Sejarah Dan Budaya: Kebudayaan Dayak

Gambar Gravatar
Untitled 8
A. Letak Geografis
Untitled 8
Gbr ilustrasi orang Dayak
Sumber :kisahasalusul.blogspot.com
Kalimantan Tengah terletak di kawasan Katulistiwa , 
pada 0″45” Lintang Utara – 3″30” Lintang Selatan , dan 111″ Bujur Timur dengan luas wilayah 157.983 km2 , berisikan hutan dan pertanahan 134.937 ,25 km2 , sawah/ladang 10.744 ,79 km2 , perkebunan 6.637 ,62 km2 , dan pemukiman & bangunan yang lain 1.244 ,24 km2. Kalimantan Tengah dilalui oleh beberapa sungai yang bermuara ke Laut Jawa , yaitu: Sungai Kapuas , Sungai Barito , Sungai Kahayan , Sungai Katingan , Sungai Mentaya , Sungai Seruyan.
Iklim daerah 
Kalimantan Tengah tergolong iklim tropis yang lembab dan panas dengan suhu udara rata-rata 34 C. Curah hujan jatuh pada bulan Oktober hingga dengan Maret dengan curah hujan terbanyak jatuh pada bulan Januari sekitar 1700mm.
Kondisi geografis 
di Kalimantan Tengah memiliki tiga ciri: yaitu 
daerah pesisir , 
daerah rawa-rawa , dan 
daerah perbukitan yang disertai ajaran sungai.
Batas – batas wilayah Kalimantan Tengah yakni:
Sebelah Utara : Propinsi Kalimantan Barat dan Timur
Sebelah Selatan : Laut Jawa
Sebelah Timur : Propinsi Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan
Sebelah Barat : Propinsi Kalimantan Barat.
Wilayah administrasi 
pemerintahannya termasuk 13 kabupaten dan 1 kota , yakni :
  1. Kabupaten Kotawaringin Barat , dengan ibukota Pangkalan Bun 
  2. Kabupaten Kotawaringin Timur , dengan ibukota Sampit
  3. Kabupaten Barito Utara , dengan ibukota Muara Teweh
  4. Kabupaten Barito Selatan , dengan ibukota Buntok
  5. Kabupaten Kapuas , dengan ibukota Kuala Kapuas
  6. Kabupaten Pulang Pisau , dengan ibukota Pulang Pisau
  7. Kabupaten Gunung Mas , dengan ibukota Kuala Kurun
  8. Kabupaten Murung Raya , dengan ibukota Puruk Cahu
  9. Kabupaten Barito Timur , dengan ibukota Tamiang Layang
  10. Kabupaten Katingan , dengan ibukota Kasongan
  11. Kabupaten Seruyan , dengan ibukota Kuala Pembuang
  12. Kabupaten Lamandau , dengan ibukota Nanga Bulik
  13. Kabupaten Sukamara , dengan ibukota Sukamara
  14. Kota Palangka Raya , selaku ibukota Propinsi Kalimantan Tengah
Untitled 10
Gbr Kepala Suku Dayak
Sumber: kfk.kompas.com
Peletakan watu pertama pada tugu perayaan oleh Presiden Republik Indonesia Ir. Soekarno pada tanggal 17 Juli 1957 , menandai diresmikannya nama “Palangka Raya” selaku ibukota Propinsi Kalimantan Tengah , yang mengandung arti ‘tempat yang suci , mulia dan besar’. Adapun motto kota Palangka Raya merupakan Kota CANTIK (Terencana , Aman , Tertib dan Keterbukaan).
Sebagian besar orangnya berisikan orang Dayak , yang terbagi atas beberapa suku bangsa mirip Ngaju , Ot Danum , Ma’anyan , Ot Siang , Lawangan , Katingan. Mereka biasanya berdiam di desa-desa sepanjang sungai besar dan kecil mirip sungai Barito , Kapuas , Kahayan , Katingan , Mentaya , Seruyan , Kurnai , Arut , dan Jelai. Ada pula keturunan orang-orang pendatang mirip Banjar , Bugis , Madura , Makasar , Melayu , dan Cina.
Nenek moyang suku bangsa Dayak berasal dari kawasan Yunan (Cina Selatan). Diperkirakan sekitar permulaan era ini terjadi over population di Cina sehingga sebagian penduduk ke luar untuk mencari kawasan pemukiman gres , diantaranya di pulau Kalimantan. Mereka disebut Proto Melayu.
