini mulai timbul antara tahun 242226 Sebelum Masehi dan dikontrol oleh orangorang Suku Dayak Maanyan (Vida Pervaya Rusianti Kusmartono & Harry Widianto , 1998:1920).
Eksistensi Kerajaan Nan Sarunai bertahan cukup lama. Memasuki era ke14 , benihbenih keruntuhan kerajaan ini mulai muncul. Kerajaan Majapahit yang berpusat di Trowulan (Mojokerto , Jawa Timur) , berambisi untuk menguasainya. Pada sekitar tahun 1355 Masehi , Hayam Wuruk , penguasa Kerajaan Majapahit waktu itu , menyuruh panglimanya yang berjulukan Empu Jatmika untuk menaklukkan Kerajaan Nan Sarunai (Tajuddin Noor Ganie , 2009). Akhirnya , Kerajaan Nan Sarunai menjadi potongan dari kekuasaan imperium Majapahit. Peristiwa ini diingat oleh para seniman setempat dalam tutur wadian atau puisi ratapan yang dilisankan dalam bahasa Maanyan. Para seniman setempat mengenang keruntuhan Kerajaan Nan Sabunai selaku insiden “Usak Jawa” atau “Penyerangan oleh Kerajaan Jawa” (Ganie , 2009). Sedangkan Fridolin Ukur (1977) menyebutnya selaku “kerajaan orang Dayak Maanyan yang rusak oleh Jawa” (Ukur , 1977:46).
Empu Jatmika kemudian membangun kerajaan gres di Pulau Hujung Tanah yang ialah bekas wilayah kekuasaan Kerajaan Nan Sarunai. Kerajaan gres ini diberi nama Kerajaan Negara Dipa. Nama “Dipa” diambil dari bahasa Dayak Maanyan , yakni “dipah ten” yang bermakna “kerajaan yang terletak di seberang” (Ganie , 2009). Pemberian nama dengan makna “kerajaan yang terletak di seberang” ini sungguh mungkin mengacu pada letak Kerajaan Negara Dipa yang berada di seberang lautan kalau ditempuh dari Kerajaan Majapahit yang berlokasi di Jawa.
Berbeda dengan Kerajaan Nan Sarunai yang eksis hingga ratusan tahun lamanya , Kerajaan Negara Dipa yang mulai berdiri pada tahun 1355 M itu cuma bertahan kurang dari satu era saja. Keruntuhan Kerajaan Negara Dipa berawal dari kepemimpinan Raden Sekar Sungsang atau yang dipahami juga dengan nama Raden (Maharaja) Sari Kaburangan yang berkuasa sejak tahun 1448 M. Pada masa inilah Kerajaan Negara Dipa mulai menuai keruntuhannya dan pada karenanya digantikan oleh suatu kerajaan gres , yakni Kerajaan Negara Daha.
Sama halnya dengan Kerajaan Nan Sarunai dan Kerajaan Negara Dipa , para sejarawan dan peneliti
menggunakan Hikayat Banjar selaku sumber utama dalam upaya melacak riwayat Kerajaan Negara Daha , yakni dari kisah tutur yang termaktub dalam hikayat ini. Sejarah Indonesia kebanyakan dalam menerangkan suatu negara tradisional sungguh bertumpu pada historiografi tradisional , menyerupai babad , hikayat , atau kisah rakyat. Historiografi tradisional mempunyai ciriciri yang menonjol dan saling berhubungan , yakni etnosentrisme , rajasentrisme , dan antroposentrisme (Sartono Kartodirdjo , 1993:7). Hikayat Banjar ditulis sepanjang 4.787 baris atau 120 halaman.
Informasi yang diperoleh dari Hikayat Banjar ditandai oleh sifatsifat mistis , legendaris , dan tidak ada unsur waktu dalam urutan ceritanya (M. Suriansyah Ideham , [eds.] , 2003). Menurut Johannes Jacobus Ras (1968) , penulisan Hikayat Banjar terbagi menjadi dua versi. Pertama yakni model yang diubah dan disusun pada masa Kesultanan Banjar yang sudah memeluk Islam , sedangkan model kedua yakni model dari Kerajaan Negara Dipa (dan Kerajaan Negara Daha) yang memeluk agama Hindu (Ras , 1968:238).
