 |
Pic ilustrasi: Arung Palakka |
Adalah Raja Bone ke-15 lahir pada 15 September 1634. Nama lengkapnya merupakan Arung Palakka La Tenri Tatta Petta Malampee Gemme’na. Dalam sejarah Sulawesi Selatan di periode ke-17 , khususnya dalam perang Makassar nama Latenri Tatta Arung Palakka tidak sanggup dipisahkan. Menurut Mr. Strotenbekker , seorang sejarawan Belanda dalam bukunya tertulis silsilah yang menyatakan , bahwa Datu Soppeng ri Lau yang berjulukan Lamakkarodda Mabbelluwa’E kawin dengan We Tenri Pakku Putri raja Bone ke-6 La Uliyo Bote’E MatinroE ri Itterung.
Arung Palakka (lahir di Lamatta , Mario-ri Wawo , Soppeng , 15 September 1634 – meninggal di Bontoala , 6 April 1696 pada umur 61 tahun merupakan Sultan Bone yang menjabat pada tahun 1672-1696. Saat masih berkedudukan selaku pangeran , ia memimpin kerajaannya menjangkau kemerdekaan dari Kesultanan Gowa pada tahun 1666. Ia melakukan pekerjaan sama dengan Belanda di saat merebut Makassar. Palakka pula yang membuat suku Bugis selaku kekuatan maritim besar yang melakukan pekerjaan sama dengan Belanda dan mendominasi kawasan tersebut selama nyaris seabad lamanya.
Arung Palakka bergelar La Tan-ri Tatta To’ Urong To-ri Sompi Patta Malampei Gammana Daeng Serang To’ Appatunru Paduka Sri Sultan Sa’ad ud-din , mengacu pada ejaan karakter lontara. Adapun pelafalan yang sempurna merupakan La Tenritatta To Unru To-ri SompaE Petta MalampeE Gemme’na Daeng Serang To’ Appatunru Paduka Sultan Sa’adduddin
Arung Palakka La Tenri tatta lahir di Lamatta , Mario-ri Wawo , Soppeng , pada tanggal 15 September 1634 selaku anak dari pasangan La Pottobunna , Arung Tana Tengnga , dan istrinya , We Tenri Suwi , Datu Mario-ri Wawo , anak dari La Tenri Ruwa Paduka Sri Sultan Adam , Arumpone Bone.
Arung Palakka meninggal di Bontoala , Kesultanan Gowa , pada tanggal 6 April 1696 dan dimakamkan di Bontobiraeng
Arung Palakka pertama kali menikah dengan Arung Kaju tetapi karenanya mereka bercerai. Selanjutnya , ia menikah dengan Sira Daeng Talele Karaeng Ballajawa pada tanggal 16 Maret 1668 , sebelumnya istri dari Karaeng Bontomaronu dan Karaeng Karunrung Abdul Hamid. Pernikahan ini pun tidak bertahan usang dan keduanya bercerai pada tanggal 26 Januari 1671. Untuk ketiga kalinya , ia menikahi We Tan-ri Pau Adda Sange Datu-ri Watu , Datu Soppeng , di Soppeng pada tanggal 20 Juli 1673. Istri ketiganya ini merupakan putri dari La Tan-ri Bali Beowe II , Datu Soppeng , dan sebelumnya menjadi istri La Suni , Adatuwang Sidenreng. Pernikahannya yang keempat dilaksanakan pada tanggal 14 September 1684 dengan Daeng Marannu , Karaeng Laikang , putri dari Pekampi Daeng Mangempa Karaeng Bontomaronu , Gowa , dan sebelumnya merupakan istri dari Karaeng Bontomanompo Muhammad
Arung Palakka merupakan seorang pendekar yang ditakuti di seantero Batavia. Lelaki gagah berambut panjang dan matanya menyala-nyala ini memiliki nama yang menggetarkan seluruh pendekar dan pendekar di Batavia. Keperkasaan seakan dititahkan untuk senantiasa bersemayam bersamanya. Pria Bugis Bone dengan badik yang sanggup memburai usus ini sudah malang melintang di Batavia sejak tahun 1660-an , di saat ia bareng pengikutnya melarikan diri dari cengkeraman & ketangguhan Sultan Hasanuddin.