Kemudian datanglah kelompok Deutro Melayu. Akibat gelombang migrasi secara besar-besaran dari kelompok ini , kelompok Proto Melayu yang mulanya tinggal di daearh pesisir , kian terdesak ke kawasan pedalaman yang kemudian di kenal dengan suku bangsa Dayak (suku Dayak Tunjung , Bahau , Benuaq , Modang , Penihing , Busang , Bukat , Ohong dan Bentian , suku Dayak Kenyah , Punan , Basap , dan Kayan) , dan mereka yang tinggal di kawasan pantai disebut selaku orang Melayu.
Suku Dayak memiliki kesamaan ciri budaya yang khas. Ciri tersebut merupakan adanya rumah panjang , senjata (mandau , sumpit , beliong yakni kampak Dayak) , metode perladangan berpindah , dan seni tari. Kata Dayak berasal dari kata ‘Daya’ yang artinya hulu , penduduk yang tinggal di pedalaman. Semboyan orang Dayak merupakan “Menteng Ueh Mamut” , yang bermakna ‘seseorang yang memiliki kekuatan , gagah berani , tidak kenal mengalah atau pantang mundur.
B. Sistem Budaya
Konsepsi suku Dayak terhadap asal-usul penciptaannya sudah membentuk identitas suku Dayak selaku suku yang sungguh menghormati roh-roh dan dewa-dewa dan juga alam semesta. Menurut kepercayaan suku Dayak , nenek moyang suku Dayak diturunkan dari langit yang ketujuh ke dunia dengan menggunakan Palangka Bulau (tandu suci yang yang dibikin dari emas) , sering juga disebutkan Ancak atau Kalangkang.
Mereka diturunkan di: Tantan Puruk Pamatuan di hulu Sungai Kahayan dan Barito , di Tantan Liang Mangan Puruk Kaminting (Bukit Kaminting) , di Datah Takasiang , hulu sungai Rakaui (Sungai Malahui Kalimantan Barat) , dan di Puruk Kambang Tanah Siang (hulu Barito). Dari tempat–tempat tersebut kemudian berkembang dan meningkat dalam tujuh suku besar yaitu: Dayak Ngaju , Dayak Apu Kayan , Dayak Iban dan Hebab , Dayak Klemantan atau Dayak Darat , Dayak Murut , Dayak Punan dan Dayak Ot Danum.
Mereka amat taat dan setia terhadap pemimpin yang sudah mereka akui sendiri. Di lain pihak , untuk menemukan legalisasi dari penduduk , seorang pemimpin mesti sungguh-sungguh bisa mengayomi dan mengenal masyarakatnya dengan baik. Adapun konsepsi wacana kepemimpinan dalam penduduk Dayak merupakan pemimpin yang memiliki sikap:
  • Mamut Menteng , tujuannya gagah perkasa dalam perilaku dan perbuatan
  • Harati bermakna pandai
  • Bakena bermakna ganteng , menawan , dan bijaksana
  • Bahadat , beradat
  • Bakaji , tujuannya berilmu tinggi dalam bidang spiritual
  • Barendeng , bermakna bisa menyimak info juga ganjalan warganya.
C. Sistem Sosial
1. Hukum Adat
Berbicara watak (adat-isitadat) pasti inklusif di dalamnya aturan watak , yakni suatu institusi yang berwenang menampilkan hukuman atas pelanggaran adat-istiadat. Pelaksanaan aturan watak juga terbagi menjadi dua faktor , yakni faktor aturan (pengadilan adat) , dan faktor ritual berupa ritual khusus yang diselenggarakan sesudah pengadilan watak selesai. Yaitu upacara tampung tawar dengan menggunakan darah binatang untuk mengembalikan keseimbangan kosmos yang rusak jawaban pelanggaran watak tadi. Adat-istiadat mesti ditaati dan diwujudkan dalam setiap prilaku dan acara sehari-hari dan dalam jalinan korelasi dengan aneka macam unsur kosmos. Orang yang tidak mentaati watak dicap selaku Belom Dia Bahadat atau hidup tidak beradat. Oleh alhasil orang semacam itu mesti diusir dan keluar dari wilayah aturan watak di mana ia tinggal. Sebagai contoh: kalau ada seorang perempuan hamil di luar nikah , maka kedua anak muda itu mesti dieksekusi dengan memberi mereka makan pada tempat di mana biasanya orang menampilkan makanan babi. Setelah makan di tempat makanan babi mereka berdua secepatnya diusir.
