Sejarah Dan Budaya: Ceritra Sawerigading 2 (Versi Group Sejarah Tanah Luwu)

Gambar Gravatar
MuslyAnwarE2808E

Cerita berikut kita arahkan di negeri Pujananti Sunra Riaja , tempat tinggalnya Toballa Unnyi Nyili’Meyong

Musly%2BAnwar%25E2%2580%258E
Gbr: Ilustrasi Sawerigading
by: Musly Anwar

Selanjutnya perhatian kita arahkan terhadap suatu kerajaan/negeri Pujanting Sunra Riaja , tempat bermukimnya Toballa Unnyi’Meyong , raja yang amat besar kekuasaannya di negeri Pujananting. Baginda bertujuan dan bertekad untuk menyerang I La Galigo serta mengacaukan tanah Ugi , dikarenakan sudah tersebar kemana-mana akan sikap I La Galigo bareng segenap sepupunya yang macobo-cobo; maccariwakka dari anak datu yang tujuh puluh orang itu. Tidak segan terhadap sesamanya raja. Hanya diri merekalah dianggapnya raja dikolong langit. Manakala ayam jago miliknya membunuh ayam jago lawannya , maka secepatnya merekapun mengungguli pertaruhan dan sewaktu-waktu ayam jawaranya terbunuh maka iapun akan memenggal ayam jago milik lawannya.

Bacaan Lainnya

Konon sudah tiga tahun lamanya Toballa Unnyi mengadakan pengerjaan perahu yang kelak akan dipergunakan untuk menyerang tanah Cina’ , memerangi Tanah Ugi. Sudah hingga pula kabar isu terhadap baginda Sawerigading , bahwa Toballa Unnyi yang dipertuan rakyat Sunra sudah merencanakan perahu selama tiga tahun lamanya untuk memerangi negeri Cina’ serta menghacur leburkan Tanah Ugi.

Bertitahlah Sawerigading:
“Wahai ananda Galigo. Berlayarlah ke Pujananting (Pujananti; saya membacanya : Pujananting) , dan seranglah Sunra Riaja , negeri kekuasaannya Toballa Unnyi’. Janganlah hendaknya ananda hingga kalah oleh paduka raja yang dipertuan di negeri Sunra Riaja itu.”

Maka berangkatlah I La Galigo bareng segenap sepupu dan laskarnya menuju Pujananting , wilayah kekuasaan Toballa Unnyi’. Tiada berapa usang berlayar , I La Galigo pun tiba diperairan Sunra Rilau yang tergolong wilayah kekuasaan saudaranya Toballa Unnyi’.

Paduka raja Sunra Rilau sendiri yang melaksanakan penjemputan sambil berkata:
“Selamat tiba wahai yang mulia. Masuklah ke dalam negerimu ini. Patik memiliki anak gadis. Hanya jabang bayilah nian tidak memedulikan akan kecantikannya.

Bersandinglah dengannya di atas pelaminan , jadikanlah ia penunggu bilik dan pendamping (yang akan melayani kebutuhanmu).”

I La Galigo menjawab dengan tegas sambil berkata:
“Bukanlah masalah perjodohan yang menjadi tujuan pelayaranku. Bukan pula gadis juwita yang ku idamkan sehingga melayarkan perahu dan mengarungi samudera.”

Demikian ucapan La Pananrang:
“Janganlah hendaknya wahai ananda Galigo dikau menolak anjuran baginda Raja sunra. Bagaimana pun juga , hal itu akan membuat bentrokan senjata di antara kedua belah pihak. Padahal ananda diserahi suatu negeri. Naiklah wahai ananda Semmagga di istana dan bersandinglah dengan Daeng Malino di atas pelaminan. Nati sesudah engkau menikah gres kita melanjutkan pelayaran ke Sunra Riaja.”

Tanpa membantah sepatah katapun , I La Galigo kemudian naik ke atas istana , kemudian duduk bersandinglah Dettiya-Uleng/Ripakkalipu (dipadukan) ikatan perjodohan antara keduanya , kemudian dijahitkanlah tali perkawinannya/sesudah itu barulah I La Galigo berkata:

“Maafkalah daku wahai adinda yang mulia , hadapkanlah wajahmu kepadaku , kemudian pasangkanlah ahkota ke atas kepalaku , lilitkanlah pula tali pinggangku. Kuhadiahkan kepadamu tujuh wilayah di Ale Cina’ , sekian pula banyaknya di Ale Luwu.”

Daeng Malino tidak bergeming dan tidak menjawab sepatah katapun perkataan suaminya. Berkatalah I La Galigo:
“Maafkalah diriku wahai adinda We Lino. Kalaupun saya tidak menjamah tubuhmu , maka itu disebabkan pantangan perang.”