Hikayat Banjar meriwayatkan , beralihnya Kerajaan Negara Dipa menjadi Kerajaan Negara Daha terjadi pada masa pemerintahan Raden Sekar Sungsang atau Pangeran (Maharaja) Sari Kaburangan yang berkuasa sejak tahun 1448 M. Terdapat insiden yang mewarnai pemerintahan Kerajaan Negara Dipa pada masa sebelum dan hingga Raden Sekar Sungsang dinobatkan menjadi raja. Raja terakhir Kerajaan Negara Dipa ini sudah menikahi ibunya sendiri , yakni Putri (Ratu) Kalungsu. Ratu Kalungsu yakni pemimpin Kerajaan Negara Dipa sebelum era pemerintahan Raden Sekar Sungsang , yakni pada periode 14361448 M (Adum M. Sahriadi , 2009).
Kisah perkawinan ibu dan anak itu diceritakan dalam Hikayat Banjar. Dikisahkan , Putri Kalungsu melahirkan seorang anak lakilaki yang diberi nama Raden Sekar Sungsang. Pada suatu hari , di saat sang pangeran berusia enam tahun , Putri Kalungsu sedang menciptakan camilan manis (dalam Hikayat Banjar disebutkan dengan nama juadah) dan Raden Sekar Sungsang sesekali mendekati ibundanya untuk meminta makan. Putri Kalungsu meminta anaknya pergi sejenak sembari menanti matangnya juadah. Namun , rupanya Raden Sekar Sungsang tidak sanggup lagi menahan seleranya , juadah yang belum matang itu dimakannya. Putri Kalungsu menjadi murka dan kemudian menghantam kepala Raden Sekar Sungsang dengan sendok. Akibat kemurkaan sang ibu , Raden Sekar Sungsang melarikan diri dengan kepala yang masih bercucuran darah menuju pelabuhan. Seorang saudagar dari Jawa berjulukan Juragan Balaba menyaksikan Raden Sekar Sungsang yang sedang panik kemudian mengajaknya untuk ikut berlayar ke Jawa. Juragan Balaba merasa anak muda yang dilihatnya itu bukan anak asal pilih sebab dari tubuhnya mengeluarkan cahaya terang (Adum M. Sahriadi , 2009).
Sementara itu di istana , Putri Kalungsu menyuruh penelusuran Raden Sekar Sungsang ke seluruh pelosok negeri. Akhirnya diperoleh kabar bahwa wacana suatu kapal yang berlayar dengan menjinjing anak kecil , tetapi belum sanggup ditentukan apakah anak yang dimaksud yakni Raden Sekar Sungsang atau bukan. Mangkubumi (patih/perdana menteri) Kerajaan Negara Dipa , Lambung Mangkurat , kemudian mengirim empat kapal untuk memburu kapal itu. Empat kapal milik Kerajaan Negara Dipa itu karenanya tiba di seberang lautan , tepatnya di suatu tempat yang kini dipahami dengan nama Surabaya (Jawa Timur). Akan tetapi , walaupun Lambung Mangkurat sudah mengirim sejumlah penyidik untuk mencari tahu eksistensi Raden Sekar Sungsang , tetapi eksistensi sang pangeran masih belum sanggup dilacak juga (Sahriadi , 2009).
Sebenarnya Raden Sungsang ada Surabaya. Ia diangkat anak oleh Juragan Balaba dan memakai nama Ki Mas Lelana (Kiai Mas Lalana). Setelah ayah angkatnya meninggal dunia , Ki Mas Lelana tetap tinggal di Surabaya bareng ibu angkatnya. Pada suatu hari , Ki Mas Lelana mengungkapkan keinginannya ingin pergi ke Kerajaan Negara Dipa dengan menumpang kapal Juragan Dampu Awang , kawan Juragan Balaba. Pada mulanya , ibu angkat Ki Mas Lelana keberatan. Akan tetapi , sebab menyaksikan ketetapan hati anak angkatnya , maka kemudian janda Juragan Balaba itu membolehkan Ki Mas Lelana untuk pergi ke Kerajaan Negara Dipa bareng Juragan Dampu Awang (Rosyadi , et al. 1993:149).