Adapun Hukum Dayak berupa:
  • Tidak membunuh di saat hari Balala
  • Tidak bertindak garang terhadap segala macam kehidupan (berlaku pada insan , binatang jinak dan liar serta tumbuh-tumbuhan)
  • Tidak berzinah
  • Tidak melaksanakan obrolan yang merugikan orang lain (We’rinjana)
  • Tidak mengabil barang milik orang lain dalam bentuk apapun
  • Menghargai kepercayaan orang lain (tidak mencela pesugihan milik suku Dayak lainya)
  • Hidup dalam situasi kekeluargaan
Hukum bagi yang melanggar berupa:
  • Baras banyu (beras sebanyak tujuh biji yang mesti dibayar selaku hukuman yang dijatuhkan pada pelanggaran Hukum 2 dan Hukum 6).
  • Siam (pembayaran berupa seperangkat peralatan watak , dijatuhkan pada pelanggaran Hukum 1 , 3 , 4 , 5 dan 7).
2. Aliran dalam Hukum Adat
a. Tersilah terhadap keduniawian
Hukum watak ini mengadili kendala yang berafiliasi dengan kemasyarakatan , misalnya: etika dalam pergaulan , kendala kriminal , problem harta benda pusaka , perkawinan , perceraian , ketentuan andal waris , problem anak dalam perceraian , milik perpantangan , dan hak atas tanah.
b. Tersilah terhadap agama
Hukum watak ini menghukum siapa saja yang sudah mencemooh dan mencemarkan hal-hal yang berafiliasi dengan kepercayaan penduduk , misalnya: menghancurkan kubur , menghancurkan sandung menghancurkan pangantoho (rumah kecil tempat sesajian) , berzinah dengan kerabat , berzinah dengan ibu atau bapak , dan berzinah dengan misan.
D. Unsur Kebudayaan yang Universal
1. Bahasa dan Tradisi Lisan
Tiap suku dalam penduduk Dayak memiliki bahasa kawasan masing-masing. Batas alam yang menyibukkan diseberangi mirip pegunungan , hutan lebat , sungai besar , lembah dan rawa merupakan garis yang memutus satu kelompok dari kelompok lain , yang turut pula membedakan logat masing-masing bahasa daerah.
Menurut Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kalimantan Tengah , bahasa kawasan (lokal) terdapat pada 11 Daerah Aliran Sungai (DAS) yang termasuk 9 bahasa lebih banyak didominasi dan 13 bahasa minoritas , yaitu:
a. Bahasa Dominan
  • Bahasa Banjar
  • Bahasa Ngaju
  • Bahasa Manyan
  • Bahasa Ot Danum
  • Bahasa Katingan
  • Bahasa Bakumpai
  • Bahasa Tamuan
  • Bahasa Sampit
b. Bahasa kelompok minoritas:
  • Bahasa Mentaya
  • Bahasa Pembuang
  • Bahasa Dusun Kalahien
  • Bahasa Balai
  • Bahasa Bulik
  • Bahasa Mendawai
  • Bahasa Dusun Bayan
  • Bahasa Dusun Tawoyanv
  • Bahasa Dusun Lawangan
  • Bahasa Dayak Barean
  • Bahasa Dayak Bara Injey
  • Bahasa Kadoreh
  • Bahasa Waringin
  • Bahasa Kuhin (bahasa kawasan pedalaman Seruyan Hulu)
Sebuah penduduk yang belum mengenal budaya tulis , cara untuk mengkomunikasikan aneka macam kearifan setempat terhadap generasi selanjutnya merupakan dengan metode tanda , yang lazim disebut bahasa lisan.
Orang Dayak memiliki cara pandang tersendiri terhadap sejarah pulaunya , yang terungkap dalam tradisi verbal yang disebut Tetek Tatum. Tetek Tatum yang artinya ‘Ratap Tangis Sejati’ merupakan salah satu kesusastraan Dayak , berupa nyanyian dan sungguh disukai orang Dayak. Isinya menceritakan wacana pewarisan budaya yang terancam punah.
2. Sistem Organisasi Sosial
Untitled 1 Recovered
Gbr ilustrasi Gadis Dayak
Sumber: www.merdeka.com
a. Sistem Kekerabatan
Sistem korelasi yang dianut oleh suku bangsa Dayak merupakan bilineal , yakni menawan garis keturunan lewat pihak ayah dan ibu. Dengan demikian metode pewarisan pun tidak membedakan anak pria dan anak perempuan.
