Sejarah Dan Budaya: Kebudayaan Bugis Dan Makassar

Gambar Gravatar
KEBUDAYAAN BUGIS DAN MAKASSAR
A. Letak Geografis
Kota Makassar berada koordinat 119oBT dan 5 ,8o LS dengan ketinggian yang bervariasi antara 1 – 25 meter dari permukaan laut , merupakan daerah pantai yang datar dengan kemiringan 0 – 5o ke arah barat , diapit dua muara sungai yakni Sungai Tallo yang bermuara di potongan utara kota dan Sungai Jeneberang yang bermuara di selatan kota. Luas wilayah kota Makassar kurang lebih 175 ,77 Km2 daratan dan tergolong 11 pulau di Selat Makassar ditambah luas wilayah perairan kurang lebih 100 Km2.
Jumlah kecamatan di Kota Makassar sebanyak 15 kecamatan dan memiliki 143 kelurahan. Tujuh kecamatan memiliki batas dengan pantai yaitu:
Kecamatan Tamalate ,
Mariso ,
Wajio ,
Ujung Tanah ,
Tallo Tamalanrea dan
Biringkanaya.

Suku Bugis yakni suku yang tergolong ke dalam suku-suku Deutero – Melayu , atau Melayu Muda. Kata “Bugis” berasal dari To Ugi , yang memiliki arti orang Bugis. Penamaan “ugi” merujuk pada raja pertama kerajaan Tiongkok (bukan negara Tiongkok , namun yang terdapat di jazirah Sulawesi Selatan , di Kecamatan Pammana Kabupaten Wajo) yakni La Sattumpugi.

Bacaan Lainnya

Mereka menjuluki dirinya selaku To Ugi pengikut La Sattumpugi. La Sattumpugi yakni ayah We Cudai , bersaudara dengan Batara Lattu , ayahanda Sawerigading. Sawerigading yakni suami We Cudai dan melahirkan beberapa anak , tergolong La Galigo yang bikin karya sastra paling besar di dunia.

Kerajaan pertama Bugis menurut I La Galigo ialah
  • Wemang Nriwuk , 
  • Luwuk dan 
  • Tompoktikka. 

Luwuk memperoleh kedudukan istimewa kerana ia dianggap selaku pemimpin kerajaan Bugis. Pada periode ke-15 terjadi pergantian di dalam sosio-politik , ekonomi dan agama , disebabkan migrasi penduduk dari pesisir pantai hingga ke tengah hutan belantara dan membuka pemukiman baru. Bidang ekonomi , penanaman padi sawah , pengerjaan besi dan penggunaan kuda diperkenalkan.

Pada simpulan periode ke-15 timbul beberapa kerajaan gres menentang kerajaan Luwuk , antara lain :
  • Gowa (Makassar) , 
  • Bone dan 
  • Wajo’. 

Kematian Dewaraja , seorang raja Luwuk , membuat perebutan dinasti untuk memerintah Tana Ugi. Gowa bersekutu dengan Bone melawan Luwuk dan sekaligus memiliki pengaruh yang besar atas Sulawesi Selatan.

B. Sistem Budaya
I La Galigo
Sistem budaya dan falsafah hidup orang Bugis tertera dalam karya sastra I La Galigo. Dalam naskah itu terdapat rancangan tentang
  • pertanian , 
  • maritim , 
  • lingkungan , 
  • redistribusi kapital , 
  • keamanan sosial , 
  • kehormatan , sampai 
  • hubungan suami-isteri , dan sebagainya

Mitologi ini mengandung nilai-nilai dan way of life orang Bugis , seperti

  • keberanian , 
  • kejujuran , dan 
  • keteguhan. dll

Budaya merantau yang dimiliki orang Bugis didorong oleh impian akan kemerdekaan , yang dalam tradisi Bugis cuma sanggup dicapai dengan jalan merantau

