Kata “pagerwesi” artinya pagar dari besi. Kata besi ini melambangkan sebuah dukungan yang besar lengan berkuasa. Segala sesuatu yang dipagari mempunyai arti sesuatu yang bernilai tinggi semoga jangan mendapat gangguan atau dirusak. Hari Raya Pagerwesi sering diartikan oleh umat Hindu selaku hari untuk memagari diri yang dalam bahasa Bali disebut magehang awak. Nama Tuhan yang dipuja pada hari raya ini yakni Sanghyang Pramesti Guru. Sanghyang Paramesti Guru yakni nama lain dari Dewa Siwa sebagai manifestasi Tuhan untuk melebur segala hal yang buruk. Dalam kedudukannya selaku Sanghyang Pramesti Guru, dia menjadi gurunya alam semesta terutama insan. Hidup tanpa guru sama dengan hidup tanpa penuntun, sehingga tanpa arah dan segala langkah-langkah jadi ngawur. Hari raya Pagerwesi jatuh pada hari Budha Kliwon Wuku Sinta. Dalam kalender hari suci di Bali, hari ini adalah hari ke 5 dari serangkaian hari raya penting, adalah Hari ini yaitu payogan Hyang Pramesti Guru, dibarengi para Dewa dan Pitara, demi kemakmuran dunia dengan segala isinya dan demi sentosanya kehidupan semua makhluk. Pada ketika itu umat hendaklah ayoga semadhi, adalah menenangkan hati serta menawarkan sembah bhakti kehadapan Ida Sang Hyang Widhi. Juga pada hari ini diadakan widhi widhana secukupnya, dihaturkan dihadapan Sanggar Kemimitan diikuti sekedar korban untuk Sang Panca Maha Butha. Pada hari ini kita menyembah dan sujud kehadapan Ida Sang Hyang Widhi, Hyang Pramesti Guru beserta Panca Dewata yang sedang melaksanakan yoga. Menurut pengider-ideran Panca Dewata itu yaitu: 1 Sanghyang Içwara berkedudukan di Timur 2 Sanghyang Brahma berkedudukan di Selatan 3 Sanghyang BatarSyiwa berkedudukan di Barat 4 Sanghyang Wisnu berkedudukan di Utara 5 Sanghyang Çiwa berkedudukan di tengah Ekam Sat Tuhan itu tunggal. Dari Panca Dewata itu kita peroleh pemahaman, betapa Hyang Widhi dengan 5 manifestasiNya dilambangkan menyelubungi dan meresap ke seluruh ciptaanNya (wyapi-wiapaka dan nirwikara). Juga dengan geraknya itulah Hyang Widhi memperlihatkan hidup dan kehidupan kepada kita. Hakekatnya hidup yang ada pada kita masing-masing yakni bab ketimbang dayaNya. Pada hari raya Pagerwesi kita sujud kepadaNya, merenung dan memohon supaya hidup kita ini direstuiNya dengan kesentosaan, pertumbuhan dan lain-lainnya. Widhi-widhananya adalah: suci, peras penyeneng sesayut panca-lingga, penek rerayunan dengan raka-raka, amis-wangian, kembang, asep dupa arum, dihaturkan di Sanggah Kemulan (Kemimitan). Yang di bawah dipujakan kepada Sang Panca Maha Bhuta yaitu Segehan Agung manca warna (berdasarkan urip) dengan tetabuhan arak berem. Hendaknya Sang Panca Maha Bhuta bergirang dan suka menolong kita, memberi petunjuk jalan menuju keamanan, sehingga mencapai Bhukti mwang Mukti.
Pelaksanaan upacara/upakara Pagerwesi bahwasanya titik beratnya pada para pendeta atau rohaniawan pemimpin agama. Dalam lontar Sundarigama disebutkan:
Sang Purohita ngarga apasang lingga sapakramaning ngarcana paduka Prameswara. Tengahiwengi yoga samadhi ana labaan ring Sang Panca Maha Bhuta, sewarna anut urip gelarakena ring natar sanggah.
Artinya: Hakikat pelaksanaan upacara Pegerwesi adalah lebih ditekankan pada pemujaan oleh para pendeta dengan melaksanakan upacara Ngarga dan Mapasang Lingga.
Tengah malam umat direkomendasikan untuk melakukan meditasi (yoga dan samadhi). Banten yang paling utama bagi para Purohita adalah “Sesayut Panca Lingga” sedangkan perlengkapannya Daksina, Suci Praspenyeneng dan Banten Penek. Meskipun hakikat hari raya Pagerwesi yaitu pemujaan (yoga samadhi) bagi para Pendeta (Purohita) tetapi umat kebanyakan pun wajib ikut merayakan sesuai dengan kesanggupan. Banten yang paling inti perayaan Pegerwesi bagi umat kebanyakan yakni natab Sesayut Pagehurip, Prayascita, Dapetan. Tentunya dilengkapi Daksina, Canang dan Sodaan. Dalam hal upacara, ada dua hal banten pokok yaitu Sesayut Panca Lingga untuk upacara para pendeta dan Sesayut Pageh Urip bagi umat kebanyakan.