Bentuk kehidupan keluarga terdiri atas dua jenis , yakni keluarga batih (nuclear family) dan keluarga luas (extended family). Pada kedua bentuk keluarga ini terdapat wali (asbah) yang berfungsi untuk mewakili keluarga dalam aneka macam kesibukan sosial dan politik di lingkungan dan di luar keluarga. Yang menjadi wali (asbah) dalam keluarga batih merupakan anak pria tertua , sedangkan dalam keluarga luas yang berhak menjadi wali (asbah) merupakan kerabat pria ibu dan kerabat pria ayah. Misalnya
dalam hal ijab kabul , maka orang yang paling sibuk mengelola problem ini sejak permulaan hingga acara selesai merupakan para wali (asbah). Dengan demikian semua permasalahan dan keputusan keluarga mesti dikonsultasikan dengan wali (asbah). Penunjukannya biasanya dilakukan menurut janji keluarga dan bukan lewat pemilihan.
Dalam penduduk Dayak , metode korelasi perkawinan mendasarkan pada prinsip ambilineal. Perkawinan yang boleh dilakukan dalam keluarga paling bersahabat merupakan antara kerabat sepupu dua kali (haje’nan , dalam bahasa Ngaju). Sepupu satu kali dianggap masih kerabat kandung. Tidak jarang terjadi semacam incest , yakni perkawinan antara paman dan keponakan atau kerabat sepupu sekali , sehingga mesti dikerjakan secara watak guna meniadakan dosa dan terhindar dari bencana. Perkawinan yang paling ideal merupakan metode endogami , yakni perkawinan dengan sesama suku dan masih ada korelasi keluarga.
Dahulu perkawinan dikontrol oleh orang renta (dijodohkan) selaku upaya untuk mendekatkan korelasi kekeluargaan dan upaya menjaga warisan , mirip tanah , kebun buah , kebun rotan , dan benda-benda pusaka lainnya. Jika pinangan dari keluarga pria diterima oleh pihak perempuan , maka pihak pelamar mengunjungi orang renta si gadis dan menyerahkan hakumbang auch (uang lamaran) , sesudah itu orang renta si gadis akan menghimpun sanak saudaranya dan melaksanakan pengusutan apakah cowok tersebut bukan keturunan hanteun (dua alam). Kalau prosesi tersebut tanpa gangguan maka langkah selanjutnya diadakan upacara peresmian pertunangan dan tawar menawar pesta ijab kabul tergolong penentuan besaran palaku (mas kawin). Sedangkan bagi pasangan muda-mudi yang perjodohannya tidak disetujui oleh orang tuanya , biasanya pasangan itu menjalankan ijari (kawin lari).
Setelah menikah suami mengikuti pihak keluarga istri (matrilokal) , tetapi pintar balig cukup akal ini ada kecendrungan menganut pola neolokal. Ketika huma betang (longhouse) masih dipertahankan , keluarga gres tersebut mesti memperbesar bilik pada segi kanan atau segi kiri huma betang itu selaku tempat tinggal mereka.
b. Sistem Kemasyarakatan
Di Kalimantan Tengah terdapat dua sub-suku yang memiliki struktur kemasyarakatan berlapis , yaitu:
  • Orang Kayan yang masyarakatnya berisikan hipi (bangsawan) , pinyin (warga biasa) , dan dipan.
  • Orang Danuaka dengan struktur penduduk yang berisikan samagat (bangsawan) , pabiring (bangsawan gabungan penduduk biasa) , banua (masyarakat biasa) , dan pangkam (budak).
Kehidupan di Tampun Juah (tempat konferensi gabungan bangsa Dayak yang kini disebut Ibanic group) terbagi dalam tiga stratifikasi , yakni:
  1. Bangsa Masuka/Suka (kaum kaya/purih raja) , seseorang yang hidupnya berkecukupan dan tergolong kerabat orang penting (purih Raja)
  2. Bangsa Meluar (masyrakat biasa) , seorang yang hidupnya menengah ke bawah , tidak terikat problem hutang piutang
  3. Bangsa Melawang (kaum miskin) , kelompok orang miskin dan terikat kesepakatan kerja , untuk mengeluarkan duit segala hutangnya.
