Gerakan Buruh dalam Sejarah Politik Indonesia

Gerakan Buruh dalam Sejarah Politik Indonesia

Tidak banyak orang yang masih ingat atau peduli bahwa organisasi buruh telah ada di Indonesia sejak awal zaman pergerakan nasional.

Bahkan, tidak salah untuk dikatakan bahwa usia gerakan buruh di Indonesia sama dengan usia nasionalisme di sini.

Karena serikat buruh (SB) lahir pada masa yang sama dengan organisasi-organisasi macam Budi Oetomo dan Sarekat Islam.

Mungkin orang yang tidak mengenal baik sejarah politik Indonesia di awal abad ini akan merasa aneh mendengar bahwa sampai kira-kira tahun 1926.

Organisasi buruhlah yang berada pada garis paling depan perjuangan nasional melawan penjajahan.

Aneh, karena dalam versi sejarah ‘resmi’ yang sekarang mengisi kurikulum tingkat sekolah dasar.

Peranan SB dalam perjuangan antikolonial hampir sama sekali diabaikan.

Adalah sejarawan asing seperti John Ingleson dan Takashi Shiraishi yang terutama berhasil mengungkapkan kembali sejarah yang hampir “hilang” atau “dilupakan” itu.

Dalam karya-karya mereka, kita bisa membaca bagaimana organisasi-organisasi buruh lahir dalam masyarakat kolonial.

Seiring dengan perubahan yang dibawa oleh persentuhan awal dengan kapitalisme.

Persentuhan itu menghadirkan jenis manusia baru di Indonesia, yaitu buruh.

Orang yang tidak memiliki alat produksinya sendiri, dan menjual tenaganya untuk upah.

Pangalaman bersentuhan langsung dengan eksploitasi pola kapitalis, kemunculan daerah-daerah kota dan semikota untuk pertama kali.

Serta pengaruh ide-ide baru yang dibawa dari luar negeri termasuk nasionalisme, sosialisme dan Marxisme.

Mempunyai andil dalam memunculkan organisasi-organisasi buruh pertama yang dikenal di negeri ini Lebih jauh lagi.

Munculnya ‘bayangan’ di benak orang Indonesia, untuk pertama kalinya, tentang tempat bangsa ini dalam arus perubahan yang sedang melanda dunia pada waktu itu

Ditandai dengan banyaknya gerakan antikapitalis di berbagai negeri – memberi dorongan kuat bagi berkembangnya gerakan SB yang militan.

Takashi Shiraishi melukiskan tahun-tahun akhir 1910-an dan awal 1920-an sebagai “the Age of Striker (Zaman Pemogokan).

yang tentunya mempunyai andil cukup besar dalam melatih rakyat bumiputera untuk berorganisasi.

Memang pada tahun-tahun itu pemerintah kolonial cukup disibukkan oleh aksi-aksi yang dipimpin tokoh-tokoh SB.

Seperti Sutjopranoto atau Semaoen yang memahami gerakan buruh sebagai bagian integral dari perjuangan melawan penjajah.

Sejarah juga mencatat bahwa gerakan buruh yang sempat berkembang cukup militan ini akhirnya dibungkam oleh pemerintah kolonial.

Akibatnya, gerakan buruh tidak akan memainkan peranan yang teramat penting dalam perjuangan kemerdekaan selanjutnya.

Setelah Proklamasi Kemerdekaan dan di tengah-tengah euforia revolusi, organisasi-organisasi buruh baru bisa didirikan.

Seakan-akan mau menyambung sejarah yang terputus, dunia gerakan buruh Indonesia kembali hiruk-pikuk.

Pada tahun 1950-311 dan awal 1960-an. Ketika terdapat ratusan SB dan belasan federasi SB.

Sebagian besar federasi tersebut berafiliasi resmi atau setengah resmi – dengan salah satu partai politik.

Misalnya, Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI) berafiliasi dengan PKI, Sarikat Buruh Muslimin Indonesia (Sarbumusi) dengan NU.

Serikat Buruh Islam Indonesia (SBII)/Gabungan Serikat-serikat Buruh Islam Indonesia (Gasbiindo) dengan Parmusi.

Sentral Organisasi Buruh Republik Indonesia (SOBRI) dengan Murba, dan seterusnya.