Daeng Mallino menjawab:
“Semoga nian kanda selamat , tak kurang suatu apapun. Nantilah , jikalau kakanda kembali dari medan pertempuran untuk menyerang negeri kekuasaan pamandamu , barulah kita bermesraan di atas ranjang pengantin.”

Menyahutlah ayahanda Daeng Mallino sambil berkata:
“Mengapa gerangan dikau tidak sudi mengenakan busana suamimu wahai ananda. Biarlah dia mengenangmu dalam peperangan.”

Barulah Karaeng Tompo rela memasangkan mahkota ke atas kepala suaminya besrta memasangkan sabuknya.

Maka berkatalah La Galigo:
“Kanda mohon diri wahai adinda We Lino. Tinggallah dalam rumah dan doakanlah ke Pettala Langit mudah-mudahan kakanda beroleh keamanan hingga kembali pula kemari.”

Maka berangkatlah I La Galigo menuju perahunya , diiringi oleh sgenap sepupu dan laskarnya , berlayar menuju ke negeri Sunra Riaja , wilayah kekuasaan Raja Toballa Unnyi’. Syahdan , tibalah I La Galigo dan didapatinya ribuan perahu di pelabuhan.

Maka La Pallajareng pun secepatnya mengajukan pertanyaan terhadap petugas penjaga perahu tadi sambil berkata:
“Mengapa gerangan hingga demikian banyak perahu di pelabuhan ini , jumlahnya hingga ribuan buah.”

Penjaga perahu itu menyembah sambil berkata:
“Sudah tiga tahun lamanya wahai paduka yang mulia , raja kami merencanakan perahu. Baginda bertujuan untuk berlayar ke Tanah Ugi di negerinya I La Galigo Toboto’E I Lasemmaga PassawungngE. Akan diperanginya negri Cina.”

Betapa murkanya La Pammusureng mendengar ucapan sang pengawal tadi , maka ditangkapnya kemudian diikatkan diatas perahu , Sesudah itu I La Galigo dengan segenap sepupunya mendarat sehingga mengejutkan hati Raja Sunra , Toballa Unnyi’. Merekapun eksklusif menuju pendopo.

Bingunglah perasaan hati Toballa Unnyi’ dan usang barulah ia mengeluarkan bunyi sambil berkata:
“Tuan-tuan berasal dari mana , dan darimana asal kelahiran tuan-tuan.”

I La Galigo menjawab:
“Saya berjulukan La Puraga , bergelar To Appamaling putera dari La Wajolangi di Marapettang. Tujuan kami kemari merupakan ingin menyabung ayam. Kami menyimak kabar , tiada terperikan ramainya sabungan ayam di negeri Sunra. Berkisar tujuh puluh pasang ayam jago di langgar setiap hari. Benag pengikat taji bertumpuk , patahan taji berceceran di mana-mana. Emas pun tinggal diraup sebagaimana halnya jawawut , setiap orang bebas memasuki gelanggang langgar ayam. Itulah yang mendorong kai melaksanakan pelayaran , mengarungi lautan lepas.”

Berkata pula I La Galigo:
“Disebut-sebut pula , bahwa kabarnya Paduka berminat berlayar ke Tanah Ugi , untuk memerangi negeri kekuasaan I La Galigo…..Semoga nian Paduka selamat dalam pelayaran mudah-mudahan kelak sanggup menghantarkan saya , lantaran saya sudah tiba di Tanah Ugi untuk mengadu ayam dinegerinya I La Galigo. Selama tiga kali kami melepas ayam jago , tetapi karenanya saya mengundurkan diri , tanpa berani mengangkat senjata menentang I La Galigo , alasannya negeriku kecil dan laskarkupun kurang memadai.”

Toballa Unnyi menjawab sambil berkata:
“Rupanya engkau sudah pernah berkunjung ke Tanah Ugi. Harap tuan menceritakan paras tampang I La Galigo. Bagaimana gerangan roman mukanya I Lasemmaga. Konon kabarnya I Lasemmaga itu macobo-cobo , sedangkan sepupunya yang tujuh puluh orang itu macariwakka……Kelak mudah-mudahan akulah yang sukses tiba di tanah Ugi , untuk memerangi negerinya I La Galigo. Jikalau ilahi langit merestui dan tercapai maksud hatiku , maka tentu kubumihanguskan negerinya Topadammani , kemudian kurebut isterinya yang tiga orang itu. Saudaranya akan kujadikan tukang pijat , ibundanya kujadikan juru masak , ayahandanya yang berjulukan Sawerigading itu kujadikan pengawal kolong istana kerajaanku , sedangkan para anak datu yang tujuh puluh orang itu kutugaskan membajak sawah dan memperbaiki pematang.”

