Sejarah Dan Budaya: Brigadir Jenderal Tni (Purn) Frans Karangan (Pejuang Toraja Pada Zaman Gerombolan)

Gambar Gravatar
frans2C1
BRIGADIR JENDERAL Tentara Nasional Indonesia (Purn) FRANS KARANGAN
By EP on Tuesday , December 2 , 2014 at 7:52am
frans%252C1
BRIGJEN Tentara Nasional Indonesia (Purn) FRANS KARANGAN
sumber : http://jaringangin1.blogspot.co.id/
Apakah anda pernah mendengar nama ini ?
Figur ini yakni pejuang Toraja pada zaman pergolakan gerombolan. Zaman gerombolan yakni zaman pemberontakan sehabis kemerdekaan yang terjadi di Sulawesi Selatan.
Pemberontakan yang paling besar yakni diproklamirkannya Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) oleh Letnan Kolonel Kahar Muzakkar sbg pembangkangan terhadap Pemerintah atas tdk di akomodirnya seluruh serdadu Kesatuan Gerilya Sulawesi Selatan (KGSS) yg dipimpinnya menjadi Brigade Hasanuddin , yg kemudian menjadi cikal bakal Kodam XIV Hasanuddin.
Hanya sekitar 30 % pasukan KGSS pimpinan Kahar Musakkar yg menyanggupi syarat kemiliteran tertampung di Brigade Hasanuddin , di antaranya Andi Selle dan Andi Sose. 

Pemaksaan Agama oleh DI/TII:
Sesungguhnya gerakan yang dipimpin Kahar Muzakkar yang berjalan sekitar 15 tahun (1950-1965) di Sulawesi Selatan , semula tidak menjinjing warna ideologi agama , tetapi kemudian setelah beralih menjadi gerakan DI/TII terjadilah gerakan islamisasi dengan paksa
“Tercatat 20.000 orang pengungsi sampai Akhir Oktober 1953 di Luwu dan pinggiran timur dan selatan Toraja jawaban islamisasi” (tulis Terance W. Bigalke dlm bukunya Tana Toraja , A Social History of an Indonesian People). 
Baik orang-orang Katolik maupun pemeluk agama orisinil menjadi sasaran serangan para gerilyawan. Terjadi banyak penculikan , pembunuhan , pencurian , dan insiden di mana desa-desa dibakar. 
Pemaksaan masuk Islam terjadi di setiap wilayah tersebut , di wilayah barat daya Toraja sendiri meraih beberapa ribu orang. 
Para pengungsi dari bab utara dan barat Luwu mulai mengalir ke Toraja di tahun 1952 , dan meraih puncaknya menjelang selesai 1953 , meraih sekitar 20.000 orang di kota Makale dan Rantepao” (Bigalke , 1981: Hal. 423).
Pada September 1953 Kahar mengeluarkan Piagam Makalua’ , yang berisi dasar ideologis gerakan DI/TII. Salah satu poin penting dan kedengarannya baik dalam Piagam tersebut , merupakan pernyataan bahwa keleluasaan beragama dijamin tetapi cuma untuk agama Islam dan Kristiani. 
Tetapi apa yang bagus di atas kertas , ternyata tidak ditangani dalam praktek. “Dalam kurun waktu enam bulan siapa saja , yang sebelumnya sudah diberitahu untuk menegaskan antara Islam atau Kekristenan , dipaksa menyatakan diri masuk Islam” (Bigalke , 1981: Hal. 424). 
“Untuk meraih maksudnya , yakni mengislamkan orang-orang Katolik , maka mereka (para gerilyawan DI/TII) memisahkan tokoh-tokoh Katolik dengan anggota penduduk biasa. Tokoh-tokoh Katolik ini disiksa amat sungguh agar mau masuk Islam. 
Sudah tentu sebagian dari mereka itu akan terpaksa mengaku masuk Islam dan mereka inilah diinstruksikan kembali mengajak orang-orang Katolik yang lain agar masuk Islam saja. 
Tetapi sebagian dari mereka itu tetap bersaksi bahwa walau dengan pedang sekalipun mereka tidak akan dipisahkan dari Tuhannya. 
Maka menyusullah syahid-syahid yang lain dalam Gereja Toraja , antara lain Pdt. J. Tawaluyan dan Lumeno , dan J.B. Tangdililing yang dibunuh di Palopo… 
Pdt. S.Tappil , Guru Bibel Baso’ dan 8 orang Katolik Rongkong dibunuh di Masamba…Ds. P.Sangka Palisungan , L. Sodu dan H. Djima’ (keduanya pengirim Jemaat) dibunuh sehabis mengalami siksaan yang andal di Tjappa’ Solo’ , berpuluh-puluh yang lain disiksa kemudian dibunuh di Rongkong , antara lain pengantar-pengantar Jemaat: J. Ledo , J. Subi’ , Ngila , M. Maddulu , M. Liling dan lain-lain” (Sarira , 1975:45).