Batavia pada periode ke-17 merupakan arena di mana kekerasan seakan dilegalisir demi pencapaian tujuan. Pada masa Gubernur Jenderal Joan Maetsueyker , kekerasan merupakan udara yang menjadi napas bagi kelancaran metode kolonial. Kekerasan merupakan satu-satunya prosedur untuk bikin ketundukan pada bangsa yang mesti dihardik dahulu mudah-mudahan taat dan siap menjadi sekrup kecil dari pasang naik kolonialisme Eropa. Kekerasan itu seakan meneguhkan apa yang dibilang filsuf Thomas Hobbes bahwa insan intinya jahat dan laksana srigala yang saling memangsa sesamanya. Pada titik inilah Arung Palakka menjadi seorang perkasa bagi sesamanya.
Nama Arung Palakka terdapat pada suatu Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) , terdiri dari data sejarah tentang Batavia pada masa silam dengan sejarah yang kelam. Berbagai acuan itu menyimpan sekelumit kisah tentang lelaki yang patungnya dipahat dan berdiri gagah di tengah Kota Watampone.
Arung Palakka merupakan potret keterasingan dan menyimpan magma semangat yang menggebu-gebu untuk penaklukan. Ia terasing dari bangsanya , suku Bugis Bone yang kebebasannya terpasung. Namun , ia bebas sebebas merpati yang melesat dan meninggalkan jejak di Batavia. Ia sang penakluk yang terasing dari bangsanya. Malang melintang di kota sebesar Batavia , keperkasaannya kian membuncah tatkala ia membangun komplotan yang angker bareng dua tokoh terasing yang lain yakni lelaki Belanda berjulukan Cornelis Janszoon Speelman dan seorang Ambon yang juga perkasa berjulukan Kapiten Jonker. Ketiganya membangun komplotan diam-diam dan memegang kontrol atas VOC pada masanya , tergolong monopoli jual beli emas dan hasil bumi.
Ketiga tokoh yang teralienasi ini merupakan horor bagi pendekar pada masa itu. Speelman merupakan petinggi VOC yang jauh dari pergaulan VOC. Dia tersisih dari pergaulan lantaran terbukti terlibat dalam suatu jual beli gelap di saat masih menjabat selaku Gubernur VOC di Coromandel tahun 1665. Arung Palakka merupakan pangeran Bone yang hidup terjajah dan dalam tawanan Kerajaan Gowa. Ia memberontak dan bareng pengikutnya melarikan diri ke Batavia. VOC menyambutnya dengan baik dan menampilkan kawasan di pinggiran Kali Angke , hingga prajurit Bone ini disebut To Angke atau orang Angke. Sedang Kapiten Jonker merupakan seorang panglima yang berasal dari Pulau Manipa , Ambon. Dia punya banyak pengikut setia , tetapi tidak pernah menguasai satu kawasan di mana orang mengakuinya selaku daulat. Akhirnya beliau bergabung dengan VOC di Batavia. Rumah dan tanah luas di kawasan Marunda erat Cilincing diberikan VOC kepadanya.
Baik Speelman , Arung Palakka , dan Kapiten Jonker sama-sama berangkat dari hal yang serupa yakni keterasingan. Ketiganya punya sejarah penaklukan yang bikin nama mereka menjadi legenda. Speelman menjadi legenda lantaran sukses bikin Sultan Hasanuddin bertekuk lutut di Makassar dalam suatu perlawanan paling dahsyat dalam sejarah pertempuran yang pernah dialami VOC. Bersama Arung Palakka , Speelman merusak Benteng Sombaopu sehabis terjadinya Perjanjian Bongaya yang menjadi momok bagi VOC serta rintangan (barikade) untuk menguasai Indonesia timur , khususnya jalur rempah- rempah Maluku , pada tanggal 18 November 1667.
Arung Palakka sungguh terkenal alasannya merupakan sukses menaklukan Sumatra dan membumihanguskan perlawanan rakyat Minangkabau terhadap VOC. Arung Palakka menyimpan dua segi diametral , di satu segi hendak membebaskan Bone , tetapi di segi lain justru menaklukan kawasan lain di Nusantara. Kisahnya berawal pada tahun 1662 , dibentuk perjanjian antara VOC dengan pemimpin Minangkabau di Padang. Perjanjian yang kemudian di sebut Perjanjian Painan itu berencana untuk monopoli jualan di pesisir Sumatera , tergolong monopoli emas Salido. Sayang , rakyat Minang mengamuk pada tahun 1666 dan menewaskan perwakilan VOC di Padang berjulukan Jacob Gruys. Arung Palakka kemudian dikirim ke Minangkabau dalam ekspedisi yang dinamakan Ekspedisi Verspreet. Bersama pasukan Bone , ia sukses meredam dan mematikan perlawanan rakyat Minangkabau hingga menaklukan seluruh pantai barat Sumatera , tergolong memutus hubungan Minangkabau dengan Aceh. Kekuasaan VOC diperluas hingga Ulakan di Pariaman. Di tempat inilah , Arung Palakka diangkat selaku Raja Ulakan.
