Sejarah Dan Budaya: Kerajaan Melayu Dharmasyrara

Gambar Gravatar
Kerajaan Malayu merupakan nama suatu kerajaan yang pernah ada di Pulau Sumatra. Pada biasanya , kerajaan ini dibedakan atas dua periode , yakni Kerajaan Malayu Tua pada era ke-7 yang berpusat di Minanga Tamwa , dan Kerajaan Malayu Muda pada era ke-13 yang berpusat di Dharmasraya.
Berdasarkan letak ibu kotanya , Kerajaan Malayu Tua atau Malayu Kuno sering pula disebut dengan nama Kerajaan Malayu Jambi , sedangkan Kerajaan Malayu Muda sering pula disebut dengan nama Kerajaan Dharmasraya.
Berita ihwal Kerajaan Malayu antara lain dimengerti dari kronik Cina berjudul T’ang-hui-yao karya Wang P’u. Disebutkan bahwa ada suatu kerajaan berjulukan Mo-lo-yeu yang mengirim duta besar ke Cina pada tahun 644 atau 645. Pengiriman duta ini cuma berlangsung sekali dan sesudah itu tidak terdengar lagi kabarnya.
Pendeta I Tsing dalam perjalanannya pada tahun 671–685 menuju India juga sempat singgah di pelabuhan Mo-lo-yeu. Saat ia berangkat , Mo-lo-yeu masih berupa negeri merdeka , sedangkan di saat kembali ke Cina , Mo-lo-yeu sudah menjadi jajahan Shih-li-fo-shih (ejaan Cina untuk Sriwijaya).
Menurut catatan I Tsing , negeri-negeri di Pulau Sumatra kebanyakan menganut agama Buddha anutan Hinayana , kecuali Mo-lo-yeu. Tidak disebutkan dengan terperinci agama apa yang dianut oleh Kerajaan Malayu.
Lokasi Malayu Tua
Dr. Rouffaer beropini bahwa ibu kota Kerajaan Malayu menjadi satu dengan pelabuhan Malayu , dan sama-sama terletak di Kota Jambi. Sedangkan menurut Ir. Moens , pelabuhan Malayu terletak di Kota Jambi , tetapi istananya terletak di Palembang. Sementara itu , Prof. George Coedes lebih percaya bahwa Palembang merupakan ibu kota Kerajaan Sriwijaya , bukan ibu kota Malayu.
Prof. Slamet Muljana beropini lain. Istilah Malayu berasal dari kata Malaya yang dalam bahasa Sansekerta bermakna “bukit”. Nama suatu kerajaan biasanya merujuk pada nama ibu kotanya. Oleh alasannya merupakan itu , ia tidak oke apabila istana Malayu terletak di Kota Jambi , alasannya merupakan tempat itu merupakan dataran rendah. Menurutnya , pelabuhan Malayu memang terletak di Kota Jambi , tetapi istananya terletak di pedalaman yang tanahnya agak tinggi.
Prasasti Tanyore menyebutkan bahwa ibu kota Kerajaan Malayu dilindungi oleh benteng-benteng , dan terletak di atas bukit. Slamet Muljana beropini bahwa istana Malayu terletak di Minanga Tamwa sebagaimana yang tertulis dalam prasasti Kedukan Bukit. Menurutnya , Minanga Tamwa merupakan nama antik dari Muara Tebo (atau Kabupaten Tebo di Provinsi Jambi).
Prasasti Kedukan Bukit tahun 683 mengisahkan perjalanan Dapunta Hyang menjinjing 20.000 orang serdadu meninggalkan Minanga Tamwa dengan perasaan suka cita sarat kemenangan. Prof. Moh. Yamin beropini bahwa prasasti ini merupakan piagam proklamasi berdirinya Kerajaan Sriwijaya di bawah pimpinan Dapunta Hyang.
Pendapat Moh. Yamin ternyata tidak cocok dengan gunjingan dalam catatan I Tsing bahwa pada tahun 671 Kerajaan Sriwijaya sudah ada. Dikisahkan , bahwa I Tsing memperoleh sokongan dari raja Shih-li-fo-shih sehingga sanggup memasuki pelabuhan Malayu dalam perjalanan menuju India.