Betapa murkanya belum dewasa datu yang tujuh puluh orang itu mendengrkan sebutan kata Toballa Unnyi’. Ketika itu menolehlah La Pananrang sambil memebrikan instruksi dengan kerdipan mata terhadap belum dewasa datu tadi. Maka meloncatlah La Pammusureng ke depan sambil berkata:

“Mari kita menyabung ayam wahai Toballa Unnyi’. Biar kita meramaikan gelanggang milikmu dengan ayam berlaga. Kelak jikalau engkau sudah berlayar ke Tanah Ugi untuk berperang , maka akan tinggalah pendopo ini dalam kondisi sunyi sepi , tanpa adanya hiruk pikuk sabung ayam.

La Pammusureng secepatnya menyambar seekor ayam jago. Demikian pula Toballa Unnyi’ , kemudian keduanya bahu-membahu naik keatas gelanggang.

Berkatalah Toballa Unnyi’:
“Sebutkanlah jumlah taruhan ayam jagomu”

La Pammusureng menjawab sambil berkata:
“Kita pertaruhkan perahu tumpanganku dengan seluruh perahu yang engkau siapkan berlayar kenegeri Cina’. Kita pertaruhkan antara isterimu dan isteriku. Kita pertaruhkan antara ayahandamu dan ayahandaku. Kita pertaruhkan segenap laskar kita.”

Kedua pembesar itupun sepakat , maka tajipun dikenakan pada ayam jago masing-masing , kemudian bahu-membahu memasuki gelanggang dan melepaskan ayam jagonya.

Hanya tujuh kali kedua ayam jago itu bergebrakan , maka terjengkanglah ayam jago milik La Pammusureng. Toballa Unnyi’ bergegas menyambar ayam jawaranya , untuk dielu-elukan.

Namun secepat kilat La Pammusureng mencabut keris pusaka dan ditebasnya batang leher ayam jago milik Toballa Unnyi , sambil berkata:
“Seri! Aya jago kita sama besar lengan berkuasa , wahai paduka yang mulia raja Sunra. Rupanya tidak satupun diantara kita yang ditakdirkan Sang Hyang Dewata untuk menjadi penguasa tunggal.”

Toballa Unnyi’pun menyahut:
“Tetapi terang ayammu mati terkapar diatas tanah , sedangkan yamku mati lantaran engkau penggal.”

La Pammusureng membungkukkan tubuh , memungut bagkai ayamnya dan tiba-tiba ditimpukkannya ke wajah raja Sunra , disusul dengan tikaman keris pusaka. Masih beruntung lantaran ada pengawal setia raja Toballa Unnyi’ bersedia mengorbankan dirinya. Ia menghadang didepan Toballa Unnyi sehingga terbabat keris pusaka milik La Pammusureng. Badannya terpenggal , sepotong jatuh tengkurap , sepotong lagi terlentang.

Sambil meludah berkata La Pammusureng:
“Apakah engkau suka atau tidak dengan tindakanku membunuh ayammu , tetapi rupanya engkau belum mengenal wahai raja sunra , akan I La Galigo Toboto’E I Lasemmaga PassawungE yang engaku senantiasa imingkan untuk menterang negerinya. Nah….bukalah matamu lebar-lebar dan lihatlah kini para anak datu tujuh puluh orang itu dihadapanmu!”

Syahdan , maka para laskar kedua belah pihak kemudian saling terjang. Peperanganpun tidak terelakkan lagi. Gemerincingan senjata dan perisai emas beradu begema diangkasa , tidak ubahnya bunyi kerbau yang sedang bertarung. Orang-orang luka berjatuhan , para laskar tidak sempat lagi meneguk air. Keduanya silih berganti terdesak , tetapi pertempuran berjalan siang-malam. Pada karenanya Toballa Unyyi’ terpojok bibawah payung kebesarannya. Siddo’minasa TobuloE serta merta mendekatinya dan bertujuan membunuhnya ,

namun La Pananrang berkata”
“Hendaknya Toballa Unnyi jangan dibunuh , lantaran Baginda Opunna Ware mudah-mudahan ia itangkap hidup-hidup untu dibawa pulang ke tanah Ugi , kemudian dipertontonkan terhadap rakyat Cina , orang yang sudah lancang….ungkapan katanya.”

Maka ditangkaplah Toballa Unnyi hidup-hidup , kemudian dibelenggu. Seluruh laksarnya menyatakan diri takluk sambil bersumpah , “bersedia menerima rencana , rela hancur-binasa , tetapi takkan pernah lagi berani menentang titisan darah keturunan Sang Manurung di tanah Luwu yang sedang bertempat tinggal di Tanah Ugi.

Maka berlayarlah I La Galigo bersepupu dan segenap laskarnya kembali ke Tanah Ugi. Nantilah di Cina sang tawanan di bunuh sesudah disaksikan oleh sgenap rakyat Cina di hadapan bagind Opunna Ware , barulah Toballa Unnyi ditenggelamkan didasar samudera enjadi santapan ikan.

Sesudah itu I La Galigo bersepupu kembali bertolak kembali menuju Sunra Rilau , tempat isterinya , Karaeng Tompo Uleng Mallino.