Ketika itu SB saling bersaing satu sama lain, karena tentunya partai-partai politik yang menaunginya juga bersaing satu sama lain.

Mengapa gerakan buruh “berhasil” menyambung kembali sejarahnya yang putus padahal ia sempat porak-poranda?

Setidaknya ada dua alasan penting. Pertama, masih bertahannya euforia revolusi amat mendukung gerakan SB.

Sangat sulit bagi pemerintah-pemerintah awal tahun 1950-an, misalnya, untuk secara terbuka menentang SB.

Walaupun mereka disulitkan oleh aksi-aksi buruh karena mereka secara langsung mewarisi cita-cira egaliterisme dan keadilan sosial dari revolusi 1945.

Kedua, SB yang militan dapat berperan karena pihak-pihak yang biasanya akan menentangnya – negara dan kelas pemilik modal masih kocar-kacir di tahun 1950-311 dan awal 1960-an.

Setelah runtuhnya kekuasaan Hindia Belanda, negara masih inkoheren, belum menemukan bentuknya dan kelas borjuasi di Indonesia, kalaupun ada, masih lemah clan tak bemrti kekuatannya.

Adalah nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing di tahun 1957 – ironisnya terjadi atas inisiatif SB –

yang akan memulai suaru rangkaian perkembangan yang menyulitkan gerakan buruh Indonesia.

Sebab, adalah Angkatan Darat yang kemudian ditugaskan untuk mengambil-alih fungsi manajerial atas perusahaan-perusahaan tersebut,

sesuatu yang menempatkannya dalam posisi struktural untuk menentang gerakan buruh yang menyulitkan roda produksi.

Akibatnya, AD mulai masuk dalam urusan perburuhan secara langsung dan mendirikan berbagai institusi.

(seperti Badan Kerjasama Buruh-Militer, SOKSI) yang bertujuan meningkatkan kemampuan tentara mengendalikan gerakan SB.

Kalau di masa Orba sekarang ini banyak dikeluhkan peranan militer yang terlampau besar dalam urusan perburuhan.

Maka sesungguhnya gejala itu sudah terlihat jauh sebelum berdirinya Orde Baru.

Sejarah gerakn buruh kembali terputus pada awal Orba ketika dimulai suatu upaya yang berkelanjutan untuk mengadakan penataan kembali organisasi perburuhan di Indonesia.

Penataan itu terjadi sedemikian rupa sehingga gerakan buruh pada dasamya disubordinasikan pada tujuan-tujuan ekonomi dan politik yang digariskan negara.

Organisasi-organisasi buruh yang masih ada SOBSI sudah hancur bersama PKI –

sedikit banyak terpaksa mengikuti pola penataan yang merupakan inisiatif elite politik Orba. Tentunya elite tersebut didominasi oleh unsur AD.

Kulminasi upaya penataan itu adalah pendirian Federasi Buruh Seluruh Indonesia (FBSI) di tahun 1973.

Setelah itu praktis tidak ada gerakan buruh yang berarti dan independen di republik ini.

Mengapa gerakan buruh yang tampak gagah perkasa dapat dua kali dibungkam – pertama oleh pemerintah kolonial dan kemudian pada awal Orba?

Adakah sesuatu yang agak “artifisial” dengan kekuatan gerakan buruh pada tahun 1920-an clan 1950-an sehingga ia tak dapat runtuh dalam sekejap ketika dihadapkan dengan tekanan yang serius?

Untuk menjawab pertanyaan di alas kita perlu memahami bahwa gerakn SB yang, muncul di masa lalu amat dipengamhi oleh lingkungan ekonomi dan politiknya.

Karena itu, organisasi-organisasi yang berdiri pada 1910-an dan 1920-an tidak bisa tidak mencerminkan sifat perekonomian kolonial – yang waktu itu amat bertumpu pada ekspor hasil perkebunan.

Karenanya, tidak mengherankan kalau organisasi buruh terpenting kala itu adalah yang menghimpun buruh-buruh perkebunan, pabrik gula.

Di samping buruh kereta api yang tentunya diperlukan untuk memindahkan hasil industri perkebunan ke pelabuhan untuk di ekspor.

Berbeda dengan sekarang, buruh industri manufaktur praktis tidak ada karena kolonialisme Belanda tidak mementingkan sektor itu.

