Sejarah Dan Budaya: Budaya Dan Pembangunan

Gambar Gravatar
BUDAYA DAN PEMBANGUNAN APA KAITANNYA?
Oleh: Agus Budi Wibowo dan Yanti
Pada banyak konferensi ilmiah atau obrolan sehari-hari se-ringkali orang membicarakan dilema kebudayaan dan pembangunan. Namun , dalam banyak obrolan tersebut kita masih sanggup menangkap kesan bahwa antara kebudayaan dan pembangunan ialah dua pemahaman ter-pisah yang sulit dipercayai sanggup disatukan dan bahkan dipertentangkan di antara keduanya.
Dan yang lebih ekstrim lagi , ada sebagian orang alergi bila mendengar atau membicarakan dilema kebudayaan. Terlalu sering dibilang bahwa , kebudayaan dianggap selaku pelindung konservatif sehingga orang menilai bila bicara kebudayaan cuma menyangkut hal-hal yang primitif saja.
Dalam konteks seumpama ini , budaya seperti dianggap cuma benda mati yang statis sifatnya. Ia tertancap besar lengan berkuasa dalam akan penduduk dan sulit dipercayai lagi tercabut dari akarnya. Budaya dibayangkan merangkul penduduk pendukungnya bersahabat seperti tidak terpisahkan. Dengan demikian , budaya dihargai cuma selaku suatu kemutlakan yang tidak lagi mungkin direkayasa oleh pendukungnya atau orang luar.
Akan tetapi dari banyak definisi yang pernah dikumpulkan oleh seorang antropopog tenar Kluchon , budaya ialah suatu yang kenyal dan terbuka sifatnya. Ia siap menerima nilai-nilai yang berasal dari luar dan menjalankan metamorfosa. Cepat atau lambat budaya akan berevolusi sejalan dengan masalah-masalah yang dihadapi oleh penduduk pendukungnya. Budaya akan berubah sesuai dengan pergantian yang dilakakan oleh penduduk pendukungnya dan pergantian ini bisa berwujud pergantian yang sifatnya total atau sebagian. Dapat pula menjamah segi-segi yang paling esensial dari budaya itu sendiri yakni tata cara nilai budaya.
Budaya atau pembangunan
Pengertian bahwa kebudayaan yakni konsep yang tidak ada sama sekali keterkaitannya dengan pembanguanan akan memunculkan kita terbelenggu pada keadaan yang mandeg. Dalam hal ini lingkungan lokal atau kebudayaan orisinil selaku kerangka contoh pembangunan sering diabaikan. Pembangunan menjadi suatu yang bersifat etnosentris , diskriminatif , dan mempunyai efek yang terbatas , kalau tidak mau dikata-kan gagal sama sekali.
Kenyataan dari taktik pembangunan yang mengabaikan budaya sudah terkadang kita lihat dalam kehidupan sehari-hari. Seringkali pembangunan cuma diartikan selaku pembangunan fisik semata-mata yang cuma menghendaki provit dan melalaikan pembangunan nonfisik. Dengan demikian , yang terlihat balasannya yakni suatu yang megah , mewah. Segi-segi kemanusiaan atau budaya lepas dari “master plan” yang ada.
Akibatnya , jadilah insan cuma selaku objek dari pembangunan. Ia tidak lagi selaku subjek pembangunan: Padahal , pembangunan hendaknya berencana selaku manifestasi dari eksistensi insan selaku objek dan subjek pembangunan. Akibat dari ditinggalnya insan selaku subjek pembangunan , maka timbullah cultural lag dalam masyarakat.
Di satu sisi prasarana dan fasilitas fisik sudah meraih taraf terbaru , tetapi sikap dan prilaku manusianya tidak mampu mengimbangi. Kaprikornus mereka hidup dalam dua dunia; terbaru dan tradisonal sehingga yang tanpak yakni kejanggalan-kejanggalan. Sebagai contoh , pemakaian hand phone sebagai- , fasilitas untuk komunikasi terkadang cuma dipakai selaku lambang status Sehingga tidak sanggup menempatkan di mana mereka mesti berkomunikasi.
Atau tidak adanya budaya antri di golongan penduduk kita. Padahal , itu ialah salah satu ciri orang terbaru atau pegawanegeri berwenang sudah me-masang rambu-rambu kemudian lintas tetapi pemakai berlaku “semau gue”. Masih banyak lagi contoh yang menampilkan masih adanya ketimpangan nilai-nilai dalam masyarakat. Mereka ingin disebut terbaru tetapi nyatanya sikap jauh dari sikap orang modern. 
Selain itu , masih ada contoh di mana budaya ditinggalkan dalam “master plan” pembangunan. Bukan suatu yang mengherankan pada dikala ini bahwa terkadang pembangunan mengorbankan banyak peninggalan sejarah dan budaya hanva untuk mengejar-ngejar pembangunan suatu mall , swalayan , atau yang lainnva.