Konon ceritanya , sudah tujuh bulan lamanya I La Galigo tinggal di Pujananting Sunra Rilau , bercumbu rayu dengan isterinya. Bahkan sudah tiga bulan lamanya Uleng Mallino mengidam.

I La Galigo tidak lagi mengingat isterinya yang tiga orang itu di Tanah Ugi. Malahan sampai-sampai orang tuanyapun tidak dikenang lagi. Ia sudah lupa diri sibuk bermesraan tidak henti-hentinya dengan Daeng Mallino.

Terpikir juga dalam hatinya La Galigo:
“Sungguh elok nian Daeng Mallino , sangat bahenol Karaeng Tompo. Betul-betul kembang bilik yang tidak akan pernah layu , senantiasa segar dan hati ini senantiasa berkuncup , kalau mendampinginya tidur di atas ranjang.

Setelah beberapa usang di Pujananting , La Pananrang lal berkata terhadap La Galigo:
“Tidak ada jalan lain bagi kita , kecuali mesti kembali dulu ke Cina’ , wahai ananda Galigo , untuk menyodorkan laporan terhadap ayahandamu Opunna Ware sambil menemui sang isteri yang tiga orang itu di tanah Ugi. Tinggallah ibundamu disana dalam kondisi galau , menantikan kedatanganmu kembali mencampakkan sauh didermaga Tanah Ugi.”

I La Galigo membalas:
“Kalau begitu biarlah ananda menenteng serta berlayar adinda Daeng Mallino ke Tanah Cina’.”

Berkata pula La Pananrang:
“Tidak layak wahai ananda Galigo jikalau engkau mengajak isterimu berlayar hingga ke Cina’. Tentu ananda cukup maklum dengan pembawaan isteri-isterimu yang ada di Tanah Ugi. I We Lampuce Datu Paccing pemarah , We Tenrimono Datu Tempe yaitu orang paling suka mencela , sedangkan I Da Battangeng Punna Lipu’E Cina Rilau cepat tersinggung. Selain itu , pamanda kira bahwa pantanglah bagi seorang perempuan hamil untuk mengarungi lautan. Tabu baginya melayari samudera.”

I La Galigo pun menoleh terhadap isteri kesayangannya sambil berkata:
“Maafkalah daku wahai adinda We Lino. Tenangkanlah perasaan hatimu dan biarkanlah daku berlayar ke Cina’. Kanda sedang kangen terhadap ayah kita Opunna Ware suami isteri. Kandapun merasa rindu terhadap adik kita We Tenridiyo dan Tenribalobo , demikian pula kanda terkenang terhadap kakak kita We Makkawaru.”

Sambil tersenyum simpul , membatin Uleng Mallino:
“Pintar nian laki-laki ini bertutur kata lagi bijaksana dalam berpikir. Ia rindu terhadap isterinya yang tiga orang di negeri Ugi , tetapi yang diucapkannya iyalah rindu terhadap Opunna Ware suami isteri.”

Lalu dilanjutkannya berkata dengan lembut terhadap suami yang dikasihinya:
“Sesungguhnya hutang itu mesti dibayar wahai kanda Galigo. Kalau memang bukan milik sendiri , pasti akan kembali juga terhadap pemiliknya. Kakanda tiba menyerupai angin semilir berhembus sepoi-sepoi , kemudian hinggap mirip kupu-kupu.”

I La Galigo tidak sanggup menahan cucuran air matanya , kemudian berkata:
“Hancur binasalah wahai adinda We Lino , sekiranya kanda berkata bohong , dan beromong kosong kepadamu. Kalaupun kanda tak membawamu berlayar , tidak lain hanyalah lantaran tabu bagi perempuan yang hamil menyeberangi lautan. Yakinlah wahai adinda We Lino , bahwa kanda akan kembali ke Pujananting sebelum berlalu bulan mendatang ini.”

Dengan lembut , berkatalah Daeng Mallino terhadap kakandanya:
Sesungguhnya adinda cukup tahu kebiasaan laki-laki dalam berkata. Adinda pn tahu akan impian lelaki. Bukankah ayahanda yang menitiskanku juga seorang lelaki.

Memang sudah pembawaan laki-laki untuk berkata bohong menyatakan hal yang tidak sebenarnya. Lain dihati lain pula dibibir. Sudah kebiasaan laki-laki berkata bohong tiada habis-habisnya jikalau sedang bermesraan di ranjang. Manakala kita sedang bermesraan di atas pembaringan , segala macamlah janji-janji yang muluk-muluk , tidak mungkin berpisah dengan isterinya , sehidup semati. Namun sesudah nafsu birahinya sudah tercukupi , setiap janji-janjinya sudah terlalaikan sebelum ia melalui ujung tangga. Sumpah setianya tidak dikenang lagi.”