Sedang Kapiten Jonker punya reputasi menangkap Trunojoyo dan diserahkan pada pegawai keturunan VOC keturunan Skotlandia , Jacob Couper. Tiga tokoh yakni Speelman , Arung Palakka , dan Kapiten Jonker sudah menaklukan Nusantara di Barat , Tengah , dan Timur. Mereka punya andil besar untuk mengirimkan VOC pada puncak kejayaannya pada masa Gubernur Jenderal Joan Maetsuyker. Tidak heran kalau ketiga tokoh ini menjadi tulang punggung kekuatan VOC pada masa itu. Maetsueyker tidak berani menolak seruan ketiganya alasannya merupakan mereka punya bala tentara yang besar. Di luar ketiganya , ia cuma mengandalkan prajurit bayaran multibangsa dengan loyalitas yang rendah. Akibat kekuasaan yang besar serta penguasaan monopoli emas ini , Speelman sukses menjadi Gubernur Jenderal VOC pada tahun 1681.
Sayangnya , kisah fantastis dari tiga pendekar Batavia ini mesti rampung dalam waktu yang tidak lama. Musuh Speelman yakni perwira asal Perancis berjulukan Isaac declornay de Saint Martin eksklusif bergerak. Komandan perang yang mengungguli pertempuran di Cochin , Colombo , Ternate , Buton , Jawa Timur , dan Jawa Barat ini , sukses mengungkap semua korupsi dan keculasan Speelman hingga karenanya Speelman dikesampingkan dari posisi Gubernur Jenderal. Isaac juga sukses memengaruhi Gubernur Jenderal Champuys untuk menyingkirkan Kapiten Jonker. Wilayah kekuasaan lelaki Ambon ini di Pejonkeran Marunda dikepung , kemudian diserang. Kapiten Jonker tewas terbunuh dalam penyerbuan itu , kepalanya dipancung dan dipertontonkan. Pengikutnya dibunuh dan keluarganya diasingkan ke Colombo dan Afrika.
Menggantikan ibunya selaku Datu Mario-ri Wawo ke-15. Mendapat gelar Arung Palakka selaku kado membebaskan rakyatnya dari penjajahan Makassar. Diakui oleh Belanda selaku Arung Pattiru , Palette dan Palakka di Bone and Datu Mario-ri Wawo di Soppeng , Bantaeng dan Bontoala , 1670.
Menyatakan penurunan paksa tahta paman kandungnya pada 1672. Dan dimahkotai selaku Sultan Bone dengan gelar Paduka Sri Sultan Sa’ad ud-din , 3 November 1672.[2]
Andaya mengarahkan perhatiannya terhadap Arung Palakka selaku wakil dari tema dan keyakinan dasar yang hingga kini menguasai kehidupan orang Bugis atau Makassar. Dari sanalah beliau menjajal mencari akar alasannya merupakan Arung Palakka rela bersekutu dengan VOC seraya memerangi saudaranya sendiri di Kerajaan Gowa yang sedang jaya-jayanya selaku salah satu kerajaan terkuat dan paling besar di Nusantara periode ke-17.
Jawaban permasalahan itu , menuru Andaya , kurang sempurna kalau dicari dalam kerangka kompetisi ekonomi di wilayah potongan barat maritim Nusantara , antara Kerajaan Gowa dan VOC , yang memuncak dalam Perang Makassar 1666-1669 , sebagaimana diyakini para sarjana setempat dan mancanegara. Alasan pokok Arung Palakka bukanlah ekonomis-politis , tetapi pangadereng yang termasuk siri’’ (harga diri atau kehormatan dan rasa malu) , pacce (perasaan sakit dan pedih atas penderitaan kerabat sebangsa) , dan sare (kepercayaan bahwa seseorang sanggup memperbaiki atau memperjelek peruntungannya dalam hidup ini lewat langkah-langkah orang itu sendiri).