Peran lelaki dan wanita
Dalam keluarga yang berperan dan bertindak selaku kepala rumah tangga yakni seorang ayah , sedangkan isteri berperan selaku ibu rumah tangga. Dilihat dari sisi hak dan keharusan , laki–laki dan perempuan dalam keluarga dikontrol menurut garis bilinial , keduanya memiliki hak dan keharusan tertentu terhadap anaknya , baik dalam bidang harta maupun dalam bidang pendidikan dan training keagamaan.
Dalam kehidupan sosial dan politik , tugas perempuan dan laki–laki cukup seimbang. Dari tiga puluh raja yang memerintah kerajaan Bone tujuh orang yakni perempuan , sedangkan di kerajaan Wajo terdapat empat orang perempuan dari enam raja yang memerintah.
Konsep Siri’ Na Pacce dan Falsafah ‘Sipakatau’
Siri’ Na Pacce merupakan prinsip hidup.
  • Siri’ dipergunakan untuk membela kehormatan terhadap orang yang mau merendahkan harga dirinya , sedangkan 
  • pacce dipakai untuk menolong sesama anggota penduduk yang berada dalam penderitaan.
a. Falsafah Siri’
Ada banyak sekali persepsi wacana pemahaman siri’ Ada cakap aturan susila yang menyampaikan bahwa siri’ yakni suatu perasaan aib lantaran dilanggar norma adatnya. Ahli lain menyampaikan bahwa siri’ yakni merupakan pembalasan berupa keharusan moral untuk membunuh fihak yang melanggar adatnya. Siri’ sanggup dikategorikan dalam empat klasifikasi , yaitu:
  • siri’ dalam hal pelanggaran susila (misalnya: kawin lari , perzinahan , perkosaan , dan incest)
  • siri’ yang berakibat kriminal (menempeleng orang , menghina dengan kata- kata garang sehingga terjadi perkelahian)
  • siri’ yang sanggup mengembangkan motivasi untuk melakukan pekerjaan (melihat orang lain berhasil kemudian mengikuti jejaknya)
  • siri’ yang memiliki arti malu-malu (sirik-sirik)
b. Pacce
Pacce secara harfiah bermakna perasaan pedih dan perih yang dicicipi meresap dalam kalbu seseorang lantaran menyaksikan penderitaan orang lain. Pacce ini berfungsi selaku alat penggalang persatuan , solidaritas , kebersamaan , rasa kemanusiaan , dan memberi motivasi pula untuk berupaya , sekalipun dalam kondisi yang sungguh pelik dan berbahaya. Dari pemahaman tersebut , maka jelaslah bahwa pacce itu sanggup memupuk rasa persatuan dan kesatuan bangsa , membina solidaritas antara insan agar mau menolong seseorang yang mengalami kesulitan. Bagi orang Makassar , kalau bukan siri’ , pacce-lah yang bikin mereka bersatu.
c. Falsafah ‘Sipakatau’
Sesungguhnya budaya Makassar mengandung esensi nilai luhur yang universal , tetapi kurang teraktualisasi secara sadar dan dihayati dalam kehidupan sehari-hari. Kalau ditelusuri secara mendalam , hakikat kebudayaan Makassar bergotong-royong bertitik sentral pada rancangan mengenai ‘tau’ (manusia) , yang melahirkan penghargan atas sesama manusia.

Bentuk penghargaan itu dimanifestasikan lewat perilaku budaya ‘sipakatau’ yang artinya saling mengerti dan menghargai secara manusiawi. Dengan pendekatan ‘sikapatau’ maka kehidupan orang Makassar sanggup meraih keserasian , dan memungkinkan kehidupan penduduk berjalan secara masuk akal sesuai harkat dan martabat manusia.

Seluruh perbedaan derajat sosial – turunan darah biru dan rakyat jelata – tercairkan. Yang dinilai atas diri seseorang yakni kepribadiannya. Sikap budaya ‘sikapatau’ dijabarkan dalam konsepsi siri’ na pacce. ‘Sikapatau’ dalam aktivitas ekonomi sungguh mencela adanya aktivitas yang senantiasa hendak ‘annunggalengi’ (egois) , atau memonopoli lapangan hidup yang terbuka.

C. Sistem Sosial
Sistem Norma
Masyarakat Bugis dan Makassar terikat oleh metode norma dan aturan-aturan adatnya disebut :
  • panngaderreng (Bugis) atau 
  • panngadakkang (Makassar). 

