Sejarah Dan Budaya: Kerajaan Medang

Gambar Gravatar
601px Medang Kingdom id.svg
601px Medang Kingdom id.svg
Kerajaan Medang pada Periode Jawa Tengah dan Jawa Timu
sumber id.wikipedia.org

Kerajaan Medang merupakan nama suatu kerajaan yang berdiri di Jawa Tengah pada masa ke-8 , kemudian pindah ke Jawa Timur pada masa ke-10 , dan risikonya runtuh pada permulaan masa ke-11.

Pada biasanya , perumpamaan Kerajaan Medang cuma lazim dipakai untuk menyebut periode Jawa Timur saja , padahal menurut prasasti-prasasti yang sudah didapatkan , nama Medang sudah dimengerti sejak periode sebelumnya , yakni periode Jawa Tengah.
Sementara itu , nama yang lazim dipakai untuk menyebut Kerajaan Medang periode Jawa Tengah merupakan Kerajaan Mataram , yakni merujuk terhadap salah daerah ibu kota kerajaan ini. Kadang untuk membedakannya dengan Kerajaan Mataram Islam yang berdiri pada masa ke-16 , Kerajaan Medang periode Jawa Tengah biasa pula disebut dengan nama Kerajaan Mataram Kuno atau Kerajaan Mataram Hindu.
Pusat Kerajaan Medang
800px Prambanan Shiva Temple
Candi Prambanan  

Bacaan Lainnya
pemerintahan Rakai Pikatan dan Dyah Balitung.

Bhumi Mataram merupakan istilah usang untuk Yogyakarta dan sekitarnya. Di daerah inilah untuk pertama kalinya istana Kerajaan Medang diperkirakan berdiri (Rajya Medang i Bhumi Mataram). Nama ini didapatkan dalam beberapa prasasti , umpamanya prasasti Minto dan prasasti Anjukladang. Istilah Mataram kemudian lazim dipakai untuk menyebut nama kerajaan secara keseluruhan , walaupun tidak selamanya kerajaan ini berpusat di sana.

Sesungguhnya , sentra Kerajaan Medang pernah mengalami berulang kali perpindahan , bahkan hingga ke daerah Jawa Timur sekarang. Beberapa daerah yang pernah menjadi lokasi istana Medang menurut prasasti-prasasti yang sudah didapatkan antara lain ,
  • Medang i Bhumi Mataram (zaman Sanjaya)
  • Medang i Mamrati (zaman Rakai Pikatan)
  • Medang i Poh Pitu (zaman Dyah Balitung)
  • Medang i Bhumi Mataram (zaman Dyah Wawa)
  • Medang i Tamwlang (zaman Mpu Sindok)
  • Medang i Watugaluh (zaman Mpu Sindok)
  • Medang i Wwatan (zaman Dharmawangsa Teguh)
Menurut anggapan , Mataram terletak di daerah Yogyakarta sekarang. Mamrati dan Poh Pitu diperkirakan terletak di daerah Kedu. Sementara itu , Tamwlang kini disebut dengan nama Tembelang , sedangkan Watugaluh kini disebut Megaluh. Keduanya terletak di daerah Jombang. Istana terakhir , yakni Wwatan , kini disebut dengan nama Wotan , yang terletak di daerah Madiun.
Awal Berdirinya Kerajaan Medang
800px Museum f%25C3%25BCr Indische Kunst Dahlem Berlin Mai 2006 044
Peninggalan sejarah di Museum für Indische Kunst , Berlin-Dahlem

Prasasti Mantyasih tahun 907 atas nama Dyah Balitung menyebutkan dengan terperinci bahwa raja pertama Kerajaan Medang (Rahyang ta rumuhun ri Medang ri Poh Pitu) merupakan Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya.