Prof. Slamet Muljana yang sudah mengidentifikasi Minanga Tamwa selaku ibu kota Kerajaan Malayu beropini bahwa , prasasti Kedukan Bukit merupakan piagam penaklukan Malayu oleh Sriwijaya. Naskah prasasti tersebut menyediakan bahwa dengan kekuatan 20.000 serdadu , Dapunta Hyang sukses menguasai Minanga Tamwa , dan meninggalkan kota itu dalam suka cita.
Jadi , penaklukan Malayu oleh Sriwijaya terjadi pada tahun 683. Pendapat ini sesuai dengan catatan I Tsing bahwa , pada dikala berangkat menuju India tahun 671 , Mo-lo-yeu masih menjadi kerajaan merdeka , sedangkan di saat kembali tahun 685 , negeri itu sudah dikuasai oleh Shih-li-fo-shih.
Pelabuhan Malayu merupakan penguasa kemudian lintas Selat Malaka dikala itu. Dengan direbutnya Minanga Tamwa , secara otomatis pelabuhan Malayu pun jatuh ke tangan Kerajaan Sriwijaya. Maka sejak tahun 683 , Kerajaan Sriwijaya berkembang menjadi penguasa kemudian lintas dan jual beli Selat Malaka mengambil alih kiprah Kerajaan Malayu.
Tentang Raja Chan-pi
Setelah beberapa era berkuasa , akibatnya Kerajaan Sriwijaya mengalami kekalahan akhir serangan Rajendra Coladewa dari India sekitar tahun 1025. Kekuasaan Wangsa Sailendra di Pulau Sumatra dan Semenanjung Malaya pun berakhir. Sejak dikala itu Sriwijaya menjadi negeri jajahan Rajendra.
Dalam gunjingan Cina berjudul Sung Hui Yao disebutkan bahwa Kerajaan San-fo-tsi tahun 1082 mengirim duta besar ke Cina yang dikala itu di bawah pemerintahan Kaisar Yuan Fong. Duta besar tersebut menyodorkan surat dari raja Chan-pi bawahan San-fo-tsi , dan surat dari putri raja yang diserahi permasalahan negara San-fo-tsi , serta menyerahkan pula 227 tahil pelengkap , rumbia , dan 13 potong pakaian.
Pada zaman Dinasti Sung , perumpamaan San-fo-tsi identik dengan Sriwijaya. Tidak dimengerti dengan niscaya apakah putri raja yang diserahi permasalahan negara San-fo-tsi merupakan keturunan Rajendra , yang dikala itu sudah menguasai Sumatra dan Semenanjung Malaya. Sementara itu , raja Chan-pi kemungkinan besar merupakan ejaan Cina untuk perumpamaan Jambi.
Munculnya Wangsa Mauli
Kekalahan Kerajaan Sriwijaya akhir serangan Rajendra Coladewa sudah menyelesaikan kekuasaan Wangsa Sailendra atas Pulau Sumatra dan Semenanjung Malaya sejak tahun 1025. Beberapa waktu kemudian timbul suatu dinasti gres yang mengambil alih kiprah Wangsa Sailendra , yakni yang disebut dengan nama Wangsa Mauli.
Prasasti tertua yang pernah didapatkan atas nama raja Mauli merupakan prasasti Grahi tahun 1183. Prasasti itu berisi perintah Maharaja Srimat Trailokyaraja Maulibhusana Warmadewa terhadap bupati Grahi yang berjulukan Mahasenapati Galanai supaya menghasilkan arca Buddha seberat 1 bhara 2 tula dengan nilai emas 10 tamlin. Yang melakukan kiprah menghasilkan arca tersebut berjulukan Mraten Sri Nano.
