A. Letak Gegorafis
 |
Gbr ilustrasi Sumber : minahasapalakat.blogspot.co.id |
Minahasa yang berada di Propinsi Sulawesi Utara yang beribukota Manado dan memiliki luas tempat kurang lebih 6.000km2 terletak antara 0-5 derajat Lintang Utara , dan 120-128 derajat Bujur Timur , adapun perbatasannya antara lain:
- Sebelah barat : Propinsi Gorontalo
- Sebelah Utara : Kepulauan Filipina
- Sebelah Timur : Propinsi Maluku
- Sebelah Selatan : Propinsi Maluku
Secara topografis sebagian besar Minahasa merupakan tempat pegunungan hingga berbukit dan sebagian tempat dataran dan tempat pantai.
Nenek moyang orang Minahasa ditandai dengan adanya migrasi orang-orang Mongol pada tahun 1000 BC , lewat Taiwan dan Filipina. Kemudian pada kurun ke-17 di saat bangsa Spanyol terusir dari Maluku dikejar oleh orang-orang Portugis , dan lari ke Filipina , meninggalkan jejaknya pada keturunan orang Minahasa. Orang Minahasa memiliki kulit yang ‘merah jambu’ , yang merupakan adonan kuning dari orang-orang Mongol dan kemerah-merahan dari orang-orang Eropa , khususnya Spanyol , Portugis dan Belanda.
Penduduk Minahasa sanggup dibagi ke dalam delapan kelompok subetnik , yaitu:
- Tounsea
- Toumbulu
- Tountembuan
- Toulour
- Tounsawang
- Pasan Ratahan
- Ponosukan Belang , dan
- Bantik
Minahasa berasal dari kata ‘Minaesa’ yang memiliki arti persatuan. Orang Minahasa memiliki kejuangan identitas sehingga penduduk ini tidak merasa terjajah. Kompeni VOC melaksanakan pendekatan dengan penduduk Minahasa bukan dengan tekanan militer , bahkan terbentuk pakta keselamatan bareng antara Dewan Wali Pakasaan dengan Belanda. Hal ini ditandatangani pada perjanjian 10 Januari 1679 , yang secara implisit Belanda mengakui keberadaan penduduk Manahasa , dan memiliki kedudukan sama tinggi dengan Belanda. Sehingga pada waktu penjajahan Belanda , Tanah Minahasa dijuluki selaku ‘De Twaalfde Provintie van Nederland’.
B. Sistem Budaya
Lambang Minahasa
Lambang Minahasa berupa perisai bergambar burung hantu. Burung ini menjadi simbol kebijaksanaan atau kearifan , dengan matanya yang tajam yang sanggup berputar 360 derajat. Mereka menyebutnya ‘Burung Manguni’. Bulu sayap Manguni sebanyak tujuh belas helai , melambangkan tanggal hari kemerdekaan Republik Indonesia. Bulu ekor Manguni lima helai melambangkan Pancasila. Di belahan dada Manguni terdapat gambar pohon kelapa , selaku komoditi utama Minahasa.
Motto / Slogan: ‘I Yayat Uu santi’ yang memiliki arti ‘Siap dan bertekad bersusah payah demi pembangunan’ . Yang dijawab: ‘Uhuuy’!!. Arti harfiahnya yakni ‘Angkatlah dan acung-acungkanlah pedangmu!’ , Yang dijawab “Tentu itu!!”.
Untuk masa sekarang artinya: orang Minahasa melengkapi diri dengan segala kearifan , hikmat , kemampuan ilmu wawasan dan teknologi serta cekatan.
Falsafah Hidup
- Moto keturunan Minahasa adalah: “Si tou timou tumou tou” , artinya ‘Manusia hidup untuk menggugah manusia’ Tou: manusia; timou: hidup ; tumou: menyebarkan , merawat , dan mengajar.
- “Si Tou Timou Toua”: Pemimpin mesti sanggup menerapkan teladan kepemimpinan sayang mengasihi , baik hati dan saling mengingat terhadap sesama manusia.
- Premis budaya egalitarian tersebut menyediakan pula sisi yang lain , yakni resiprositas yang berwujud ide persatuan (maesa-esa’an) , ikatan batin (magenang-genangan , mailek-ilekan) dan koordinasi (masawang-sawangan).
Penggunaan bahasa
Malayu Manado membentuk suatu ciri atau identitas etnik.
C. Sistem Sosial
Mapalus yakni bentuk koordinasi yang berkembang dalam penduduk di Minahasa untuk saling menolong dan tolong menolong menghadapi hidup , baik perseorangan maupun kelompok. Setiap kelompok mapalus dipimpin oleh seorang ketua , dulu disebut tu’a im palus. Bentuk mapalus dipahami dalam beberapa faktor aktivitas penduduk seperti:
Kegiatan sosial , antara lain:
- Mendu impero’ongan , suatu aktivitas kerja bakti kampung atau lingkungan
- Berantang , yakni aktivitas menolong keluarga yang terkena kedukaan
- Sumakey , yakni aktivitas bareng dalam program syukuran
Kegiatan ekonomi dan keuangan antara lain:
- Ma’endo , kerja keras bareng menggarap kebun dan perbaikan rumah
- Pa’anda , yakni aktivitas keuangan dalam bentuk arisan
- Kerukunan yang meliputi wilayah kecamatan atau wilayah distrik disebut pakasaan atau walak.
D. Unsur Kebudayaan Yang Universal
Bahasa
Terdapat delapan bahasa tempat yang dipergunakan oleh delapan etnis mirip Tounsea , Toumbulu , Tountembuan , Toulour , Tounsawang , Pasan Ratahan , Ponosukan Belang , dan Bantik. Selain Bahasa Indonesia , ada yang memakai bahasa Belanda , khususnya para orangtua yang menguasai bahasa Belanda.
