Sumber Sejarah
Seumber tertua mengenai adanya Kerajaan Bali yakni sebua prasasti yang berangka 804 Saka (882 M). Prasasti ini mengenai izin yang diberikan terhadap para bhiksu untuk menghasilkan tempat pertapaan di Bukit Cintamani.
Namun , raja pembuat prasasti ini tidak disebutkan. Prasasti kedua yang didapatkan yakni prasasti yang berangka tahun 818 Saka (896 M).
Isinya hamper sama dengan prasasti yang pertama. Satu hal yang menawan dari kedua prasasti ini yakni meskipun nama rajanya tidak disebut , tetapi nama istana raja disebut yakni Singhamandaya. Kemudian ada lagi prasasti yang didapatkan di desa Blajong erat Pantai Sanur.
Angka tahun dari prasasti ini berupa candrasangkala yang berbunyi Khecara Wahmi-Murti yang artinya tahun 836 Saka (914 M). Dalam prasasti ini disebutkan nama rajanya yakni Khesari Warmadewa yang istananya bernana Singhadwala.
Tidak dikenali kapan raja ini memerintah dan kapan berakhirnya. Prasasti-prasasti ini ditulis dengan abjad Pranagari dan abjad Bali Kuno. Sedangkan bahasa yang digunakan yakni Sansekerta.
Kerajaan Bali terletak pada suatu Pulau kecil yang tidak jauh dari daerah Jawa Timur. Dalam kemajuan sejarahnya , Bali memiliki korelasi erat dengan Pulau Jawa. Karena letak pulau itu berdekatan , maka sejak zaman dahulu memiliki korelasi yang erat.
Bahkan di saat Kerajaan Majapahit runtuh , banyak rakyat Majapahit yang melarikan diri dan menetap di sana. Sampai kini ada kepercayaan bahwa sebagian dari penduduk Bali dianggap pewaris tradisi Majapahit.
Baca Juga:
Kehidupan Politik
Dari prasasti-prasasti yang didapatkan itu sanggup ditentukan bahwa yang mendirikan Kerajaan Bali itu yakni raja-raja dari dinasti Warmadewa. Sejak tahun 915 M yang memerintah di Bali yakni Raja Ugrasena. Dari prasasti-prasastinya sanggup dikenali Raja Ugrasena memerintah hingga tahun 942. setelah itu yang memerintah yakni Haji Tabanendra Warmadewa.
Ia memerintah gotong royong dengan permaisurinya Sang Ratu Luhur Sri Subhadrika Dharmadewi yang memerintah dari tahun 877-889 Saka (955-967 M). Raja selanjutnya yakni Jayasingha Warmadewa yang sudah turut memerintah sejak tahun 960 M , selaku raja muda.
Pada masa pemerintahannya , ia membangun dua tempat pemandian di desa Manukraya (Manukkaya) dan suatu lagi di Tirta Empul , Tirta Empul ini letaknya berdekatan dengan istana Tampak Siring. Pada tahun 975 ia meninggal.
Penggantinya yakni Raja Jayasadhu Warmadewa (975-983) , Masa pemerintahannya tidak banyak diketahui. Pada tahun 983 yang memerintah yakni seseorang perempuan yang berjulukan Sri Maharaja Sri Wijaya Mahadewi. Mengenai asal raja perempuan ini tidak dikenali dengan jelas. Ada sarjana yang beropini bahwa ia yakni seorang putri dari Sriwijaya , tetapi ada lagi yang beropini bahwa Sri Wijaya Mahadewi yakni putrid dari Raja Mpu Sindok.
Setelah masa pemerintahannya selsai , ia digantikan oleh Dharmodhayana Warmadewa yang naik takhta pada tahun 989. ia memerintah bareng permaisurinya yang berjulukan Gunapriyadharmapatni atau Mahendradatha , putrid dari Makutawangsa wardhana. Mereka memerintah hingga tahun 1001. mahendradatha meninggal dan dicandikan di Burwan (desa Burwan) yang terletak di sebelah tenggara Bedudu.
Arca perwujudannya berupa Durga yang didapatkan di Kutri (Gianyar). Dharmodhayana Warmadewa masih tetap emmerintah sepeninggal istrinya hingga tahun 1011 M. Ia meninggal pada tahun itu dan dicandikan di Banu Wka yang letaknya hingga di saat ini belum diketahui.
Dari perkawinan antara Dharmodhayana dan Mahendradatha lahir tiga orang putra yang masing-masing berjulukan Airlangga yang kemudian kawin dengan seorang putri Dharmawangsa dan menjadi raja di Pulau Jawa , Marakata dan Anak Wungsu.
Marakata selaku pengganti ayahnya bergelar Dharmodhayana Wangsawardhana Marakata Panjakasthana Uttggadewa (1011 – 1022). Masa pemerintahannya sezaman dengan Airlangga di Jawa Timur.
Perhatiannya yang sungguh besar untuk kemakmuran rakyatnya , membuat dirinya sungguh dihormati dan dicintai rakyatnya. Ia bahkan dianggap selaku penjelmaan dari kebenaran hokum. Sebagai bukti bahwa ia sungguh memperhatikan kepentingan rakyatnya yakni dibangunnya suatu tempat pertapaan (prasada) di Gunung Kawi yang berdekatan dengan istana Tampak Siring.
Tempat pertapaan ini memiliki keunikan yakni dipahat di kerikil gunung , kira-kira enam meter tingginya berupa candi-candi dan bab bawah (dasarnya) dibuatkan gua-gua pertapaan yang masing-masing berisikan ruangan-ruangan , hingga di saat ini tempat pertapaan itu tetap terpelihara dengan baik dan ialah salah satu objek rekreasi yang ramai dikunjungi para wisatawan.
