Sejarah Dan Budaya: Agama| Tradisi Dan Kesenian Dalam Manuskrip La Galigo

Gambar Gravatar
Galigo
Oleh: NURHAYATI RAHMAN
Galigo
Manuskrip Sureq Galigo dari abad ke-19 sumber: wikipedia
Manuskrip La Galigo yakni warisan orang Bugis. Ia pada pada dasarnya mengandungi empat aspek: keagamaan , kitab suci , tradisi dan kesenian.
Sebelum menganut Islam , orang Bugis mempercayai anutan dibandingkan dengan La Galigo bahwa Dewa tertinggi mereka yakni Patotoqé yang bertempat tinggal di Boting langiq dan Dewi Sinauq Toja yang bertempat tinggal di Buri Liu. Kepercayaan itu sudah melahirkan upacara dan tradisi yang hingga kini masih sanggup dijumpai dalam kebudayaan orang Bugis , penjaga dan penyelamat La Galigo yakni Bissu dan Sanro.
Kalau Bissu yakni pendeta bencong yang berfungsi selaku penghubung antara insan dengan yang kuasa , maka Sanro pula yakni pengamal yang berada di diam-diam dan bertugas menawarkan peralatan dan bahan-bahan serta alat upacara.
Hampir setiap upacara biasa insan , penurunan padi , naik rumah dan sebagainya senantiasa ada Sanro dan Bissu. Gambaran itu memamerkan kaitan La Galigo dengan agama , tradisi dan kesenian.
Kenyataan ini memamerkan betapa rumitnya kesenian tradisi itu. Di dalamnya terdapat kuasa dalaman yang bersangkut paut dengan sukma pemilik kesenian itu. Oleh itu , orang yang ingin mengusung kesenian sakral di luar konteksnya tanpa memperhitungkan kesakralannya dan perasaan pendukungnya , akan mendapati sukma ini akan kehilangan auranya , dan yang tertinggal cuma onggokan kreativiti yang tidak berjiwa.
Tulisan ini cuba mengulas unsur-unsur agama yang bersangkut-paut dengan tradisi dan kesenian yang menyertai karya-karya sastera klasik , tergolong La Galigo di Sulawesi Selatan , Kisah La Galigo dimulai di saat Patotoqé (Sang pencipta) di Boting langiq (kerajaan langit) menurunkan puteranya La Togéq Langiq , bergelar Batara Guru setelah turun di dunia , ke bumi untuk mengisi dunia tengah yang kosong. Pada di saat ia diturunkan ke bumi , seluruh alam menyambutnya dengan memberi semangat terhadap Batara Guru selaku ucap selamat berpisah terhadap dunia langit dan selamat tiba ke dunia tengah , dunia manusia. Ia diposisikan di suatu bambu dan meluncurlah ia di atas bumi atas nama sabda dewata. 
Di dalam bambu betung , tempat ia berbaring , ia diusung oleh kilat yang sabungmenyabung , angin bertiup kencang mengayunkannya turun , guntur menggelegar membelah langit memberinya jalan , pelangi bangkit tegak menyambutnya , dan awan berjejer melindunginya. Hal yang serupa juga berlaku di saat Wé Nyiliq Timoq , puteri Guru Ri Selleng (Dewa bawah laut) dan Sinauq Toja , kandidat isteri yang masih bersepupu dengan La Togeq Langiq , akan dimunculkan dari kerajaan Buri Liu (kerajaan Bawah laut). Ia diusung di atas busa air , diiringi ombak yang bergemuruh , dinaungi awan , serta angin dan guntur menggelegar. Kesemua gerak geri alam itu mirip majlis untuk menyambutnya.
Yang ingin saya nyatakan dari insiden hebat itu yakni untuk menerangkan bahawa anak yang kuasa itu sudah menaruh dasar kehidupan. Dengan kehidupan itulah orang Bugis memaknakan dunia ke dalam satu tatanan yang harmoni , antara insan dengan alam dan antara dunia bawah dan dunia atas. Lewat rancangan harmoni itulah orang Bugis menjalani kehidupannya tidak cuma di darat , tetapi juga di laut. Belayar dan mengembara untuk mencari tempat yang lebih tenang yakni proses penelusuran jati diri dengan keserasian yang tertata secara alami mirip suatu simfoni abadi.
