Sejarah
Kerajaan Brunei merupakan salah satu kerajaan tertua di antara kerajaan kerajaan lain di tanah Melayu. Keberadaan Kerajaan Brunei diperoleh menurut catatan Cina , Arab , dan tradisi lisan. Dalam catatan sejarah Cina , Brunei pada jaman dulu dipahami dengan nama Poli , Polo , Poni atau Puni dan Bunlai.
Dalam catatan Arab , Brunei disebut dengan Zabaj atau Randj. Sedangkan pada catatan tradisi verbal Syair Awang Semaun (SAS) , kata Brunei berasal dari perkataan gres nah yang bermakna ”tempat yang sungguh baik”. Sumbersumber dari banyak sekali bangsa yang meriwayatkan Brunei amat beragam. Tak cuma soal nama , melainkan juga dalam hal ejaan seumpama “Buruneng” dalam Nagarakretagama , “Bornei , “Borneu” , “Burney” , “Borneo” , “Bruneo” , dan “Burne” , dalam European Sources for the History of the Sultanate of Brunei in Sixteenth Century , serta “Bornui” menurut Sidi Ali bin Husin , dan “Burni” dalam The Philipine Island (AlSufri , 2001).
Kerajaan Brunei sanggup disebut selaku kerajaan Melayu yang paling usang bertahan. Dengan eksistensinya yang cukup usang , maka perunutan sejarahnya juga membutuhkan sistematika penulisan yang komprehensif , meliputi fasefase penting kepemimpinan. Dalam hal ini , sejarah Kerajaan Brunei sanggup ditelusuri lewat dua fase , yakni fase praIslam pada masa Kerajaan Brunei Tua , dan fase Islam pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Shah dengan nama Kerajaan Brunei.
Masa Kerajaan Brunei Buddha atau Kerajaan Brunei PraIslam
Data wacana sejarah Kerajaan Brunei praIslam tidak banyak ditemukan. Beberapa sumber , tergolong banyak sekali buku dari Pusat Sejarah Brunei sendiri cuma menyentil sedikit data. Catatancatatan perihal Kerajaan Brunei praIslam yang didapatkan cuma diperoleh lewat secuil manuskrip yang bersumber dari sejarah Cina. Namun , catatan sejarah tersebut lebih banyak bercerita wacana Kerajaan Puni. Hal itu sanggup dimaklumi , lantaran Kerajaan Puni merupakan kerajaan terakhir sebelum meningkat menjadi Kerajaan Brunei dengan tata pemerintahan Islam.
Mengacu pada sejarah Cina , Kerajaan Brunei sudah ada sejak masa ke6 M. Hal itu terbukti dengan adanya kekerabatan jual beli Brunei dengan Dinasti Liang (502566 M) di Cina. Kala itu , Brunei lebih dipahami dengan nama Poli. Penyebutan nama Kerajaan Brunei berbedabeda sesuai dengan istilah yang digunakan oleh masingmasing Dinasti Cina.
Selanjutnya , Kerajaan Brunei tetap dipahami dengan istilah yang serupa pada masa Dinasti Tang (618906 M) , dan meningkat menjadi Polo di saat terjadi kekerabatan jual beli dengan Dinasti Sung (9601279 M) , dan kemudian menjadi Poni (Puni) semasa Dinasti Ming (13681643 M) (AlSufri , 2000).
Letak geografis Kerajaan Brunei praIslam
jika mengacu pada sejarah Cina merupakan sebelah tenggara Canton dengan jarak pelayaran dari Canton ke Brunei sejauh tiupan angin biasa berjarak 60 hari (AlSufri , 2000). Hsu Yuntsiau , sejarawan Cina , meneliti bahwa kerajaan ini mungkin terletak di pantai timur tanah Melayu , yakni Kelantan.
Sebelum menjadi Kerajaan Brunei seumpama kini ini , oleh Pusat Sejarah Brunei , lebih banyak disebut selaku Kerajaan Brunei Tua ketimbang namanama Cina sebagaimana yang dipahami dalam sejarah Cina. Sebab beberapa perumpamaan Cina seumpama Poli , Polo maupun Puni tidak terlampau bersahabat dengan kata ”Brunei” di saat ini. Mengingat bahwa Poli , Polo , Puni , dan Brunei merujuk pada tempat yang serupa , maka boleh jadi mereka mempunyai akhlak kebiasaan yang sama.