Tanpa mengerti ketiga ciri kultural yang memegang peranan sungguh penting dalam sejarah Sulawesi Selatan di saat itu , akan keruh selamanya menganggap Arung Palakka. Lagi pula Andaya percaya diktum sejarawan JC van Leur bahwa masa kemudian tidak ditulis untuk dinilai dengan nilai masa sekarang , dan oleh lantaran itu siri’ , pacce , dan sare merupakan materi yang lebih baik dan adil dipakai untuk menganggap dan memeriksa bencana penting pada periode itu , dibandingkan dengan kriteria masa kini. Demikianlah beliau memasuki dan memberi sumbangan penting dalam polemik yang hingga kini masih meningkat di antara penduduk Sulawesi Selatan tentang Arung Palakka yang tokoh sejati , pahlawan tulen bukan pengkhianat dan penindas.
Berlatar belakang menyerupai itu , Andaya mengawali riwayat tokohnya dengan membahas sejumlah ciri tertentu budaya penduduk Sulawesi Selatan yang dikaitkannya dengan kondisi historis periode ke-17 , utamanya kemajuan Islam dan jual beli internasional yang memuncak menjadi ketegangan antara Gowa , Bone , dan VOC yang datang di sana sejak tahun 1601. Ketegangan yang beliau perlihatkan dengan rinci menjadi latar kelahiran serta mengisi anggapan masa kanak dan muda Arung Palakka.
Arung Palakka lahir sekitar tahun 1635 di Desa Lamatta , kawasan Mario Wawo Soppeng , selaku pewaris takhta Kerajaan Bone. Ketika umurnya delapan tahun , Bone diperangi Kerajaan Gowa dan sukses menaklukkannya. Sejak berumur 11 tahun Arung Palakka dan keluarganya dibawa selaku sandera ke Istana Gowa. Mereka mujur lantaran menjadi pramusaji Karaeng Pattinggaloang , tokoh penting dan jenius di Kerajaan Gowa. Di bawah asuhannya , Arung Palakka berkembang menjadi pangeran yang mengesankan dalam olah otak maupun olahraga.
Meski beliau terlibat aktif di Istana Gowa dan berkawan dengan para perjaka Makassar , siri’ dan pacce mengingatkannya senantiasa selaku putra dari seorang Bugis pembuangan dan bahwa rakyatnya menderita. Awal 1660 beliau merasa penderitaan itu makin luar biasa lantaran mesti melihat 10.000 orang bau tanah maupun muda diseret dari Bone ke Makassar atas perintah Sultan Hassanudin lewat Karaeng Karunrung dan Regent (Bupati) Bone , Tobala. Mereka dijadikan pekerja paksa penggali akses di sepanjang garis pertahanan pantai Makassar mudah-mudahan ada pemisah antara Kerajaan Goa dan Benteng Pa’nakkukang yang diduduki VOC.
Lantaran banyak yang sakit dan melarikan diri , seluruh ningrat Bone dan Soppeng ditugaskan keluar dari istana , melakukan pekerjaan bareng rakyatnya. Ini melipatgandakan pelecehan siri’ yang sudah diderita oleh rakyat Bone dan Soppeng lantaran junjungannya dipaksa melaksanakan pekerjaan antusias yang tidak seharusnya. Pelecehan siri’ itu menjadi derita kolektif orang Bone dan Soppeng dan menebalkan pacce di antara mereka. Perlawanan pun dirancang.
Arung Palakka merupakan salah satu perancangnya , tetapi perlawanan itu patah oleh kekuatan Gowa yang besar. Ia terdesak. Akhir tahun 1660 beliau meninggalkan Sulawesi Selatan bareng pengikutnya menuju Batavia dengan sumbangan VOC , tetapi dalam hatinya terpatri sumpah tidak akan berhenti mencari cara untuk kembali , buat perkiraan , dan merdekakan negeri Bone.
Setelah menanti lima tahun , keinginannya terkabul. VOC yang takjub akan daya tempur pengikut Arung Palakka yang disebut Toangke (“Orang Angke” , diambil dari Kali Angke yang mengalir melalui perkampungan Bugis di Batavia) di saat menolong memadamkan pemberontak Minangkabau , mengajaknya memerangi Gowa yang dinilai mengusik kepentingan ekonomi VOC.
Andaya memberi ruang luas buat mengisahkan Perang Makassar. Salah satu yang menawan merupakan ditunjukkannya psikologi Arung Palakka dan Cornelis Speelman yang menjadi pemeran utama opsi VOC memimpin ekspedisi ke Kerajaan Gowa. Keduanya menderita oleh apa yang mereka anggap ketidakadilan sehingga rela berkorban apa pun demi memulihkan nama. Speelman percaya cuma kemenangan yang dapat membersihkan namanya dari noda dipecat dengan tidak hormat lantaran jual beli gelapnya selaku Gubernur VOC di Coromandel tahun 1665. Sementara bagi Arung Palakka , kemenangan akan membebaskannya dari beban berat bahwa siri’-nya sudah mati.
