Sejarah Dan Budaya: Ceritra Sawerigading 1 (Versi Group Sejarah Tanah Luwu)

Gambar Gravatar
15941434 10206669362687754 386061317374525721 n
Story About Sawerigading 
15941434 10206669362687754 386061317374525721 n
Gbr: Ilustrasi pertunjukan seni 
by: Musly Anwar

Sejarah Luwu tidak sanggup dilepaskan dari tokoh Sawerigading. Meski sebagian orang menilai tokoh Sawerigading cuma suatu mitos belaka. Buku Keadatuan Luwu Perspektif Arkeologi , Sejarah , dan Antropologi karya Moh Ali Fadillah dkk menerangkan wacana silsilah Sawerigading. Sawerigading merupakan putra dari Batara Lattu dan We Opu Senggeng. Sementara Batara Lattu merupakan putra dari Batara Guru dan We Nyilik Timok. Sawerigading memiliki kerabat kembar wanita yang berjulukan We Tenri Abeng. Setelah cukup umur , Sawerigading menikah dengan I We Cudai. Hasil dari perkawinannya ini melahirkan I Lagaligo , I Tenridio` , dan Tenribalobo. Ia juga memiliki anak berjulukan We Tenriwaru dari hasil pernikahannya dengan I We Cimpau.

I Tenridio` (I Dio’) salah sautu anak Sawerigading , menurut bahasa lokal (daerah Selayar) disebut Si Yang Tak Mandi. Pada suatu di saat I Dio’ terjangkit penyakit gagu (gangguan bicara , tidak dapat mengatakan normal) , sudah tiga tahun lamanya I Dio’ mengidap penyakit tersebut. Berdatanganlah seluruh dukun untuk mengobatinya , tetapi tidak ada pergantian apa-apa. Telah berdatangan pula segenap Bissu untuk mengupayakan penyembuhannya.

Bacaan Lainnya

sawerigadingBerkatalah Puang Matowa (Penasehat Raja) : 

“Tiada nian obat yang mau mempan menyembuhkan anada I Dio’ , kecuali diadakan upacara syukuran sebagaimana halnya yang penah dijalankan atas diri baginda Bissu Rilangi , We Tenriabeng di Luwu”.
Kemudian Puang Matowa menyertakan kata-katanya:
“Apabila tdak secepatnya diadakan antisipasi yang dikehendaki , kemudian diadakan upacara syukuran menurut yang pernah dijalankan atas diri We Tenriabeng , pada balasannya nyawa anakda Tenri Dio’ akan terbang , flora tidak akan berkembang subur , panen pun akan gagal , dan rakyat pun akan mengalami kesulitan yang amat besar.”
Betapa dukacitanya Sawerigading , Baginda pun jadi risau mempertimbangkan hal itu , lantaran upacara syukuran cuma bisa terealisasi sebagaimana mestinya , apabila diikuti perlengkapan khusus berupa ‘Genrang ‘mpulaweng ri Luwu’ , sedangkan gendrang tersebut tidak sanggup didatangkan kecuali apabila keturunan Sang Manurung ri Luwu yang mengantarkannya.
Sawerigading merasa amat bingung. Beliau sendiri yang mau kembali ke Luwu menjemput gendrang tersebut , tetapi tidak mungkin dijalankan lantaran dia pernah bersumpah tidak akan ke luwu dan menginjakkan kakinya lagi di tanah luwu.
I We Cudai (istri Sawerigading) tidak akan memperkenankan puteranya melaksanakan hal itu , lantaran katanya negeri Luwu itu terletak di ujung bumi , terlebih sawerigading (So’ We Ri Gading) punya hutng darah yang lumayan banyak terhadap sesama raja. Jangan hingga putera kita tenggelam , menjadi santapan hewan buas yang bertahta di lautan. Berkatalah Sawerigading : “Takkan ada seorangpun yang brani berbuat demikian wahai adinda Cu Dai. Kendatipun mereka memiliki 2 badan , berkepala tiga tetapi takkan lancang untuk menurunkan tangan janjkematian terhadap turunan Sang Manurung di Tanah Luwu. Apalagi hewan buas yang bertahta , menguasai samudera nan luas.”
Daeng Ri Sompa menjawab perkataan suaminya :”Apapun argumentasi Kakanda Opunna Ware! Nmun adinda tidak akan memperkenannkan putra kita mengarungi samudera untuk menjemput Genrang ‘mpulaweng ri Luwu.”