Sesampainya di pelabuhan Muara Bahan , Juragan Dampu Awang yang dibantu Ki Mas Lelana mulai berdagang. Kebetulan , Lambung Mangkurat sedang berada di pelabuhan. Lambung Mangkurat sepertinya tertarik pada kecakapan Ki Mas Lelana dan kemudian membujuk Ki Mas Lelana untuk tinggal di istana Kerajaan Negara Dipa (Sahriadi , 2009). Ruparupanya , Lambung Mangkurat , yang tidak mengenali bahwa Ki Mas Lelana bersama-sama yakni Raden Sekar Sungsang , bertujuan menjodohkan anak muda itu dengan Ratu Kalungsu yang sudah usang menjanda. Pada waktu itu , Ratu Kalungsu yakni penguasa Kerajaan Negara Dipa. Ratu Kalungsu (berkuasa pada periode (14361448 M) meneruskan tahta suaminya , yakni Raden (Maharaja) Carang Lalean (berkuasa pada kurun 14211436 M) , sebab putra mahkota , yakni Raden Sekar Sungsang , tidak dimengerti keberadaannya.
Singkat kisah , karenanya digelarlah pesta perkawinan antara Ki Mas Lelana dengan Ratu Kalungsu. Pada suatu waktu , di saat Ratu Kalungsu sedang membersihkan kepala Ki Mas Lelana , ia menyaksikan tanda bekas luka di kepala suaminya itu. Ratu Kalungsu kemudian mengajukan pertanyaan mengapa luka itu sanggup terjadi. Mulamula Ki Mas Lelana pertanda bahwa ia sendiri pun tidak mengetahuinya. Tetapi di saat istrinya terusmenerus mendesak , karenanya ia menceritakan kisahnya. Ki Mas Lelana berkisah , dikala masih kecil , ia pernah memperoleh pukulan di kepala dari ibunya hingga terluka. Diceritakan juga oleh Ki Mas Lelana bahwa ia kemudian lari dan bertahun-tahun tinggal di Jawa , ikut dengan Juragan Balaba (Rosyadi , et al. , 1993:149). Alangkah terkejutnya Ratu Kalungsu mendengar kisah itu. Ki Mas Lelana pun sama terperanjatnya dan memohon ampun serta meminta supaya Ratu Kalungsu membunuhnya. Ratu Kalungsu pastikan bahwa mereka mesti bercerai untuk selamalamanya. Selain itu , Ratu Kalungsu mengubah nama Ki Mas Lelana atau Raden Sekar Sungsang dengan Raden Sari Kaburangan (Sahriadi , 2009).
Pada tahun 1448 M , Raden Sari Kaburangan dinobatkan selaku pemimpin Kerajaan Negara Dipa dan berhak menyandang gelar selaku Maharaja selaku simbol penguasa tertinggi. Maharaja Sari Kaburangan berhak menjadi Raja Kerajaan Negara Dipa sebab ia yakni putra mahkota yang memang sudah diproyeksikan untuk menduduki tahta Kerajaan Negara Dipa meski kemudian terjadi aneka macam insiden yang menghebohkan , yakni dimulai dari hilangnya Raden Sekar Sungsang hingga insiden pernikahannya dengan ibu kandungnya sendiri.
Setahun setelah Maharaja Raden Sari Kaburangan berkuasa di Kerajaan Negara Dipa , ia memindahkan kedudukan pusat pemerintahan ke Muara Hulak , atau di tempat yang kini dipahami dengan nama Negara. Sejak tahun 1449 M itulah , Kerajaan Negara Daha resmi berdiri. Dalam Hikayat Banjar dikisahkan bahwa tidak usang setelah Kerajaan Negara Daha berdiri , Ratu Kalungsu yang masih tinggal di bekas istana Kerajaan Negara Dipa , menghilang secara misterius (muksa) bareng 500 orang pengiringinya. Pada waktu yang nyaris serentak , sang Mangkubumi , Lambung Mangkurat meninggal dunia. Pengganti Lambung Mangkurat yakni Aria Taranggana untuk mendampingi Maharaja Sari Kaburangan mengurus pemerintahan Kerajaan Negara Daha (Sahriadi , 2009).