Kebangkitan kesadaran etnis tahun 1953
Di tengah gelombang bahaya pemaksaan agama oleh DI/TII , terjadilah insiden pada bulan April 1953. 
Andi Sose sepertinya kecewa alasannya yakni merasa impian usaha orisinil dalam KGSS sudah digadaikan oleh Kahar dengan bergabung pada pemberontakan DI/TII pimpinan Kartosuwiryo di Jawa Barat. 
Pada Maret 1952 Andi Sose bareng pasukannya berbalik haluan. Pasukannya dijadikan satu batalion Tentara Nasional Indonesia dengan nama “Batalion 720” , dan Andi Sose selaku komandannya diangkat menjadi Kapten. Batalion ini diposisikan di Tana Toraja. 
Tetapi tingkah laris anggota Batalion 720 lama-kelamaan menghasilkan penduduk merasa tidak kondusif dan mulai resah. Masyarakat mulai menyadari bahwa keberadaan etnis dan budaya Toraja kembali terancam. 
Situasi ini juga menghasilkan unsur Toraja dalam Batalion 720 , yakni Kompi 2 di bawah Letnan Satu Frans Karangan , kian menjauh dari Andi Sose. Diam-diam terbentuklah kelompok perlawanan yang menatap diri selaku penjelmaan To Pada Tindo dari kurun ke-17. 
Situasi genting kian memuncak saat tersiar isu bahwa Andi Sose bermaksud mendirikan mesjid raya di tengah kolam di kota Makale , dan memaksa orang-orang Katolik yang pergi ke gereja pada hari Minggu menjinjing watu kali ke lokasi itu. 
Akhirnya pecah pertentangan yang meraih puncaknya pada peperangan 4 April 1954 di Makale , di mana kelompok perlawanan sukses memaksa Andi Sose dan pasukannya meninggalkan Tana Toraja kemudian diganti Batalio 422 dari Kodam Diponegoro (Bigalke , 1981:408-418). 
Bigalke menulis , “Sukses perlawanan 4 April itu mengoptimalkan prestise pemimpin-pemimpin Katolik (Gereja Toraja) di Toraja , yang pada gilirannya menerangkan insiden tersebut selaku luapan kesadaran etnis. 
Kekalahan utama sebetulnya dialami oleh kelompok elit tradisional di selatan (Tallu Lembangna) dan kelompok Muslim sekutu mereka di Makale , yang berpihak pada Andi Sose. Sejumlah dari mereka ini beberapa waktu melarikan diri dari Toraja mengikuti pasukan yang mengundurkan diri” (Bigalke , 1981:416).
Kemudian Batalion 422 Diponegoro ditarik dari Toraja , dan digantikan oleh pasukan Brawijaya dari Jatim. Kompi 2 di bawah Frans Karangan diposisikan di Palu , yang berikutnya ditingkatkan menjadi Batalion 758 raider.