I WeCudai menmbahkan perkataanya : “Apa gerangan kiranya sehingga kakanda tidak berupaya menitahkan mudah-mudahan dibuatkan Genrang ‘mpulaweng untuk mengobati We Tenridio’.”
Sawerigading menjawab perkataan isterinya : “Wahai dinda Cudai! Menurut praduga kakanda walaupun seluruh emas yang ada ditanah Ugi ini dikumpulkan , tetapi tidak akan cukup untuk materi pengerjaan suatu genrang ‘mpulaweng. Bayangkan saja , Genrang ‘Mpulaweng yang ada di Luwu memiliki 70 utas tali pengikatnya , segalanya emas murni. Demikian pula Gong Genrang ‘Mpulaweng , ada sebanyak 70 utas tali gantungannya. Semua itu yang dibikin dari emas murni. Dari manalah akan diperoleh emas yang demikian banyaknya di negeri Cina ini?”
MAka menangislah Sawerigading sambil berkata: “Suratan nasibmu jualah ananda We Dio’ , lantaran sudah dilahirkan dinegeri yang miskin menyerupai Cina ini. Sekiranya engkau lahir di Luwu maka tidak ada sesuatu kebutuhan yang tidak tersedia.”
Putus asalah Sawerigading mengingat penyakit puterinya.
Menyahutlah I Lagaligo: “Ada kendala apakah , sehingga kulihat baginda Opunna Ware (Sawerigading) termenung-mneung , seolah-olah amat rawan.”
La PAllajareng menjawab : “Rupanya dikau belum tahu wahai adinda Galigo , tentang kerawanan hati yang amat besar bagi Paduka yang Mulia Opunna Ware , Sudah tiga tahun lamanya adik kita We TenriDio’ mengidap penyakit gagu. Menurut Puwang Matowa (Ketua Bissu) , penyakit itu disebabkan lantaran tidak dilakukannya upacara tradisional sebagaimana halnya ang dijalankan atas diri baginda putri Bissu Ri LAngi (gelar/panggilan Tenriabeng) di Luwu. NAmun upaara tidak sanggup dijalankan jikalau tidak diikuti genrang ‘mpulaweng serta gong mpulaweng ri Luwu. PAdahal tidak dpat didatangkan jikalau dihantarkan oleh keturunan lsg Sang MAnurung.”
Belum leps La pallajareng berbicara , bergegaslah La Galigo menemui ayahandanya yang sedang bermuram , kemudian berkata: “Janganlah hendaknya ayahanda berduka cita lantaran mengenangkan soal pelayaran ke Luwu , untuk menjemput Genrang ‘Mpulaweng. Biarkanlah ananda yang berangkat mengarungi lautan , kendati ibunda tidak akan memberi restu. Ananda akan tetap melaksanakan pelayaran itu.”
Bersuka citalah Opunna Ware mendengar pernyataan putranya , kemudian dia berkata: “Kalu demikian maka berangkatla dikau wahai anada GAligo , ajaklah bareng Pamandamu La PAnanrang dan La Massaguni , selaku jaminan mudah-mudahan orang-orang di Luwu percaya dan percaya atas dirimu. Jangan hingga kelak engkau tiba di Luwu sedangkan BAginda tidak percaya atas dirimu sehingga dia tidak sudi menyerahkan Genrang ‘Mulaweng Manurungnge itu. Bawalah berlayar Welenrangnge (kapal Sawerigading).”…..”Kelak jikalau engkau selamat tiba di Luwu , sembunyikanlah kehadiran pamanmu La Pananrang dan La massaguni. Maka hadapilah kakekmu , ayahanda dari pamanmu La Pananrang dan La Massaguni.”
Lanjut Sawerigading berkata:
“Wahai anada GAligo. Ada sebanyak 70 orang ibu tirimu yang berdomisili di Luwu. Datangilah mereka satu persatu secara bergiliran. Tinggallah selama lima hari lima malam pada masing-masing ibumu , kecuali di rumah ibu tirimu We Panangareng , tinggallah selama sepulu hari sepuluh malam. Upayakanlah wahai ananda Galigo , tidak tinggal lebih dari setahun , kemudian kembali ke Cina , dengan menenteng Genrang ‘mpulaweng manurungnge di Luwu.”