Penduduk Tampun Juah juga membentuk pemimpin di setiap rumah panjang yang disebut Temenggung , tugasnya mengontrol kehidupan masyarakat. Pada Suku Dayak Mali terdapat Kepala Adat (Demang) yang menjadi pengayom atas seluruh faktor kehidupan bermasyarakat. Ada panglima perang yang cuma berkuasa pada di saat genting saja dan juga selaku peredam atau pendamai.
3. Sistem Pengetahuan
Karena Suku Dayak tidak memedulikan goresan pena , maka lewat tradisi verbal mereka mengkomunikasikan pengetahuannya. Misalnya cara membina seseorang untuk menjadi seorang belian (dukun) merupakan dengan cara menghafalkan kata , kalimat , mantera-mantera dari senior atau gurunya secara lisan. Demikian juga dengan metode nilai dan norma. Syarat utamanya merupakan mereka mesti memiliki daya ingat yang bagus , kesetiaan , dan kejujuran.
Tanda-tanda wacana tanda-tanda alam mirip hujan , panas , banjir , ancaman penyakit , tanda sial , keberuntungan , seluruhnya ‘dibaca’ lewat bunyi atau abjad binatang , posisi bintang dan bulan , kondisi tanah , warna daun , mimpi , garis tangan , tahi lalat , dan yang semacam itu. Demikian juga dengan wawasan mereka wacana zat-zat dan racun dari akar-akaran dan pohon-pohonan yang sanggup digunakan untuk obat tradisional dan untuk senjata.
Sistem kalender yang mereka gunakan sungguh berlainan dari metode kalender nasional. Bulan dan bintang mereka pakai untuk mengontrol kesibukan pertanian , kesibukan berburu dan menangkap ikan. Bahkan penentuan waktu untuk ijab kabul pun diadaptasi dengan posisi bulan. Satuan waktu dan bilangan juga memiliki ungkapan tersendiri. Misalnya untuk mengukur satuan waktu untuk melaksanakan perjalanan jauh , mereka tidak menggunakan ukuran jam , namun berapa lamanya mengisap satu batang rokok.
Mereka menilai wawasan akan tanda-tanda atau simbol-simbol tertentu dari alam merupakan hal masuk akal , walaupun bahwasanya tidak setiap orang memiliki kepandaian untuk itu. Sebagian orang Dayak percaya ada tanda-tanda dan kekuatan supernatural yang sanggup memunculkan kegaiban atau keajaiban lewat peristiwa tertentu.
4. Sistem Teknologi
Peralatan yang mereka gunakan biasanya berafiliasi dengan kesibukan pertanian , berburu , menangkap ikan , membangun rumah panggung. Peralatan mirip pisau dan beliung (sejenis kampak) merupakan peralatan untuk berladang. Sedangkan tombak dan pisau merupakan senjata untuk berburu binatang secara langsung. Tombak , mandau , dan telawang , merupakan senjata tradisional untuk berperang. Sedangkan alat untuk menangkap ikan di sungai dan di danau biasanya yang dibikin dari bambu dan batang kayu yang dijalin dengan rotan. Demikian juga peralatan untuk menangkap binatang di darat biasanya yang dibikin dari rotan , kayu dan bambu runcing. Alat untuk menangkap burung di pepohonan yang dibikin dari getah kayu atau lateks yang diolah hingga mengental dan dioleskan pada bilah bambu yang berupa lidi dan kemudian ditancapkan pada dahan kayu.
Burung yang terkena getah pada sayapnya tidak dapat melayang dan akan jatuh. Teknologi yang cukup “canggih” merupakan menangkap kalong di udara dengan tali nilon dan bentuknya mirip dengan jaring penangkap ikan. Caranya merupakan selaku berikut: Didalam hutan dibentuk tempat khusus dengan menebang beberapa pohon sehingga seumpama jalan. Pada kiri dan kanan jalan itu dibiarkan masing-masing satu pohon yang besar dan tinggi. Pada ujung pohon ini diikat sebilah bambu yang cukup panjang secara vertikal. Pada ujung bambu dipasang gelang yang dibikin dari rotan dan dimasukkan tali hingga meraih ke tanah. Ujung jaring tali diikat sehingga bisa dinaikkan dan diturunkan. Pada malam hari jaring dinaikkan ke udara dan kalau jaring tersebut ditabrak oleh kalong , jaring diturunkan dan kalongnya ditangkap. Cara membangun rumahpun cukup sederhana , yakni dengan menggunakan kayu bundar selaku tiang , kulit kayu atau daun rumbia selaku atap dan kulit kayu untuk dinding rumah. Peralatan rumah tangga mirip alat untuk memuat air yang dibikin dari bambu yang besar dan buah labu.