Menurut keyakinan itu , maka sejak di saat itu kehidupan insan berjalan di dunia tengah , Alé Kawaq (batang tubuh dunia). Anak insan pun beranak dan bercucu meramaikan dunia dengan isinya mirip teladan kehidupan yang sudah digariskan Sang Patotoqé. Begitulah asal undangan dunia diciptakan mirip yang dikisahkan dalam kisah bau tanah , epik La Galigo yang menurut ribuan halaman manuskripnya dan jalinan perwatakannya yang berbelit-belit Kern (1939: 1) dan Sirtjo Koolhof (1995: 1) menempatkannya selaku karya terpanjang di dunia , kerana ia lebih panjang dibandingkan dengan epik India , Mahabarata dan Ramayana serta epik Yunani Homerus
DATANGNYA ISLAM KE SULAWESI SELATAN
Menjelang periode ke-16 muncullah perkembangan gres dalam buku sejarah tentang perjalanan orang Bugis setelah rasminya mereka menganut Islam selaku agama rasmi kerajaan Bugis/Makassar. Islam masuk ke wilayah ini tidak melalui perang , tetapijendela kebudayaan. Itulah sebabnya sehingga kini perkembangan anutan Islam di Sulawesi Selatan yakni sebegitu cepat dan teratur.
Hal itu juga disebabkan banyaknya anutan Bugis yakni sejalan dengan anutan Islam: yang fitrah dan universal. Meskipun begitu , sisa-sisa agama usang orang Bugis tidak sanggup dihakis begitu sahaja oleh ugama Islam. Dalam potongan Bugis Religion yang termuat dalam buku The Encyclopedia of Religion , Mircea Eliade (1983) , antara lain berkata bahawa walaupun orang Bugis sudah menjadi Muslim dan beriman , tetapi mereka masih mengekalkan sebahagian tradisi yang bersumberkan elemen pra-Islam , mirip Bissu dan kitab suci La Galigo.
Pelbagai anutan Islam dan Bugis yang mengandungi jiwa dan unsur yang serupa sudah diadaptasikan dan didialogkan yang kemudiannya memancarkan warna-warni kebudayaan Islam dengan muka Bugis , atau kebudayaan Bugis dengan muka Islam.
Tidaklah hairan kalau kita menemui doa Bissu yang menyebut Patotoqé selaku Dewata Séuawaé (dewata yang tunggal) yang disesuaikan dibandingkan dengan rancangan Allah yang Maha Esa , wahal dalam La Galigo , Dewa tidaklah tunggal , kerana ia beranak-pinak atau sebaliknya. Selain itu , kita juga menemui rancangan siriq yang kemudian diadaptasikan dengan rancangan jihad. Kemuncak terhadap kesemua itu yakni dikukuhkannya Islam dalam metode Pangngaderreng di Sulawesi Selatan yang ialah falsafah hidup orang Bugis , tidak kira sama ada selaku individu mahupun selaku anggota masyarakat. 
Ada lima unsur yang saling mengukuhkan rancangan Pangngaderreng ini:
1. wariq (sistem protokoler kerajaan) ,
2. adeq (adat-istiadat) ,
3. bicara (sistem hukum) ,
4. rapang (pengambilan keputusan menurut perbandingan) , dan
5. saraq (syariat Islam).
Empat unsur yang pertama itu dipegang Pampawa Adeq (pelaksana adat) , sedangkan yang terakhir dipegang Paréwa Saraq (perangkat syariat). Oleh kerana itu , kalau kita memetakan kehidupan beragama penduduk Bugis cukup umur ini , maka sanggup dilihat dalam tiga muka sekaligus , pertama , Islam militan , yang menjalankan syariat Islam secara konsisten dan benar , kedua , sinkritisme , penganut Islam yang konsisten menjalankan syariat Islam , tetapi masih melaksanakan tradisi yang berhubungan anutan usang mereka , ketiga , penganut agama To ri olo (To Lotang , To Kajang , Toraja) , yang terbahagi terhadap dua:
1. Penganut Islam KTP yang masih setia melaksanakan anutan leluhur mereka , pelaksanaan syariat Islam cuma sebatas pada upacara kematian.
2. Penganut To Ri Olo murni , ini kemudian dimasukkan pemerintah selaku agama Hindu , mirip yang terjadi pada keyakinan To Lotang.