Sesuai dengan akad , maka berangkatlah La Galigo keesokan harinya bareng kedua pamannya dan segenap sepupu-sepupunya. 
Maka bertolaklah Welenrangnge menuju tanah Luwu. Dayung tak kunjung ditaruh , juru balang silih berganti melakukan kiprah , demikian pula juru mudi tetap berhati-hati enghadapi gelombang dan onggolan pasir (dangkal).
MAka tibalah perahu-perahu emas La Galigo di wilayah tangkapan para nelayan. I Lagaligo pun bertujuan memasukkan bahteranya ke muara sungai luas dan lebar itu. Berkatalah I Lagaligo terhadap para penjaga muara.
“Mengapa gerangan pintu gerbang muara ditutup? Sayapun tidak menyaksikan adanya ayam-ayam luar biasa berkeliaran?” 
Lalu dijawab ole para penjaga muara dengan telpak tangan disimpuhkan: 
“Rakyat Ale’ Luwu ini sedang berkabung , wahai paduka , dan tidak diperkenankan wahai paduka , orang yang tiba menenteng ayam luar biasa di Wattangpare.”
Berkaalah I Lagaligo: 
“Bukalah lang gerbang muara yang luas ini , mudah-mudahan bahteraku sanggup melalui dan masuk ke pelabuhan. Akupun bertujuan naik kedarat sambil menenteng ayam luar biasa di Tanah Luwu , untuk meamaikan kembali gelanggang emasnya Opunna Ware dengan enyabung ayam di arenanya.”
Penjaga muara sungai kemudian merangkapkan kedua tangannya sambil menyembah , kemudian berkata:
“Hamba mohonkan wahai paduka untuk tidak membuka palang muara sungai yang luas ini. Hamba takut wahai paduka , terhadap tuan hamba Sang Manurung ri Ale Luwu (BAginda raja Luwu/ BAtara Lattu).
Maka murkalah La Galigo. Beliau kemudian berdiri sambil menudingkan telujukknya , memberi perintah mudah-mudahan dibukakan palang muara. Maka serempak orang-orang Luwu membukakan palang sungai yang luas itu. Maka lewatlah Sang Welenrangnge hingga ke pelabuhan , mencampakkan sauh digulungkanlah pula kain layarnya Wakkawerowe. Tidak usang sesudah itu datanglah ayah kandung La Pananrang beriringan dengan ayah kandung La Massaguni. Sementara itu La PAnanrang dan La Massaguni pun disembunyikan diatas perahu. MAka berdirilah La Pangoriseng bersaudara didekat Welenrangnge , sambil menyahut:
“Maafkalah ketidak tahuan kami wahai para bocah (lagaligo dan rombongannya). Dari mana gerangan ngeri asalmu , dimana tanah tumpah darahmu , apa maksud dan tujuan kalian tiba ke Luwu ini. 
Tidakkah kalian mengenali bahwa rakyat di seluruh negeri Luwu ini sedang berduka cita , sudah sekian tahun lamanya paduka yang dipertuan di Kerajaan Luwu pergi merantau meninggalkan negerinya , sudah sekian lamnya pula gelanggang tabrak ayam tinggal kosong , sepi tanpa ada aktivitas tabrak ayam. Sekian pulalah….lamanya ayam-ayam luar biasa berbuluh putih dikesumba.”
La GAligo membalas dan merucap:
“JAuh amat nian negeri asalku. PAtik berjulukan La PAbokori (Siperantau) bergelar ToSibengngareng (Heran) , putera Lapura Elo di MArapettang (entah berantah). MAksud dan tujuan patik berlayar di Wattangpare , tiada lain ingin menyabung ayam , sekedar meramaikan gelanggang tabrak ayam.”