5. Sistem Ekonomi
Sumber penghidupan yang paling utama merupakan ekonomi subsisten dalam bentuk perladangan tidak menetap (berpindah-pindah) , berburu , menangkap ikan secara tradisional , serta meramu hasil hutan. Perladangan berpindah-pindah mereka kerjakan dengan cara slash and burn atau dengan cara tebas , babat dan bakar kemudian ditanami.
Di ladang yang ditumbuhi padi , mereka juga menanam jagung , lombok , terong , dan ubi kayu. Jarak ladang dengan desa berkisar antara 2-5 kilometer. Di samping berladang mereka juga menyadap karet dan memotong rotan.
Berburu yang biasa dilakukan merupakan dengan menenteng beberapa ekor anjing ke dalam hutan dan menenteng tombak. Dapat pula dengan memasang perangkap , baik d iatas tanah , maupun di atas pohon untuk menangkap burung. Menangkap ikan sanggup dengan menggunakan lampu , dan sanggup juga dengan pancing dan jaring. Hampir semua jenis binatang yang ada di sekeliling mereka bisa dimakan , tergolong jenis ular , monyet , kelalawar , serta semua jenis burung.
Berladang merupakan pekerjaan yang banyak membutuhkan tenaga , oleh lantaran itu mereka membuatkan suatu metode kolaborasi dengan membentuk kelompok gotong-royong menurut korelasi ketetanggaan atau persahabatan. Kelompok ini biasanya berisikan 12-15 orang yang secara bergiliran membuka hutan bagi ladang masing-masing. Sebuah rumah tangga yang menemukan bantuan mesti membayarnya kembali dengan bantuan yang sama , walaupun rumah tangga tersebut kelemahan tenaga kerja pria , maka kaum perempuan sanggup mengambil alih pekerjaan itu.
Sistem perladangan ini mengandung nilai ritual dan religi serta selaras dengan prinsip konservasi modern. Dalam menyeleksi kandidat lokasi mereka juga memperhatikan tanda-tanda alam yang sanggup diterima secara logika. Ketua suku serta dukunnya akan mencari lokasi hutan sekunder , artinya hutan yang sudah pernah dibuka oleh nenek moyangnya. Mereka memperhatikan apakah ranting pohon di hutan sekunder itu tidak bergoyang di saat ada burung enggang yang hinggap. Bila tidak bergoyang bermakna pohon itu cukup mencukupi untuk ditebas dan dibakar , lantaran zat hara untuk berladang cuma mengandalkan bubuk dari pembakaran pohon-pohon tadi.
Dalam melaksanakan pembukaan lokasi ladang dilakukan ritual selaku berikut:
  • Setelah pohonnya ditebang , dilakukan pembakaran yang diawasi oleh semua anggota sukunya dengan mengelilingi lokasi hutan yang hendak dibakar.
  • Setelah hujan turun , tanah yang berupa bubuk pohon-pohon tadi ditanami padi atau tumbuhan lain dengan cara menugal , yakni menggunakan tongkat kayu untuk menghasilkan lubang di tanah yang kemudian diisi dengan benih tanaman. Penanaman tidak dilakukan dengan cangkul ataupun bajak , mengingat tanah di bawah bubuk tadi berupa batubara yang dihasilkan oleh pohon-pohon yang sudah berabad-abad tumbang.
  • Peristiwa menugal dan menuai dianggap selaku peristiwa kegembiraan , dan lantaran itu nyaris senantiasa diikuti dengan nyanyian dan tari-tarian.
  • Sistem perladangan berpindah ini sudah memperhitungkan sirkulasi rotasi tumbuhan , dengan menanami lahan bekas ladang tadi dengan tumbuhan keras mirip kopi , karet , rotan , dan pohon buah-buahan Juga dengan membiarkan bekas lahan itu menjadi hutan belukar kembali sehingga menerima kembali kesuburan dalam kadar yang cukup , yang ditandai cabang pohonnya tidak bergoyang di saat ada burung enggang hinggap.
Sementara bekas ladangnya menerima zat haranya kembali , mereka mencari hutan sekunder lagi yang hendak digunakan untuk perladangannya dengan cara mirip yang dijalankan pada lahan pertama tadi. Umumnya sesudah masa daur 30 tahun , barulah lahan tersebut digarap kembali. Oleh lantaran itu , perladangan (berpindah) tidak sanggup dikambinghitamkan selaku penyebab kerusakan hutan atau lingkungan hidup.