Sistem susila keramat tersebut didasarkan atas lima unsur pokok , yaitu: Ade’ (Bugis) atau ada’ (Makassar) , yakni unsur dari panganderreng yang berisikan atas:

  1. Ade’ akkalabinengeng , yaitu norma-norma hal mengenai perkawinan serta kekerabatan kekerabatan. Norma-norma ini kemudian diwujudkan selaku kaidah-kaidah keturunan , etika dalam hal berumah tangga , dan sopan santun pergaulan antara kaum kerabat.
  2. Bicara , merupakan unsur panngaderreng mengenai semua aktivitas dan konsep-konsep yang bersangkut paut dengan peradilan , kurang lebih sama dengan aturan program , menegaskan mekanisme serta hak-hak dan keharusan seseorang yang mengajukan kasusnya di wajah pengadilan atau yang mengajukan gugatan.
  3. Rapang , berarti perumpamaan , kias , atau analogi. Sebagai unsur dari panngaderreng , rapang menjaga kepastian dan kesinambungan dari suatu keputusan aturan tak tertulis dari masa lalu hingga kini dengan bikin analogi antara problem yang dihadapi dengan keputusan masa lampau. Rapang juga berupa perumpamaan tingkah laris ideal dalam banyak sekali lapangan hidup , baik kekerabatan , politik , maupun pemerintahan. Selain itu rapang juga berwujud selaku persepsi keramat untuk menangkal langkah-langkah yang bersifat gangguan terhadap hak milik , serta ancaman terhadap keselamatan seseorang warga masyarakat.
  4. Wari , adalah unsur panngaderreng yang berfungsi mengklasifikasikan banyak sekali benda dan insiden dalam kehidupan manusia. Misalnya untuk memelihara tata susunan dan tata penempatan hal-hal dan benda-benda dalam kehidupan penduduk , jalur dan garis keturunan yang merealisasikan pelapisan sosial , kekerabatan kekerabatan antara raja suatu negara dengan raja-raja dari negara lain , sehingga sanggup diputuskan mana yang bau tanah dan mana yang muda di dalam tata upacara kebesaran.
  5. Sara , adalah unsur panngaderreng yang mengandung pranata aturan , dalam hal ini merupakan aturan Islam.
Kultur Haji
Gelar haji yang diperoleh sesudah menunaikan ibadah haji dianggap selaku prestise yang menyampaikan status sosial. Dalam janji nikah aspek kehajian kerap menjadi penentu duit panaik atau dui’menre’ (uang mahar) bagi mempelai wanita. Calon pengantin perempuan yang sudah bergelar hajjah duit maharnya akan jauh lebih tinggi dibanding dengan yang belum hajjah. Besarnya perbedan duit mahar kadang dijumlah berdasar tarif resmi ONH.

Sebaliknya , yakni suatu sanjungan buat mempelai perempuan apabila kandidat pengantin lelaki sudah bergelar haji , dengan demikian dapat menjadi nilai tambah dalam mendapatkan atau menolak suatu lamaran. Akan berat usaha seorang lelaki yang belum haji yang akan meminang seorang hajjah , kecuali lelaki itu mengkompensasikan dengan duit mahar yang tidak sedikit.

Selepas berhaji ada semacam ritual wisuda yang dinamakan mappatoppo’ haji , dengan penyematan songkok atau kopiah haji dan gamis panjang berwarna putih yang dijalankan oleh seorang syeikh atau ulama yang disegani. Di jaman dulu , orang Bugis-Makassar yang belum menunaikan ibadah haji akan aib dan segan memakai songkok putih lantaran penduduk tahu dan akan mencibir. Orang ini akan dibilang selaku haji imitasi , atau diolok-olok selaku haji taalltu’ (bahasa Bugis). Sebaliknya , orang yang sudah pernah naik haji kadang-kadang tidak mau melepaskan songkok putihnya lagi apabila bersosialisasi dengan penduduk di sekitarnya , agar supaya identitas kehajiannya tetap melekat. Untuk yang perempuan , biasanya disimbolkan dengan kerudung di kepala yang dipuntir mengeilingi tepi rambut , dan dipasangi manik-manik atau dekorasi emas atau perak.
D. Kebudayaan Fisik
Bahasa Dan Aksara
  • Suku Bugis memiliki bahasa yang dimengerti selaku bahasa Bugis (Ugi) dan 
  • Suku Makassar memiliki bahasa Mangasara.
Suku Makassar terbagi atas beberapa sub suku yang lebih kecil yang memiliki logat dan bahasa yang juga berlainan , umpamanya daerah Bulukumba dan Selayar yang secara fisik dianggap suku Makassar tetapi memiliki bahasa daerah yang berlainan dengan bahasa Makassar.

Sebuah kabupaten kecil sebelah utara kota Makassar berjulukan Enrekang terbagi atas tiga daerah bahasa , sebelah selatan bahasanya menyerupai bahasa Bugis lantaran memiliki batas dengan daerah suku Bugis , potongan tengah berbahasa daerah sendiri , sementara potongan utara berbahasa daerah yang menyerupai bahasa Toraja lantaran memiliki batas dengan daerah Toraja.