Mendengar ucapan ini La Galigo pun serta merta merangkul isterinya , kemudian didudukannya diatas pangkuannya. Diciuminya isterinya sambil mengusap-usapnya lantaran kegembiraan yang meluap-luap. Kemudian ia berkata:

“Kakanda bersumpah wahai adinda We Lino , biarkan perahu kakanda tenggelam di tengah samudera sebelum tiba di negeri Cina’ , jikalau sekiranya apa yang kujanjikan itu ternyata bohong.

Kanda mohon maaf wahai adinda We Lino dan teangkanlah perasaan hatimu. Relakanlah kakanda berlayar ke negeri Cina’. Akan kuhadiahkan kepadamu sebanyak tujuh negeri di Luwu , sekian pula banyaknya di Cina. Sekiranya putera kita lahir kelak dengan selamat , namakanlah ia La Mappanganro Ripujananting Dg. Kalalla Rigossabare. Sekiranya ia lahir perempuan , berilah ia nama We Lenna Singkerru Ugi Masagalae Ripujananting.”

Daeng Mallino menjawab:
“Kalaupun janin dalam kandunganku ini lahir dengan selamat dan ia pria , akan kunamai La Mappanganro TomannippiE Sunra Riaja , lantaran tak ubahnya dinda cuma berkhayal bersamu tak lebih dari separuh malam di dalam bilikku. Jikalau ia perempuan akan kunamai ia We Tenriwakkang Ripuwanna , dengan gelar Daeng Massenge Sibalimuwa RimappajungngE.”

La Pananrang membatin dalam hatinya:
“Jikalu dituruti kehendaknya I La Galigo , tentu kita akan tinggal selama beberapa tahun di Pujananting , sebelum kembali ke Cina’” maka , La Pananrang pun mewakilkan mudah-mudahan seluruh busana kebesaran I La Galigo dikumpulkan dan secepatnya berlayar kembali ke tanah Ugi. Daeng Mallino jugalah yang mengenakan mahkota kebesarannya , melilitkan sabuk serta menyelipkan keris pusaka di pinggang suami yang dikasihinya.

Berkatalah La Galigo:
“Sudilah kiranya adinda mengantarkan kanda hingga ke pintu istana. Janganlah kembali kebilik hingga usungan yang menenteng diriku lenyap dari persepsi matamu. Berikanlah pula sekapur sirih wahai adinda , selaku pengganti dirimu mendampingiku hingga ke Cina’.”

KAraeng Tompo memperkenankan usul suaminya. Dilumatnya sekapur sirih , kemudian ampasnya diserahkan terhadap I La Galigo untuk dikunyahnya pula. Sesudah itu berangkatlah I La Galigo dengan usungannya menuju WalenrangngE.

Syahdan , maka berlayarlah I La Galigo bersepupu dengan segenap laskarnya. I La Galigo tidak dapat menetralisir bayangan isterinya yang ditinggalkannya di Sunra.

Setelah berlayar selama puluhan malam tanpa menaruh dayung , para juru bantu dan juru mudi bergiliran melakukan tugasnya masing-masing dengan cermat , menyingkir dari kandasnya perahu , maka I La Galigo pun tiba di perairan Cina’ , lal mencampakkan sauh.

Beliau eksklusif menuju ke istana kerajaan Latanete , sambil menenteng serta Toballa Unynyi yang masih dalam kondisi terbelenggu. Beliau kemudian menghadap di tampang Baginda Opunna Ware. Setelah duduk dihadapan ayahandanya , ia pun menawan batang hidung Toballa Unnyi sambil meludahi mukanya , kemudian berkata :

“Wahai Toballa Unnyi , pandanglah wajah ayahk , orang yang akan kau jadikan pengawal istana negerimu dan bukalah matamu lebar-lebar mudah-mudahan engkau sanggup menatap adikku We Tenridio Tenribalobo yang akan engkau jadikan tukang pijat.”

Berkatalah Sawerigading :
“Wahai ananda Galigo janganlah dikau tumpahkan darahnya Toballa Unnyi. Adalah suatu pantangan mengalirkan darah Raja Sunra. Suruhlah pengawal membawanya ke bahari lepas yang dalam , kemudian tenggelamkanlah ke dasar samudera.”

******************
berikut kisah La Mappanganro ke negeri Cina’ menemui ayahndanya La Galigo.

Kata sahibul hikayat , tiga tahun berselang sesudah kelahiran La Mappanganro di Pujananting. Ketika ia mulai menanjak cukup umur , ia pun bertekad dalam hatinya untuk menyusul ayahandanya ke negeri Cina’. Namun ibundanya tidak memberi restu , lantaran diketahuinya bahwa letak negeri Cina itu amat jauhnya. Kendatipun demikian La Mappanganro tetap bertekad untuk berlayar , tanpa mengindahkan larangan ibundanya.