Sanjaya sendiri mengeluarkan prasasti Canggal tahun 732 , tetapi tidak menyebut dengan terperinci apa nama kerajaannya. Ia cuma menyiarkan adanya raja lain yang memerintah pulau Jawa sebelum dirinya , berjulukan Sanna. Sepeninggal Sanna , negara menjadi kacau. Sanjaya kemudian tampil menjadi raja , atas tunjangan ibunya , yakni Sannaha kerabat wanita Sanna.
Nama Sanna tidak terdapat dalam daftar para raja model prasasti Mantyasih. Bisa jadi ia memang bukan raja Kerajaan Medang. Kemungkinan besar riwayat Sanjaya seakan-akan dengan Raden Wijaya (pendiri Kerajaan Majapahit simpulan masa ke-13) yang mengaku selaku penerus takhta Kertanagara raja Singhasari , tetapi memerintah suatu kerajaan gres dan berbeda.
Kisah hidup Sanjaya secara panjang lebar terdapat dalam Carita Parahyangan yang gres ditulis ratusan tahun sesudah kematiannya , yakni sekitar masa ke-16.
Dinasti Kerajaan Medang yang Berkuasa
Candi Borobudur 3
Candi Borobudur. dibangun oleh Sailendrawangsa

Pada biasanya para sejarawan menyebut ada tiga dinasti yang pernah berkuasa di Kerajaan Medang , yakni Wangsa Sanjaya dan Wangsa Sailendra pada periode Jawa Tengah , serta Wangsa Isana pada periode Jawa Timur.