Melihat kasus seumpama tersebut di atas sudah semestinya kita mengarahkan perhatian pada konteks menyatukan pembangunan dengan budaya. Tidak lagi menatap budaya dan pembangunan selaku suatu yang tidak sanggup diputuskan. Dengan demikian , kosekuensinya kita mesti pula mengarahkan persepsi kita terhadap budaya selaku suatu perubahan. Perhatian terhadap selaku unsur pergantian menghasilkan kita hingga pada suatu definisi wacana konsep pembangunan.
Menurut Umar Kayam (1987) ditinjau dari sudut dialektika kemajuan penduduk pembangunan yakni sekaligus metodelogi dan fasilitas pengembangan struktur dan kebudayaan masyarakat. Atau pembangunan sanggup pula dijabarkan selaku suatu proses pergantian positif dalam mutu dan tingkat beradaan manusia.
Pembangunan pada hakikatnya ialah proses pergantian positif sosial ekonomi yang berencana mengembangkan taraf hidup mutu kehidupan , dan martabat insan (Rachmadi , 1974). Istilah positif di sini dipakai dalam arti materi pergantian mengandung pemahaman , pengarahan dan tujuansebagaimana terungkap dalam sasaran dan kerja keras dari apa yang disebut sikap pembangunan.
Pembangunan yang berbudaya
Dari citra yang sudah dibahas di. wajah , maka sanggup ditarik kesimpulan bahwa intinya kita sanggup mempertemu kan antara konsep budaya dan pembangunan. Tinggallah para antropolog berperan dalam menjabarkan konsep pembangunan yang berbudaya. Para antropolog mesti aktif berperan.
Dalam hal ini tugas Balai Kajian dan Nilai Sejarah Tradisional Banda Aceh sanggup dikedepankan. Para staf forum ini mesti bisa merumuskan suatu taktik yang dapat mengangkat nilai-nilai budaya. pranata yang sanggup mendorong laju pembangunan dan kalau perlu menetralisir nilai-nilai budaya yang sanggup menghalangi pembangunan itu sendiri.
Bagaimanapun orang bisa saja menetralisir unsur budaya dalam taktik pembangunan. Namun orang tidak sanggup menyangkal bahwa dibalik pembangunan itu sendiri dipengaruhi dan mempengaruhi budaya. Misalnya , pembangunan fisik dalam bentuk pelaksanaan rancang bangkit gedung-gedung dalam suatu rancangan pembangunan tata kota akan menampilkan efek yang dalam kerangka berfikir mereka wacana ruang , kota. pemukiman , dan gaya hidup. Dalam keadaan kota yang makin berjejal alasannya yakni kian meningkatnya urbanisasi kian menyederhanakan potensi mempunyai rumah. Konsep perumahan yang bersifat horizontal mesti mulai ditinggalkan dan mesti mulai dipikirkan pembangunan perumahan yang bersifat vertikal.
Hal ini akan merubah usang sekali pengetahuan dan sikap insan Indonesia yang selama ini mengenal konsep rumah horizontal. Demikian pula pembangunan nonfisik lainnya. Dengan demikian kebudayaan ialah media yang memungkinkan pembangunan sanggup berjalan dengan berhasil (Colleta , 1987). Ada tiga argumentasi mengapa hal itu berjalan dengan sukses. 
  • Pertama , unsur-unsur budaya mempunyai legitimasi tradisional di mata orang-orang yang menjadi sasaran pembangunan. 
  • Kedua , unsur-unsur daya secara simbolis ialah bentuk komunikasi paling bermanfaat dari pen-duduk setempat.
  • Ketiga , unsur-unsur budaya mempunyai aneka ragam fungsi (baik yang berwujud maupun yang terpendam) yang sering membuatnya selaku fasilitas paling memiliki faedah untuk pergantian ketimbang terlihat pada permukaan utamanya jikalau cuma dilihat dalam kaitan dengan fungsinya yang terwujud saja.
Jadi , kebudayaan sanggup dilihat selaku dasar bagi pergantian dan bukan selaku penghalang perubahan. Kebudayaan tidak cuma dipakai selaku alat pembangunan melainkan mengarahkan pembangunan kebudayaan itu sendiri sebaik mungkin.
Sumber : Kajian Budaya academia.edu
Untitled 3DAYAK

Seorang pakar sosial budaya yang aktif pada berbagai kegiatan sosial kemasyarakatan. Telah menempuh pendidikan di salah satu universitas swasta terbaik di Indonesia yang mengambil jurusan sosial budaya.

Pos terkait