Demikian pula halnya dengan Aji Laide ri Wiring Langi’ senantiasa timbul dalam hatinya impian untuk mengarungi samudera luas menuju ke negeri Cina’. Adapun halnya La Mappanganro di saat tiba dinegeri Cina menyembunyikan identitas dirinya. Ia tidak mau berterus terang terhadap ayahandanya. Maka ia pun memasuki ibukota kerajaan di Latanete , dimana ia menantang ayahandanya untuk mengadu ayam.

Syahdan , maka tiga kali berturut-turut ayam jago milik La Mappanganro merubuhkan lawannya , tetapi tiga kali pla ayam jawaranya sendiri di tebang putus oleh keris pusaka ayahandanya , sehingga ia terpaksa mengangkat senjata , menantang ayahandanya bersepupu. Maka , pecahlah pertempran sengit antara ayah dan anak kandungnya. Pertempuran it barulah rampung sesudah ada surat penyampaian yang diantarkan oleh I Yabeng dari Pettala Langit. Satu surat tiba dipangkuan La Mappanganro , sepucuk pla jatuh diatas pangkuan I La Galigo. I La Galigo pun memungut surat tadi kemudian membaca isinya dan sesudah dikenali tujuannya , ia pun jat terlentang. Setelah beberapa usang kemudian barulah ia bangun sambil menawan nafas panjang , lal berkata:

“Celaka! Ternyata putraku sudah tiba dari Sunra , sengaja tiba mencari ayahandanya , sementara saya tidak mengenalnya.”

Lalu disabdakanlah terhadap sepupunya :
“Sudilah kiranya dikau wahai kakanda La Sulolipu bareng La Pawennari menghentikan pertempuran dan mendiamkan segenap laskar. Ternyata kita tela memerangi puterak dan negeri Sunra tanpa disadari.”

Maka seluruh laskar ditarik mundur dan ditenangkan. Sesudah itu barulah I La Galigo bareng segenap sepupunya berangkat ke pelabuhan , eksklusif naik ke ats perahu Wettoimpero Uleng LoloE , kemudian serta merta ia menjangkau putranya dan mendudukkan dipangkuannya sambil tak hentinya menciumi wajah sang anak serta diusap-usapnya sambil berkata:

“Wahai anada La Nganro , janganlah hendaknya dikau berkecil hati atas ketololan ayahandamu , sehingga engkau sudah kusonsong dengan perang dahsyat dimedan laga. Itu semata-mata lantaran ayahanda tak mengenalmu , terlebih ananda meyembunyikan identitas diri , sedangkan ayahanda sedemikian dungu tanpa menggunakan nalar sehat , sehingga mengangkat senjata dan memerangimu.”

La Mappanganro tidak berkata sepatah katapun. Ia tidak sudi menjawab perkataan ayahndanya. Dibebaskan diri dari rangkulan ayahandanya sambil tersedu-sedu memikirkan kebrutalan ayahandanya. I La Galigo menjangkau dan merangkulnya kembali , kemudian dipangkunya kemudian berkata dengan lembut :

“Maafkalah daku wahai ananda La Mappanganro , ananda La Nippi dan hilangkanlah perasaan murkamu terhadap ayahanda. Tenangkanlah fikiran dan rinagnkanlah langkahmu , untuk turut ke istana La Tanete. Dika jualah putera mahkota pewaris tampuk kerajaan di Cina berhak atas segenap dedikasi rakyat banyak di Tanah Ugi.”

Tetap saja La Nganro tidak sdi membka lisan , ia bngkam seribu bahasa. Air matanya jua bercucuran dengan derasnya. Berkatalah To Tenri Ciling bareng Tolinroije (penasehat La Nganro dari Sunra).

“Jawablah perkataan ayahandamu wahai anada La Mappanganro , jangan hingga dikau menjadi kualat dan terkena kutukan , lantaran membangkang terhdapa orang tua.”

Barulah La Panganro membuka lisan , kemudian berkata:
“Bukanla lantaran murka , bkan pula kebencian maka hamba tak sudi menjawab perkataan ayahanda , melaikan perasaan kecewa , mengingat kebrutalan ayahanda. Jelas tiga kali ayam jagok beroleh kemenangan , tetapi tiga kali pula ayam jagoku dipenggal kepalanya , malahan ia tega mengangkat senjata dan memerangi ananda di medan laga.”

Serta merta La Galigo menjangkau puteranya , kemudian dinaikkan ke atas usungan dan dibawanya menuju ke istana raja di Latanete , eksklusif naik ke Singgasana kerajaan.

Betapa suka citanya Sawerigading suami isteri , menyaksikan kedatangan cucunya sambil berkata :
“Wahai ananda Langanro ananda Lanippi , jangan hendaknya dikau pulang ke negeri Sunra sebelum engkau kujodohkan. Maka carilah wahai ananda Langanro ananda Lanippi puteri-puteri istana yang berkenan dihatimu , nantilah nenekda mempertimbangkannya.”