Sayangnya , rekam sejarah wacana Kerajaan Brunei Tua yang didapatkan di sekarang ini sungguh rendah , sehingga citra insiden masa silam tak sanggup terekam dengan terperinci kecuali beberapa aktivitas penduduk di Kerajaan Puni berikut ini.
Aktivitas Ekonomi , Sosial , dan Budaya
Sejauh ini , citra sejarah yang didapatkan gres mengungkapkan akhlak kebiasaan orang Puni (Brunei di masa Dinasti Ming , tahun 13681643 M). Orang Puni pada masa itu sering menjalankan kekerabatan perniagaan (pertukaran barang) dengan Negeri Cina. Disebutkan bahwa berlangsungnya perniagaan akan dimulai setelah kapal Cina berlabuh selama tiga hari , gres kemudian Raja Puni mengawali menaksir harga tiaptiap barang.
Selama berunding perkara harga , Raja Puni akan menjamu para tamunya dengan bermacam-macam masakan. Setelah harga ditetapkan , maka dipukullah gong selaku menandakan peradagangan dimulai. Konon , jikalau harga barang belum ditetapkan , maka siapapun tidak diperbolehkan untuk mengawali membeli. Barang siapa yang melanggar ketetapan tersebut maka akan dieksekusi mati , kecuali saudagar , hukumannya akan diringankan.
Ketika dinasti Ming berkuasa , beberapa barang perniagaan yang ditukarkan pada masa itu berupa tikar emas , tembikar , porselen , plumbun (lead) , barang perak , emas , kain sutera , kain kasa , dan kiap. Adapun barangbarang yang diperoleh dari Cina di antaranya yakni berupa kapur barus , tanduk rusa , timah , gelang dari gading gajah , kulit kurakura , sarang burung , wangiwangian , kayu cendana , lilin lebah , dan rempahrempah. Selain dengan Cina , Kerajaan Puni mempunyai kekerabatan jual beli dengan Kochin , Jawa , Singapura , Pahang , Terengganu , Kelantan , serta negerinegeri sekitar Siam.
Adat kebiasaan orang Puni di masa kemudian juga terekam dalam jejak sejarah yang bercerita wacana kebiasaan orang Puni dalam melangsungkan pemakaman. Pada masa itu , jikalau ada orang yang mati , maka mayatnya akan dimasukkan keranda yang dibentuk dari buluh , kemudian dibawa ke hutan dan ditinggalkan begitu saja. Dua bulan kemudian , barulah pihak keluarga mulai bercocok tanam (dalam kisah ini tidak diceritakan tempat keluarga tersebut bercocok tanam , apakah di tempat jenazah atau di tempat lain).
Selain itu , orangorang Puni juga biasa mengadakan kenduri setiap tahun hingga tujuh tahun. Selama itu , mereka mengadakan jamuan , bersuka ria , menari dan menyanyi dengan diiringi gendang seruling dan bunyibunyian seumpama gong , canang , tawaktawak , dan gulingtangan. Jamuan makanan ditaruh di atas daun yang kemudian mereka buang setelah makan.
Orangorang Puni juga mempunyai tradisi yang khas khususnya dalam hal meracik obat luka yang dipahami dengan nama pokok. Obat luka itu berasal dari akar. Oleh orang Puni , akar itu digoreng hingga hangus kemudian abunya digosokkan ke penggalan yang luka. Menurut riwayatnya , meski luka itu sanggup menyebabkan ajal , tetapi mereka percaya bahwa luka itu tetap sanggup disembuhkan dengan obat tersebut.
Dalam hal agama , beberapa penduduk Puni menganut agama Buddha. Walaupun menganut agama Buddha , tetapi mereka tidak mempunyai arca. Tetapi , mereka membangun rumah Buddha yang bertingkat tingkat , dengan atap yang berupa menara. Sementara , di bawah menara terdapat dua buah rumah kecil berisi mutiara yang dinamakan Sen Fu (Sacred Buddha). Pada di saat hari Buddha tiba , Raja Puni berangkat ke upacara untuk memuja bunga dan buah yang diadakan selama tiga hari bareng penduduk negeri itu.