Ganie (2009) menyebutkan bahwa tampilnya Maharaja Sari Kaburangan selaku raja di Kerajaan Negara Daha ialah insiden yang menandai pulihnya kembali hegemoni etnis Suku Dayak Maanyan selaku penguasa di tanah leluhurnya sendiri , sama menyerupai yang berlaku pada masa Kerajaan Nan Sarunai dahulu. Di dalam badan Maharaja Sari Kaburangan memang mengalir darah Jawa (dari Majapahit) yang diwarisinya dari kakek buyutnya yakni Pangeran Suryanata (penguasa Kerajaan Negara Dipa pada kurun 13621358 M). Namun , darah Jawa itu sudah kian memudar sebab Maharaja Sari Kaburangan ialah generasi ke4 alias buyut. Ini bermakna , secara genetik , darah yang mengalir di dalam tubuhnya didominasi oleh darah Suku Dayak Maanyan (Ganie , 2009).
Baik Kerajaan Negara Dipa maupun Kerajaan Negara Daha , masih mempunyai koleksi barangbarang atau pusaka yang berasal dari Kerajaan Majapahit. Anton Abraham Cense (1928) dalam penelitiannya bertajuk De Kroniek van Bandjarmasin menyebutkan berbagai macam pusaka tersebut , antara lain mahkota kerajaan , gamelan yang berjulukan Larasati , gong yang berjulukan Rambut Peradah , canang berjulukan Macan Papatuk , tombak berjulukan Panutus , dan keris yang berjulukan Masagirang dan Jokopiturun (Cense , 1928: 147148). Selain itu , menyerupai yang disebutkan oleh W.A. van Rees (1865 , dalam Ideham , [eds.] , 2003) , Kerajaan Negara Daha juga masih mempunyai pusaka peninggalan Majapahit yang lain , yakni singgasana , emas , payung kerajaan , keris berjulukan Baru Lembah dan Naga Salira dengan sarungnya yang terbalut dari emas dan gagangnya bertahtakan berlian , sebilah pedang , lima buah tombak , beberapa buah perisai yang yang dibikin dari emas dan perak , serta seperangkat gamelan dan kain langgundi (Rees , 1865:2829 , dalam Ideham , [eds.] , 2003).
Salah satu peninggalan arkeologis yang berasal dari zaman Kerajaan Negara Daha yakni penemuan suatu candi yang kemudian dipahami selaku Candi Laras. Candi ini terletak di pinggiran Desa Margasari , Kecamatan Candi Laras Selatan , Kabupaten Tapin , Provinsi Kalimantan Selatan. Desa Margasari tenar akan rekreasi sungainya serta masyarakatnya yang berprofesi selaku perajin anyaman rotan sejak ratusan tahun. Pada era ke14 M , desa ini ialah gerbang bandar Kerajaan Negara Dipa. Pengujian yang dijalankan terhadap tiang bangunan Candi Laras menciptakan angka tahun dengan kisaran 12401426 M. Selain itu , Candi Agung , prasasti yang didapatkan sebelumnya dan yang disangka sudah ada sejak zaman Kerajaan Nan Sarunai , juga masih digunakan pada masa Kerajaan Negara Daha (Ganie dalam Radar Banjar , 7 Desember 2004).
Era pemerintahan Maharaja Sari Kaburangan selsai pada tahun 1486 M. Selanjutnya , tahta tertinggi pemerintahan Kerajaan Negara Daha dilanjutkan oleh Raden Paksa yang kemudian menyandang gelar selaku Maharaja Sukarama. Pada masa pemerintahan raja ke2 Kerajaan Negara Daha ini , tepatnya pada tahun 1511 M , Kerajaan Negara Daha memperoleh kedatangan orangorang Melayu dari Kesultanan Melaka. Orangorang Melayu Semenanjung tersebut melaksanakan migrasi massal seiring dengan takluknya Kesultanan Melaka oleh bangsa Portugis. Para imigran dari Melaka ini kemudian menetap di tepi kiri dan kanan Sungai Kuin atau di Muara Kuin (Banjarmasin) dan bergabung dengan suku bangsa Melayu yang lain (Ganie , 2009).