Huruf yang dipakai dalam naskah-naskah Bugis dan Makassar Kuno yakni Aksara Lontara , yakni suatu metode karakter yang berasal dari karakter Palawa. Pada periode ke XVI metode Aksara Lontara disederhanakan oleh Syahbandar Kerajaan Gowa yang berjulukan Daeng Pamatte. Permulaan periode XVII waktu agama Islam dan kesusastraan Islam mulai mempengaruhi Sulawesi Selatan , maka kesusasteraan Bugis dan Makassar ditulis dalam karakter Arab yang disebut Aksara Serang.
Sistem Organisasi Sosial
lapisan sosial
Terdapat tiga lapisan sosial , yaitu:
  1. Anakarung , kaum kerabat raja
  2. To-mara-deka , orang merdeka
  3. Ata , budak yakni orang yang ditangkap dalam pertempuran , orang yang tidak sanggup mengeluarkan duit hutang , atau orang yang melanggar pantangan adat.
Pada awalnya cuma terdapat dua lapisan , sedangkan lapisan Ata terbentuk dengan kemajuan dari organisasi pribumi di Sulawesi Selatan. Pada permulaan periode ke-20 lapisan Ata mulai hilang , lantaran larangan dari pemerintah kolonial dan desakan dari golongan agama.
Sesudah PD II , perbedaan antara lapisan anakarung dan to-mara-deka mulai berkurang. Gelar Anakarung menyerupai Karaenta , Puatta , Andi dan Daeng meskipun masih dipakai , sengaja diperkecil artinya dalam proses kemajuan sosialisasi dan demokratisasi penduduk Indonesia. Stratifikasi sosial penduduk usang dianggap menghalangi pembangunan
Perkawinan

Perkawinan yakni mempererat kekerabatan antar keluarga , antar suku , bahkan antar bangsa. Hubungan janji nikah sanggup bikin suatu ikatan yang disebut massed siri memiliki arti bersatu dalam mendukung dan menjaga kehormatan keluarga. Pada zaman lampau anak keturunan darah biru tidak boleh bermitra dengan orang biasa , kalau dilanggar maka pasangan ini dikenakan eksekusi riladung , dikenakan eksekusi berat yakni keduanya akan ditenggelamkan.
Perkawinan yang ideal berupa:
  • Aassialang marola (Bahasa Bugis) atau passialleang biji’na (Bahasa Makassar) yakni perkawinan antara kerabat sepupu derajat kesatu baik dari pihak ayah atau pun pihak ibu
  • Aassialanna memang (Bugis) atau passialleanna (Makassar) yakni perkawinan antara kerabat sepupu derajat kedua , baik dari pihak ayah maupun ibu
  • Ripaddeppe’ mabelae (Bugis) atau nipakambani bellaya (Makassar) yakni perkawinan antara kerabat sepupu derajat ketiga juga dari ayah maupun dari ibu
Perkawinan antara saudara-saudara sepupu tersebut , meskipun dianggap ideal , bukan suatu hal yang diwajibkan , sehingga mereka sanggup saja kawin dengan yang bukan kerabat sepupunya.
Perkawinan yang tidak boleh lantaran dianggap sumbang (salimara) adalah:
  • Perkawinan antara anak dengan ibu atau ayah
  • Perkawinan antara saudara-saudara sekandung
  • Perkawinan antara menantu dan mertua
  • Perkawinan antara paman atau bibi dengan kemenakannya
  • Perkawinan antara kakek dan nenek dengan cucu
Tahapan dalam proses pernikahan
  • Mapucce-pucce (bahasa Bugis) atau akkuisissing (bahasa Makasar): Kunjungan terhadap keluarga si gadis untuk mengusut kemungkinan apakah peminangan sanggup dilakukan.
  • Massuro (bahasa Bugis) atau assuro (bahasa Makasar): bila kemungkinan meminang ada , maka dijalankan obrolan waktu janji nikah , jumlah mas kawin , dan belanja pernikahan.
  • Madappa (bahasa Bugis) atau ammuntuli (bahasa Makasar): Memberitahu kaum kerabat mengenai perkawinan yang akan datang.
  • Pembawa persembahan (erang-erang) untuk pengantin perempuan yang terdiri atas 12 gadis sampaumur (memakai baju bodo kuning) dikawal oleh keluarga pengantin lelaki bersiap menuju kediaman pengantin wanita.
  • Pabbajikang: mempertemukan kedua mempelai dalam satu sarung. Salah seorang yang dituakan membimbing kedua mempelai untuk menjamah tubuh tertentu , umpamanya ubun-ubun , pipi , atau bahu. Proses ini disebut Mappasikarawa.
  • Passompo: salah seorang anggota keluarga pengantin perempuan yang termuda dipanggul.
Kawin Lari (Silariang)
Perkawinan yang tidak cocok dengan susila ini disebut Silariang. Dalam hal ini si lelaki menenteng lari si gadis. Kawin lari seperti ini biasanya disebabkan lantaran pinangan dari pihak lelaki ditolak , atau lantaran belanja perkawinan yang diputuskan pihak keluarga si gadis terlalu tinggi. Hal yang terakhir ini bergotong-royong juga suatu penolakan pinangan secara halus.
Para kerabat si gadis yang memburu kedua pelarian itu disebut tomasiri’. Kalau mereka berhasil memperoleh para pelarian , maka ada kemungkinan si lak-laki dibunuh. Dalam kondisi sembunyi yang sering berjalan berbulan-bulan , si lelaki kemudian berupaya mencari pemberian pada orang ternama dalam masyarakat.