Istilah Wangsa Sanjaya merujuk pada nama raja pertama Medang , yakni Sanjaya. Dinasti ini menganut agama Hindu pedoman Siwa. Menurut teori van Naerssen , pada masa pemerintahan Rakai Panangkaran (pengganti Sanjaya sekitar tahun 770-an) , kekuasaan atas Medang direbut oleh Wangsa Sailendra yang beragama Buddha pedoman Mahayana.
Mulai di saat itu Wangsa Sailendra berkuasa di pulau Jawa , bahkan berhasil pula menguasai Kerajaan Sriwijaya di pulau Sumatra. Sampai risikonya , sekitar tahun 840-an , seorang keturunan Sanjaya berjulukan Rakai Pikatan berhasil menikahi Pramodawardhani putri mahkota Wangsa Sailendra. Berkat perkimpoian itu ia sanggup menjadi raja Medang , dan memindahkan istananya ke Mamrati. Peristiwa tersebut dianggap selaku permulaan kebangkitan kembali Wangsa Sanjaya.
Menurut teori Bosch , nama raja-raja Medang dalam prasasti Mantyasih dianggap selaku anggota Wangsa Sanjaya secara keseluruhan. Sementara itu Slamet Muljana beropini bahwa daftar tersebut merupakan daftar raja-raja yang pernah berkuasa di Medang , dan bukan daftar silsilah keturunan Sanjaya.
Contoh yang diajukan Slamet Muljana merupakan Rakai Panangkaran yang diyakininya bukan putra Sanjaya. Alasannya merupakan , prasasti Kalasan tahun 778 memuji Rakai Panangkaran selaku “permata wangsa Sailendra” (Sailendrawangsatilaka). Dengan demikian anjuran ini menolak teori van Naerssen tentang kekalahan Rakai Panangkaran oleh seorang raja Sailendra.
Menurut teori Slamet Muljana , raja-raja Medang model prasasti Mantyasih mulai dari Rakai Panangkaran hingga dengan Rakai Garung merupakan anggota Wangsa Sailendra. Sedangkan kebangkitan Wangsa Sanjaya gres dimulai sejak Rakai Pikatan naik takhta mengambil alih Rakai Garung.
Istilah Rakai pada zaman Medang identik dengan Bhre pada zaman Majapahit , yang bermakna “penguasa di”. Makara , gelar Rakai Panangkaran sama artinya dengan “Penguasa di Panangkaran”. Nama aslinya didapatkan dalam prasasti Kalasan , yakni Dyah Pancapana.
Slamet Muljana kemudian mengidentifikasi Rakai Panunggalan hingga Rakai Garung dengan nama-nama raja Wangsa Sailendra yang sudah dikenali , umpamanya Dharanindra ataupun Samaratungga. yang selama ini condong dianggap bukan pecahan dari daftar para raja model prasasti Mantyasih.
Sementara itu , dinasti ketiga yang berkuasa di Medang merupakan Wangsa Isana yang gres timbul pada ‘’periode Jawa Timur’’. Dinasti ini diresmikan oleh Mpu Sindok yang membangun istana gres di Tamwlang sekitar tahun 929. Dalam prasasti-prasastinya , Mpu Sindok menyebut dengan tegas bahwa kerajaannya merupakan kelanjutan dari Kadatwan Rahyangta i Medang i Bhumi Mataram.
Daftar Raja-raja Kerajaan Medang
menurut teori Slamet Muljana , sejak masih berpusat di Bhumi Mataram hingga selsai di Wwatan sanggup disusun secara lengkap selaku berikut ,
  • Sanjaya , pendiri Kerajaan Medang
  • Rakai Panangkaran , permulaan berkuasanya Wangsa Sailendra
  • Rakai Panunggalan alias Dharanindra
  • Rakai Warak alias Samaragrawira
  • Rakai Garung alias Samaratungga
  • Rakai Pikatan suami Pramodawardhani , permulaan kebangkitan Wangsa Sanjaya
  • Rakai Kayuwangi alias Dyah Lokapala
  • Rakai Watuhumalang
  • Rakai Watukura Dyah Balitung
  • Mpu Daksa
  • Rakai Layang Dyah Tulodong
  • Rakai Sumba Dyah Wawa
  • Mpu Sindok , permulaan periode Jawa Timur
  • Sri Lokapala suami Sri Isanatunggawijaya
  • Makuthawangsawardhana
  • Dharmawangsa Teguh , Kerajaan Medang berakhir
Pada daftar di atas cuma Sanjaya yang memakai gelar Sang Ratu , sedangkan raja-raja sesudahnya semua memakai gelar Sri Maharaja.
Struktur Pemerintahan Kerajaan Medang
Raja merupakan pemimpin tertinggi Kerajaan Medang. Sanjaya selaku raja pertama memakai gelar Ratu. Pada zaman itu perumpamaan Ratu belum identik dengan kaum perempuan. Gelar ini setara dengan Datu yang memiliki arti “pemimpin”. Keduanya merupakan gelar orisinil Indonesia.