Peristiwa Tahun 1958:
Pada permulaan tahun 1958 penduduk Toraja kembali dikejutkan oleh laporan bahwa pasukan Brawijaya akan ditarik dari Toraja untuk kiprah memadamkan pemberontakan Permesta di Minahasa , dan akan digantikan oleh unit-unit R.I. 23 , batalion yang dikomandani Andi Sose. 
Parkindo , partai politik utama di Tana Toraja waktu itu , menyuruh utusan ke Jakarta untuk memprotes penarikan pasukan Brawijaya. Sebuah resolusi bareng dari partai-partai politik di Toraja juga diantarkan lewat Kepala Daerah terhadap Gubernur Sulsel dan Mendagri di Jakarta. 
Tetapi semua itu gagal menangkal penempatan R.I. 23 di Tana Toraja. Masyarakat Toraja menatap hal ini selaku penghinaan besar , dan bersiap menghadapinya. 
Frans Karangan , yang juga merasa takut , mengirim pasukan satu kompi di bawah pimpinan Letnan Satu J. Tappang dari Palu ke Toraja. Begitu juga orang Toraja dari unit-unit yang lain dicutikan ke Toraja. 
Dengan argumentasi keselamatan dijadwalkan pengungsian penduduk dari kota Makale dan Rantepao ke desa-desa yang aman. 
Tanggal yang diseleksi untuk boikot itu merupakan 20 Mei , Hari Kebangkitan Nasional. Ini antara lain untuk menyatakan terhadap Pemerintah Pusat bahwa nasionalisme penduduk Toraja jangan diragukan. 
Pada insiden 1953 simbolisme yang digunakan merupakan usaha To Pada Tindo. Pappang membentuk apa yang disebut Barisan Komando Rakyat (BKR) , yang berisikan anggota kompinya , OPD (Organisasi Pertahanan Desa) , para pelajar dan penduduk , selaku antisipasi menghadapi serangan R.I. 23 yang ditentukan akan tiba. 
Setelah terjadi kontak senjata skala kecil , BKR memakai taktik mundur sarat ke Pangala’. Pasukan R.I. 23 maju memburu seakan-akan tanpa sanggup ditahan , sambil mengkremasi lumbung-lumbung desa , rumah-rumah dan sekolah-sekolah. 
Tersiar desas-desus bahwa para komandan R.I. 23 itu kebal peluru. Yang terperinci organisasi mereka lebih unggul dalam hal disiplin dan persenjataan , daripada pasukan BKR yang serba kurang pengalaman bertempur dan persenjataan. 
Di Pangala’ BKR menghentikan taktik mundur. Tappang mereorganisir pasukannya , dengan mereduksi unit-unit tergabung yang sudah bertempur tidak efektif ke dalam unit-unit terpisah: polisi , OPD , penduduk , pelajar , dan kompinya sendiri. 
Pasukan R.I. 23 yang memburu dan datang di Pangala’ dalam kondisi lelah tidak meyangka akan menghadapi perlawanan sengit. Pasukan BKR yang mengenal medan menghasilkan taktik mundur , dan pasukan R.I. 23 mengejar. Tanpa mereka sangka unit BKR yang lain memotong mereka dari belakang. Pertempuran sengit itu merupakan kemenangan besar pertama bagi BKR. Pasukan R.I. 23 yang masih tersisa mundur tak terstruktur , meninggalkan banyak senjata dan lebih dari seratus korban di pihaknya.
Setelah itu pasukan R.I. 23 tinggal terpusat di kota Rantepao dan Makale. Dan pasukan BKR mengadakan tekanan terus-menerus atas mereka. 
Jalur komunikasi antara kedua kota itu sukses diputus , sehingga tak ada bala pemberian yang sanggup lolos dari Makale ke Rantepao. Akhirnya pasukan yang di Rantepao mengundurkan diri di tengah sebuah malam gelap ke Makale lewat La’bo’ – Randan Batu – Sangalla’. 
Pasukan BKR , yang telat mengenali pelarian itu , menjajal mengejar. Mereka masih sukses mendapat dan menarik barisan belakang. Tiga hari kemudian semua unit R.I. 23 ditarik dari Makale dan meninggalkan Tana Toraja (lih. Bigalke , 1981:436-446).
Cikal-bakal Batalion Infanteri Lintas Udara 700/BS
Usai menumpas gerombolan Kahar Musakkar , Batalion 758 pimpinan Frans Karangan dijadikan Battalion Raider Indonesia Timur dgn istilah Batalion 700/RIT pada tahun 1963. Pada tgl 28 Maret 1967 Batalion 700/RIT menurut SK Panglima ABRI ditetapkan menjadi Batalion Infanteri Lintas Udara 700 BS hinga sekarang.
Atas jasa-jasanya itu patutlah apabila Brigadir Jenderal Tentara Nasional Indonesia (Purn) Frans Karangan disejajarkan dengan pendahulunya yakni TO PADA TINDO , TO MISA’ PANGIMPI yang dahulu menghalau Tentara Bone dari Tondok Lepongan Bulan , Tana Matari’ Allo…
Sumber :
sejarah-dan-budaya-toraja
eddypapayungan
jaringangin1
Untitled 3DAYAK

Seorang pakar sosial budaya yang aktif pada berbagai kegiatan sosial kemasyarakatan. Telah menempuh pendidikan di salah satu universitas swasta terbaik di Indonesia yang mengambil jurusan sosial budaya.

Pos terkait