Bahasa Malayu Manado yakni bahasa lazim yang dipergunakan dalam komunikasi antara sub-sub etnik Minahasa maupun antara mereka dengan penduduk dari suku yang lain khususnya di kota orang memakai bahasa Malayu Manado selaku bahasa ibu.
Sistem Organisasi Sosial
Sistem Pemerintahan
Pemimpin Minahasa jaman dulu berisikan dua golongan , yakni Walian dan Tona’as. Walian berasal dari kata ‘wali’ yang artinya mengirim jalan bareng dan memberi perlindungan. Golongan ini menertibkan upacara agama orisinil Minahasa hingga disebut golongan Pendeta. Mereka luar biasa membaca gejala alam dan benda langit , menjumlah posisi bulan dan matahari dengan persyaratan gunung , mengamati hadirnya bintang-bintang tertentu mirip ‘Kateluan’ (bintang tiga) , ‘Tetepi’ (meteor) untuk memutuskan ekspresi dominan menanam , silsilah , menghafal kisah leluhur Minahasa , luar biasa menghasilkan kerajinan perlengkapan rumahtangga mirip menenun kain , menganyam tikar , keranjang , sendok kayu , dan gayung air. Golongan kedua yakni golongan Tona’as yang memiliki kata asal ‘Ta’as’. Kata ini diambil dari nama pohon yang besar dan berkembang lurus ke atas , dikaitkan dengan segala sesuatu yang bermitra dengan kayu-kayuan mirip hutan , rumah , senjata tombak , pedang dan panah , serta perahu. Golongan Tona’as ini juga memutuskan di wilayah mana rumah-rumah itu dibangun untuk membentuk suatu wanua (negeri) dan mereka juga yang mempertahankan keselamatan negeri maupun permasalahan berperang.
 |
gbr gambaran baju perang minahasa sumber : kaskus.co.id |
Sebelum kurun ke-7 , penduduk Minahasa berupa matriarkhat. Bentuk ini digambarkan bahwa golongan Walian Wanita yang berkuasa untuk melaksanakan pemerintahan. ‘Makarouw Siouw’ (9 x 2) sama dengan Dewan 18 orang leluhur dari tiga Pakasa’an (Kesatuan Walak-walak Purba).
Pada kurun ke-7 sudah terjadi pergantian pemerintahan. Pada waktu itu di Minahasa – yang sebelumnya dipegang golongan Walian Wanita – beralih ke pemerintahan golongan Walian Tona’as Pria. Mulai dari sini penduduk Matriarkhat Minahasa meningkat menjadi penduduk Patriarkhat , melaksanakan pemerintahan ‘Makateliu Pitu‘ atau ‘Dewan 21’
Walak membawahi beberapa wanua , dan wanua terdiri atas beberapa lukar yang dikepalai oleh seorang wolano , sedangkan lukar dipimpin orang yang disebut pahendon renta dan diseleksi pribadi oleh warganya.
Sejak dulu di Minahasa tidak terdapat kerajaan atau tidak mengangkat raja selaku kepala pemerintahan. Yang ada adalah:
- Walian: pemimpin agama serta dukun
- Tona’as: orang keras , luar biasa bidang pertanian , kewanuaan , mereka yang diseleksi menjadi kepala walak
- Teterusan: penglima perang
- Potuasan: penasehat
Kepala pemerintahan yakni kepala keluarga yang gelarnya yakni Paedon Pati’an yang kini kita kenal dengan istilah Hukum Tua. Kata ini berasal dari Ukung Tua yang memiliki arti Orang Tua yang melindungi.
Sistem Kemasyarakatan
Awu dan Taranak
Keluarga batih (rumah tangga) disebut Awu.
Bangsal
Dari perkawinan terbentuklah keluarga besar yang meliputi beberapa bangsal. Kompleks bangsal penduduk yang bermitra kekeluargaan dinamakan Taranak. Pimpinan Taranak dipegang oleh Aman dari keluarga cikal bakal yang disebut Tu’ur. Tugas utama Tu’ur melestarikan ketentuan adat.
Taranak , Roong / Wanua , Walak
Perkawinan antar anggota Taranak membentuk kompleks yang kian luas. Akibatnya terciptalah kompleks bangsal dalam satu kesatuan yang disebut Ro’ong atau Wanua. Wilayah aturan Wanua meliputi kompleks bangsal itu sendiri dan wilayah pertanian dan perburuan sekitarnya. Pemimpin Ro’ong atau Wanua disebut Ukung. Ro’ong atau Wanua dibagi dalam beberapa belahan yang disebut Lukar.
Para Ukung memiliki pembantu yang disebut Meweteng. Tugas mereka awalnya menolong Ukung untuk menertibkan pembagain kerja dan pembagian hasil sesuai kesepakatan.
Walak dan Pakasa’an
Pengertian walak menurut kamus Bahasa Totembuan yang dikutip Prof. G.A. Wilken tahun 1912 sanggup berarti:
- cabang keturunan
- rombongan penduduk
- bahagian penduduk
- wilayah cabang-cabang keturunan
 |
Gbr gambaran tarian perang suku minahasa sumber : kaskus.co.id |
Jadi walak mengandung dua pemahaman yakni serombongan penduduk secabang keturunan dan wilayah yang didiami rombongan penduduk secabang keturunan. Kepala walak artinya pemimpin penduduk penduduk secabang keturunan , Tu’ur Imbalak artinya wilayah sentra kedudukan tempat pertama sebelum penduduk membentuk cabang-cabang keturunan. Mawalak artinya membagi tanah sesuai dengan banyaknya cabang keturunan. Ipawalak artinya membagi tanah menurut jumlah anak generasi pertama , tidak tergolong cucu dan cicit.
Penggabungan beberapa walak yang punya ikatan keluarga dan dialek bahasa membentuk satu pakasa’an.
