ASAL USUL AGONG-GONG
Gong yakni alat musik yang yang dibikin dari leburan logam (perunggu dengan tembaga) dengan permukaan yang lingkaran (dengan atau tanpa Pencu). Gong sanggup di gantung pada bingkai atau ditaruh berjajar pada rak , atau sanggup diposisikan pada permukaan yang lunak menyerupai tikar.
Selain itu ada juga gong genggam yang dimainkan sambil berlangsung ataupun menari. Gong yang memiliki bunyi rendah , ditabuh dengan pemukul kayu yang ujungnya di balut dengan karet , katun , atau benang. Sedangkan untuk permainan melodi diperankan oleh gong kecil.
Agong – gong atau biasa disebut oleh orang Jawa dan Bali selaku Gong , berasal dari Vietnam. Tahun 1930 , bukti peninggalan asal permohonan gong didapatkan di tempat pinggiran sungai pada Desa Ma provinsi Thanh Hoa , Vietnam Utara. Bukti yang didapatkan tersebut berupa gendang perunggu (tutupnya berasal dari logam) yang dikisarkan berumur 500 – 100 SM.
Penemuan gong dalam bentuk lain yakni pada Yunnan (Tiongkok) tahun 200 SM , orang tiongkok telah memainkan sederet gendang perunggu. Sementara itu bagaimana dengan asal permohonan gong di Indonesia? Pada kurun waktu 500 permulaan Masehi , gendang perunggu masuk di Indonesia selaku salah satu alat tukar barang oleh negara lain.
Hal ini sanggup disokong dengan adanya gendang perunggu di kepulauan Indonesia , menyerupai Sumatra , Jawa , Bali , Sumbawa , Selayar , Seram , kei dan pulau lain di Maluku , Roti dan pulau lain di Nusa Tenggara Timur , dan di tempat kepala burung Irian Barat. Pembuatan gendang perunggu di Indonesia pada tahun 19 dan 20 Masehi digunakan selaku Mahar atau perangkat upacara , selaku alat perkusi bukan pembawa melodi.
Pakar arkkeologi , Peter Bellwood , menyampaikan bahwa terdapat bukti pengolahan logam oleh bangsa Indonesia sebelum kurun 200 Masehi pada Bali , dan sebelum 500 Masehi pengolahan logam pada tempat Jawa , Madura , Riau , Flores , kepulauan Talaud. Meskipun ada teori Gong berasal dari gendang perunggu , tidak menutup kemungkinan gong perunggu disesuaikan dari Gong datar , lalu di Indonesia dikembangkan yakni dengan penambahan pencu.
Atau sanggup saja gong yang masuk di Indonesia ada dua macam , yakni gendang perunggu dan gong datar. Pada kurun ke 12 para andal percaya bahwa Gong kecil berpencu telah menjadi alat musik di Jawa. Produk turunan dari Gong ada banyak , menyerupai Bilahan dari logam yakni instrumen yang berisikan bilahan atau lempengan logam yang digantung atau ditaruh pada rongga yang berupa tabung atau kotak berongga berfungsi selaku resonator (Metalphone atau keyed Methalphone dalam bahasa ingris).
Produk turunan yang lain yakni Bilahan dari Bambu atau kayu , yang memiliki prinsip sama dengan logam , Idiofon yang lain yang lazimnya berskala kecil menyerupai cengceng (Bali) , kemanak (Jawa) ,. Benda turunan lain yakni gamelan , wajan , kapak , perisai yang menggunakan tata cara yang serupa dengan gong.
Fungsi sosial alat musik gamelan dan ensambel gong pada Indonesia yakni selaku belahan dari upacara keluarga , penduduk , kerajaan , dan keagamaan. Selain dipahami selaku alat musik , ensambel gong dianggap selaku harta , mas kawin , pusaka , lambang status pemilik , perangkat upacara , dan lainnya. Jumlah gong kerap kali lebih penting dari nada gong (gong selaku simbol/ritual) , gong selaku alat komunikasi antarwarga.
Di Jawa memainkan gong di saat ajal seseorang atau anggota kerajaan tidak diperbolehkan , tetapi pada tempat lain sanggup dimainkan pada upacara kematian. Musik Gong selaku koran Desa , di Sumba. Seorang pemain gong diperbolehkan untuk memainkan lagu ajal meski tidak ada orang di desa yang meninggal , tetapi sehabis memainkan lagu tersebut pemain gong mesti memainkan lagu yang riang. Mereka menerangkan bahwa bunyi gong yang terdengar jauh menginformasikan terhadap penduduk di tempat sekitar itu untuk melayat , tetapi kalau lagu riang secepatnya dimainkan maka mereka tidak perlu melayat.
Di Bali , selaku alat musik yang berafiliasi dengan ritual keagamaan. Di Jawa Tengah , selaku alat musik di saat peringatan agama Islam , gong dimiliki oleh penduduk atau forum tertentu. Di Minangkabau digunakan pada pesta – pesta kesepakatan nikah atau syukuran , Pada tempat Jawa Barat digunakan untuk program sekuler menenteng program keningratan dan tidak dimiliki oleh semua orang. Pada Kalimantan , Sulawesi dan NTT , gong dimainkan untuk program pengobatan , ajal , maupun kesepakatan nikah tetapi dimiliki oleh semua orang.
Pembuatan gong di Jawa dilakukan pada rumah yang disebut Besalen yang berskala 6 x 7 Meter dengan tinggi 7 meter , dinding dibentuk dari kerikil bata dan semen lantai dari tanah. Pembuatan gong tidak sanggup dilakukan seorang diri tetapi dijalankan oleh 9 – 10 orang yang lazim disebut Pandhe Gong (Tukang gendhing-Jawa Halus).
Tugas mereka dibedakan kiprah dan peranannya dalam regu. Tukang Lamus , berisikan 1 – 2 orang yang mengendalikan tekanan angin di saat pembakaran logam dengan pompa lamus. Tukang Alap , terdiri 1 – 2 orang , bertugas selaku pengirim dan mengembalikan logam antara tempat perapian dan tempat tempa. Tukang Palu , berisikan 3 – 4 orang bertugas menempa , menipiskan , melebarkan dan membentuk logam. Dan pemimpin regu disebut Panji , memimpin dan mekontrol proses pengolahan dari mengolah makanan gabungan logam , mengendalikan logam yang sedang dibakar , mengendalikan ketepatan tebal tipisnya logam , bentuknya hingga nada yang dikeluarkan.
Disamping ada golongan Pandhe ada juga Tukang Gilap yang memiliki kiprah meneruskan kerja Pandhe mengkilapkan gong. Perunggu yang digunakan yakni gabungan tembaga dengan timah. Dengan begitu maka Gong yakni salah satu hasil kebudayaan Indonesia yang mesti dilindungi dan dilestarikan sebab fungsinya yang beraneka ragam serta pengolahan yang dijaga keasliannya dengan tata cara peleburan dan tempa yang dilakukan oleh orang khusus yakni Pandhe Gong.
Oleh : AYU MAHARANINGTYAS , Surabaya , tgl 17 Januari 2013
Sumber: academia.edu

Seorang pakar sosial budaya yang aktif pada berbagai kegiatan sosial kemasyarakatan. Telah menempuh pendidikan di salah satu universitas swasta terbaik di Indonesia yang mengambil jurusan sosial budaya.