Prasasti kedua berselang lebih dari satu era kemudian , yakni prasasti Padangroco tahun 1286. Prasasti ini menyebut adanya seorang raja berjulukan Maharaja Srimat Tribhuwanaraja Mauli Warmadewa. Ia memperoleh kiriman arca Amoghapasa dari atasannya , yakni Kertanagara raja Kerajaan Singhasari di Pulau Jawa. Arca tersebut kemudian ditaruh di kota Dharmasraya.
Dharmasraya dalam Pararaton disebut dengan nama Malayu. Dengan demikian , Tribhuwanaraja sanggup pula disebut selaku raja Malayu. Tribhuwanaraja sendiri kemungkinan besar merupakan keturunan dari Trailokyaraja. Oleh alasannya merupakan itu , Trailokyaraja pun sanggup juga dianggap selaku raja Malayu , walaupun prasasti Grahi tidak menyebutnya dengan jelas.
Yang menawan di sini merupakan tempat kekuasaan Trailokyaraja pada tahun 1183 sudah meraih Grahi , yang terletak di perbatasan Kamboja. Itu artinya , sesudah Sriwijaya mengalami kekalahan , Malayu berdiri kembali selaku penguasa Selat Malaka. Namun , kapan kiranya kebangkitan tersebut dimulai tidak sanggup ditentukan , alasannya merupakan raja Jambi pada tahun 1082 masih menjadi bawahan keluarga Rajendra.
Istilah Srimat yang didapatkan di depan nama Trailokyaraja dan Tribhuwanaraja berasal dari bahasa Tamil yang bermakna ”tuan pendeta”. Dengan demikian , kebangkitan kembali Kerajaan Malayu dipelopori oleh kaum pendeta. Namun , tidak dimengerti dengan terperinci apakah pemimpin kebangkitan tersebut merupakan Srimat Trailokyaraja , ataukah raja sebelum dirinya , alasannya merupakan hingga dikala ini belum didapatkan prasasti Wangsa Mauli yang lebih renta dibandingkan dengan prasasti Grahi.
Daerah Kekuasaan Dharmasraya
Istilah San-fo-tsi pada zaman Dinasti Sung sekitar tahun 990–an identik dengan Kerajaan Sriwijaya. Namun , di saat Sriwijaya mengalami kehancuran pada tahun 1025 , perumpamaan San-fo-tsi masih tetap dipakai dalam naskah-naskah kronik Cina untuk menyebut Pulau Sumatra secara umum.
Dalam naskah berjudul Chu-fan-chi karya Chau Ju-kua tahun 1225 disebutkan bahwa negeri San-fo-tsi memiliki 15 tempat bawahan , yakni Pong-fong , Tong-ya-nong , Ling-ya-si-kia , Ki-lan-tan , Fo-lo-an , Ji-lo-ting , Tsien-mai , Pa-ta , Tan-ma-ling , Kia-lo-hi , Pa-lin-fong , Sin-to , Kien-pi , Lan-mu-li , dan Si-lan. Dengan demikian , daerah kekuasaan San-fo-tsi membentang dari Srilangka (Si-lan) , Kamboja (Kia-lo-hi) , hingga Sunda (Sin-to).
Apabila San-fo-tsi masih dianggap identik dengan Sriwijaya , maka hal ini akan berbeda dengan prasasti Tanyore tahun 1030 , bahwa dikala itu Sriwijaya sudah kehilangan kekuasaannya atas Sumatra dan Semenanjung Malaya. Selain itu dalam daftar di atas juga didapatkan nama Pa-lin-fong yang identik dengan Palembang. Karena Palembang sama dengan Sriwijaya , maka sulit dipercayai Sriwijaya menjadi bawahan Sriwijaya.
Sebaliknya , daftar tersebut tidak menyebutkan nama Mo-lo-yeu ataupun nama lain yang seperti Dharmasraya. Yang disebut merupakan Kien-pi , yang mungkin identik dengan Jambi. Sementara itu , Jambi sendiri tidak sama dengan Dharmasraya alasannya merupakan kedua tempat tersebut terletak berjauhan.