Orang ini kalau sudi akan memakai kewibawaannya untuk meredakan kemarahan dari kaum kerabat si gadis dan menyarankan mereka untuk mendapatkan kembali mereka berdua itu selaku kerabat. Kalau ada gejala keluarga si gadis mau mendapatkan mereka kembali selaku kerabat , maka keluarga si lelaki akan mengambil inisiatif untuk mendatangi keluarga si gadis. Penerimaan pihak keluarga si gadis untuk berbaikan kembali dalam bahasa Bugis disebut maddecengan (bahasa Bugis) atau abannji (bahasa Makasar).

Kawin lari biasanya tidak terjadi lantaran mas kawin (soppa atau surang) yang tinggi , melainkan lantaran belanja perkawinan yang tinggi. Mas kawin itu besar kecilnya sesuai dengan derajat sosial si gadis yang dipinang. Mas kawin yang dijumlah berdasar jumah tertentu tersebut sanggup saja berupa sawah , kebun , keris pusaka , bahtera , dan sebagainya , yang seluruhnya memiliki makna penting dalam perkawinan.
Rumah orang Bugis-Makassar
Rumah orang Bugis-Makassar juga digolong-golongkan menurut lapisan sosial dari penghuninya. Berdasarkan hal itu , ada tiga macam rumah , yaitu:
  1. Sao-raja (bahasa Bugis) atau Balla lompo (bahasa Makassar) , yakni rumah yang didiami oleh keluarga kaum bangsawan. Rumah-rumah ini biasanya memiliki tangga dengan ganjal potongan bawah dan atap di atasnya (sapana) , dan memiliki bubungan yang bersusun tiga atau lebih.
  2. Sao-piti’ (bahasa Bugis) , atau Tarata’ (bahasa Makassar) , bentuknya lebih kecil , tanpa sapana dan memiliki bubungan yang bersusun dua.
  3. Bola (bahasa Bugis) , atau Balla (bahasa Makassar) , merupakan rumah rakyat pada umumnya. Semua rumah Bugis-Makassar tradisional , memiliki suatu panggung di depan pintu masuk di potongan atas dari tangga.
Bentuk Desa
Desa merupakan adonan sejumlah kampung lama. Satu kampung usang berisikan sejumlah keluarga yang mendiami 10 hingga 200 rumah yang berderet-deret , menghadap ke selatan atau barat. Diusahakan agar rumah dibangun dengan membelakangi sungai. Pusat kampung yakni suatu tempat keramat (posisi tana) dengan suatu pohon beringin yang besar , dan kadang kala dengan suatu rumah pemujaan atau saukang. Setiap kampung senantiasa ada langgar atau masjidnya.
  • Sebuah kampung usang dipimpin oleh seorang matowa (jannang , lompo’ toddo) dengan dua pembatu yang disebut sariang atau parennung. 
  • Gabungan kampung disebut wanua (bahasa Bugis) dan pa’rasangan atau bori’ (bahasa Makassar). 
  • Pimpinan wanua disebut arung pailili’ atau sullewatung (bahasa Bugis) dan gallarang atau karaeng (bahasa Makassar). 
  • Sekarang dalam struktur tata pemerintahan negara Republik Indonesia , wanua menjadi kecamatan.
Rakkeang (bahasa Bugis) atau Pammakkung (bahasa Makassar) , 
adalah potongan atas rumah di bawah atap , yang dipakai untuk menyimpan padi dan lain persediaan pangan dan untuk menyimpan benda-benda pusaka.
Ale-Bola (bahasa Bugis) atau Kalle-balla’ (bahasa Makassar) , 
adalah ruang tempat tinggal , yang terbagi ke dalam ruang-ruang khusus , untuk mendapatkan tamu , untuk tidur , untuk makan dan untuk dapur.
Awasao (bahasa Bugis) atau Passiringan (bahasa Makassar) , 
adalah potongan di bawah lantai panggung , dipakai untuk menyimpan alat-alat pertanian dan untuk sangkar ayam , kambing dan sebagiannya. Pada zaman kini , potongan bawah ini sering ditutup dengan dinding , dan sering dipakai untuk tempat tinggal insan pula.
3. Sistem Pengetahuan
  • Sebagai nelayan , mereka sudah memiliki wawasan wacana perbintangan untuk menegaskan arah , dan wawasan alam wacana arah angin
  • Sebagai nelayan atau pelaut , mereka sudah memiliki wawasan bagaimana bikin bahtera , bahannya , kayu apa yang mesti dipergunakan dan sebagainya.
  • Pengetahuan wacana kelautan , kapan mereka mesti berangkat melaut atau kembali ke daratan.
  • Mereka memakai perahu-perahu kecil untuk menunjang aktivitas mereka sehari-hari , 
perahu-perahu penamaannya antara lain:
  • Panjala , bahtera khas Bugis dengan panjang 8 meter dan lebar 2 meter
  • Jolor , panjangnya 6 meter dan lebarya 1 ,5 meter
  • Pinisi berasal dari bahtera Padewakkang , bahtera utama suku Bugis pada periode ke -16. 