Paesa in Deken
Paesa in Deken memiliki arti tempat mempersatukan pendapat. Di Minahasa tidak pernah ada pewarisan kedudukan , bila seorang Tu’ur meninggal dunia , para anggota Taranak , baik perempuan maupun lelaki yang sudah berilmu balig cukup akal akan mengadakan musyawarah untuk memutuskan pemimpin baru. Dalam penyeleksian , yang menjadi sorotan yakni kualitas. Kriteria mutu itu ada tiga (Pa’eren Telu) , yaitu:
- Nagasan: Mempunyai otak , beliau memiliki keahlian mengelola Taranak atau Ro’ong
- Niatean: Mempunyai hati , yakni memiliki keberanian , keteguhan , keuletan menghadapi segala kasus , sanggup mencicipi yang dicicipi anggota lain.
- Mawai: Mempunyai kekuatan dan sanggup diandalkan
Kawanua
Kawanua , diartikan selaku penduduk negeri atau wanua yang bersatu atau ‘Mina-Esa’ (Orang Minahasa). Pengertian utama dari kata Wanua lebih mengarah pada wilayah watak dari Pakasa’an (kesatuan sub-etnis) yang mengaku turunan Toar dan Lumimu’ut. Turunan lewat perkawinan dengan orang luar , Sepanyol , Belanda , Ambon , Gorontalo , Jawa , Sumatra , dan lain-lain. Orang Minahasa boleh mendirikan Wanua di luar Minahasa. Kaprikornus kawanua sanggup diartikan selaku Teman Satu Negeri , satu Ro’ong , satu kampung.
c) Organisasi Sosial
Sistem kependudukan dalam pemukiman dan pedesaan. Pola perkampungan di Minahasa memiliki ciri selaku berikut:
- Wanua , yakni istilah bagi desa anak , desa , maupun kelompok desa
- Pola tinggal penduduk bersifat menetap
- Kelompok rumahnya memiliki bentuk memanjang mengikuti jalan raya
- Bentuk rumah menggambarkan status seseorang dalam masyarakat
- Jalan raya yakni urat nadi desa
d) Sistem Kekerabatan
Orang Minahasa bebas untuk memutuskan jodohnya sendiri , tetapi dipahami juga penentuan jodoh atas kemauan orangtua. Dalam perkawinan ada watak eksogami yang mengharuskan orang kawin di luar family. Sesudah menikah mereka tinggal menurut aturan neolokal (tumampas) , tetapi watak ini tidak diharuskan. Rumah tangga (sanga awu , atau dapur) gres sanggup tinggal dalam lingkungan hubungan pihak suami maupun pihak isteri hingga mereka memiliki rumah sendiri.
Bentuk rumah tangga orang Minahasa sanggup berisikan cuma satu keluarga batih dan sanggup pula lebih. Anak tiri dan anak angkat alasannya yakni adopsi dianggap selaku anggota kerabat sarat dalam keluarga batih maupun kelompok hubungan yang lebih luas. Hubungan hubungan diputuskan oleh prinsip keturunan bilateral. Kelompok hubungan merupakan taranak (famili , patuari , kindred perumpamaan dalam Antropologi).
Harta diperoleh suami-isteri dari warisan orang renta mereka masing-masing , ditambah dengan harta yang mereka peroleh bareng selama berumah tangga. Benda warisan yang belum sanggup atau tidak sanggup dibagi , penggunaannya secara bergiliran yang dikelola oleh kerabat lelaki yang tertua.
Sistem Ekonomi
Minahasa tenar akan hasil perkebunannya , khususnya kelapa , cengkeh , kopi , pala , coklat , panili , jahe putih , dan jambu mete. Enau merupakan sumber nira selaku materi minuman tenar di Minahasa , yakni saguer , di samping materi untuk gula merah. Terdapat perikanan bahari dan perikanan darat. Pengembangan perikanan bahari berpusat di Aertembaga , khususnya penangkapan dan pembuatan cakalang.
Binatang yang biasa disantap antara lain: babi hutan , tikus hutan (ekor putih) dan kalong. Yang jarang disantap alasannya yakni sudah langka adalah: rusa , anoa , babirusa , monyet , ular piton , biawak , ayam hutan , cuscus , telur burung laleo , dan banyak sekali jenis unggas lainnya. Binatang yang tidak terdapat di tempat lain adalah: Tangkasii (Tarcius spectrum , Kera Mini) , Burung Maleo , Burung Taong , anoa , babi rusa , dan ikan purba Raja Laut (Coelacant). Minahasa kaya akan materi tambang , antara lain: tembaga , emas , perak , nikel , titanium , mangan , pasir besi , dan kaolin.
Jenis kayu yang bermanfaat , antara lain: eboni (kayu hitam) , kayu besi , kayu linggua , kayu cempaka , rotan dan dammar.
Sistem Teknologi
Peralatan teknologi tradisional , berupa:
– Alat-alat bikinan , tergolong bikinan makanan
– Alat-alat transportasi
– Peralatan perang:
- senjata: pedang yang melebar di belahan ujungnya dan disebut santi
- baju perang dari kulit sapi atau anoa yang disebut wa’teng
- topi dengan dekorasi bulu dan paruh burung enggang
- perisai kayu yang disebut kelung
- wadah berupa peti kayu
- alat-alat menyalakan api
– teknologi pengerjaan busana berupa cidako dan beberapa bentuk motif hias kain tenun yang dinamakan motif tolai (ekor ikan) , yang melingkar mirip ujung tumbuhan merambat atau taring babi rusa
– perumahan (rumah panjang yang disebut Wale Wangko)
Sistem Religi
Unsur-unsur keyakinan pribumi merupakan peninggalan metode religi sebelum berkembangnya agama Nasrani mau pun Islam. Unsur ini meliputi rancangan dunia mistik , makhluk dan kekuatan adikodrati (yang dianggap ‘baik’ dan jahat’ serta manipulasinya , yang kuasa tertinggi , jiwa insan , benda berkekuatan mistik , tempat keramat , orang berkekuatan mistik , dan dunia akhirat).