Dengan demikian , perumpamaan San-fo-tsi pada tahun 1225 tidak lagi identik dengan Sriwijaya , melainkan identik dengan Dharmasraya. Makara , daftar 15 negeri bawahan San-fo-tsi tersebut merupakan daftar jajahan Kerajaan Dharmasraya , alasannya merupakan dikala itu masa kejayaan Sriwijaya sudah berakhir.
Jadi , perumpamaan San-fo-tsi yang semula bermakna Sriwijaya tetap dipakai dalam gunjingan Cina untuk menyebut Pulau Sumatra secara lazim , walaupun kerajaan yang berkuasa dikala itu merupakan Dharmasraya. Hal yang sama terjadi pada era ke-14 , yakni zaman Majapahit dan Dinasti Ming. Catatan sejarah Dinasti Ming masih menggunakan perumpamaan San-fo-tsi , seolah-olah dikala itu Sriwijaya masih ada. Sementara itu , catatan sejarah Majapahit berjudul Nagarakretagama tahun 1365 sama sekali tidak pernah menyebut adanya negeri berjulukan Sriwijaya.
Itu artinya , San-fo-tsi yang dipahami oleh Dinasti Ming memang bukan Sriwijaya , melainkan istilah lazim untuk Pulau Sumatra yang di dalamya antara lain terdapat negeri Dharmasraya dan Palembang.
Pada tahun 1275 raja Kerajaan Singhasari di Pulau Jawa yang berjulukan Kertanagara menentukan untuk menguasai kemudian lintas jual beli Selat Malaka. Tujuan terutama merupakan untuk membendung efek kekuasaan Khubilai Khan penguasa Dinasti Yuan atau bangsa Mongol.
Menurut Nagarakretagama , rencana tersebut semula hendak dilaksanakan secara damai. Akan tetapi , raja Malayu menolak hal itu , sehingga Kertanagara terpaksa mengirim pasukan untuk menyerang Sumatra. Serangan tersebut terkenal dengan istilah Ekspedisi Pamalayu yang dipimpin oleh Kebo Anabrang selaku komandan.
Pasukan Kebo Anabrang mendarat dan merebut pelabuhan Malayu di Jambi. Mereka kemudian merebut tempat penghasil lada di Kuntu–Kampar. Dengan demikian , kehidupan ekonomi Kerajaan Malayu sukses dilumpuhkan. Yang terakhir , Kebo Anabrang sukses mengalahkan ibu kota Malayu , yakni Dharmasraya.
Tidak dimengerti dengan niscaya kapan istana Dharmasraya jatuh ke tangan pasukan Singhasari. Prasasti Padangroco tahun 1286 cuma menyebutkan ihwal pengantaran arca Amoghapasa selaku kado Singhasari untuk diposisikan di Dharmasraya. Dalam prasasti itu , Tribhuwanaraja bergelar maharaja , sedangkan Kertanagara bergelar maharajadhiraja , sehingga terbukti jikalau dikala itu Sumatra sudah menjadi bawahan Jawa.
Sepasang Putri Malayu
Naskah Pararaton dan Kidung Panji Wijayakrama menyebutkan bahwa pasukan Kebo Anabrang kembali ke Jawa tahun 1293 menjinjing dua orang putri Malayu berjulukan Dara Jingga dan Dara Petak. Keduanya dipersembahkan terhadap Raden Wijaya menantu Kertanagara. Kertanagara sendiri sudah meninggal setahun sebelumnya.
Raden Wijaya merupakan raja pertama Kerajaan Majapahit. Ia mengambil Dara Petak selaku istri yang kemudian melahirkan Jayanagara , raja kedua Majapahit. Sementara itu , Dara Jingga diserahkan terhadap seorang “dewa”. Ia kemudian melahirkan Tuan Janaka yang kelak menjadi raja Malayu bergelar Mantrolot Warmadewa.
Mantrolot Warmadewa identik dengan Adityawarman Mauli Warmadewa , putra Adwayawarman. Nama Adwayawarman ini seperti dengan Adwayabrahma , yakni salah satu pengawal arca Amoghapasa dalam prasasti Padangroco tahun 1286. Saat itu Adwayabrahma menjabat selaku Rakryan Mahamantri dalam pemerintahan Kertanagara. Jabatan ini merupakan jabatan tingkat tinggi. Mungkin yang dimaksud dengan “dewa” dalam Pararaton merupakan tokoh ini. Dengan kata lain , Raden Wijaya menikahkan Dara Jingga dengan Adwayabrahma sehingga lahir Adityawarman.