Sudah tiga tahun lamanya La Mappanganro tinggal di Latanete , melepaskan rindu dendamnya terhadap ayahandanya , sambil enghabiskan waktunya di arena sabungan ayam. Ia tidak ingat lagi pulang ke Pujananting. Berkatalah Tolinrojie bareng dengan Totenrigiling.

“Maafkanlah pamanda wahai ananda La Nganro. Sebaiknya kita pulang dulu ke Pujananti. Nun jauh disana tinggallah ibundamu dalam kondisi gusar , tidak tahu apa yang akan diperbuat , kecuali menangis dengan hati yang gelisah gulana , menantikan kedatanganmu kembali merapatkan perahu di pelabuhan”.

Syahdan , La Mappanganro pun berkemas-kemas bareng denga seluruh lasykarnya untuk berlayar kembali ke Pujananti , menemi ibndanya.

Selanjutnya kita alihkan perhatian terhadap I Lasangiyang ri Wiring-Langi’.
I Lasangiyang berkunjung ke Botting Langi’ , di istana neneknya yang berjulukan We Tenriabeng Daeng Manutte Mallajangnge ri kalempi’na (gaib di dalam biliknya).

Ia mengemukakan maksud hatinya , untuk berlayar ke Tanah Ugi , menapaki jejak langkah ayahandanya. Maka berkatalah We Tenriabeng.

“Berangkatlah wahai ananda Laide ke tanah Ugi , nanti nenekda mengantarkan suatu perahu ke Wiring-Langi’ yang akan kau gunakan melayari bahari lepas untuk menelusuri perjalanan ayahandamu. Hiburlah kakekmu Opunna Ware di negeri pengasingannya.”

Berkata pla We Tenriabeng:
“Kelak jikalau ananda Laide ananda Sangiyang , sudah tiba dengan selamat di tanah Ugi sekalian menambatkan perahu di pelabuhan , maka rahasiakanlah ayahandamu.

Ayahandamu itu sudah tersohor ke mana-mana , wacana ulahnya yang brutal bareng sepupu-sepupunya yang pada licik itu , mereka tidak menghormati sesamanya raja berdaulat , satu-satunya raja dibawah kolong langit.”

Sesudah itu Aji Laide menerima perahu yang dijanjikan oleh neneknya , dikirimkannya ke Wiring-Langi’.

Maka berangkatlah ia mengarungi lautan lepas , menuju ke negeri Cina’ untuk menelusuri jejak ayahandanya. Setelah belasan hari Aji Laide dalam pelayaran meninggalkan daerah Wiring Langi’ , tiba-tiba ia ajal angina ditengah lautan. Rupanya ia enggan menadahkan telapak tangan ke Petala langit , menghaturkan sembah ke Peretiwi , serta enggan memohon ampunan dari Toddang Tojang. Ia pun tidak sudi menampilkan sesajian berupa sebutir telur ke dasar lautan.

Pada dikala itu Simpuru Lonang , putera We Tenriabeng sedang melayangkan persepsi dari Petala Langit keseluruh penjuru permukaan laut. Dilihatnya perahu emas tumpangan Aji Laide yang terkatung-katung dipermainkan ombak , ajal angin bahari , sedangkan ia enggan menghaturkan sembah sujud terhadap Dewata di Petala langit , serta mempersembahkan sesajian sebutir telur ke dasar lautan.

Melihat hal itu Simpur Lonang melontarkan lembing dibarengi dengan kilat dan guntur.

Betapa kagetnya Aji Laide menyaksikan munculnya petir itu , maka disampoknya petir itu sehingga menyimpang entah kemana. Setelah itu lasykar Aji Laide sudah terlibat pertandingan dengan lasykar Simpur Lonang dari Ruwa Lette.

Berdatangan segenap setan gentayangan dari langit , I Labeccoci , I Suwala , To Alebboreng PolokaliE , tiba pula raja-raja setan menenteng anjing pemburu dan jerat.

melihat kondisi itu , Aji Laide berdiri dari dduknya , kemudian menudingkan jari tangannya terhadap raja setan Perosola-nya Simpuru Lonang , sambil berkata:

”Lancang benar dikau wahai raja Setan PerosolaE , maka engkau tidak mau mengenal Tuanmu ini dari Wiring langi’ turunan Baginda Sang Manurung di Luwu , yang sudah timbul dari ruas Bambu.”

Maka kocar-kacirlah para raja setan , pemberani andalan Simpuru Lonang , kemudian tampil sendiri memimpin pertempran.

Didatangkannya sepasukan lasykar tidak berkaki , tidak berlengan , dan juga tidak berkepala.