Walaupun ada di antara suku-suku Dayak ini yang sudah menggunakan metode persawahan dengan irigasi dan pemakaian bajak yang ditarik kerbau , mirip di kelompok suku-suku Lun Daye di Karayam – Kaltim dan suku Kalabit , tetapi kebanyakan semua Suku Dayak masih bercocok tanam dengan metode perladangan berpindah.
Penggunaan media tanda-tanda alam dan bunyi serta gerakan binatang dalam kesibukan perladangan menggambarkan korelasi dan ketergantungan simbiosis mutualisme antara suku Dayak dengan alam sekitar. Kehancuran ekosistem dan kepunahan satwa liar sama artinya dengan kehancuran dan pembatalan budaya suku Dayak itu sendiri.
Hal ini terjadi di saat ada acara transmigrasi dari Jawa. Para transmigran ini tidak mengenali budaya Dayak , bahwa dihentikan menenteng api ke ladang , disebabkan tanah di Kalimantan sebagian besar batubara , yang terjadi lantaran pohon-pohon yang tumbang berpuluh tahun atau beribu tahun sudah menjadi batubara. Sedangkan kebiasaan orang Jawa , di saat mereka selesai melakukan ladang , sambil istirahat mereka merokok. Masalah yang lain , di saat orang-orang tertentu lantaran kedekatannya dengan peguasa minta diberi HPH (Hak Penguasaan Hutan) , memunculkan lahan orang Dayak menjadi kian sempit. Hutan yang harusnya gres dibuka kembali sesudah dibiarkan 30 tahun biar pohon-pohonnya sudah cukup besar sehingga zat haranya cukup untuk ditanami , lantaran lahannya kian sempit maka belum 30 tahun sudah dibuka kembali , sehingga zat hara yang didapat cuma sedikit. Kesejahteraan orang-orang Dayak ini kian menurun. Peristiwa ketiga di saat orang-orang Madura berjualan di Kalimantan Barat. Mereka tiba dari kawasan yang tandus , maka mereka merupakan orang-orang yang ulet dan keras , sehingga sering terjadi pertentangan dengan penduduk setempat.
6. Sistem Religi
Konsep religi suku Dayak dipahami dengan nama Agama Kaharingan. Agama Kaharingan memiliki rancangan kepercayaan yang sungguh absurd , yakni di samping mereka percaya pada adanya keberadaan Tuhan Yang Satu , mereka juga memuja roh-roh nenek moyang. Orang luar condong menyebut kepercayaan orang Dayak selaku animisme. Namun istilah demikian ditolak oleh orang Dayak , lantaran sesungguhnya mereka tidak menyembah watu , pohon , dan gua-gua besar. Mereka menilai roh-roh nenek moyang mereka bersemayam pada pohon yang besar , gua atau watu yang besar sehingga ritual keagamaan mereka sering menggunakan media mirip itu. Dengan rancangan kepercayaan yang demikian tadi maka inti dari kemakmuran dan kebahagiaan hidup ini bagi orang Dayak bukan terletak pada faktor kebendaan (material) , tetapi pada keseimbangan kosmos. Kesanggupan insan untuk menjaga keserasian dan keseimbangan kosmos merupakan sumber dari semua kedamaian , kemakmuran , dan keamanan hidup.
Konsep kepercayaan agama Kaharingan meyakini adanya tokoh tuhan tertinggi yang bersemayam di alam atas yakni Mahatala , dan Jata selaku tuhan yang bersemayam di alam bawah. Mahatala penguasa dunia atas dianggap selaku pria yang disimbolkan dengan wujud burung Enggang (Tingang) , sedangkan Jata selaku perempuan yang disimbulkan berupa Tambon , yakni sejenis naga. Keduanya dianggap selaku lambang keseimbangan dan kesatuan bagi penduduk Dayak.
Kepercayaan terhadap roh nenek moyang dan makhluk-makhluk halus yang lain yang menempati alam sekelilingnya itu terwujud dalam upacara-upacara keagamaan , baik dalam upacara-upacara kecil yang dilakukan pada waktu pemberian santapan terhadap ruh-ruh maupun pada peristiwa-peristiwa penting yang lain mirip upacara menyambut kelahiran bayi , memandikan ataupun memotong rambut dan juga peristiwa tamat hidup mirip mengubur dan memperabukan mayat. Dalam metode religi orang Dayak , orang yang meninggal , mayatnya apalagi dulu dikubur dalam suatu peti jenazah dari kayu berupa bahtera lesung. Kuburan ini masih dianggap kuburan sementara , lantaran upacara yang paling penting berhubung dengan tamat hidup merupakan upacara pembakaran jenazah secara besar-besaran yang disebut dengan upacara Tiwah.