Ketika Rakai Panangkaran dari Wangsa Sailendra berkuasa , gelar Ratu dihapusnya dan diganti dengan gelar Sri Maharaja. Kasus yang serupa terjadi pada Kerajaan Sriwijaya di mana raja-rajanya semula bergelar Dapunta Hyang , dan sesudah dikuasai Wangsa Sailendra juga bermetamorfosis Sri Maharaja.
Pemakaian gelar Sri Maharaja di Kerajaan Medang tetap dilestarikan oleh Rakai Pikatan walaupun Wangsa Sanjaya berkuasa kembali. Hal ini sanggup dilihat dalam daftar raja-raja model prasasti Mantyasih , di mana cuma Sanjaya yang bergelar Sang Ratu.
Jabatan tertinggi sesudah raja merupakan Rakryan Mahamantri i Hino atau kadang ditulis Rakryan Mapatih Hino. Jabatan ini dipegang oleh putra atau kerabat raja yang memiliki kesempatan untuk naik takhta selanjutnya. Misalnya , Mpu Sindok merupakan Mapatih Hino pada masa pemerintahan Dyah Wawa.
Jabatan Rakryan Mapatih Hino pada zaman ini berlawanan dengan Rakryan Mapatih pada zaman Majapahit. Patih zaman Majapahit setara dengan perdana menteri tetapi tidak berhak untuk naik takhta.
Jabatan sesudah Mahamantri i Hino secara berturut-turut merupakan Mahamantri i Halu dan Mahamantri i Sirikan. Pada zaman Majapahit jabatan-jabatan ini masih ada tetapi cuma sekadar gelar kehormatan saja. Pada zaman Wangsa Isana berkuasa masih ditambah lagi dengan jabatan Mahamantri Wka dan Mahamantri Bawang.
Jabatan tertinggi di Medang berikutnya merupakan Rakryan Kanuruhan selaku pelaksana perintah raja. Mungkin semacam perdana menteri pada zaman kini atau setara dengan Rakryan Mapatih pada zaman Majapahit. Jabatan Rakryan Kanuruhan pada zaman Majapahit memang masih ada , tetapi kiranya setara dengan menteri dalam negeri pada zaman sekarang.
Keadaan Penduduk Kerajaan Medang
Penduduk Medang sejak periode Bhumi Mataram hingga periode Wwatan kebanyakan melakukan pekerjaan selaku petani. Kerajaan Medang memang terkenal selaku negara agraris , sedangkan saingannya , yakni Kerajaan Sriwijaya merupakan negara maritim.
Agama resmi Kerajaan Medang pada masa pemerintahan Sanjaya merupakan Hindu pedoman Siwa. Ketika Sailendrawangsa berkuasa , agama resmi kerajaan berganti menjadi Buddha pedoman Mahayana. Kemudian pada di saat Rakai Pikatan dari Sanjayawangsa berkuasa , agama Hindu dan Buddha tetap hidup berdampingan dengan sarat toleransi.
Konflik Takhta Periode Jawa Tengah Kerajaan Medang
Pada masa pemerintahan Rakai Kayuwangi putra Rakai Pikatan (sekitar 856 – 880–an) , didapatkan beberapa prasasti atas nama raja-raja lain , yakni Maharaja Rakai Gurunwangi dan Maharaja Rakai Limus Dyah Dewendra. Hal ini berbincang jika pada di saat itu Rakai Kayuwangi bukanlah satu-satunya maharaja di Pulau Jawa. Sedangkan menurut prasasti Mantyasih , raja sesudah Rakai Kayuwangi merupakan Rakai Watuhumalang.
Dyah Balitung yang disangka merupakan menantu Rakai Watuhumalang berhasil mempersatukan kembali kekuasaan seluruh Jawa , bahkan hingga Bali. Mungkin lantaran kepahlawanannya itu , ia sanggup mewarisi takhta mertuanya.
Pemerintahan Balitung diperkirakan selsai lantaran terjadinya perebutan kekuasaan oleh Mpu Daksa yang mengaku selaku keturunan orisinil Sanjaya. Ia sendiri kemudian digantikan oleh menantunya , berjulukan Dyah Tulodhong. Tidak dikenali dengan niscaya apakah proses suksesi ini berlangsung tenang ataukah lewat perebutan kekuasaan pula.
Tulodhong risikonya tersingkir oleh pemberontakan Dyah Wawa yang sebelumnya menjabat selaku pegawai pengadilan.
Teori Van Bammelen tentang Kerajaan Medang
Menurut teori van Bammelen , perpindahan istana Medang dari Jawa Tengah menuju Jawa Timur disebabkan oleh letusan Gunung Merapi yang sungguh dahsyat. Konon sebagian puncak Merapi hancur. Kemudian lapisan tanah begeser ke arah barat daya sehingga terjadi lipatan , yang antara lain , membentuk Gunung Gendol dan lempengan Pegunungan Menoreh. Letusan tersebut dibarengi gempa bumi dan hujan material vulkanik berupa bubuk dan batu.