Tercekatlah perasaan hati La Massiniala , pengawal andalan Aji Laide sambil berkata:
”Wahai adinda Laide , tampilkan kedepan dan tutrkanlah silsilah keturunan leluhurmu. Sebab , saya menjadi sangsi sesudah menyaksikan ulat-ulat berperang tanpa kepala , tanpa kaki dan tangan.”

Maka tampillah I Lasangiyang sambil menuturkan silsilah keturunan leluhurnya:
”Sekiranya kalian yang sedang kuhadapi bertarung berasal dari Petala langit , maka saya yaitu keturunan I Lapatoto di Botting ri Langi’ , Baginda Raja yang berjodoh dengan Singkeru Wira Datu Palinge di Senrijawa , kemudian melahirkan Batara Guru yang manurung di ibu kota kerajaan Luwu. Jikalau kalian yaitu mahluk dari Peretiwi , akulah keturunan Lauren Riu dari Uri Liyung , yang kawin dengan We Loppareppa di Peretiwi. Beliau kemudian melahirkan We Nyili’Timo yang timbul dari busa Empong , ersama dengan usungannya , kemudian kawin dengan Batara Guru dan melahirkan Batara Lattu. Kalaupun kalian mahluk Toddang Tojang maka akulah keturunan We Linrutojang di Todang Tojang , kemudian menikah dengan We Malagenni , Paduka yang di Pertuan Raja Samudera yang bertahta di Wera WeroE Ute Ponga. Beliaulah yang kemudian menitiskan We Pada Uleng yang timbul di Sawang-me’ga. Ia kemudian menikah dengan La Urempessi di Natanna Tikka , kemudian lahirlah We Datu Sengngeng , yang kawin degan Batara Lattu di Luwu. Dari perkawinan ia lahirlah puteranya yang berjulukan Sawerigading , yang menikahi We Cudai di negeri Cina’Punna BolaE ri Latanete , puteri Baginda La Sattumpugi Raja Tanah Ugi suami We Tenri Abang di ibu kota kerajaan Cina. Beliau melahirkan puteranya yang berjulukan I La Galigo TobotoE I La Semmagga yang menikahi I Dabbatangeng di Cina Rilau. Beliau itulah yang melahirkan daku.”

Terkejutlah perasaan hati Simpru Lonang menyimak penuturan tadi. Ia kemudian menawan nafas panjang sambil berkata dalam hati , nyaris saja saya celaka. Ternyata dia yaitu kemenakanku sendiri yang tiada kukenali dan tanpa memberi perayaan , saya menyerangnya dengan lembing pusaka ditengah lautan. Bahkan kulempari pula denga petir.

Segera Simpuru Lonang berpindah keatas perahu I Lasangiyang , kemudian dirangkulnya Aji Laide serta diciumnya serta diusap-usap punggungnya. Setelah itu ia berkata:

”Tenangkanlah perasaan hatimu wahai ananda Laide , panjanglah usiamu. Kalaupun ada selembar bulu-bulu di badanmu yang gugur , pasti akan kutancapkan kembali dan sekiranya ada selembar rambutmu yang terputus , pasti akan kusambungkan kembali.

Maafkanlah Pamanda wahai ananda Laide. Tenangkanlah hatimu , nanti kuberikan kepadamu perisai gila , telle dan araso , selaku obat yang sanggup mentatkan kembali luka akhir tebasan senjata tajam ataupun mereka yang sekarat dimedan perang. Lupakanlah kebodohan Pamanda lantaran tiada mengenal dirimu , sehingga kuserang dengan tombak dibarengi kilat dan petir , tanpa memberi perayaan terlebih dahulu.”

Sesudah itu Simpuru Lonang secepatnya kembali ke Petala Langit eksklusif ke Istana Saokutta Pareppa’E.

Bertanyalah We Tenriabeng:
”Dari mana gerangan dikau , wahai ananda Simpuru Lonang. Kelihatan engka barusan terkena asap dupa?”

Simpuru Lonang menyahut sambil berkata:
”Ternyata cucunya ibunda Aji Laide sudah berlayar ke Tanah Ugi , menyusuri jejak langkah ayahandanya. Ia ajal angin di tengah lautan , sedangkan ia enggan mempersembahkan sesajian di samudera , maka kuseranglah ia dengan tombak pusaka ’Tanra TelluE’ , tanpa peringatan.”

Betapa murkanya We Tenriabeng mendengar pemberitahuan puteranya , sambil berkata:
”Wahai Simpuru Lonang , sekiranya engkau membunuh kemenakanmu , tentu ibunda kembali ke Luwu , negeriku di atas permukaan bumi.”

Sumber: KBM

by Luly Askar November 10 at 8:58pm   groups/sejarahtanahluwu

Untitled 3DAYAK

Seorang pakar sosial budaya yang aktif pada berbagai kegiatan sosial kemasyarakatan. Telah menempuh pendidikan di salah satu universitas swasta terbaik di Indonesia yang mengambil jurusan sosial budaya.

Pos terkait