Hanya dengan memulihkan siri’-nya dan rakyatnya beliau sanggup menampilkan tampang di Sulawesi Selatan. Dia percaya lebih baik mati untuk menjaga siri’ (mate ri siri’na) dibandingkan dengan hidup tanpa siri’ (mate siri’). Mati untuk memulihkan siri’ merupakan “mati dengan siraman gula dan santan” (mate ri gollai , mat ri santannge). Situasi psikologis itulah yang mendorong keduanya “mentafsir ulang” perintah VOC.
Hal lain yang menawan merupakan kajian Andaya mengenai efek perang itu atas rakyat Makassar. Melalui dongeng rakyat Bugis , Sinrili’na Kappala’ Tallumbatua , beliau menampilkan Arung Palakka dan Perang Makassar yang dimaknai rakyat pedesaan Makassar dan Bugis selaku kemenangan rakyat dan keunggulan nilai-nilai mereka yang didasarkan pada kebiasaan dan praktik (ada’) yang sudah sungguh bau tanah dalam penduduk , yakni siri’ , pacce , dan sare.
Ini sungguh berlawanan dengan goresan pena para sejarawan Barat maupun sejarawan Indonesia yang melulu bergantung pada sumber Kerajaan Makassar dan/atau dokumen VOC. Mereka condong menggambarkan kepahitan dan pesimisme di kelompok para raja dan ningrat Makassar selaku pantulan perasaan seluruh rakyat Makassar. Kaprikornus , sebaiknya penduduk Sulawesi Selatan sanggup menurunkan kadar emosional dan lebih rasional setiap mendiskusikan mengenai implikasi Perang Makassar.
Seusai Perang Makassar , Arung Palakka sungguh mengerti bahwa VOC sudah menjadi kekuatan “di” , tetapi bukan “milik” , Sulawesi Selatan. Perbedaan ini disadari
dan dimanipulasi untuk bikin dirinya selaku salah satu penguasa atasan yang sukses dalam sejarah Sulawesi Selatan. Jalan menuju ke sana dirintisnya tidak saja dengan kesadaran beliau tidak akan berbalik melawan VOC yang sudah memulihkan hidupnya dan rakyatnya , tetapi juga dengan senantiasa menandakan kesetiaannya. Ia rela meninggalkan negerinya pada Mei 1678 untuk berperang menolong VOC mengakhiri permasalahan pengungsi Makassar pimpinan Karaeng Galesong yang menolong perlawanan Trunojoyo di Jawa.
Akhirnya , Andaya menyimpulkan Arung Palakka merupakan tokoh yang diberkati visi dan kepiawaian politik yang berefek sehingga bisa menggunakan pengaruhnya dengan efektif terhadap negara setempat , bahkan bikin pemerintah sentra VOC di Batavia bergantung dan rela mengabaikan bunyi wakilnya di Fort Rotterdam mudah-mudahan membelenggu Arung Palakka yang memaksa mereka semua menyebarkan mimpinya akan Sulawesi Selatan bersatu.
Mimpi Arung Palakka yang dalam 30 tahun kekuasaannya sukses diwujudkan , tetapi sekaligus bikin banyak pangeran dan pengikutnya yang tak baiklah dikarenakan politik kotor yang dilakukannya. Sehingga menyebabkan pangeran dan pengikutnya lari dan mencari rumah di tanah seberang sehingga mewarnai sejarah kawasan tujuan itu. Inilah yang menurut Andaya selaku warisan Arung Palakka , tidak cuma bagi Sulawesi Selatan tetapi juga bagi Nusantara , selain pribadinya selaku pemimpin yang sadar , paham , teguh memegang serta melaksanakan tradisi sebagaimana tersebut dalam amanat leluhur yang tertulis maupun tak tertulis.
Arung Palakka pernah menyerang Toraja (Tondok Lepongan Bulan) dengan ribuan bala tentara tetapi karenanya sukses dikalahkan oleh kombongan dengan nama Topadatindo Untulak Buntunna Bone.
sumber:
id.wikipedia.org/wiki/Arung_Palakka
bugiswarta.com
sejarahbone.blogspot.com
bugiswarta.com
facebook.com/notes/kab-bone-bumi-arung-palakka/sejarah-arung-palakka
galampang.com/arung-palakka