Pada final era pemerintahan Maharaja Sukarama , terjadi perkelahian di lingkungan internal Kerajaan Negara Daha. Permasalahan dimulai di saat pada tahun 1515 M , Maharaja Sukarama mengeluarkan wasiat biar kelak kekuasaan tertinggi Kerajaan Negara Daha dilimpahkan terhadap cucunya yang berjulukan Raden Samudera. Kebijakan ini memperoleh saingan dari ketiga putra Maharaja Sukarama , yakni Pangeran Aria Mangkubumi , Pangeran Tumenggung (Tomonggong) , dan Pangeran Bagalung (Ideham , [eds.] , 2003; Ganie , 2009).
Benihbenih perpecahan mulai berkembang di kelompok keluarga istana Kerajaan Negara Daha. Ketika Maharaja Sukarama meninggal dunia pada tahun 1525 M , atau sepuluh tahun setelah dikeluarkannya wasiat yang menunjuk Raden Samudera selaku kandidat raja , terjadilah perkelahian di antara keturunan Maharaja Sukarama. Putra sulung Maharaja Sukarama , yakni Pangeran Aria Mangkubumi , yang merasa dilangkahi oleh keponakannya sendiri (Raden Samudera) , merasa tidak terima dan kemudian merebut tahta Kerajaan Negara Daha yang bersama-sama bukan menjadi haknya (Ganie , 2009).
Raden Samudera yang masih berusia belia diungsikan ke hilir Sungai Barito , tepatnya di Muara Kuin. Raden Samudera memperoleh proteksi dari beberapa kelompok suku bangsa yang berdomisili di Muara Kuin , utamanya oleh komunitas orangorang Melayu. Oleh orangorang Dayak Manyaan , kampung orangorang Melayu di Muara Kuin itu dengan nama “Banjar Oloh Masih” , yang bermakna kampungnya orang Melayu dengan pemimpinnya yang berjulukan Pati Masih (Ideham , [eds.] , 2003). Banjar Oloh Masih lambatlaun disingkat menjadi Banjarmasih hingga karenanya menjadi Banjarmasin hingga sekarang. Namun , pada tahun 1525 M itu , Maharaja Aria Pangeran Mangkubumi tewas dibunuh. Setelah Aria Pangeran Mangkubumi meninggal dunia , Pangeran Tumanggung menobatkan dirinya selaku raja Kerajaan Negara Daha yang gres (Ganie , 2009).
Sementara itu , Raden Samudera , pewaris tahta Kerajaan Negara Daha yang sah , kian mendapat
tempat di kelompok orangorang Melayu yang berdomisili di Muara Kuin atau Banjarmasih. Dalam pelarian politiknya , Raden Samudera menyaksikan bahwa Banjarmasih ialah kekuatan berpotensi untuk mengadakan perlawanan terhadap Kerajaan Negara Daha. Potensi Banjarmasih untuk menentang kekuatan pusat karenanya memperoleh legalisasi di saat Raden Samudera diangkat menjadi pemimpin oleh kelompok Melayu di kawasan itu (Ideham , [eds.] , 2003).
Pengangkatan Raden Samudera selaku pemimpin di Banjarmasih melambangkan terbentuknya kekuatan politik tandingan , perpaduan kultural , dan kelak ialah embrio bagi kelahiran urang Banjar dan Kesultanan Banjar. Terbentuknya kekuatan politik gres di Banjarmasih bagi Raden Samudera ialah kekuatan tandingan untuk memperoleh haknya selaku kandidat raja yang sah di Kerajaan Negara Daha , sedangkan bagi kelompok Melayu , independensi mereka di Banjarmasih menjadi bentuk perlawanan untuk tidak mengeluarkan duit pajak terhadap Kerajaan Negara Daha (Ideham , [eds.] , 2003).
Konflik yang terjadi kemudian yakni perang kerabat yang melibatkan kubu Pangeran Tumenggung dengan pihak Raden Samudera. Perang kerabat antara keponakan dengan paman ini mengkonsumsi korban jiwa yang cukup besar. Untuk melawan pasukan Kerajaan Negara Daha yang lebih mempunyai efek , Raden Samudera meminta pemberian dari Kerajaan Demak (kerajaan Islam pertama di Jawa yang mengambil alih hegemoni Kerajaan Majapahit) yang dikala itu dipimpin oleh Sultan Trenggono (berkuasa sejak tahun 1524 M). Sultan Trenggono memenuhi seruan Raden Samudera dengan syarat , Raden Samudera mesti memeluk agama Islam kalau ia berhasil mengungguli perang kerabat itu (Ganie , 2009).