Sementara itu , dalam keyakinan Aluq To Doloq di Toraja , dengan sebahagian orangnya beragama Katolik , juga terdapat perkembangannya mirip Islam di atas , yakni ada penganut Katolik setia , sinkritisme dan penganut agama Aluq To Doloq murni.
LA GALIGO SEBAGAI SUMBER AJARAN AGAMA TRADISIONIL ORANG BUGIS
Sebagai kitab suci dan sumber agama bagi penganut agama To ri Olo orang Bugis , La Galigo mewariskan sejumlah tradisi yang saling kait-mengait dengan pelbagai upacara suci dan sakral. Dalam upacara suci dan sakral itu senantiasa diiringi pemotongan haiwan dan pembacaan sureq La Galigo. Menurut Tol , tidak ada pembacaan teks La Galigo tanpa diiringi ritual. Sebelum dibaca mesti ada persembahan suguhan , dupa atau pemotongan ayam atau kambing. Membaca salah satu fragmen La Galigo boleh menyembuhkan penyakit , tolak bala dan sebagainya (1990:10).
Begitulah juga dengan upacara , mappano bine (upacara menidurkan benih padi) menjelang tanam padi , maccéraq tasiq upacara persembahan yang kuasa maritim ,ménréq baruga upacara peresmian balai rung tempat berlangsungnya upacara keduniaan; mattemu taung mendatangi dan menziarahi kuburan leluhur mereka dan lain-lain. Semua upacara itu diikuti pelbagai kesenian dan pembacaan episod La Galigo yang episodnya disesuaikan dengan isi dan upacara yang berlangsung. Kesenian yang mengiringinya antara lain séré bissu (joget bissu) maggiriq (para bissu menari sambil menusuk badannya dengan badik) massureq (membaca La galigo) , maggenrang (bermain gendang) , massuling lontaraq (meniup suling diiringi nyanyian La Galigo) , mallae-lae dan sebagainya
Seluruh rangkaian upacara ini dilaksanakaan dalam tiga komponen yang saling melengkapi. Pertama , Bissu , pendeta bencong yang bertugas memimpin upacara ritual. Menurut Fachruddin , perumpamaan Bissu memiliki persamaan dengan perumpamaan Biksyu dalam agama Budha. Ini mengambarkan adanya pengaruh agama Budha yang kurang mendalam di Sulawesi Selatan (1983:30). 
Penampilan Bissu itu mirip banci. Penampilan fizik mirip itu dimaksudkan mudah-mudahan mereka sanggup melepaskan diri dari tuntutan biologi terhadap musuh jenisnya (Nurhayati Rahman 1998:54). Dengan demikian , kekerabatan Bissu dengan para yang kuasa tidak pernah putus. Menurut Hooykaas , selain berperanan para bissu zaman dulu juga selaku pendeta agama juga berusaha mempertahankan puteri-puteri raja , khususnya di saat mereka sedang mandi atau mengubah busana (Nurhayati 2006: 56). 
Umumnya Bissu yakni laki-laki; tetapi terdapat juga perempuan tetapi bilangannya sedikit. Bissu memiliki bahasa mereka sendiri untuk berkomunikasi sesama mereka , dan berkomunikasi dengan Tuhan. Selain itu , Sanro , pula yakni pengamal di diam-diam dengan kiprah utama merencanakan seluruh peralatan upacara. Selain itu , Passureq , yakni pembaca dan penembang La Galigo.
Pendek kata , Bissu , sanro , passureq dan dewan etika yakni empat orang Bugis yang memelihara dan menemani La Galigo yang berada di garda paling depan. Mereka mempertaruhkan apa sahaja demi kesucian anutan La Galigo. Oleh alasannya itu , mereka pernah ditangkap , bahkan dibunuh pada zaman DI-TII (Darul Islam – Tentera Islam Indonesia) yang berkecamuk di Sulawesi Selatan. Mereka pernah dipaksa menjadi Hindu atau dirazia lewat “operasi tobat” di zaman Orde Baru. Adalah tidak benar kalau La Galigo diterlantarkan orang Bugis mirip yang banyak dilangsir pelbagai media selama ini.