Adityawarman sendiri menggunakan gelar Mauli Warmadewa. Hal ini menyediakan jikalau ia merupakan keturunan Srimat Tribhuwanaraja. Maka , sanggup ditarik kesimpulan jikalau Dara Jingga (dan juga Dara Petak) merupakan putri dari raja Dharmasraya tersebut. Sumber lain menyebutkan bahwa keduanya lahir dari permaisuri raja Malayu berjulukan Putri Reno Mandi.
Dharmasraya Zaman Majapahit
Nagarakretagama yang ditulis tahun 1365 menyebut Dharmasraya selaku salah satu di antara sekian banyak negeri jajahan Kerajaan Majapahit di Pulau Sumatra. Dharmasraya memang sudah ditaklukkan oleh Singhasari dan menjalin persaudaraan lewat perkimpoian antara Dara Petak dan Raden Wijaya pada tamat era ke-13. Namun , tidak sanggup ditentukan apakah kemudian Dharmasraya tunduk begitu saja terhadap Majapahit selaku kelanjutan dari Singhasari.
Dalam catatan Dinasti Ming , negeri San-fo-tsi (atau Sumatra) terbagi manjadi tiga dan masing-masing berupaya meminta sokongan Cina untuk lepas dari kekuasaan She-po (atau Jawa). Ketiga negeri tersebut masing-masing dipimpin oleh Seng-kia-lie-yulan , Ma-ha-na-po-lin-pang , dan Ma-na-cha-wu-li.
Secara berturut-turut pada tahun 1375 , 1376 , dan 1377 ketiganya mengantarkan duta besar ke Cina meminta bantuan. Namun pada tahun 1377 tentara She-po menyerang dan merusak San-fo-tsi. Sejak dikala itu ketiga negeri di San-fo-tsi disatukan dan diganti namanya menjadi Chiu-chiang.
Seng-kia-lie-yulan merupakan Adityawarman raja Pagaruyung. Ma-ha-na-po-lin-pang merupakan ejaan Cina untuk Maharaja Palembang. Sementara Ma-na-cha-wu-li merupakan ejaan untuk Maharaja Mauli raja Dharmasraya.
Meskipun Adityawarman merupakan cucu Srimat Tribhuwanaraja , tetapi ia tak punya hak atas takhta Dharmasraya alasannya merupakan ia lahir dari Dara Jingga. Adityawarman kemudian mendirikan Kerajaan Malayapura di Pagaruyung , sedangkan Dharmasraya dipegang oleh Maharaja Mauli , yakni keturunan Tribhuwanaraja lainnya.
Rupanya sesudah Gajah Mada meninggal tahun 1364 , negeri-negeri jajahan di Sumatra berupaya untuk memerdekakan diri dengan meminta sokongan Kerajaan Ming di Cina. Akan tetapi , Maharaja Hayam Wuruk yang dikala itu masih berkuasa di Majapahit sukses menumpas pemberontakan Pagaruyung , Palembang , dan Dharmasraya pada tahun 1377.
Catatan Cina menyebut bahwa sesudah pemberontakan tersebut , kerajaan-kerajaan di San-fo-tsi dijadikan satu dengan nama Chiu-chiang. Menurut naskah Ying-yai-seng-lan , nama Chiu-chiang sama dengan Po-lin-pang. Itu bermakna , sesudah tahun 1377 , daerah jajahan Majapahit di Sumatra dijadikan satu dengan berpusat di Palembang.
Untitled 3DAYAK

Seorang pakar sosial budaya yang aktif pada berbagai kegiatan sosial kemasyarakatan. Telah menempuh pendidikan di salah satu universitas swasta terbaik di Indonesia yang mengambil jurusan sosial budaya.

Pos terkait