Pada tahun 1526 M , Raden Samudera berhasil mengalahkan Pangeran Tumenggung dan resmi menjadi penguasa tunggal di bekas wilayah Kerajaan Negara Daha. Kemenangan Raden Samudera menandai berakhirnya riwayat Kerajaan Negara Daha sekaligus menjadi permulaan dari berdirinya Kesultanan Banjar yang bercorak Islam. Setelah mengalahkan Kerajaan Negara Daha , Raden Samudera memeluk agama Islam dan menobatkan dirinya selaku pemimpin Kesultanan Banjar dengan gelar Sultan Suriansyah sejak tanggal 25 September 1526 M (Ganie , 2009). Pusat pemerintahan Kesultanan Banjar berada di Banjarmasin. Selain itu , Sultan Suriansyah memindahkan penduduk Kerajaan Negara Daha ke Banjarmasin (Ideham , et.al. , 2003). Inilah masa dimulainya proses kemajemukan di Banjarmasin , di mana masyarakatnya berisikan orangorang dari aneka macam suku bangsa , yakni orangorang Dayak , Melayu , dan Jawa.
Silsilah
Berikut ini yakni daftar namanama raja yang pernah duduk selaku pemimpin Kerajaan Negara Daha:
Maharaja Sari Kaburangan atau Raden Sakar Sungsang atau Panji Agung (14481486 M).
Maharaja Sukarama atau Raden Paksa (14861525 M).
Maharaja Pangeran Aria Mangkubumi (1525 M).
Maharaja Pangeran Tumenggung atau Raden Panjang (15251526 M)
(Ideham , [eds.] , 2003; Ganie , 2009; Regnal Chronologies , Southeast Asia: The Island , dalam http://web.raex.com).
Sistem Pemerintahan
Kepemimpinan dalam penduduk tradisional berakar terhadap struktur sosial yang tertata menurut kelahiran , kekayaan , dan status (Max Webber , 1966:333). Status seorang pemimpin condong berhubungan dengan analisa sosial terhadap kehormatan dan gambaran , sedangkan pembagian atas kelaskelas sosial bersifat pembagian politik (M.Z. Arifin Anis , 1994:31). Dalam struktur politik pemerintahan Kerajaan Negara Daha , raja yakni titik pusat kekuasaan. Raja Negara Daha selaku pemegang jabatan tertinggi dalam hierarki kerajaan mempunyai kekuasaan yang sungguh besar. Hal ini terlihat dengan terdapatnya atributatribut kerajaan , menyerupai bendabenda pusaka , gelar , atau mitosmitos geneologi yang berfungsi untuk mengabsahkan kedudukan raja selaku penguasa (Ideham , [eds.] , 2003).
Kedudukan raja dalam metode pemerintahan Kerajaan Negara Daha diwarisi secara turuntemurun sesuai dengan garis geneologi atau kekerabatan. Posisi raja bersifat keramat sebab dianggap mempunyai keampuhan yang sanggup memperbesar wewenang (Anis , 1994:76). Wewenang raja intinya ialah salah satu komponen kekuasaan. Kerabat raja berada pada tataran kedudukan tinggi yang juga berhak menguasai rakyat selaku hambanya. Jika dicermati , wewenang yang dimiliki oleh raja memungkinkan sekali baginya untuk bertindak otoriter (Ideham , [eds.] , 2003). Namun , walaupun mempunyai wewenang yang cukup besar , tetapi belum bermakna seorang raja sanggup menguasai seluruh kekuasaan sebab aspek kekayaan turut menyeleksi kedudukan raja (Anis , 1994:82).
Proses suksesi kekuasaan yang berlaku di Kerajaan Negara Daha dijelaskan dalam Hikayat Banjar.Menurut penelitan yang dijalankan oleh Ras (1968) , menurut Hikayat Banjar , ada sejumlah standar yang mesti dipenuhi oleh kandidat raja atau putra mahkota , yakni
(1) pangeran yang diseleksi selaku putra mahkota mesti benarbenar keturunan raja dari permaisuri ,
(2) sanggup berbuat adil terhadap rakyat dan keluarga ,
(3) terbuka untuk memperoleh rekomendasi dan kritik ,
(4) dihentikan mempunyai sifat iri dan dengki ,
(5) bersedia menyelesaikan setiap problem yang ada lewat mufakat (Ras , 1968:276).