Unsur religi pribumi terdapat dalam banyak sekali upacara watak yang bermitra dengan bencana lingkaran hidup individu , mirip kelahiran , perkawinan , janjkematian , maupun derma kekuatan gaib. Unsur ini terlihat dalam wujud kedukunan (sistem medis makatana) yang hingga kini masih hidup.
Usaha insan untuk mengadakan hubungan dengan makhluk mistik dengan menyebarkan suatu kompleks metode upacara pemujaan yang dulu dipahami selaku na’amkungan atau ma’ambo atau masambo.
Dalam mitologi orang Minahasa dulu mengenal banyak dewa. Dewa oleh penduduk disebut empung atau opo , dan untuk yang kuasa yang tertinggi disebut Opo Wailan Wangko. Dewa yang penting sesudah yang kuasa tertinggi yakni Karema. Opo Wailan Wangko dianggap selaku pencipta seluruh alam dengan isinya. Karema yang merealisasikan diri selaku insan yakni penanda jalan bagi Lumimu’ut (wanita selaku insan pertama) untuk mendapat keturunan seorang lelaki yang kemudian dinamakan To’ar , yang juga dianggap selaku pembawa watak , khususnya cara-cara pertanian , yakni selaku cultural pendekar (dewa pembawa adat).
Roh leluhur juga disebut opo , atau sering disebut datu yang pada masa hidupnya yakni orang yang dianggap sakti (bisa kepala walak dan komunitas desa , tona’as). Mereka dalam hidupnya juga memiliki keahlian dan prestasi. Roh leluhur suka menolong insan yang dianggap selaku cucu mereka (puyun) apabila mengikuti petunjuk-petunjuk yang diberikan. Konsepsi makhluk halus yang lain mirip hantu yakni penunggu , lulu , puntianak , dan pok-pok. Untuk menghadapi gangguan maklhuk halus peranan opo-opo diperlukan. Konsepsi jiwa dan roh ini disebut katotouan. Unsur kejiwaan dalam kehidupan insan yakni gegenang (ingatan) , pemendam (perasaan) , dan keteter (kekuatan). Gegenang yakni unsur utama dalam jiwa.
Roh (mukur) orangtua sendiri atau kerabat yang sudah meninggal tidak dianggap berbahaya malahan sanggup menolong kerabatnya. Ada belahan tubuh yang memiliki kekuatan sakti , yakni rambut dan kuku. Binatang yang memiliki kekuatan sakti yakni ular hitam dan beberapa macam burung , khususnya burung hantu (manguni). Tumbuh yang memiliki kekuatan sakti yakni tawa’ang , goreka (jahe) , balacai , dan jeruk suangi. Gejala alam mirip gunung meletus dan hujan lebat diikuti petir dianggap selaku amarah dewa. Senjata yang memiliki kekuatan sakti yakni keris , sati (pedang panjang) , lawang (tombak) , dan kelung (perisai) , jimat , baik yang diwariskan orangtua ataupun yang didapat dari walian atau tona’as yang disebut paereten.
Unsur kejiwaan dalam kehidupan insan yakni gegenang (ingatan) , pemendam (perasaan) , dan keteter (kekuatan). Gegenang yakni unsur utama dalam jiwa. Upacara keagamaan pribumi masih banyak dilakukan pada malam hari , sanggup di rumah , tempat keramat , mirip kuburan opo-opo , kerikil besar dan di bawah pohon besar , di Watu Pinawetengan , tempat di mana secara mitologis paling keramat di Minahasa.
Agama resmi orang Minahasa yakni Protestan , Katholik , dan Islam. Komponen pribumi terpadu bareng komponen Nasrani di luar upacara formal gerejani , mirip dalam upacara life circles dan dalam kehiduan sehari-hari.
Batu-batu Megalit
Secara garis besar benda megalit yang didapatkan di Minahasa sanggup dibedakan menjadi beberapa megalit , yaitu: peti kubur , menhir , lumpang kerikil , kerikil bergores , altar kerikil , kerikil dakon , arca kerikil atau arca menhir.
Peti kubur kerikil di Minahasa disebut dalam bahasa tempat waruga. Benda ini merupakan tinggalan megalit yang sungguh lebih banyak didominasi di Minahasa.
Jenis megalit yang lain yakni menhir , yang dalam bahasa tempat disebut watu tumotowa , berfungsi selaku tanda pendirian suatu tempat atau desa. Pada lazimnya menhir dari tempat ini sungguh sederhana dan tidak dilaksanakan secara intensif , bahkan banyak yang tidak dilaksanakan sama sekali sehingga bentuknya sama dengan bentuk alamiahnya.
Lumpang kerikil yakni jenis megalit yang lain yang didapatkan di Manahasa belahan Selatan , demikian pula dengan kerikil bergores , yang walaupun tak banyak temuannya , tetapi merupakan tinggalan yang cukup penting.
Jenis-jenis megalit yang lain adalah
altar kerikil ,
batu dakon , dan
arca kerikil atau arca menhir.
Waruga
Salah satu sisa megalit yang begitu tenar di Minahasa yakni waruga (peti kubur batu). Dalam bahasa Minahasa Kuna kata waruga berasal dari dua kata: wale dan maruga.
Wale artinya rumah; dan
maruga artinya tubuh yang hancur lebur menjadi debu.
Peti kubur kerikil ini terdiri atas dua bagian: tubuh dan tutup. Tiap belahan yang dibikin dari suatu kerikil utuh (monolith). Umumnya berupa kotak sisi empat (kubus) untuk belahan badannya , cuma sedikit yang berupa sisi delapan atau bulat. Posisi jenazah di dalam kerikil ini dalam kondisi jongkok , sesuai posisi bayi dalam rahim. Yang lelaki tangannya dalam posisi kunci tangan , dan yang perempuan kepal tangan. Posisi jenazah tersebut terkait dengan filosofi insan memulai kehidupan dengan posisi jongkok dan seharusnya menuntaskan hidup dengan posisi yang sama. Filosofi ini dipahami dalam bahasa setempat yakni whom. Setiap waruga biasanya dipakai cuma untuk satu famili. Ada juga waruga yang disediakan untuk jenazah yang berasal dari satu kesamaan profesi sebelum meninggal.
