![]() |
Gbr Ilustrasi sumber :Sinar Harapan / Lukas Setiadi |
Penganut kepercayaan atau agama setempat kesusahan memamerkan identitas keagamaannya.
Jauh sebelum agama yang berasal dari luar negeri (agama luar) masuk , penduduk Indonesia , dahulu Nusantara sudah memiliki agama dan kepercayaan sendiri. Mereka juga sudah mengenal Tuhan yang tidak berwujud , dengan segala maha , layaknya apa yang diajarkan agama-agama dari luar , tetapi bukan hal yang mudah bagi mereka untuk memamerkan identitas keTuhanannya.
Peristiwa Gerakan 30 September 1965 menjadi permulaan mula para penghayat kepercayaan untuk memeluk agama-agama dari luar negeri secara terpaksa. “Pada ketika insiden G 30 September terjadi , kami beramai-ramai memeluk agama dari luar. Pilihan itu sebab adanya gagasan untuk berlindung di bawah pohon cemara putih ,” kata Dewi Kanti , seorang penganut Sunda Wiwitan.
Mayoritas penganut Sunda Wiwitan pindah agama juga dilatarbelakangi sejarah kelam “pembantaian” oleh DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia). Sejak ketika itu , jumlah penganut agama dari luar mengalami peningkatan yang hebat secara kuantitas. “Kalau kami tidak memeluk salah satu agama ketika itu , kami niscaya jadi sasaran sebab dianggap ateis , tidak berTuhan ,” tutur Dewi.
Pemerintahan Orde Baru (Orba) di bawah Soeharto sudah memutuskan , cuma lima agama yang boleh dijadikan identitas dalam kartu tanda penduduk (KTP). Agama itu merupakan Hindu , Buddha , Islam , Kristen , dan Kristen. Saat angin reformasi berembus , di bawah Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) , Konghucu didirikan selaku agama yang boleh dipeluk , berdampingan dengan lima agama yang sudah dinyatakan resmi sebelumnya.
Kesulitan untuk memamerkan identitas itu juga dialami orang Samin yang menganut agama Adam dan orang Dayak yang menganut Kaharingan. Pemerhati sejarah Moh Rosyid dari Sekolah Tinggi Ilmu Agama Islam Negeri (STAIN) Kudus menyatakan , sebab Wong Samin tidak melakukan ritual ibadah yang terang menyerupai agama yang lain , mereka dicap selaku komunitas yang tidak beragama.
“Warga Samin yang tidak tahan dengan perlakuan pemerintah Orde Baru yang juga dijalankan pemerintah desa di tingkat paling bawah , hasilnya menanggalkan jatidiri Saminnya. Ada juga yang lalu meninggalkan desanya dan berbagi anutan Samin di tempat lain ,” kata Rosyid.
Dalam pertumbuhan zaman yang kian terbaru , belum dewasa Wong Samin pun lalu terpaksa sekolah di sekolah umum. Masalah gres pun muncul. Di sekolah itu belum dewasa Wong Samin “dipaksa” mengikuti pelajaran agama (Islam , Kristen , Katolik). Padahal mereka tidak memedulikan agama itu.
![]() |
Warga Hindu Kaharingan Kotim Gelar Ritual Mamapas Lewu , sumber BORNEONEWS-RAF |
Agama Kaharingan , selaku agama orisinil Suku Dayak , ketika ini betul-betul punah di Provinsi Kalimantan Barat. Para bekas pemeluk Agama Kaharingan , hasilnya kini memutuskan agama tradisi besar , seperti: Islam , Kristen , Kristen , Hindu , Buddha , dan Konghucu.
Pasca-operasi penumpasan pemberontakan Pasukan Gerilya Rakyat Serawak/Persatuan Rakyat Kalimantan Utara (PGRS/Paraku) di sepanjang perbatasan dengan Malaysia , 1967-1977 , penduduk suku Dayak Uud Danum yang masih menganut agama Kaharingan , diinstruksikan untuk merubah kepercayaan sesuai yang disarankan pemerintah biar tidak dicap komunis gaya gres yang identik dengan PGRS/Paraku.
“Jadi , agenda pengagamaan Suku Dayak pasca-operasi penumpasan PGRS/ Paraku sudah membuat punahnya agama Kaharingan di Kalimantan Barat periode 1967– 1977 ,” kata Zainuddin Isman , antropolog Universitas Muhammadyah , Pontianak. Paksaan tersebut berjalan sampai sekarang.
![]() |
Warga Dayak tuntut ratifikasi Kaharingan selaku agama , sumber indonesia.ucanews.com |
Namun , Direktur Jenderal Administrasi Kependudukan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) , Zudan , membantah adanya diskriminasi tersebut. Menurutnya , UU No 24/2014 ihwal Administrasi Kependudukan mengamanatkan , KTP elektronik mencantumkan gambar lambang Garuda Pancasila dan peta kawasan NKRI , yang menampung komponen data penduduk. Dalam KTP elektronik , tercantum keterangan ihwal “agama” , bukan “agama/kepercayaan”.
Oleh sebab itu , yang dicantumkan dalam kolom tersebut merupakan “agama yang dianut penduduk pemegang KTP , bukan aliran kepercayaan yang dianut. Bagi penduduk agamanya belum diakui selaku agama menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau bagi penghayat kepercayaan tidak diisi , tetapi tetap dilayani dan dicatat dalam database kependudukan ,” katanya.
![]() |
Ugamo Malim (Image by wacana.co) |
Ia menerangkan , penghayat kepercayaan berhak mendapatkan semua jenis pelayanan pencatatan insiden penting (kelahiran , maut , perkimpoian , perceraian , ratifikasi anak , ratifikasi anak , dan insiden penting lainnya) dalam pencatatan sipil sebagaimana lazimnya penduduk Indonesia.
“Sebagaimana dikontrol dalam Pasal 81 PP No 37/2007 , perkimpoian penghayat kepercayaan sanggup dicatatkan apabila perkimpoian tersebut dijalankan di hadapan pemuka penghayat kepercayaan yang ditunjuk organisasinya ,” ucapnya. Organisasi tersebut mesti sudah terdaftar pada kementerian yang bidang tugasnya secara teknis membina organisasi penghayat kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Untuk memutuskan atau penunjukan pemuka penghayat kepercayaan diinginkan adanya organisasi.
Pembentukan organisasi penghayat yang mesti terdaftar agar tertib tata kelola , adanya kepastian pemuka penghayat , pertanggungjawaban pelaksanaan perkimpoian , serta kelangsungan pelaksanaan perkimpoian. “Bukan untuk mempersulit proses perkimpoian para penghayat ,” serunya.
Direktur Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Kemendagri , Soedarmo mengutarakan , Kemendagri akan mengingatkan kembali kepala tempat untuk secepatnya mempercepat pengerjaan peraturan tempat (perda) terakit pelayanan kepada penghayat kepercayaan. “Kami akan dorong pemda untuk secepatnya merealisasikannya ,” ujarnya. Menurutnya , penghayat kepercayaan mesti dilindungi sebab mereka cuilan dari bangsa. Mereka juga merupakan warisan besar yang dimiliki bangsa ini. (Aju)
oleh: dewaagni
Sumber :
Sinar Harapan
Thread kaskus

Seorang pakar sosial budaya yang aktif pada berbagai kegiatan sosial kemasyarakatan. Telah menempuh pendidikan di salah satu universitas swasta terbaik di Indonesia yang mengambil jurusan sosial budaya.