REVITALISASI KESENIAN LA GALIGO
Bukan semua tradisi yang usang mesti diterima selaku sumber anutan dan nilai yang mutlak. Ini disebabkan ada yang usang itu sudah tidak lagi sesuai dengan kehidupan kini. Namun , tak sedikit dibandingkan dengan nilai yang usang itu tetap dikehendaki untuk menghadapi cabaran masa depan , lebih-lebih lagi arus globalisasi yang bukan sahaja sungguh komplek , tetapi juga mengaburkan batasbatas identiti bangsa. Begitulah yang sanggup kita lihat dalam La Galigo yang menyimpan banyak kearifan setempat yang perlu dijaga kelangsungannya. 
Tradisi membaca La Galigo sudah mulai hilang di kelompok generasi muda ekuran perubahan media komunikasi , baik audio mahupun audio-visual. Begitu juga dengan kesenian tradisi membaca La Galigo dan kesenian lain yang mengandungi nilai yang tinggi , yang cocok dan masih dikehendaki untuk mengisi jiwa nurani yang kosong. Nilai La Galigo akan tetap hidup mirip asalnya hingga bila-bila juga , walaupun dengan warna dan suasana yang berbeza.
Sementara itu , tradisi penurunan seni dan kebudayaan lain yang berhubungan La Galigo nyaris terputus pada generasi muda sekarang. Dalam pengusutan yang kami kerjakan tentang pentingnya revitalisasi kesenian di Sulawesi Selatan yang difokuskan pada seni tradisi yang berafiliasi La Galigo , kami menemui dua alasannya tradisi itu terancam , malahan mengalami kepunahan di Kabupaten Pangkep , Barru , Wajo dan Luwu. Pertama , bahaya luaran dari serbuan teknologi maklumat dari sentra ke wilayah tanpa opsi , terutamanya muzik pop dan dangdut. 
Kini , muzik baratlah yang menjadi hiburan dan referensi utama generasi muda dalam setiap majlis dan peringatan mereka. Hal ini menjadi lebih parah lagi dengan metode pendidikan dan kebijakan pemerintah yang tidak menghirau kelancaran seni tradisi. Huruf lontaraq , misalnya , yang menjadi asas seni tradisi pembacaan La Galigo (massureq/masselléyang) sudah tidak sanggup dibaca generasi muda. Kedua , bahaya dalaman dari pemilik tradisi seni yang sebahagian besar , tetua adatnya menabukan untuk mengajar seni , khususnya yang bersifat sakral terhadap generasi muda. Ketua etika sungguh khuatir apabila mengajar generasi muda , maka pantang larang yang sudah digariskan oleh leluhur sejak dulu itu tidak lagi diberi perhatian.
Banyak seniman tradisi sudah uzur. Usia mereka rata-rata 55 – 70 tahun. Jika boleh hidup 5 tahun lagi , maka dalam masa 5 tahun mendatang tradisi di Sulawesi Selatan akan hilang ditelan masa. Oleh itu , dikehendaki langkah-langkah secepatnya untuk menyelamatkannya. Program revitaliasi kesenian amat dikehendaki untuk menggugah tradisi yang sudah mengalami bahaya dan kepunahan itu dengan mengisinya semangat dan roh kembali.
KETERKAITAN ANTARA UGAMA TRADISI DAN SENI DALAM LA GALIGO
Yang dipaparkan di atas menyatakan bahawa agama , tradisi dan kesenian dalam La Galigo itu sudah membentuk suatu rangkaian dan metode yang struktural dan fungsional. Karya La Galigo sendiri yakni teks sastera dengan lima suku kata pada setiap larik sehingga ribuan bait , dengan alurnya yang datar , kilas balik dan pembayangan , kerepotan sifat perwatakannya , dan temanya yang rumit itu sudah menghasilkan orang sukar mengerti bagaimana karya sastra usang ini memiliki semua dimensi sastra modern. Itulah yang menjadikannya dipandang selaku karya agung. Ia juga dianggap selaku karya suci oleh Koentjaraningrat yang menyampaikan juga:
Sastra suci atau mitos ialah endapan seluruh impian , asumsi , persepsi hidup dan keyakinan orang-orang dalam penduduk yang bersangkutan. Itulah sebabnya prinsip-prinsip yang ada dalam mitos juga ialah prinsip-prinsip yang menjadi pedoman untuk sebagian besar acara kehidupan penduduk dan kebudayaan pada tempat-tempat mitos itu hidup. Dalam mencari prinsip-prinsip mitos orang akan sanggup pula menyeleksi prinsip-prinsip dalam masyarakatnya (1985: 240).