Waktu dikubur , barang-barang kesayangan mereka ditambahkan juga selaku bekal kubur. Kebanyakan waruga dihiasi berupa motif insan , motif flora yang distilir (sulur-suluran) , motif geometri (garis-garis , sisi tiga , dan lain-lain) , dan motif binatang. Hiasan yang cukup menawan dari waruga ini yakni insan kangkang dan insan yang sedang melahirkan.
Di antara waruga ada yang ukurannya cukup besar , yakni tinggi wadah 1 ,5 meter , lebar wadah 1 meter , tinggi tutup 1 ,45 m , sehingga keseluruhan meraih 3 m. Jumlah waruga di Minahasa sebanyak 1335 buah.
Waruga yakni kuburan atau makam renta yang berlokasi di Minahasa. Makam ini yang yang dibikin dari kerikil yang dipahat dan dibikin mirip rumah sudah ada sejak tahun 1600-an. Pada jaman itu masing-masing keluarga memiliki makam sendiri yang yang dibikin dari batu. Jumlah waruga yang ada di lokasi pemakaman hingga kini sebanyak 104 dotu atau marga. Beberapa dotu yang masih sanggup dikenali yakni Wenas , Karamoy , Kalalo , Tangkudung , Rorimpandey , Mantiri , dan Kojongiang.
Watu Tumotowa
Dalam bahasa setempat menhir disebut selaku watu tumotowa , yakni kerikil tegak berupa tugu untuk menandai pembangunan suatu desa. Kabanyakan menhir di tempat ini bentuknya sederhana sesuai dengan aslinya (alamiah) dan tidak berhiasan. Watu tumotowa yang diketemukan di Minahasa pada lazimnya berskala kecil , tingginya 20-50- cm , diameter 15-30 cm. Namun ada pula menhir yang cukup besar yang diketemuka di Desa Lelema di Kecamatan Tumpaan , yang berskala tinggi sekitar 200 cm dan lebar antara 20-40 cm. Watu tumotowa ini ada 61 buah.
Lesung Batu
Kebanyakan didapatkan di Minahasa belahan Selatan , berupa kerikil tunggal (monolith) , bentuknya bermacam-macam. Salah satu lesung kerikil yang menawan yakni seumpama dandang (wadah untuk menanak nasi) , yakni tinggi dan cekung dengan ukuran tinggi 55 – 50 cm , diameter tubuh (bagian cekungnya) 40 cm , diameter tepian 60 cm , diameter lisan lubang 20 cm , dan kedalaman lubang 30 cm.
Ada yang seumpama tifa (gendang dari Indonesia belahan Timur) , ada yang berupa bulat mirip bola dengan lubang di belahan atasnya. Lesung yang berupa mirip itu biasanya berskala lebih kecil dari pada lesung yang berupa dandang atau tifa , ada yang berupa silinder yang berskala mirip lesung yang berupa dandang. Semuanya ada 32 buah.
Watu Pinawetengan
Pada belahan kerikil tersebut terdapat goresan-goresan banyak sekali motif yang dibikin oleh tangan manusia. Goresan-goresan itu ada yang berupa gambar insan , seumpama kemaluan lelaki dan perempuan , dan motif garis-garis serta motif yang tak terang maksudnya. Para luar biasa menduga , goresan-goresan ini merupakan simbol yang berhubungan dengan keyakinan komunitas penunjang budaya megalit. Watu Pinawetengan sudah sejak usang menjadi tempat tuntutan orang , mirip kesembuhan dari penyakit dan proteksi dari marabahaya. Dengan melaksanakan ritual ibadah yang dipandu seorang tona’as (mediator spiritual) , sebagian orang yakin doa mereka akan cepat dikabulkan. Arie Ratumbanua – juru kunci Watu Pinawetengan – memastikan , penduduk yang tiba ke kerikil itu bukan berencana menyembah kerikil , melainkan memicu kerikil itu selaku tempat atau fasilitas ibadah. Masyarakat yakin di sinilah tempat bermusyawarah para pemimpin dan pemuka penduduk Minahasa orisinil keturunan Toar-Lumimu’ut (nenek moyang penduduk Minahasa) pada masa kemudian , dalam rangka membagi tempat menjadi enam kelompok etnis.
Altar Batu , Batu Dakon , dan Arca Menhir
Altar kerikil merupakan kerikil yang berupa sisi empat atau bulat bahkan sering tidak beraturan , yang memiliki belahan datar , khususnya pada belahan permukaan (bagian atasnya) sehingga berupa mirip meja. Jenis megalit ini dipakai selaku fasilitas untuk melaksanakan peribadatan oleh penduduk yang memiliki keyakinan pada roh-roh leluhur. Sampai di sekarang ini ada sembilan altar kerikil yang sudah didapatkan di Minahasa.
Batu dakon juga merupakan alat upacara untuk memohon sokongan terhadap roh nenek moyang supaya menemukan hasil panen yang bagus serta menginginkan kesuburan tanah. Batu dakon ini yang dibikin dari bongkahan kerikil yang diberi lubang–lubang mirip halnya pada alat permainan dakon. Di Minahasa kerikil dakon cuma diketemukan sebanyak enam buah saja.
Arca menhir dibikin dari kerikil tunggal berupa mirip kerikil tegak (menhir) , tetapi pada belahan atasnya dibikin seumpama insan , dengan belahan kepala dan tampang serta belahan tubuh , sedangkan kakinya tidak digambarkan. Arca menhir dimasudkan selaku penggambaran leluhur yang dikultuskan. Benda ini biasanya juga merupakan fasilitas untuk melaksanakan pemujaan terhadap roh nenek moyang. Arca menhir di Minahasa yang sukses didapatkan sebanyak dua buah.