Meskipun banyak penduduk Puni menganut agama Buddha , terdapat segelintir orang yang sudah menganut agama Islam. Hal ini terbukti dengan ditemukannya makam-makam Islam serta beberapa orang muslim yang menjadi delegasi Raja Puni dalam menjalankan pertukaran niaga ke Cina.
Rajaraja
Puni sebelum tahun 1368 M disinyalir beragama Buddha , kecuali Raja Puni yang berjulukan Mahamosha yang seorang muslim. Hal ini tersirat dari perbekalan yang diberikan oleh Raja Cina terhadap Raja Puni Mahamosha , berupa dagingdaging yang bukan babi. Selain itu , kata ”Ma” dalam perumpamaan Cina umumnya merujuk terhadap orang Islam.
Mahamosha inilah yang menjadi Raja Puni semasa pemerintahan Hungwu dalam Dinasti Ming , yang dalam sejarah Brunei tak lain yakni Sultan Muhammad Shah atau Sultan Brunei I. Di sinilah sebenarnya pemerintahan Islam di Kerajaan Brunei dimulai.
Kerajaan Brunei Islam
Rentang sejarah pemerintahan Islam di Kerajaan Brunei diawali sejak dipimpin oleh Raja Puni Mahamosha tahun 1363 M. Pada masa pemerintahan Islam , terjadilah rentetan insiden sejarah yang mencatat bahwa Kerajaan Brunei Islam ini mengalami pasang surut yang disebabkan oleh penaklukan kerajaan lain serta hadirnya kolonialisme di Asia Tenggara yang kemudian mempengaruhi suasana politik di dalam negeri.
Rentetan sejarah itu digambarkan dalam beberapa fase pemerintahan , yakni Kerajaan Brunei Islam
sebelum kolonialisme yang terjadi pada masa pemerintahan Sultan Muhammad shah atau Sultan Brunei I hingga Sultan Bolkiah alias Sultan Brunei V; fase Kerajaan Brunei Islam masa kolonialisme yang terjadi di saat tampuk pemerintahan dilakukan oleh Sultan Abdul Kahar alias Sultan Brunei VI; terakhir merupakan fase Kerajaan Brunei Islam pascakolonialisme yang terjadi pada masa pemerintahan Sultan Hassanal Bolkiah hingga di saat ini.
Kerajaan Brunei Islam Sebelum Kolonialisme Perkembangan agama Islam di Brunei tidak lepas dari imbas para musafir , pedagang Arab , serta mubalighmubaligh yang berdatangan silih berganti sejak sebelum tahun 977 M. Pada masa itu , agama Islam belum menjadi agama resmi di Kerajaan Brunei. Agama Islam gres menjadi agama resmi pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Shah (13631482). (AlSufri , 1992; 2000) , dan meningkat pesat pada masa pemerintahan Sultan Syarif Ali atau Sultan Brunei III.
Dalam sejarahnya , pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Shah , Kerajaan Brunei pernah menjadi tempat di bawah imbas Majapahit (Matassim , 2004). Dalam syair Nagarakretagama yang ditulis dalam goresan pena Kawi karangan Prapanca , menyebutkan bahwa Brunei ada di antara negerinegeri yang takluk di bawah kekuasaan Majapahit.
Menurut Salasilah RajaRaja Brunei juga disebutkan bahwa pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Shah atau Raja Awang Alak Betatar alias Sultan Brunei I , Kerajaan Brunei pernah takluk di bawah kekuasaan Majapahit , sehingga setiap tahunnya wajib menampilkan upeti sebanyak 40 kati kapur barus (AlSufri , 2001). Kemudian , setelah Patih Gajah Mada mangkat , Kerajaan Brunei melepaskan diri dari imbas Majapahit.
Pergantian tampuk kepemimpinan terjadi di saat Raja Puni yang berjulukan Mahamosha alias Sultan Muhammad Shah mangkat tahun 1402 M. Jenazahnya kemudian dimakamkan di luar pintu An Teh Boon Goh (di tempat Nanking , Cina). Setelah pemakaman , Raja Cina bertitah biar putera Raja Puni yang berjulukan Hsiawang diangkat menjadi raja.