Pada upacara Tiwah , tulang belulang khususnya tengkoraknya dari semua kaum kerabat yang sudah meninggal dalam suatu masa yang tertentu digali lagi dan dipindahkan ke suatu tempat pemakaman yang tetap , suatu bangunan yang berukir indah yang disebut sandung. Sedangkan pada suka Ma’anyan tulang belulang tadi dibakar dan abunya diposisikan ke dalam tempat pemakaman yang tetap yang disebut dengan tambak.
Kepercayaan yang dianut oleh penduduk Dayak pada mulanya merupakan Hindu Kaharingan yang bermakna “air kehidupan” (Koentjaraningrat , 1990). Penyebaran Islam lewat interaksi dan ijab kabul antara etnis Dayak dengan etnis pendatang yang beragama Islam mirip Madura , Jawa , Arab dan Melayu mendorong etnis Dayak untuk masuk Islam , sedangkan etnis Dayak yang tidak mau memeluk agama Islam biasanya menyingkir ke pedalaman dan menjaga watak istiadat. Sehingga terjadilah pameo , etnis Dayak yang beragama Islam biasanya tinggal di pesisir pantai dan orang Dayak non Islam mengungsi di pedalaman. Istilah Dayak Islam terdengar sedikit asing bagi indera pendengaran orang di Banjarmasin. Namun kemudian penyebutan nama “Dayak” identik dengan penduduk setempat Kalimantan yang beragama Nasrani atau yang beragama adat. Sementara yang muslim biasanya dipandang selaku orang Melayu atau Banjar Melayu.
7. Kesenian
Kesenian yang meningkat di kelompok suku bangsa Dayak merupakan seni tari , seni bunyi , seni patung , seni lukis , dan seni instrumental. Seni tari yang masih ada hingga kini merupakan Tari Giring-giring , Tari Bahalai , Tari Gelang , Tari Mandau , dan Tari Burung Jue (merak). Semua tarian ini selaku tarian pergaulan dan untuk menyambut tamu.
Seni bunyi dilantunkan dalam bentuk pantun maupun bentuk puisi , dihidangkan pada upacara perkawinan dan konferensi yang bersifat gembira. Seni patung berafiliasi dengan ritual tamat hidup , lantaran patung yang dibentuk menggambarkan orang yang sudah mati dan para leluhur. Demikian pula dengan seni lukis banyak berafiliasi dengan kesibukan ritual orang mati dan orang yang sakit. Sedangkan seni instrumental sepertinya dipengaruhi oleh budaya dari luar , misalnya peralatan untuk seni tari mirip gong , kenong , dan gendang.
Catatan :
  • Dayak terbagi atas beberapa sub-suku. Nenek moyangnya berasal dari Yunan.
  • Mereka ada yang tinggal di pesisir , disebut orang Melayu , sedangkan yang tinggal di pedalaman ada yang disebut Dayak Kaharingan dan istilah Dayak untuk orang yang beragama Kristen.
  • Religi orisinil mereka menyembah roh nenek moyang , dewa-dewa dan alam.
  • Mereka taat terhadap pemimpin yang mereka pilih , sebaliknya pemimpin itu juga amat melindungi yang dipimpinnya.
  • Mereka belum memiliki budaya tulis , mereka menggunakan budaya verbal untuk menularkan pengetahuannya. Karya sastranya berupa Tetek Tatum , menceritakan pewarisan budaya mereka yang terancam punah. Sistem organisasi sosialnya berupa bilineal , metode pengetahuannya ditularkan secara lisan.
  • Mereka memiliki metode kalender dan satuan waktu yang berlainan dengan metode nasional.
Sumber: 
Buku BAHAN AJAR BUDAYA NUSANTARA Oleh: WORO ARYANDINI DAN TIM
Untitled 3DAYAK

Seorang pakar sosial budaya yang aktif pada berbagai kegiatan sosial kemasyarakatan. Telah menempuh pendidikan di salah satu universitas swasta terbaik di Indonesia yang mengambil jurusan sosial budaya.

Pos terkait