Perahu jarak jauh Pinisi gres ada pada permulaan periode ke-19. Putera mahkota kerajaan Luwuk yang berjulukan Sawerigading , tokoh legendaris dalam Lontarak I La Galigo diyakini yang pertama kali memakai bahtera yang berskala besar.

4. Sistem Teknologi
Sebagai suku bangsa pelaut , mereka sudah bisa bikin teknologi pelayaran yang cocok dengan alam lingkungan kelautan , perahu-perahu layar ciptaan mereka yang terkenal yakni pinisi dan lambo. Kedua tipe bahtera ini sudah teruji kemampuannya mengarungi perairan Nusantara dan sudah berlayar hingga ke Srilangka dan Filipina untuk dipakai berdagang.
Pinisi yakni kapal layar tradisional khas Indonesia yang berasal dari Suku Bugis dan Makasar Umumnya dipakai untuk pengangkutan barang antar pulau. Perahu yang mereka gunakan dibentuk oleh satu komunitas tukang bahtera dari Kecamatan Bontohari , Kabupaten Bulukumba , Sulawesi Selatan.
Kondisi geografis daerah ini berlainan dengan kecamatan lain di sebelah utara dan potongan barat Bulukumba. Di kecamatan ini sebagian besar tanahnya berisikan bukit kapur gersang dan cuma ditumbuhi padang rumput dan semak belukar. Sangat sedikit tanah yang sanggup dijadikan lahan pertanian. Itulah sebabnya pada lazimnya penduduk daerah ini menegaskan pekerjaan di sektor kebaharian , selaku profesi mereka yakni bertukang bahtera dan pelaut. Para pembuat bahtera ini yakni orang-orang Ara dan Bira , yang secara turun temurun mewarisi tradisi kelautan nenek moyangnya. Upacara ritual juga masih mewarnai proses pengerjaan perahu.
Pembuatan bahtera pinisi dijalankan di suatu galangan kapal sederhana yang disebut bantilang. Orang yang sungguh berperan dalam pengerjaan pinisi yakni punggawa (kepala tukang atau tukang ahli). Ia dibantu oleh sawi (tukang lainnya) dan kandidat sawi. Selain itu , dibantu juga oleh tenaga lain , sehingga secara keseluruhan melibatkan puluhan orang
5. Sistem Ekonomi
Penduduk Sulawesi Selatan pada lazimnya yakni petani dan nelayan , juga pedagang , pegawai pemerintah mau pun swasta. Mereka menanam padi dan palawija secara bergantian di sawah. Orang Bugis dan Makassar yang tinggal di daerah pantai , mencari ikan merupakan mata pencaharian yang sungguh penting. Mereka menangkap ikan dengan bahtera layar. Sebagai nelayan setidaknya sejak tahun 1650 mereka secara terorganisir berlayar ke perairan Australia sebelah utara untuk menangkap teripang , yang sesudah diasapi dijual terhadap tengkulak untuk di ekspor ke China. Banyak orang dari Wajo serta Bulukumba yang menciptakan tenunan sarung sutra.
6. Sistem Religi
Jaman Pra – Islam
Religi orang Bugis dan Makassar dalam zaman Pra-Islam , menyerupai yang terlihat dari Sure’ Galigo , sudah memiliki suatu keyakinan terhadap satu tuhan yang tunggal yang disebut dengan beberapa nama seperti:
  • Patoto-e (Dia Yang Menentukan Nasib) , 
  • Dewata Seuwa-e (Dewa Yang Tunggal) , 
  • Turie a’rana (Kehendak Yang Tertinggi). 