Namun , lantaran Hsiawang masih berusia empat tahun , maka tahta kerajaan kemudian diserahkan terhadap Sultan Ahmad yang tak lain merupakan keponakan Mahamosha. Sultan Ahmad kemudian dicatat dalam sejarah selaku Sultan Brunei II (ASufri , 2000).
Setelah 17 tahun berkuasa , Sultan Ahmad mangkat dan digantikan oleh menantunya , Sultan Sharif Ali. Hal itu dikarenakan Sultan Ahmad tidak mempunyai anak lakilaki. Pada masa ini , Kerajaan Puni mempunyai daerah yang cukup luas meliputi Sabah , Brunei dan Sarawak yang berpusat di Brunei. Pada masa inilah terjadi perubahan besar dalam sejarah Kerajaan Brunei Tua. Kerajaan Puni meningkat menjadi Kerajaan Brunei serempak dengan perpindahan Kerajaan Brunei Tua ke Kota Batu. Pergantian nama ini berhubungan dengan putusnya kekerabatan jualan antara Brunei dengan Cina (AlSufri , 2000).
Berdasarkan sumber yang ada , argumentasi putusnya kekerabatan jual beli dua kerajaan tersebut disebabkan oleh pergeseran sultan , yang kemudian berimplikasi pada perubahan kebijakan politik mancanegara (AlSufri , 2001).
Sultan Sharif Ali disinyalir merupakan anak cucu Sayidina Hasan , cucu Rasulullah Saw. Beliau juga pernah menjadi Amir Masjid Makkah. Ketika menjadi raja , Sultan Sharif Ali berjuang keras berbagi Islam terhadap penduduk Brunei. Meski Islam sudah ada di Brunei sejak masa ke9 , tetapi masih banyak imbas HinduBuddha dalam keseharian masyarakat.
Konon , Sultan Sharif Ali membangun masjid bertingkat tiga dan banyak meninggalkan warisan kebudayaan Islam yang agung. Sultan Sharif Ali menerapkan corak kepemimpinan yang adil dan terencana dengan berasaskan aturan Islam. Pada masa ini , Brunei menjadi negeri yang kondusif dan sentosa. Itulah sebabnya , kemudian Brunei memperoleh istilah ”Darussalam” , yang mempunyai arti negeri yang aman.
Kerajaan Brunei yang kondusif sentosa makin berjaya setelah jatuhnya Kerajaan Melaka ke tangan Portugis pada tahun 1511 M , lantaran Sultan Brunei di saat itu , yakni Sultan Bolkiah , menggantikan kepemimpinan Islam dari Melaka sehingga Brunei menjadi sentra pertumbuhan Islam di wilayahwilayah taklukan dan sekitarnya. Sejak di saat itulah Kesultanan Brunei meraih zaman kegemilangannya.
Kebesaran dan kegagahan Brunei pada zaman pemerintahan Sultan Bolkiah dianggap selaku zaman keemasan Empayar Brunei. Pada masa ini , daerah pemerintahan tak cuma meliputi keseluruhan Pulau Borneo , tetapi hingga Pulau Palawan , Sulu , Balayan , Mindoro , Bonbon , Balabak , Balambangan , Bangi , Mantanai , dan Saludang. Sayangnya , kegemilangan dan kejayaan ini tak berjalan lama.
Sultan Bolkiah mangkat pada tahun 1524 M. Estafet kepemimpinan Brunei diberikan terhadap Sultan Abdul Kahar semasa Sultan Bolkiah masih hidup. Pada masa Sultan Abdul Kahar inilah mulai terjadi kolonialisme Eropa di Asia Tenggara , tak terkecuali di Kerajaan Brunei.
Sumber: wikipedia.org , inibangsaku.com
Seorang pakar sosial budaya yang aktif pada berbagai kegiatan sosial kemasyarakatan. Telah menempuh pendidikan di salah satu universitas swasta terbaik di Indonesia yang mengambil jurusan sosial budaya.