Pengganti Marakata yakni Anak Wungsu (1049-1077). Ia yakni raja yang paling banyak meninggalkan prasasti. Sebanyak 28 buah prasasti dibentuk selama 28 tahun masa pemerintahannya. Anak wungsu tak punya keturunan , alasannya yakni itu permaisurinya dipahami dengan istilah Batari Mandul. Pada tahun 1077 , anak wungsu meninggal dan didharmakan di Gunung Kawi. Penggantinya yakni Sri Maharaja Walaprabhu.
Setelah Walaprabhu yang memerintah yakni seorang ratu dengan nama Sri Maharaja Sakalendukiranan Isanna Gunadharma Laksmidhara Wijayottunggadewi. Tidak banyak yang dikenali mengenai pemerintahan ratu ini , ia kemudian digantikan oleh Sri Suradhipa (1115-1119). Pengganti raja ini yakni Sri Jayasakti yang memerintah hingga tahun 1150. penggantinya yakni Ragajaya.
Setelah raja ini , Kerajaan Bali mengalami kekosongan pemerintahan selama beberapa tahun. Baru pada tahun 1170 yang memerintah yakni Raja Jayapangus. Ia memerintah bareng dua orang istrinya , yakni Indujaketana selaku permaisuri dan Sasangkajahcina selaku mahadewi.
Setelah Jayapangus meninggal , ia digantikan oleh Sri Maharaja Haji Ekajayalancana. Raja ini memerintah gotong royong dengan ibunya yang berjulukan Sri Maharaja Sri Arya dengjaya (1200). Empat tahun setelah masa pemerintahan Ekajayalancana yang memerintah yakni Bhatara Guru Sri Adikunti. Selain itu , di dalam prasastinya disebutkan pula nama anaknya Bhatara Parameswara Sri Wirama Sri Dhanaadhiraja dan seorang ratu berjulukan Bhatari Sri Dhanadewi.
Setelah pemerintah Bhatara Sri Adikunti tidak diperoleh sedikit pun pemberitahuan mengenai Kerajaan Bali. Baru pada tahun 1260 , timbul seseorang raja berjulukan Paduka Bhatara Parameswara Sri Hyang Ning Hyang Adidewa. Setelah pemerintahan raja ini rupanya terjadi lagi kekosongan pemerintahan hingga tahun 1334.
Pada tahun 1334 , kertanegara dari Singasari sukses menaklukan Kerajaan Bali yang di saat itu diperintah oleh Paduka Bharata Guru. Hal itu sanggup dikenali dari prasastinya yang juga mencantumkan nama anaknya Paduka Sri Tarunajaya. Pada tahun selanjutnya yang memerintah yakni Paduka Sri Maharaja Bhatara Mahaguru Dharmottungga Warmadewa.
Setelah meinggal ia digantikan oleh Paduka Bhatara Sri Walajaya Kertaningrat yang memerintah gotong royong ibunya. Raja Sri Walajaya kemudian diganti lagi oleh Paduka Bhatara Sri Astasrua Ratna Bumi Banten. Tidak dikenali dengan terang kapan berakhirnya kekuasaan Sri Astasura , tetapi yang terang pada tahun 1430 , Kerajaan Bali jatuh ke tangan Gajah Mada dari Majapahit. Kerajaan Bali kemudian diperintah oleh raja-raja dari jawa.
Kehidupan Sosial dan Ekonomi
Hubungan antara raja-raja yang pernah memerintah di Bali dengan rakyatnya sungguh baik. Raja diharomati dan dipuja sesuai dengan efek agama dan budaha Hindu. Raja selaku penguasa memperhatikan kepentingan rakyatnya dengan membangun aneka macam fasilitas di antaranya tempat-tempat peribadatan , dan irigasi.
Untuk agama-agama lain pun raja-raja Bali memerlihatkan perilaku toleransinya yang tinggi. Sebagai misalnya raja menampilkan izin bagi para pendeta Buddha (bhiksu) untuk mendirikan tempat pertapaan Sikap raja-raja Bali yang demikian menampilkan adanya system social kemasyarakatan yang sudah berjalan dan tertata baik.
Rakyat Bali lazimnya hidup makmur. Selain pertanian , mereka menemukan penghasilan dari aneka macam bidang kerja keras , antara lain jual beli , peternakan , dan pelayaran. Dari aneka macam sector kerja keras ini perekonomian rakyat Bali cukup mantap , sehingga mereka sanggup pula membangun bangunan-bangunan besar , seumpama candi , tempat-tempat pertapaan misalnya Gunung Kawi dan masih banyak lagi yang lainnya.
Kehidupan Budaya
Dalam bidang kebudayaan , penduduk Bali banyak menyerap unsur-unsur budaya Hindu sejak kurun ke-18 M. hingga di saat ini budaya penduduk Bali memiliki cirri khas , selaku misalnya yakni tradisi pembakaran mayat (ngaben) yang dahulu senantiasa diiringi dengan sute , yakni kebiasaan para perempuan Bali turut terbakar bareng mayat suami yang sungguh dicintainya.
Bidang seni lukis , seni tari , seni pahat yang ialah unsur-unsur dari kebudayaan mengalami kemajuan yang pesat dan beraneka ragam. Bidang kesenian ini menjadi pesona tersendiri bagi pelancong , baik dari dalam maupun luar negeri.
Bali menjadi sungguh beken di aneka macam pelosok dunia bukan cuma keindahannya , tetapi juga alasannya yakni keunikan budayanya.

Seorang pakar sosial budaya yang aktif pada berbagai kegiatan sosial kemasyarakatan. Telah menempuh pendidikan di salah satu universitas swasta terbaik di Indonesia yang mengambil jurusan sosial budaya.