LA PAngoriseng menjawab dan berkata:
“Apakah tuan merasa selaku Paduka yang dipertuan di Luwu , ataukah tuan sudah menaklukkan wilayah kami seingga tuan ingin memaksakan kehendak sendiri. Walaupun di sekarang ini negeri Luwu sedang dilanda kemelut , penduduk pun sedang berdka-cita , tetapi patik tidak bakal membiarkan tuan memaksakan kehendak tuan , tanpa mengadu senjata , mengadu perisai , dan mempertarungkan laskar kita”
Menyahutlah I LAgaligo sambil berkata:
“Engkau rela mati wahai La Pangoriseng ataupun tidak rela wahai ayahandanya La Pananrang , tetapi saya takkan kembali ke negeriku sebelum menjejakkan kaki di tanah Luwu , untuk meramaikan kembali gelanggang gadingnya Sawerigading dengan sabung ayam.”
tercekatlah perasaan hati La Pangoriseng menyaksikan Sang Bocah itu. Ia pun sungguh menyerupai dengan Sawerigading dimasa remajanya. Bocah disebelah kananya menyerupai sekali dengan La Pananrang , sedangkan yang disisi kirinya menyerupai sekali dengan La Massaguni. Ia pun mengenal semua nama La Pangoriseng bersaudara , serta para ningrat tinggi.
Terbetik dihati Pangoriseng bahwa besar dugaanku sang bocah merupakan putranya LaMaddukelleng diperantauan , yang mau tiba kenegeri Luwu tanpa ingin dikenal. Lalu La Pangoriseng mengulangi ucapannya:
Wahai Raja muda. Mohon kiranya sudilah paduka mengutarakan hal yang sebenarnya. Sebutkanlah nama paduka , serta nama orang bau tanah paduka. Kemudian paduka naik kedaratan , ramaikanlah gelanggang dengan sabung ayam di pendopo.”
Ketika itu La Pananrang dan La MAssaguni menampakkan diri sambil berkata:
“Wahai ananda Galigo , janganlah hendaknya anada terlalu usang mempermainkan kakekmu , lantaran perjalananmu ini amat tergesa-gesa , bahkan kita dihentikan berlama-lama di Luwu.
Betapa sukacitanya perasaan hati La Pangoriseng bersaudara di saat dilihatnya putra-putra mereka. Beliau pun secepatnya meloncat keatas perahu La Welenrangnge; kemudian dirangkulnya I La Galigo dan diciuminya parasnya sambil berkata:
“Wahai ananda GAligo , janganlah dikau tergesa-gesa mendarat ditanah Luwu , sebelum kakek mengadakan upacara selamatan. Tinggallah sebentar di atas perahu , semntara saya naik ke daratan merencanakan jamuan. Nantikanlah hingga seluruh rakyat Luwu tiba menjemput , barulah dikau turun menjejakkan kaki di Bumi Wattangmpare. Kakekpun akan mempersembahkan sesajian berupa kerbau bertanduk emas.”
Sesudah mengadakan obrolan dengan cucu saudari saudaranya (cucu dari Batara Lattu yaiu sodaranya La Pangoriseng) maka La PAngoriseng bersaudara menuju istana Lakko Manurungnge ri Ale Luwu. Diperintahkannya terhadap segenap rakyat , untuk berkumpul di depan istana. Setelah segalanya berkumpul , mereka kemudian bahu-membahu berangkat menuju pelabuhan menjemput paduka yang dipertuan (I Lagaligo) untuk mendarat , menjejakkan kaki dipusat Kerajaan Luwu.
Namanya titah Raja , perintah Sang Penguasa maka dalam sekejap mata saja terlaksanalah seluru titah baginda La Pangoriseng. Berdatanganlah segenap rakyat di negeri Luwu , menyanggupi halaman istana raja Luwu.
Rakyat banyak itu riuh rendah , lantaran bersuka cita atas kehadiran Baginda Yang Mulia yang sebentar lagu akan dijemput dipelabuhan.
Timbullah kembali semangat hidup rakyat luwu , lantaran munculnya putra mahkota (I La Galigo) Opunna Ware. Lalu berangkatlah I La Galigo hingga ke istana Lakko Manurungnge Mai ri Luwu. Setelah tiba dilihatnya jamuan lengkap , ditunggui oleh puluhan dayang-dayang. Bertanyalah I La Galigo :
“Apa gerangan yang sudah terjadi wahai para dayang-dayang , sehingga di sini tersedia jamuan lengkap yang kalian tunggui , padahal tidak ada raja yang duduk dihadapan kalian ?”
Para dayang-dayang kemudian menjawab:
“Santapan sehari-hari wahai Paduka yang mulia untuk Baginda (Sawerigading) yang pergi berlayar , mengasingkan dirinya dinegeri yang jauh. Seorang pula yang sudah mistik , terbang naik ke Botting-Langi’ (Tenriabeng , adik kembar Sawerigading) , mendapatkan jodoh di Ruwa Lette. Beliaulah yang disiapkan santapannya.”