Mula-mula Suku Minahasa jikalau mengubur orang sebelum ditanam dikemas dengan daun woka (sejenis janur). Lambat laun diganti dengan wadah rongga pohon kayu atau nibung , kemudian di tanam. Baru sekitar kurun IX Suku Minahasa mulai memakai waruga. Sekitar tahun 1860 mulai ada larangan dari pemerintah Belanda menguburkan orang yang meninggal dalam waruga.
Tahun 1870 Suku Minahasa mulai menghasilkan peti mati selaku pengganti waruga , alasannya yakni waktu itu berjangkit banyak sekali penyakit , di antaranya tifus dan kolera. Agama Nasrani mengharuskan jenazah dikubur di dalam tanah.
Saat ini waruga tersebut dikumpulkan di desa Sawangan , Minahasa , yang terletak antara Tondano dengan Airmadidi. Sekarang waruga merupakan salah satu tujuan rekreasi sejarah di Sulawesi Utara.
Kesenian
a. Rumah Adat
Rumah watak Minahasa merupakan rumah panggung yang berisikan dua tangga di depan rumah. Unsur khas rumah panggung yakni lantai rumah berada di atas tiang setinggi dua setengah meter , berjumlah 16 atau 18. Tiangnya dibikin dari kayu maupun dari kerikil kapur. Susunan rumah terdiri atas :
emperan (setup) ,
ruang tamu (leloangan) ,
ruang tengah (pores) dan
kamar-kamar.
Di belahan belakang terdapat balai-balai yang berfungsi selaku tempat menyimpan alat dapur dan alat makan , serta tempat mencuci. Bagian atas rumah (loteng , soldor) untuk menyimpan hasil panen. Bagian bawah rumah (kolong) dipakai untuk gudang tempat menyimpan papan , balok , kayu , alat pertanian , gerobak , binatang rumah mirip anjing.
Orang kaya menghasilkan rumah dengan materi yang mahal , umpamanya seng untuk atap , beling untuk isi jendela , kayu yang dipakai yakni jenis kayu yang bagus mirip cempaka , wasian , bahkan lingua yang tenar selaku kayu terbaik.
b. Pakaian Adat
Pada jaman dulu busana sehari-hari perempuan Minahasa berisikan baju sejenis kebaya , disebut wuyang (pakaian kulit kayu) , memakai gaun yang disebut pasalongan rinegetan yang bahannya yang dibikin dari tenunan bentenan. Kaum lelaki memakai baju karai , baju tanpa lengan dan bentuknya lurus , berwarna hitam yang dibikin dari ijuk. Selain baju karai , ada juga bentuk baju berlengan panjang , memakai kerah dan saku disebut baju baniang. Celana yang dipakai masih sederhana berupa celana pendek atau panjang.
Selanjutnya busana Minahasa mendapat imbas dari bangsa Eropa dan Cina. Busana perempuan yang mendapat imbas kebudayaan Spanyol berisikan baju kebaya lengan panjang dengan rok yang bervariasi. Sedangkan imbas Cina yakni kebaya berwarna putih dengan kain batik Cina dengan motif burung dan bunga-bungaan. Busana lelaki imbas Spanyol yakni baju lengan panjang (baniang) yang modelnya berubah seumpama jas tutup dengan celana panjang. Bahan baju ini yang dibikin dari kain blacu berwarna putih. Pada busana lelaki imbas Cina tidak tampak.
Busana Tona’as Wangko yakni baju kemeja lengan panjang berkerah tinggi , potongan baju lurus , berkancing tanpa saku. Warna baju hitam dengan dekorasi bunga padi pada leher baju , ujung lengan dan sepanjang ujung baju belahan depan yang terbelah. Semua motif berwarna kuning keemasan. Sebagai kelengkapan baju dipakai topi berwana merah dihiasi dengan motif bunga padi warna kuning keemasan pula.
Busana Walian Wangko lelaki merupakan penyesuaian bentuk dari baju Tona’as Wangko. Warna putih dengan dekorasi corak bunga padi , dilengkapi topi porong nimiles , yang dibikin dari lilitan dua kain berwana merah hitam dan kuning emas , melambangkan penyatuan langit dan bumi , alam dunia dan alam baka. Busana Walian Wangko perempuan kebaya panjang tanpa kerah dan kancing , berwarna putih dan ungu dengan dekorasi bunga terompet , kain sarong batik warna gelap dan topi mahkota (kronci) , selempang warna kuning dan merah , selop , kalung leher dan sanggul.
c. Upacara Perkawinan
Upacara Perkawinan antara lain :
- Acara ‘Posanan’ (Pingitan) yang dulu dilakukan sebulan sebelum ijab kabul kini cuma sehari , pada di saat ‘Malam Gagaren’ atau malam muda-mudi.
- Acara mandi di pancuran tidak dilakukan lagi , diganti mandi watak ‘Lumelea’ (menginjak batu) dan ‘Bacoho’ alasannya yakni dilakukan di kamar mandi di rumah kandidat pengantin.
- Mandi adat
‘Bacoho’ (Mandi Adat);
Bahan ramuannya yakni parutan kulit lemong nipis atau lemong bacoho (Citrus limonellus) sebagi pewangi; air lemong popontolen (Citrus lemetta) selaku pembersih lemak kulit kepala; daun pondang (pandan) selaku pewangi bunga manduru (melati hutan) , atau bunga melati , atau bunga rossi (mawar) dihancurkan dengan tangan , selaku pewangi; minyak buah kemiri untuk melemaskan rambut , diaduk sedikit perasan buah kelapa. Bahan ramuan mesti berjumlah sembilan. Sesudah itu dicuci lagi dengan air bersih.