Apabila putra mahkota dianggap bawah umur untuk menjabat selaku raja , maka untuk sementara , kendali pemerintahan kerajaan dijalankan oleh metode perwalian yang berisikan kerabat raja (Ideham , 2003). Orang yang lazimnya bertindak selaku pemimpin sementara sembari menanti putra mahkota dewasa dan dirasa berhak memimpin pemerintahan yakni Mangkubumi (Patih) , jabatan yang setara dengan perdana menteri.
Penobatan seorang putra mahkota menjadi raja dijalankan lewat suatu ritual upacara. Ritual upacara suci yang dianggap selaku simbol kekuasaan raja ini dipahami selaku upacara badudusan. Anis (2004) menyebutkan bahwa upacara ini dimulai di saat seluruh kerabat sudah berkumpul. Putra mahkota atau kandidat raja duduk di sebelah kursi kemudian diperciki dengan air suci oleh keluarga yang sedarah dengan raja.
Kemudian , air suci itu dibawa ke dalam istana dan ditimbang sebanyak tiga kali. Jika sudah dimengerti beratnya , maka kandidat raja diukur dengan benang emas dan perak. Setelah itu , diadakan pesta selama tujuh hari tujuh malam. Selanjutnya yakni hari penobatan putra mahkota selaku raja , yakni dijalankan pada hari ke delapan (Anis , 2004:80). Sebenarnya upacara penobatan raja ialah salah satu cara untuk mengesahkan kedudukan raja (Ideham , 2003). Upacara badudusan ini mulai diperkenalkan sejak Putri Junjung Buih dan Maharaja Suryanata diangkat menjadi raja di Kerajaan Negara Dipa pada tahun 1362 M (Ras , 1968:320).
Dalam mengerjakan pemerintahannya , Raja Negara Daha selaku pemimpin tertinggi menyuruh kekuasaannya ke bawah lewat jabatan birokrasi. Jabatan birokrasi ini lazimnya diemban oleh kerabat raja. Model birokrasi menyerupai ini dipahami selaku model birokrasi patrimonial (Ideham , [eds.] , 2003). Para pelaku dan jabatan metode pemerintahan yang dipraktekkan di Kerajaan Negara Daha nyaris sama dengan yang berlaku di Kerajaan Negara Dipa pada masamasa sebelumnya. Raja Negara Dipa selaku puncak piramida kekuasaan disokong oleh seseorang yang diandalkan selaku Mangkubumi. Mangkubumi yakni jabatan yang paling strategis sebab seorang Mangkubumi mempunyai imbas yang sungguh besar dalam segala kebijakan yang dikeluarkan oleh raja. Dalam mengurus pemerintahan kerajaan , Mangkubumi memimpin dan mengkoordinasi kiprah pejabatpejabat kerajaan yang lain , menyerupai Panganan , Pangiwa , Mantri Bumi , dan 40 orang Mantri Sikep (Ideham , [eds.] , 2007:35).
Selain itu , terdapat sejumlah jabatan dan wewenang yang berlaku dalam pemerintahan Kerajaan Negara Daha , yakni Lelawang (kepala distrik) , Sarabraja (koordinator pasukan penjaga keluarga istana) , Sarayuda (koordinator pasukan pengawal langsung raja) , Singapati (koordinator pasukan Parabawa yang bertugas mempertahankan keselamatan kerajaan , Saradipa (koordinator pasukan penjaga senjata) , Puspawana (koordinator pasukan Tuhaburu yang bertugas menemani raja di saat raja sedang pergi berburu) , Rasajiwa (koordinator petugas pembantu istana , Pamayungan (penghias balai) , Wargasari (koordinator petugas penyedia masakan kerajaan) , Anggaprana (koordinator pujangga istana) , Mangkumbara (kepala urusan upacara) , Wiramartas (bertugas untuk mengadakan korelasi jualan dengan mancanegara , Bujangga (kepala urusan bangunan rumah peribadatan) , dan Singabana (bertanggungjawab atas terjaminnya ketenteraman umum) (Ideham , [eds.] , 2007:36).