Makna Filosofi
Sebagaimana sudah disebutkan dalam lontar Sundarigama, Pagerwesi yang jatuh pada Budha Kliwon Shinta ialah hari Payogan Sang Hyang Pramesti Guru diiringi oleh Dewata Nawa Sangga. Hal ini mengundang makna bahwa Hyang Premesti Guru yaitu Tuhan dalam manifestasinya sebagai guru sejati.
Mengadakan yoga mempunyai arti Tuhan menciptakan diri-Nya sebagai guru. Barang siapa menyucikan dirinya akan dapat meraih kekuatan yoga dari Hyang Pramesti Guru. Kekuatan itulah yang akan dipakai memagari diri. Pagar yang paling besar lengan berkuasa untuk melindungi diri kita yaitu ilmu yang berasal dari guru sejati pula. Guru yang sejati ialah Tuhan Yang Maha Esa. Karena itu inti dari peringatan Pagerwesi itu yaitu memuja Tuhan selaku guru yang sejati. Memuja bermakna menyerahkan diri, menghormati, memohon, memuji dan memusatkan diri. Ini memiliki arti kita mesti menyerahkan kebodohan kita pada Tuhan biar dia sebagai guru sejati mampu megisi kita dengan kesucian dan wawasan sejati.
Pada hari raya Pagerwesi yaitu hari yang paling baik mendekatkan Atman kepada Brahman sebagai guru sejati . Pengetahuan sejati itulah sebetulnya ialah “pager besi” untuk melindungi hidup kita di dunia ini. Di samping itu Sang Hyang Pramesti Guru beryoga bareng Dewata Nawa Sanga adalah untuk “ngawerdhiaken sarwa tumitah muang sarwa tumuwuh.”
Ngawerdhiaken artinya membuatkan. Tumitah artinya yang ditakdirkan atau yang terlahirkan. Tumuwuh artinya tumbuh-tumbuhan. Wanijyam, artinya jual beli. Berdagang yakni sebuah pengabdian terhadap produsen dan konsumen. Keuntungan yang benar, menurut dharma bila produsen dan konsumen diuntungkan. Kalau ada pihak yang dirugikan, itu mempunyai arti ada kecurangan. Keuntungan yang didapat dari kecurangan terang tidak diinginkan dharma.
Kehidupan tidak terpagari kalau tidak berkembangnya sarwa tumitah dan sarwa tumuwuh. Moral manusia akan ambruk jika insan dilanda kemiskinan baik miskin etika maupun miskin material. Hari raya Pagerwesi ialah hari untuk mengingatkan kita untuk berlindung dan berbakti terhadap Tuhan selaku guru sejati. Berlindung dan berbakti ialah salah satu ciri insan bermoral tanpa kesombongan.
Mengembangkan pertanian dan peternakan bermaksud untuk memagari insan dari kemiskinan material. Karena itu tepatlah jika hari raya Pagerwesi dipandang sebagai hari untuk memerangi diri dengan kekuatan meterial. Kalau kedua hal itu (pertanian dan peternakan) berpengaruh, maka adharma tidak mampu masuk menguasai insan. Yang menawan untuk dimengerti adalah Pagerwesi ialah hari raya yang lebih diperuntukkan para pendeta (sang purohita). Hal ini mampu diketahui, alasannya adalah untuk menjangkau vibrasi yoga Sanghyang Pramesti Guru tidaklah mudah. Hanya orang tertentu yang mampu menjangkau vibrasi Sanghyang Pramesti Guru. Karena itu ditekankan pada pendeta dan beliaulah yang hendak melanjutkan pada masyarakat umum. Dalam agama Hindu, purohita yakni adi guru loka yaitu guru utama dari penduduk . Sang Purohita-lah yang lebih bisa menggerakkan atma dengan tapa brata.
Dalam Manawa Dharmasastra V, 109 disebutkan:
Atma dibersihkan dengan tapa bratabudhi dibersihkan dengan ilmu pengetahuan (widia) manah (pikiran) dibersihkan dengan kebenaran dan kejujuran yang disebut satya.
Penjelasan Manawa Dharmasastra ini yaitu bahwa atma yang tidak diselimuti oleh awan kegelapan dari hawa nafsu akan dapat mendapatkan vibrasi spiritual dari Brahman. Vibrasi spiritual itulah sebagai pagar besi dari kehidupan dan itu pulalah guru sejati. Karena itu amat ditekankan pada Hari Raya Pagerwesi para pendeta supaya ngarga, mapasang lingga.
Ngarga yaitu suatu kawasan untuk membuat tirtha bagi para pendeta. Sebelum membuat tirtha, apalagi dahulu pendeta menyucikan arga dengan air, dengan pengasepan sampai disucikan dengan mantra-mantra tertentu sehingga tirtha yang dihasilkan betul-betul amat suci. Pembuatan tirtha dalam upacara-upacara besar dilaksanakan dengan mapulang lingga. Tirtha suci itulah yang hendak dibagikan kepada umat. Mengingat ngargha mapasang lingga diusulkan oleh lontar Sundarigama pada hari Pagerwesi ini, memiliki arti para pendeta mesti melaksanakan hal yang amat utama untuk meraih vibrasi spiritual payogan Sanghyang Pramesti Guru.