Berkata I La Galigo:
“Kumpulkan segenap dayang-dayang ini wahai Ina! Janganlah kalian menunggui jamuan , padahal di hadapan kalian tidak ada seorangpun raja yang bersantap.”
Sesudah itu I La Galigo meneruskan langkahnya hingga ke ruangan tempat penyimpanan Genrang mpulaweng Manurungnge Mai ri Luwu. Lalu diraihnya Genrang itu , kemudian ditabuhnya bahu-membahu dengan La Sulolipu , bunyi genrangnya bertalu-talu. Tak ubahnya bunyi genrang apabila Sawerigading yang menabuh bareng La Pananrang.
Maka bangkitlah Sawerigading di sempurna tidurnya , sembari berkata:
“Telah tiba wahai adinda Cudai , putramu di Luwu. Kanda sanggup menyimak bunyi gendangnya hingga kemari.”
Batara Lattu’ pun menggeliat diatas pembaringannya sambil berkata:
“Telah tiba nian putranda di Luwu , berdomisili di tanah leluhurnya Wattang mpare sambil menabuh genrang mpluaweng manurungnge , bahu-membahu La Pananrang.”
Berkatalah sang pengiring/pengawal Batara Lattu sambil menghaturkan sembah sujud:
“Konon kabarnya wahai Paduka yang mulia! Dia merupakan putranda dari ananda Sawerigading yang berbalasan dengan putranya La Pananrang menabuh genderang di luar.”
Batara Lattu , berkata:
“Suruhlah ia masuk ke dalam kamarku , mudah-mudahan saya bertutur sapa dengan bocah itu.”
Maka berjalanlah I Lagaligo memasuki kamar kakeknya , Batara Lattu. Iapun menghaturkan sembah sujud sebanyak tiga kali , kemudian mengambil tempat duduk dihadapan Batara Lattu. Berkatalah Batara Lattu:
“Tinggallah dikau di Luwu wahai ananda Galigo , menemaniku , selaku oenggati ayahandamu selaku Pangeran Mahkota di ibu kota kerajaan Luwu.”
I La Galigo menghaturkan sembah sujud sambil berkta:
“Tapak tangan hamba cuma sekedar gumpalan darah , tenggorokan hamba pun tak ubahnya kulit bawang. Semoga nian hamba tidak kualat dalam menjawab titah paduka.”
lanjut La Galigo:
“Mohon restu paduka yang mulia. Hamba tidak sanggup tinggal menetap di Luwu ini , lantaran adinda We Tenridio’ sedang terjangkit penyakit parah. Ia mengidap penyakit yang menuntut diadakannya upacara tradisi di negeri Luwu , sebagaimana halnya yang pernah dijalankan bagi Baginda Ratu yang mulia , Mallajangnge ri Kalempi’na. Demikianlah waha Paduka yang mulia , sehingga ayahanda tersayang Opunna Ware menitahkan hamba untuk menjemput Genrang mpulaweng anurungngE di Luwu ini.”
Berkatalah Batara Lattu:
“Kalaupun demikian berangkatlah ke tanah Ugi wahai ananda Galigo untuk mengantarkan Genrang pluaweng ManurungngE. Kelak , sesudah selesai penyelenggaraan upacara syukuran bagi We Dio’ , kembalilah kemari , untuk mengambil alih ayahandamu selaku penguasa di Wattang mpare.”
Sesudah selesai bertutur sapa dengan kakeknya , I Lagaligo pun melangkah ke luar. Berkisar satu tahun lamanya I Lagaligo tinggal di Luwu menunggui kakek dan ibu-ibu tirinya , barulah I Lagaligo bareng segenap sepupunya dan seluruh pengiringnya berlayar kembali menuju Cina. Diboyonglah Genrang mpulaweng ManurungngE ri Luw bersamanya.
Upacara selamaan We Dio’ pun diselenggarakan. Sudah empat puluh hari empat puluh malam lamanya penduduk bergembira ria di Latanete sambil memanggang kerbau. Berdatanganlah segenap sepupu I Lagaligo yang wanita untuk menyaksikan hiruk pikuk di Latanete.