Wilayah Kekuasaan
Dalam buku
Sejarah Banjar suntingan Ideham dan kawankawan (2003) disebutkan bahwa secara garis besar , keseluruhan wilayah Kerajaan Negara Daha terbagi atas dua potongan , yakni wilayah negara (kraton) dan kawasan taklukan. Bagian yang pertama , yakni wilayah negara (kraton) ialah wilayah unit politik terbesar. Istilah “negara” sendiri menyediakan adanya suatu kawasan pemerintah di bawah seorang
penguasa tertinggi yang memakai gelar kehormatan maharaja di depan namanya dengan pemerintahan yang merdeka. Wilayah negara disebut juga selaku wilayah inti yang ialah pusat pemerintahan kerajaan sekaligus berfungsi selaku ibukota negara.
Pusat pemerintahan Kerajaan Negara Daha terletak di suatu tempat yang dipahami dengan nama Muara Hulak. Selain itu , kerajaan ini juga mempunyai pelabuhan dan bandar jualan yang terletak di Muara Bahan (Ideham , [eds.] , 2003). Penyebutan “muara” yang terdapat pada Muara Hulak dan Muara Bahan menyediakan bahwa kedua tempat itu akrab dengan kawasan perairan. Sejak zaman purba hingga dikala ini , sungaisungai di Kalimantan Selatan memang berfungsi selaku tempat fokus permukiman penduduk dan menjadi prasarana lalulintas yang menghubungkan kawasan muara dengan kawasan perdalaman. Di Kalimantan Selatan , sungai yakni jantung kehidupan sebab kehidupan mereka sungguh akrab dengan sungai. Antara penduduk dengan sungai saling berinteraksi , mengikuti kondisi , dan saling mengisi. Bermula dari fakta inilah maka etnis di Kalimantan Selatan , tergolong di dalamnya penduduk Kerajaan Negara Daha , dipahami selaku suku bangsa yang identik dengan budaya sungai (Kasnowihardjo , 2004:2526).
Nama Muara Hulak dan Muara Bahan selaku pusat pemerintahan dan pelabuhan Kerajaan Negara Daha disebutkan dalam Hikayat Banjar. Dalam “Sinopsis Hikayat Banjar” yang disusun Sahriadi (2009) tercantum nukilan selaku berikut: “… kemudian Raden Sari Kaburungan dinobatkan menjadi raja. Setahun kemudian raja memindahkan kedudukan negara ke Muara Hulak. Kedudukan gres itu disebut Negara Daha dan hingga kini ini tempat itu masih berjulukan Negara. Di Muara Bahan dibentuk suatu pangkalan (pelabuhan) yang kemudian ramai sekali dihadiri para pedagang.” (Sahriadi , 2009).
Wilayah kekuasaan Kerajaan Negara Daha termasuk daerahdaerah yang sebelumnya menjadi wilayahkekuasaan Kerajaan Negara Dipa , tergolong juga wilayah yang ialah kawasan taklukan. Hasil observasi Ras (1968) dan Ideham (2003) menyebutkan bahwa daerahdaerah yang tergolong ke dalam wilayah kekuasaan Kerajaan Negara Dipa dan kemudian beralih menjadi kawasan kekuasaan Kerajaan Negara Daha. Daerahdaerah tersebut antara lain Batang Tabalong , Batang Balangan , Batang Pitap , Batang Alai , Batang Amandit , Batang Emas , Sukadana , Sambas , Batang Lawai , Kotawaringin , Pasir , Kutai , Karasikan , dan Berau (Ras , 1968:333; Ideham , [eds.] , 2003). Selain itu , Kerajaan Negara Daha memperluas kawasan kekuasaannya dengan menguasai Sewa Agung dan Bunyut. Sedangkan menurut C.A.L.M. Schwaner (1953) dalam karyanya yang berjudul Borneo disebutkan bahwa selama masa pemerintahan Kerajaan Negara Daha , penduduk yang mendiami fatwa Sungai Negara dan Sungai Bahan sudah mengalami masa kesejahteraan (Schwaner , 1953:42).
sumber :
melayuonline.com
id.wikipedia.org
nationalgeographic.co.id