Bila cuma selaku simbolisasi , caranya: Semua materi ramuan dimasukkan ke dalam sehelai kain berupa kantong , kemudian dicelup ke dalam air hangat. Kantong tersebut diremas dan airnya ditampung dengan tangan , kemudian digosokkan ke rambut kandidat pengantin.
‘Lumelek’ (Mandi Adat);
Pengantin disiram sembilan kali di batas leher ke bawah dengan air yang sudah diberi bunga-bungaan warna putih , berjumlah sembilan jenis yang berbau wangi , dengan memakai gayung. Secara simbolis sanggup dilakukan sekedar membasuh tampang oleh pengantin itu sendiri , kemudian mengeringkannya dengan handuk yang higienis yang belum pernah dipakai sebelumnya.
Tempat upacara perkawinan
Dapat dilakukan di rumah pengantin lelaki (di Langowan- Toutemboan) , atau di rumah pengantin perempuan (Tomohon-Tombulu). Ada perkawinan yang dilaksanakan secara mapalus , di mana kedua pengantin dibantu oleh mapalus warga desa. Penganut agama Nasrani condong mengubah program pesta malam dengan program kebaktian dan makan malam.
Sekarang semua program dipadatkan dalam satu hari saja. Pagi hari memandikan pengantin , merias wajah , memakai gaun pengantin , memakai mahkota dan topi pengantin untuk upacara ’maso minta’ (‘toki pintu’). Siang hari kedua pengantin pergi ke catatan sipil atau Departemen Agama dan melaksanakan legalisasi nikah (di gereja bagi yang Kristen) , dilanjutkan dengan resepsi pada program upacara perkawinan ada program melempar bunga tangan , dan program bebas tari-tarian dengan iringan musik tradisional , mirip Tarian Maengket , Katrili , Polineis , diiringi Musik Bambu dan Musik Kolintang.
Pakaian dalam upacara perkawinan
Pada upacara perkawinan , pengantin perempuan mengenakan busana yang berisikan baju kebaya warna putih dan kain sarong bersulam warna putih dengan sulaman sisik ikan. Model ini dinamakan baju ikan duyung , sarong bermotif sarang burung , disebut versi salim burung , sarong motif kaki seribu disebut versi kaki seribu , dan sarong motif bunga disebut laborci-laborci. Mereka memakai sanggul , mahkota (kronci) , kalung leher (kelana) , kalung mutiara (simban) , anting dan gelang. Konde dengan sembilan bunga Mandur putih disebut Konde Lumalundung , konde yang memakai lima tangkai kembang goyang disebut Konde Pinkan. Motif mahkota berupa bintang , sayap burung cenderawasih , dan motif ekor burung cenderawasih.
Pengantin lelaki mengenakan busana baju jas tertutup (busana batutu , berlengan panjang , tanpa kerah dan saku) atau terbuka , celana panjang , selendang pinggang dan topi (porong). Motif dekorasi busananya motif bunga padi , terdapat pada topi , leher baju , selendang pinggang , dan kedua lengan baju.
d. Alat Musik
- Kolintang , Instrumen ini seluruhnya yang dibikin dari kayu dan disebut mawenang.
- Musik Bambu , Pemain sebanyak kurang lebih 40 orang. Jenisnya adalah:
- Musik Bambu Melulu: seluruh instrumen yang dibikin dari bambu
- Musik Bambu Klarinet: sebagian yang dibikin dari bambu , sebagian dari bia (kerang)
- Musik Bambu Seng: beberapa instrumen yang dibikin dari bambu
- Musik Bia: instrumen yang dibikin dari bia.
e. Tarian Adat
Tari Maengket;
Maengket dari kata dasar engket yang artinya mengangkat tumit turun naik Fungsinya selaku rangkaian upacara petik padi. Penarinya membentuk lingkaran dengan tindakan yang lambat , disebut Maengket Katuanan. Ada tiga macam Tari Maengket yaitu:
- Tari Maowey Kamberu , bagaimana penduduk berdoa atas hasil panen
- Marambak yakni pengucapan syukur atas selesainya ramah baru
- Lalayaan mengekspresikan kegembiraan masyarakat
Pemimpin tari yakni perempuan selaku ‘Walian in uma’ , pemimpin upacara kesuburan pertanian dan kesuburan keturunan , dibantu oleh ‘Walian im penguma’an’ , lelaki dewasa. Pemimpin golongan Walian atau golongan agama orisinil (agama suku) disebut ‘Walian Mangorai’ , seorang perempuan renta yang cuma berfungsi selaku pengawas dan penasehat dalam pelaksanaan upacara-upacara kesuburan. Untuk memulai tarian maka si pemimpin tarian Maengket menari melambai-lambaikan saputangan memanggil Dewi Bumi (Lumimu’ut) dan sesudah kesurupan Dewi Bumi , barulah tarian dimulai. Supaya para penari tidak kesurupan (kemasukan) roh jahat (‘Tjasuruan Lewo’) ada pembantu Tona’as Wangko menemani ‘Walian in uma’ yang disebut ‘Tona’as in uma’ , lelaki berilmu balig cukup akal yang memegang tombak simbol Dewa Matahari To’ar (To’or = Tu’ur = tiang tegak = tombak). Oleh alasannya yakni itu di halaman kerikil ‘Tumotowak’ (Tontembuan) , ditancapkan tiang-tiang bambu berhias disebut ‘Tino’or’ (Totembuan) di saat diadakan tarian Maengket ‘Owey Kamberu’.
Semua orang Minahasa mengakui bahwa Dewi Padi itu berjulukan Lingkanwene (liklik = keliling; wene = padi) , penguasa bikinan padi. Suaminya yakni pemimpin semua dewi-dewi , BatarSyiwa Untu-untu.