Sisa-sisa keyakinan usang menyerupai ini masih terlihat pada orang To Lotang di Kabupaten Sidenrang-Rappang dan pada orang Amma-Towa di Kajang , Kabupaten Bulukumba.

Sisa kepecayaan usang itu juga terlihat dengan adanya kalangan orang yang disebut Bissu , yakni pendeta Bugis Pra-Islam , sosok yang memuat dua elemen jender insan di tubuhnya. Ada rujukan yang menyampaikan mereka yakni transjender , lelaki yang memakai baju perempuan , tetapi ada juga yang menyebut mereka hermaprodit.

Bissu yakni calabai , ia tak boleh bermitra seks , mesti menjaga kesucian lantaran ia yakni penghubung insan dengan dewa. Penampilannya feminin-maskulin , dengan make up lengkap menyerupai perempuan , tetapi menenteng badik.

Konon kerabat kembar Sawerigading , yakni We Tanriabeng , yakni seorang Bissu. Pada zaman DII/ TII , mereka yakni sasaran tembak kalangan Kahar Muzakkar yang menilai Bissu selaku penyembah berhala. Hal yang serupa terulang tahun 1965 lantaran Bissu dianggap tak beragama.

b. Jaman Islam
Saat agama Islam masuk ke Sulawesi Selatan pada permulaan periode ke-17 , aliran tauhid dalam Islam mudah dipahami oleh penduduk yang sudah percaya terhadap Dewa Yang Tunggal dalam I La Galigo. Proses itu dipercepat dengan kontak terus-menerus dengan pedagang Melayu yang sudah menetap di Makassar , maupun dengan kunjungan orang Bugis dan Makassar ke negeri lain yang sudah beragama Islam.
Hukum Islam atau Syari’ah diintegrasikan ke dalam panngaderreng dan menjadi Sara’ selaku unsur pokok dan kemudian menjiwai keseluruhannya. Unsur dari keyakinan usang menyerupai pemujaan dan upacara bersaji terhadap roh nenek moyang atau attoriolong , pemeliharaan tempat keramat atau sukung , upacara turun ke sawah , upacara mendirikan dan meresmikan rumah dan sebagainya , seluruhnya dijiwai atau dirasuki oleh konsep-konsep dari agama Islam.
Dalam metode kerajaan Bugis-Makassar , hingga kerajaan itu menjadi swapraja di bawah kekuasaan pemerintah jajahan Hindia-Belanda , sara’ itu disusun menurut organisasi ade’ dan berkembanglah suatu pembagian lapangan di mana sara’ menertibkan kehidupan kerohanian dan ade’ menertibkan kehidupan keduniawian dan politik negara. Dalam tiap-tiap negara swapraja diadakan seorang pejabat sara’ tertinggi yang disebut Kadhi.
Dalam periode ke-20 utamanya lantaran efek gerakan pemurnian aliran agama Islam , menyerupai gerakan Muhammadiyah , maka ada kecondongan untuk menilai banyak potongan dari panngaderreng itu selaku syirk , langkah-langkah yang tidak cocok dengan aliran Islam
c. Keanekaan Agama
Sebagian besar penduduk suku Bugis dan Makassar yakni pemeluk agama Islam , juga ada yang memeluk agama Kristen Protestan atau Katolik. Umat Protestan atau Nasrani lazimnya berisikan orang Maluku , Minahasa , dan orang Toraja. Mereka ini tinggal di kota-kota , utamanya Ujung Pandang.
Dakwah Islam dijalankan oleh organisasi Islam yang amat aktif menyerupai Muhammadiyah , Darudda’wah Wal Irsjad , partai-partai politik Islam dan Ikatan Mesjid dan Mushalla dengan pusat Islamnya di Ujung Pandang. Kegiatan Misi Nasrani dan Penyebar Alkitab juga ada di Sulawesi Selatan