Sesayut Panca Lingga dengan inti ketipat Lingga yakni memohon lima manifestasi Siwa untuk memperlihatkan benteng kekuatan (pager besi) dalam menghadapi hidup ini. Para pendetalah yang memiliki kewajiban menghadirkan lebih intensif dalam masyarakat. Kemahakuasaan Tuhan dalam manifestasinya selaku Siwa dengan simbol Panca Lingga, Sesayut Pageh Urip bagi kebanyakan atau umat yang masih walaka. Kata “pageh” artinya “pagar” atau “teguh” sedangkan “urip” artinya “hidup”. “Pageh urip” artinya hidup yang teguh atau hidup yang terlindungi. Kata “sesayut” berasal dari bahasa Jawa dari kata “ayu” artinya selamat atau makmur.
Natab Sesayut artinya mohon keamanan atau kerahayuan. Banten Sesayut menggunakan alas sesayut yang bentuknya lingkaran dan maiseh dari daun kelapa. Bentuk ini melambangkan bahwa untuk menerima keamanan haruslah secara bertahap dan beren-cana. Tidak bisa sebuah kebaikan itu diwujudkan dengan cara yang ambisius. Demikianlah sepintas filosofi yang terkandung dalam lambang upacara Pagerwesi.
Di India, umat Hindu memiliki hari raya yang disebut Guru Purnima dan hari raya Walmiki Jayanti. Upacara Guru Purnima pada intinya yakni hari raya untuk memuja Resi Vyasa berkat jasa ia mengumpulkan dan mengkodifikasi kitab suci Weda. Resi Vyasa pula yang menyusun Itihasa Mahabharatha dan Purana. Putra Bhagawan Parasara itu pula yang menerima wahyu ten-tang Catur Purusartha yakni empat tujuan hidup yang lalu diuraikan dalam kitab Brahma Purana.
Berkat jasa-jasa Resi Vyasa itulah umat Hindu setiap tahun merayakan Guru Purnima dengan mengadakan persembahyangan atau perumpamaan di India melakukan puja untuk keagungan Resi Vyasa dengan mementaskan banyak sekali episode wacana Resi Vyasa. Resi Vyasa diyakini sebagai adi guru loka adalah gurunya alam semesta.
Sedangkan Walmiki Jayanti dirayakan setiap bulan Oktober pada hari Purnama. Walmiki Jayanti yaitu hari raya untuk memuja Resi Walmiki yang amat berjasa menyusun Ramayana sebanyak 24.000 sloka. Ke-24. 000 sloka Ramayana itu dikembangkan dari Tri Pada Mantra ialah bagian inti dari Savitri Mantra yang lebih populer dengan Gayatri Mantra. Ke-24 suku kata suci dari Tri Pada Mantra itulah yang sukses dikembangkan menjadi 24.000 sloka oleh Resi Walmiki berkat kesuciannya. Sama dengan Resi Vyasa, Resi Walmiki pun dipuja selaku adi guru loka ialah maha gurunya alam semesta.
Sampai ketika ini Mahabharata dan Ramayana yang disebut itihasa adalah merupakan pagar besi dari insan untuk melindungi dirinya dari serangan hawa nafsu jahat.
Jika kita boleh mengambil kesimpulan, kiranya Hari Raya Pagerwesi di Indonesia dengan Hari Raya Guru Purnima dan Walmiki Jayanti mempunyai semangat yang searah untuk memuja Tuhan dan resi selaku guru yang menuntun insan menuju hidup yang kuat dan suci. Nilai hakiki dari perayaan Guru Purnima dan Walmiki Jayanti dengan Pegerwesi dapat dipadukan. Namun bagaimana cara perayaannya, tentu lebih sempurna diadaptasi dengan budaya atau tradisi masing-masing daerah. Yang penting yakni adanya pemadatan nilai atau penambahan makna dari memuja Sanghyang Pramesti Guru ditambah dengan memperdalam pemahaman akan jasa-jasa para resi, seperti Resi Vyasa, Resi Walmiki dan resi-resi yang sungguh berjasa bagi umat Hindu di Indonesia.
Dari aneka macam sumber.
Sang Pendeta hendaknya ngarga dan mapasang lingga sebagaimana layaknya memuja Sang Hyang Prameswara (Pramesti Guru). Tengah malam melaksanakan yoga samadhi, ada labaan (persembahan) untuk Sang Panca Maha Bhuta, segehan (yang dibuat dari nasi) lima warna menurut uripnya dan disampaikan di halaman sanggah (daerah persembahyangan).
Mengembangkan hidup dan tumbuh-tanaman perlulah kita berguru biar ada keseimbangan.
Dalam Bhagavadgita disebutkan ada tiga sumber kesejahteraan adalah:
Krsi yang artinya pertanian (sarwa tumuwuh).
Goraksya, artinya peternakan atau memelihara sapi sebagai induk semua binatang.
Baca Juga Nama Bahasa Daerah Bali