Pendopo sarat sesak dengan penduduk yang berdatanagan dari seganap penjuru. Tiada terkatakan ramainya situasi di Cina. Para belum dewasa Datu yang tujuh puluh orang itu saling bergantian menabuh genderang , sehingga bunyinya pun bertalu-talu tiada hentinya. Tiada sekejappun genderang itu berhenti ditabuh silih berganti. I Lagaligo berpasangan dengan I La Sulolipu , La Pawennari dengan Sida’Manasa To Bulo’E , La Patenrongi dengan I La Pallajareng , dan berpasanganlah La Tenripale To Lamuru’E dengan La Pammusureng.
Para anak datu yang tujuh puluh orang itu tidak kunjung terlelap. Ingin pulalah I Da’Batangeng , Punna Lipu’E Cina Rilau , puteri La Makkasau menyaksikan hiruk pikuk di Latanete , maka bertitahlah ibundanya:
“Wahai anada I Da’Batangeng! Janganlah hendaknya ananda berkunjung ke Cina , cuma untuk menyaksikan hiruk pikuk di Latanete/Sinukkerenna I La Galigo/dari Luwu/Cobo’-cobonna maccariwakka I La Semmaga , tidak menyegani sesamanya raja , dianggapnya bahwa cuma dirinyalah raja yang berkuasa di kolong langit. Jangan hingga ditahannya usungan tumpanganmu dan tidak dibiarkannya dikau pulang kembali ke negerimu Cina Rilau.”
Berkatalah La Makkasau , ayahanda I Da’Batangeng , bahwa:
“Mengapakah gerangan wahai ibundanya I Da’Batangeng , maka dikau tidak memperkenankan impian putrimu pergi ke Cina , untuk menyaksikan hiruk pikuk di Latanete.”
Berkata pula Punna Lipu’E Cina Rilau (La MAkkasau):
“Kalaupun ternyata usungannya ditahan I La Galigo pakah salahnya jikalau ia dijodohkan dengan sepupunya itu. Biarlah putri kita pergi ke Cina , menyaksikan hiruk pikuk di Latanete.”
Maka berdandanlah I Da’Batangeng , bersalin busana yang indah kemudian berangkatlah menuju Cina untuk menyaksikan hiruk pikuk di Latanete. Hanya dalam sekejap saja maka tibalah usungan yang menenteng I Da’Batangeng. Ia kemudian turun di depan istana. Ketika itu I La Galigo sedang mengadu ayam di atas arena tabrak ayam.
Ketika La Galigo menoleh , dilihatnya sepupunya yang sedang turun dari usungan , kemudian melangkahkan kaki naik ke istana. 
Berkatalah La Galigo:
“Siapakah gerangan putri mahkota nan anggun jelita yang barusan tadi tiba dengan usungan ?”
La Pallajareng , menyahut:
“Rupanya dinda Galigo tidak memedulikan sepupu kita Punna Lipu’E Cina Rilau. Ia berjulukan I Da’Batangeng , puteri Baginda La Makkasau.”
Serta merta I La Galigo mencampakkan ayam jawaranya kemudian bergegas melangkah ke istana untuk menyusul I Da’Batangeng. La Galigo pribadi menuju ke atas pelaminan (lamming) menabuh genderang , berpasangan dengan La Sulolipu. Tabuhan genderangnya berbunyi menyerupai bunyi manusia:
“Dahului-dahuluilah si orang Walana itu. Cegat , cegatlah si orang Solo’. Dahuluilah bersanding di atas pelaminan emas. Sungguh takkan kubiarkan Punna Lipu’E Cina Rilau kebali kenegerinya. Saya berhasrat menyandera usungan putri juwita dari Cina Rilau.”
Bergantian pamandanya menasehati La Galigo , demikian pula ayahandanya turut menasehatkan , bahwa:
“Janganlah wahai ananda Semmagga engkau menyandera usungan dari Cina Rilau. Jangan hingga hal itu menurunkan martabat pamndamu La Makkasau. Jikalau susungan putrinya tersandera. Biarkalah sepupumu itu kembali ke kampung halamannya.”
I La Galigo tidak sudi menyimak anjuran ayahnya , kemudian berkata:
“Perkenankanlah wahai ayahanda adindaku I Da’batangeng tetap tinggal di istana Latanete , sementara itu ayahanda mengantarkan delegasi untuk meminangnya pada baginda La Makkasau di Cina Rilau.”