Ada tiga orang leluhur Minahasa yang bergelar Muntu-untu dan isterinya berjulukan Lingkanwene. Yang pertama kemungkinan hidup pada kurun ke-9 , yang kedua kurun ke-12 , yang ketiga kurun ke-15-16.
Tari Tumentenden;
Dari Legenda Tumentenden yang menceritakan seorang cowok yang menikahi seorang dari sembilan bidadari yang turun untuk mandi pada suatu danau.
Tari Kabasaran (Tari Cakalele);
Merupakan tarian keprajuritan tradisional Minahasa yang diangkat dari kata ‘wasal’ yang memiliki arti ayam jantan yang diiris jenggernya supaya supaya sang ayam menjadi lebih bergairah dalam bertarung. Tarian ini diiringi oleh tambur dan gong kecil. Alat musik pukul mirip gong , tambur atau kolintang disebut ‘pa’wasalen’ dan para penarinya disebut Kawasalan , yang memiliki arti menari dengan menggandakan gerakan dua ayam jantan yang sedang bertarung. Kata Kawasalan kemudian meningkat menjadi Kabasaran yang merupakan gabungan dua kata ‘Kawasul ni Sarian’ yang memiliki arti menemani dan mengikuti gerak tari , sedangkan sarian yakni pemimpin perang yang memimpin tari keprajuritan tradisional Minahasa. Tarian perang yang ditampilkan untuk menjemput tamu atau ditampilkan pada peringatan khusus.
Pada jaman dulu para penari Kabasaran cuma menjadi penari pada upacara-upacara adat. Dalam kehidupan sehari-hari mereka yakni petani. Bila Minahasa dalam kondisi perang , maka penari Kabasaran menjadi Waranei (prajurit). Tiap penari Kabasaran memiliki satu senjata tajam yang merupakan warisan dari leluhurnya , alasannya yakni penari Kabasaran yakni penari yang turun temurun. Tarian ini lazimnya terdiri atas tiga babak , yaitu:
- Cakalele: berasal dari kata saka (berlaga) , dan lele (melompat- lompat)
- Kumoyak: berasal dari kata koyak , mengayunkan pedang atau tombak turun naik
- Lalaya’an: bebas riang bangga melepaskan diri dari rasa berang. Busana yang dipakai yakni kain tenun Minahasa orisinil , dan kain ’Patola’ , yakni kain tenun merah dari Tombulu. Sangat disayangkan bahwa sejak tahun 1950-an kain tenun orisinil ini mula menghilang sehingga penari tarian Kabasaran balasannya memakai kain tenun Kalimantan dan kain Timor alasannya yakni bentuk , warna , dan motifnya mirip dengan kain tenun Minahasa.
Tari Lens;
Menceritakan bagaimana seorang cowok memakai gerakan yang manis untuk menawan perhatian gadis.
Tari Katrili:
dibawa oleh Bangsa Sepanyol pada waktu mereka tiba untuk berbelanja hasil bumi di Tanah Minahasa. Karena mendapat hasil yang banyak , meraka kemudian menari-nari. Lama kelamaan mereka memanggil rakyat Minahasa yang mau memasarkan hasil bumi mereka untuk menari bareng sambil mengikuti irama musik dan aba-aba. Tari Katrili tergolong tarian modern.
f. Lagu daerah;
- O ina Ni Keke ,
- Oh Minahasa
g. Wisata Kuliner
1) Makanan
- Bubur Manado
- Ayam Rica – Rica
- Biakolobi
2) Minuman
- Saguer; Saguer yakni nira , yakni cairan putih yang keluar dari mayang pohon enau.
- Cap Tikus; Cap Tikus yakni jenis cairan beralkohol rata-rata 40 % yang dihasilkan lewat penyulingan saguer.
Jika di masa kemudian , khususnya di kelompok petani menjadi pendorong semangat kerja , kini meningkat menjadi tempat pelarian , menjadi tempat pelampiasan nafsu serta fasilitas mabuk-mabukan.
h. Tenun Ikat;
Digunakan dalam upacara-upacara watak dan selaku cinderamata.
i. Bordir;
berupa krawangan , pada kebaya , taplak meja , dan lain-lain.
j. Upacara Adat
Monondeaga;
Upacara hadirnya haid pertama. Daun indera pendengaran dilubangi dan dipasangi anting , kemudian gigi diratakan selaku perhiasan kecantikan.
Mupuk Im Bete;
Upacara ucapan syukur dengan menenteng hasil ladang untuk didoakan.
k. Pariwisata
Tempat-tempat pariwisata antara lain:
- Makam Kyai Modjo
- Makam Tuanku Imam Bonjol
- Monumen Dr. Sam Ratulangi
- Wisata bahari di Bunaken
Catatan
- Nenek moyang orang Minahasa selain penduduk pribumi juga yang tiba dari Mongol dan dari Eropa , khususnya Spanyol , Portugis dan Belanda.
- Burung manguni selaku simbol tempat Minahasa melambangkan kebajikan dan kearifan. Falsafah orang Minahasa ‘Manusia hidup untuk menghidupi manusia’.
- Tidak ada bentuk kerajaan; dalam metode sosialnya terdapat mapalus.
- Sebelum kurun ketujuh Masehi masyarakatnya menganut faham matriarkhat , gres sesudah kurun ketujuh Masehi mereka menganut faham patriarkhat.
- Sistem kemasyarakatannya mulai dari Awu yang meluas hingga Kawanua.
- Tanahnya subur sehingga hasil pertaniannya melimpah , juga hasil bahari dan disokong oleh metode teknologi yang sesuai.
- Sistem religinya ada yang masih orisinil ditandai dengan peninggalan megalitiknya , kemudian masuk agama Nasrani dan Islam.
- Keseniannya mulai yang tradisional , hingga yang dipengaruhi kebudayaan Cina dan Eropa.
Sumber :
Buku BAHAN AJAR BUDAYA NUSANTARA , Oktober 2011 , Dr. Woro Aryandini , SS , MSi dan tim