Ra’ba Biang (pohon/rumput ilalang yang rebah/nyaris tumbang)
Saya menulis ini sesuai kisah orang Toraja secaraturun temurun yang positif pernah terjadi. Kejadian ini terjadi pada Tahun 1918 – 1920, dimana ada ribuan orang Toraja meninggal dalam abad waktu yang sungguh singkat.
Menurut cerita dari nenek saya dan juga salah satu petua etika dikampungku, waktu itu udara mirip diracuni, orang-orang meninggal seperti daun-daun yang berjatuhan, kemudian ada juga yang meninggal dalam perjalanan ketika mengantarkan sanak keluarganya ke liang kubur, sehingga banyak yang dikuburkan secara massal sebab tidak ada lagi peluang untuk mengupacarakan mereka sesuai akhlak orang Toraja.
Kejadian itu dipercaya selaku kutukan dari Puang (Tuhan/Dewa/penguasa alam semesta) alasannya orang Toraja telah banyak yang meninggalkan iman “Aluk Todolo” atas efek Belanda. Aluk Todolo yaitu Kepercayaan atau agama renta diToraja sebelum ada agama Katolik.
Tapi setelah saya buka-buka rujukan, ternyata di Tahun yang sama (1918-1920) telah terjadi insiden yang sama dipulau jawa dan daerah-kawasan lain di indonesia. Orang-orang jawa mencoba menangani penyakit itu dengan melakukan ritual-ritual dan mengkonsumsi ramuan-ramuan tradisional mirip temulawak dan jamu.
Di Kudus, Jawa Tengah, insiden ini mendorong sekelompok pedagang keturunan Tionghoa untuk berembug mencari jalan keluar. Seorang pedagang menyarankan menyelenggarakan selamatan dengan arak-arakan toapekong supaya semua penduduk merasakan manfaatnya. Arak-arakan toapekong keliling kota Kudus dikerjakan empat kali pada Oktober 1918. Lengkap dengan barongsai, bendera, iringan tabuhan, dan suara-bunyian serta doa-doa. Mereka percaya arak-arakan mampu menghalau setan penyebar penyakit ini keluar dari Kudus. Sayangnya, sebuah peristiwa dalam arak-arakan yang terakhir pada 30 Oktober 1918 lalu menjadi pemicu kerusuhan kepada kalangan Tionghoa di Kudus.
Di kawasan Mojowarno, Jawa Timur, juga mendorong sejumlah anggota penduduk melakukan ritual dogma.
C.W. Nortier dalam “De spaansche griep te Modjowarno” yang dimuat Maandblad der Samenwerkende Zending-Corporaties, tahun 1919, menulis, mereka melaksanakan ritual dengan sesajen bunga dan kurban kerbau di makam Kyai Abisai dan Kyai Emos –dua tokoh bumiputera perintis agama Kristen di Mojowarno. Mereka berharap menemukan pengampunan dan roh jahat yang menenteng penyakit ini bisa keluar dari Mojowarno. Walaupun ketika itu, menurut dokumentasi Nortier, Nederlandsch Zending Genootschap (NZG) juga menawarkan akomodasi kesehatan dan berita perihal influenza lewat rumah sakit Zending Mojowarno dengan melibatkan dokter dan petugas kesehatan, tergolong para pendeta.
Kemudian saya mencari referensi yang lebih luas, dan ternyata di Tahun yang serupa (1918-1920) juga terjadi kejadian yang serupa di seluruh Dunia, dan penyakit ini disebut Flu Spanyol atau “Pandemic Spanish Influenza”. Pembunuh Massal Di Akhir Perang Dunia I, seratus tahun yang kemudian. Diberi nama Spanish Influenza alasannya adalah media Spanyol lah yang pertama kali menyiarkan dan mengembangkan perihal Flu itu secara besar-besaran.
Sebuah virus influenza yang mematikan menginfeksi sepertiga penduduk dunia, membunuh 195.000 penduduk Amerika hanya pada bulan Oktober 1918 saja, kemudian menyebar dengan kecepatan yang fantastis di seluruh dunia, melanda India, dan mencapai Australia hingga pulau-pulau terpencil di Pasifik. Hanya dalam 18 bulan setidaknya sepertiga penduduk dunia terinfeksi.
Perkiraan jumlah niscaya maut beragam secara liar dan serampangan, mulai dari 20 juta sampai 50 juta bahkan ada yang menyampaikan 100 juta maut telah terjadi, hal ini dikarenakan kurang lengkapnya alat ataupun media untuk menghimpun data yang pasti pada abad itu.
Priyanto Wibowo dkk dalam buku “Yang Terlupakan”, Pandemi Influenza 1918 di Hindia Belanda menulis, pemerintah Hindia Belanda mengusulkan pil kina sebagai alternatif obat influenza. Dinas Kesehatan Rakyat (Burgerlijke Gezondheit Dienst) sendiri terus melaksanakan penelitian untuk mendapatkan obat influenza. Sebuah laboratorium kedokteran di Batavia sekitar 1919 menemukan ramuan tablet yang diyakini mampu menyembuhkan influenza dengan komposisi: 0.250 aspirin, 0.150 pulvis doveri, dan 0.100 camphora. Di tahap awal penemuan, 100 ribu butir tablet diproduksi dan didistribusi kepada masyarakat Hindia Belanda. Tak ada catatan perihal efektivitas tablet itu dalam penyembuhan influenza.
Sekian Coretan dari saya, supaya berfaedah.
Pesan dari peristiwa ini:
Jangan senantiasa menyalahkan Sang Pencipta dikala kita dilanda petaka, karena Sang Pencipta pasti sayang sama ciptaanya, termasuk saya dan anda.
Hormat Saya,
F. Tangalayuk
Referensi:
C.W. Nortier dalam “De spaansche griep te Modjowarno” yang diangkut Maandblad der Samenwerkende Zending-Corporaties, tahun 1919
1918 Flu Pandemic That Killed 50 Million Originated in China, Historians Say
Chinese laborers transported across Canada thought to be source.
THE GLOBAL FLU outbreak of 1918 killed 50 million people worldwide, ranking as one of the deadliest epidemics in history, By Dan Vergano, NATIONAL GEOGRAPHIC
Publiced January 24, 2014
Gina kolata “Flu: The Story of the Great Influenza Pandemic of 1918 and the Search for the Virus that Caused It”
Priyanto Wibowo dkk dalam buku “Yang Terlupakan”.