Meskipun kini kedudukan La Galigo sudah depresi oleh pengaruh agama Islam , pemodenan , perkembangan ilmu wawasan dan teknologi , tetapi sisa kebudayaan usang orang Bugis yang terkandung dalam anutan La Galigo itumasih tetap dijumpai dalam kebudayaan orang Bugis masa sekarang. Ini ternyata di beberapa desa yang kami kaji baru-baru ini , terutamanya di Bungoro dan Buloé. 
Dalam itu , kami dapati ada orang membutuhkan untuk najenneki timunna (mensucikan mulutnya) sebelum menyebut nama Sawérigading (tokoh utama dalam La Galigo). Mattulada sengaja tidak memasukkannya selaku sastera Bugis , kerana sangsi akan menyinggung perasaan orang Bugis yang masihmenganggapnya selaku teks keagamaan dan sakral (1985: 19). Menurut
Matthes , ia masih menjumpai orang Bugis yang menghendaki kuasa ghaib pada syair-syair La Galigo di saat berkunjung ke Kabupaten Sidenreng Rappang tahun 1852 , sehingga apabila ada orang sakit , maka ia diminta untuk membaca beberapa syair La Galigo selaku tuntutan doa (Kern 1939: 9)
Kita juga perlu waspada di saat menghadapi pelbagai kitab suci yang lain , walaupun teksnya ditulis dalam bahasa sastera yang tinggi , tetapi tidak ada penganut ugama tersebut yang ingin menganggapnya selaku karya sastera. Oleh itu apabila kita ingin mentransformasikan karya ini ke dalam bentuk seni yang lain , tergolong teater , faktor kesakralan dan hubungannya dengan keyakinan hendaklah diberi perhatian utama. 
Ada dua syarat dikehendaki di saat ingin mengangkat karya sastera mirip La Galigo ke pertunjukan teater. Pertama. kalau memakai judul La Galigo , kita mesti mengikuti alur ceritanya dengan disertai interpretasi yang dapat menempatkannya dan menangkap seluruh sukma karya yang bersangkutan. Ini pasti sahaja yakni unik kalau diberi sentuhan artistik dan interpretasi panggung yang modern. Kedua , kalau tidak sama dengan alur dongeng dan khayalan seniman , kita dihentikan memakai judul La Galigo , dan terpaksa memakai judul yang lain , elok disebut selaku “terinspirasi dari dongeng La Galigo”
PENUTUP
Perbincangan di atas menyatakan bahawa La Galigo , malahan nyaris kesemua seni tradisional di Sulawesi Selatan , ada kaitannya dengan agama , tradisi dan kesenian. Hal ini memamerkan rumitnya kesenian tradisional , maka tidaklah gampang mirip yang dibayangkan. Ini disebabkan di dalamnya terdapat kuasa dalaman yang bersangkut paut dengan sukma pemilik seni itu.
Oleh itu , kalau ingin mengangkat suatu kesenian sakral di luar konteksnya tanpa memperhitungkan kesakralannya dan perasaan pendukungnya , sukma itu akan hilang auranya. Yang tertinggal hanyalah suatu onggokan kreativiti yang tidak berjiwa.
Sumangeq dan ininnawa begitulah orang Bugis menyebut “sukma” dan “hati nurani” dari prinsip-prinsip hidup yang diwarisinya dari La Galigo. Melalui sumangeq dan ininnawa itulah mereka mengarungi seribu dunia dan menerjemahkannyanya ke dalam kehidupan dunia kekinian. Kuruq sumangeq Puang Ponratu , rini sumangeq to ri langiqmu
Sumber Rujukan : Ambo Enre , Fachruddin. 1983. Ritumpanna Welerengnge: Telaah Filologis Sebuah

Episode Sastra Bugis Klasik Disertasi. Jakarta: Universitas Indonesia.

Untitled 3DAYAK

Seorang pakar sosial budaya yang aktif pada berbagai kegiatan sosial kemasyarakatan. Telah menempuh pendidikan di salah satu universitas swasta terbaik di Indonesia yang mengambil jurusan sosial budaya.

Pos terkait