Perlu diingat bahwa persentuhan dengan – kapitalisme dan pengalaman industrialisasi waktu itu baru terjadi pada tahap yang sangat awal.

Walaupun di zaman kolonial masyarakat Indonesia sudah bersentuhan dengan kapitalisme, industri yang berkembang masih sangat terbatas.

Akibatnya, proses proletarisasi -pembentukan kelas buruh – sedikit sekali terjadi. Implikasinya, “basis material” untuk suatu gerakan buruh yang kuat tidak begitu banyak hadir.

Amat sulit untuk melancarkan suatu gerakan revolusi, misalnya, yang diujung tombaki buruh, kalau jumlah buruhnya saja amat sedikit.

Karena itu, merupakan suatu ironi bahwa gerakan buruh yang cukup militan justeru muncul di Indonesia pada saat tidak ada kondisi obyektif untuk mendukungnya.

Militansi gerakan buruh di tahun 1920-an membuat gerakan buruh seakan-akan memiliki kekuatan yang jauh melampaui kondisi obyektifnya.

Namun, bagaimanapun juga, kurang adanya “basis material” yang memadai untuk menopang gerakan buruh pada waktu itu membuatnya rentan terhadap tekanan penguasa.

Akibatnya ketika pemerintah kolonial memutuskan untuk menghantam gerakan buruh, ia dapat melakukannya sampai cukup tuntas.

Masalah esensial yang sama sebenarnya dihadapi gerakan buruh tahun 1950-an yang mencoba menyambung tradisi militansi tahun 1920-an.

Karena pada dasamya stuktur ekonomi kolonial yang kurang lebih stagnan masih bertahan.

Persentuhan dengan kapitalisme belum berlangsung cukup intensif untuk menyebabkan transformasi sosial yang diperlukan untuk mendukung suatu gerakan buruh yang kuat.

Tidak mengherankan bahwa penataan organisasi buruh yang didorong oleh negara pada awal Orba –

antara lain untuk membuat Indonesia lebih menarik bagi investor asing tak bisa ditentang oleh gerakan SB karena memang ia tidak ditopang basis yang cukup kuat.

Industrialisasi yang berkelanjutan dan yang mendorong proses transformasi sosial yang mendasar praktis hanya terjadi di Indonesia sejak masa Orba.

Dampak kapitalisme pada struktur sosial Indonesia jauh lebih hebat di bawah Orde Baru daripada di masa lalu.

Sebagai hasil dari transformasi sosial itu muncullah kelas-kelas baru seperti kelas menengah kota dan kelas buruh, khususnya buruh industri, secara lebih signifikan.

Jumlah buruh industri, misalnya, dewasa ini sudah lebih tiga kali lipat dan pada jumlahnya pada awal Orba.

Proses urbanisasi yang terjadi jauh lebih hebat dewasa ini daripada di masa kolonial juga menyumbang untuk lebih “mematangkan” kelas buruh baru ini.

Sebab penghidupan para anggotanya menjadi jauh lebih terpisah dari ekonomi pedesaan daripada di masa sebelumnya.

Kini para buruh benar-benar hidup dan bekerja dalam suatu “milieu” industrial yang tadinya praktis tidak ada.

Ekspresi politik dari keseluruhan proses ini sedang kita saksikan.

Di antaranya adalah gemuruh aksi pemogokan bumh selama empat tahun terakhir yang sulit dikendalikan pemerintah.

Gejala lain adalah kemunculan organisasi-organisasi berorientasi buruh yang membuat lembaga-lembaga “resmi” yang diakui oleh negara dalam sistem yang sekarang berlaku menjadi semakin usang.

Namun, apakah kali ini gerakan buruh dapat membuktikan diri lebih tahan terhadap tekanan dari luar adalah sesuatu yang masih harus dibuktikan. (*)

Penulis : Vedi R Hadiz
Peneliti Yayasan SPES. Pernah mengikuti Program Ph.D. pada Asia Research Centre, Murdoch University, Perth, Australia.

Opini / Esai ini pernah diterbitkan di majalah Prisma 10 Oktober 1994

Originally posted 2020-08-07 05:43:01.

About Me

Seorang Blogger asal Makassar, Sulawesi Selatan. Kini menggeluti dunia blogging dan SEO.

Tinggalkan komentar