Istana Medang yang diperkirakan kembali berada di Bhumi Mataram hancur. Tidak dikenali dengan niscaya apakah Dyah Wawa tewas dalam petaka tersebut ataukah sudah meninggal sebelum insiden itu terjadi , lantaran raja berikutnya yang bertakhta di Jawa Timur berjulukan Mpu Sindok.
Mpu Sindok yang menjabat selaku Rakryan Mapatih Hino mendirikan istana gres di daerah Tamwlang. Prasasti tertuanya berangka tahun 929. Dinasti yang berkuasa di Medang periode Jawa Timur bukan lagi Sanjayawangsa , melainkan suatu keluarga gres berjulukan Isanawangsa , yang merujuk pada gelar abhiseka Mpu Sindok yakni Sri Isana Wikramadharmottungga.
Permusuhan dengan Sriwijaya di Kerajaan Medang
Selain menguasai Medang , Wangsa Sailendra juga menguasai Kerajaan Sriwijaya di pulau Sumatra. Hal ini ditandai dengan ditemukannya Prasasti Ligor tahun 775 yang menyebut nama Maharaja Wisnu dari Wangsa Sailendra selaku penguasa Sriwijaya.
Hubungan senasib antara Jawa dan Sumatra bermetamorfosis permusuhan di saat Wangsa Sanjaya bangun kembali memerintah Medang. Menurut teori de Casparis , sekitar tahun 850–an , Rakai Pikatan berhasil menyingkirkan seorang anggota Wangsa Sailendra berjulukan Balaputradewa putra Samaragrawira.
Balaputradewa kemudian menjadi raja Sriwijaya di mana ia tetap menyimpan dendam terhadap Rakai Pikatan. Perselisihan antara kedua raja ini meningkat menjadi permusuhan bebuyutan pada generasi selanjutnya. Selain itu , Medang dan Sriwijaya juga berkompetisi untuk menguasai kemudian lintas jual beli di Asia Tenggara.
Rasa permusuhan Wangsa Sailendra terhadap Jawa terus berlanjut bahkan di saat Wangsa Isana berkuasa. Sewaktu Mpu Sindok mengawali periode Jawa Timur , pasukan Sriwijaya tiba menyerangnya. Pertempuran terjadi di daerah Anjukladang (sekarang Nganjuk , Jawa Timur) yang dimenangkan oleh pihak Mpu Sindok.
Peristiwa Mahapralaya di Kerajaan Medang
Mahapralaya merupakan insiden hancurnya istana Medang di Jawa Timur menurut isu dalam prasasti Pucangan. Tahun terjadinya insiden tersebut tidak sanggup dibaca dengan terperinci sehingga timbul dua model pendapat. Sebagian sejarawan menyebut Kerajaan Medang runtuh pada tahun 1006 , sedangkan yang yang lain menyebut tahun 1016.
Raja terakhir Medang merupakan Dharmawangsa Teguh , cicit Mpu Sindok. Kronik Cina dari Dinasti Sung mencatat sudah berulang kali Dharmawangsa mengirim pasukan untuk menggempur ibu kota Sriwijaya sejak ia naik takhta tahun 991. Permusuhan antara Jawa dan Sumatra kian memanas di saat itu.
Pada tahun 1006 (atau 1016) Dharmawangsa lengah. Ketika ia mengadakan pesta perkimpoian putrinya , istana Medang di Wwatan diserbu oleh Aji Wurawari dari Lwaram yang diperkirakan selaku sekutu Kerajaan Sriwijaya. Dalam insiden tersebut , Dharmawangsa tewas.
Tiga tahun kemudian , seorang pangeran berdarah adonan Jawa–Bali yang lolos dari Mahapralaya tampil membangun kerajaan gres selaku kelanjutan Kerajaan Medang. Pangeran itu berjulukan Airlangga yang mengaku bahwa ibunya merupakan keturunan Mpu Sindok. Kerajaan yang ia dirikan kemudian lazim disebut dengan nama Kerajaan Kahuripan.
Peninggalan Sejarah Kerajaan Medang
Selain meninggalkan bukti sejarah berupa prasasti-prasasti yang tersebar di Jawa Tengah dan Jawa Timur , Kerajaan Medang juga membangun banyak candi , baik itu yang bercorak Hindu maupun Buddha.
Candi-candi peninggalan Kerajaan Medang antara lain , Candi Kalasan , Candi Plaosan , Candi Prambanan , Candi Sewu , Candi Mendut , Candi Pawon , dan tentunya yang paling kolosal merupakan Candi Borobudur. Candi megah yang dibangun oleh Sailendrawangsa ini sudah ditetapkan UNESCO (PBB) selaku salah satu warisan budaya dunia.

Sumber :
Sejarah Nasional Indonesia Jilid II. Jakarta: Balai Pustaka , 1984.
Tafsir Sejarah Nagara Kertagama. Yogyakarta: LKiS 2006

https://id.wikipedia.org/wiki/Kerajaan_Medang
Untitled 3DAYAK

Seorang pakar sosial budaya yang aktif pada berbagai kegiatan sosial kemasyarakatan. Telah menempuh pendidikan di salah satu universitas swasta terbaik di Indonesia yang mengambil jurusan sosial budaya.

Pos terkait