d. Upacara Adat
Upacara adatnya antara lain:
  • Prosesi Madduik , menjaga kelestarian dan keutuhan rumah susila , diiringi dengan kesenian penduduk karampuang menyerupai Mappadekko , Elong Poto , Buruda’ dan Sikkiri
  • Ma’Rimpa Salo (‘Menghalau ikan di sungai’) Manivestasi dari rasa syukur atas kesuksesan panen ikan dan panen padi
  • Ritual Palili , selaku tanda mulai menjalankan sawah
7. Kesenian
Makanan Khas:
  • Cotto Makassar , yang dibikin dari isi perut dan daging sapi. Dihidangkan dengan ketupat
  • Sup konro: daging sapi dengan kuah yang diberi keluwak. Dimakan dengan ketupat
  • Es Pallu Butung: Pisang diiris diolah dengan santan , tepung , gula pasir , vanili dan sedikit garam. Disajikan dengan es serut dan sirop merah (sirop pisang Ambon).
  • Barongko: masakan epilog yang dibentuk dari pisang kepok , ditambah buah nangka dan kelapa muda , yang dikemas dengan daun pisang dan dikukus.
Tarian
  • Tari Gandrangbulo: berupa teater tradisional
  • Tari Pakarena: menggambarkan cerita mistis perpisahan antara penghuni boting langi (kahyangan) dengan penghuni boting lino (bumi) pada jaman purba. Sebelum detik-detik perpisahan , penghuni boting langi mengajari penghuni boting lino mengenai tata cara hidup , bercocok tanam , beternak , berburu , lewat gerakan tangan dan kaki. Dahulu Tari Pakarena ini dipertunjukkan di Istana , tetapi dalam perkembangannya tari ini lebih memasyarakat.
  • Tari Patenun: menggambarkan cara menenun kain sutera
  • Tari Paraga: dimainkan oleh belum dewasa sampaumur untuk menyampaikan kepiawaiannya dalam memainkan bola yang yang dibikin dari rotan. Permainan ini juga untuk menawan perhatian gadis-gadis remaja.
Permainan tradisional:
Assanto’ (Makassar) , Massanto’ (Bugis) , Maggalanto’ (Bugis-Soppeng). Seni menunggang kuda ala belum dewasa (yang berumur antara 8-12 tahun). Permainan ketangkasan ini menujukkan cara berburu atau berperang dengan menunggang kuda.
Pakaian Tradisional
Pria
  • Songko’ure cak: topi selaku simbol status sosial
  • Upa sa’be (sarung sa’be)
Wanita
  • Baju bodo
  • Lipa sa’be (Satrung sa’be) , yang dibikin dari sutera
  • Perhisan pada kepala , dan gelang
Senjata tradisional: 
  • Badik Sari
  • Badik Makassar: bilah pipih , battang (perut) buncil dan tajam , ujung runcing
  • Badik Bugis: bilah pipih , ujung runcing dan agak melebar
Catatan :
  • Sistem budaya orang Bugis – Makassar terkandung dalam legenda I La Galigo
  • Falsafah hidupnya terkandung dalam rancangan Siri’ Na Pacce’ , Sikapatau
  • Kultur haji juga mempengaruhi metode sosial masyarakatnya
  • Sebagai pelaut yang handal mereka menguasai ilmu kelautan dan teknologi perkapalannya
  • Perekonomiannya sebagian besar ditopang oleh mata pencahariannya yang ada keterkaitannya dengan kelautan
Sumber:
Buku BAHAN AJAR BUDAYA NUSANTARA , Oktober 2011 , Dr. Woro Aryandini , SS , MSi dan tim
Untitled 3DAYAK

Seorang pakar sosial budaya yang aktif pada berbagai kegiatan sosial kemasyarakatan. Telah menempuh pendidikan di salah satu universitas swasta terbaik di Indonesia yang mengambil jurusan sosial budaya.

Pos terkait