Berbalaslah Sawerigading:
“Mengapakah gerangan wahai ananda Galigo engkau berhasrat menyandera usungan dari Cina Rilau , padahal kita tidak menguasai wilayah kekuasaan pamandamu. Kita tidak sanggup memaksakan kehendak sendiri terhadapnya.”
Namun I La Galigo sudah lupa diri , tidak sudi lagi menyimak nasehat. 
Insya Allah pula akan say ceritakan dongeng Tellu Cappa’E na La Madukkelleng Arung Pasir – Arung Siengkaang penguasa To Masi’ (Temasek) Sang Penguasa Laut Cina Selatan (Singa Laut alias The Prince of Pirates).
Maka pada waktu tengah malam buta , I Da’batangeng dikirimkan pulang ke kampung halamannya di cina rilau.
Pada keesokan paginya , di saat sang surya gres saja terbit di ufuk timur , bangunlah La Galigo bersepupu pribadi membasuh paras kemudian menenangkan perasaan hatinya sambil makan sirih. Diarahkanlah persepsi matanya ke atas pelaminan yang diduduki I Da’batangeng , maka iapun terkejut lantaran tidak dilihatnya bayangan sepupunya Punna LipuE Cina Rilau. Ia kemudian bertanya:
“Kemanakah gerangan adindaku I Da’batangeng?”
Lalu dijawab oleh La Pallajareng :
“Adik kita I Da’batangeng sudah kembali ke kampung halamannya di Cina Rilau pada larut malam.”
Maka bergegaslah I La Galigo menyusul kepergian adik sepupunya hingga ke Cina Rilau. Turut serta segenap anak datu yang tujuh puluh orang itu.
Berkatalah La Makkasau:
“Maafkalah pamanda wahai ananda Galigo. Kembalilah ke Latanete , mudah-mudahan ayahandamu mengajukan pinangan resmi atas sepupumu I Da’batangeng. Barulah kita ramaikan perjodohanmu.”
Dibalaslah oleh Galigo:
“Perkenankalah ananda untuk tidak kembali lagi ke Latanete. Biarkanlah ananda tinggal di singgasana kediaman adinda I Da’batangeng , sementara menantikan kehadiran duta/utusan resmi dari ayahanda Opunna Ware. Nantilah di sini , di atas singgasanamu hamba merencanakan diri untuk menikah serta bersanding dengan adinda I Da’batangeng.”
Silih berganti paman-paman I La Galigo dating menasehatinya. Namun segalanya sia-sia. I La Galigo tidak sudi lagi menyimak petuah ataupun kata-kata lembut dan bujuk rayu. Bingunglah asumsi Sawerigading mengingat langkah-langkah putranya yang kadung itu.
Maka diantarkanlah terhadap I La Galigo busana pengantinnya di Cina Rilau. Di sana pulalah , di istana kediaman I Da’batangeng , La Galigo merencanakan diri untuk menikah. Maka ia pun duduk bersanding dengan sepupunya di atas pelaminan.
Syahdan , maka tiga bulan lamanya sesudah ia kawin , maka hamillah I Da’batangeng. Jabang bayi dalam kandungan. I Da’batangeng ketagihan pada penyelenggaraan tradisi leluhur di Ale Luwu. Namun sang dukun tidak secepatnya mengadakan , sehingga jabang bayi itu mistik bersamaan dengan munculnya petir dan kilat yang sambung-menyambung. Jabang bayipun terdampar di Sao Kutt Pareppa’E , istana kediaman Baginda Ratu We Tenriabeng di Pettala Langit.
Di sanalah di Pettala langit diselenggarakan upacara selamatannya. Bayi itupun diberi nama Aji Laide I Lasangiyang. Setelah diselenggarakan upacaranya di Petala Langit , barulah ia dikirim di ke ujung langit , menjadi ana asuh Baginda Talettu Sompa yang berjodoh dengan Apung Manngenre’ ri Sawangmega , lantaran baginda itu orang mandul. Beliau merupakan sudara Batara Guru Sang Manurung di Ale Luwu.
Sumber: KBM 
by Luly Askar November 10 at 8:58pm   groups/sejarahtanahluwu
Untitled 3DAYAK

Seorang pakar sosial budaya yang aktif pada berbagai kegiatan sosial kemasyarakatan. Telah menempuh pendidikan di salah satu universitas swasta terbaik di Indonesia yang mengambil jurusan sosial budaya.

Pos terkait